Home / Pendekar / Bara Dendam di Perbatasan / 4 - Bara di Hantang

Share

4 - Bara di Hantang

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-08-09 22:35:03

Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.

Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.

Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.

Buuukk!

Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.

Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.

Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.

Di tempatnya, Ranajaya menyeringai lebar melihat lawan tak berdaya. Dengan langkah perlahan lelaki itu mendatangi Seta yang tergeletak diam. Hanya dapat menggeliat di atas serpihan-serpihan kayu reruntuhan meja. Kembali terdengar lelaki itu tertawa.

"Prajurit malang," ujarnya dengan nada mengejek. "Andai saja rajamu melihat keadaanmu saat ini, aku rasa sang raja akan langsung mencabut anugerah prajurit terbaik darimu sekarang juga."

Ucapan Ranajaya diikuti ledakan tawa dari dua rekannya. Bertiga mereka berdiri mengelilingi Seta yang meringkuk tanpa dapat bergerak.

Seta merasakan sekujur tubuhnya sangat sakit, sekaligus lemas bukan main. Bahkan sekedar untuk mendongak pun tak kuat.

Ranajaya melangkah ke arah dekat kepala Seta. Orang ini lantas berjongkok. Seringai keji terus terpampang di wajahnya yang bengis.

"Dengar baik-baik olehmu, Prajurit Tengik. Kalau kau ingin mengambil kembali isterimu dari kami, datanglah seorang diri ke Gua Selogiri hari ini juga sebelum malam datang," ujar Ranajaya setengah mendesis.

"Ingat, Seta, datanglah seorang diri saja! Dan jangan datang terlalu malam. Sebab, kalau sudah malam aku pasti akan sangat sibuk ...."

Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja potong kalimatnya. Perlahan ia bungkukkan badan, sehingga kepalanya mendekat ke kepala Seta. Mulutnya berada tepat di atas daun telinga sang prajurit.

"... Sibuk menikmati tubuh isteri cantikmu yang halus mulus," lanjutnya, lalu diikuti dengan tawa terbahak-bahak. Dua temannya ikut menimpali tawa tersebut.

Seta menggeram keras. Susah payah dikumpulkannya sisa-sisa tenaga, lalu ayunkan tangan sekuat mungkin hendak meninju Ranajaya. Namun gerakan yang dikiranya cepat itu bagi yang diserang tak ubahnya lambaian biasa. Sehingga dapat dengan mudah ditangkap.

"Ah, sebaiknya kau hemat-hemat tenagamu, Seta," ujar Ranajaya mendesis. Tangannya menggenggam erat-erat pergelangan tangan si prajurit.

"Sebelum pergi ke Gua Selogiri, ada baiknya kau terlebih dahulu menengok anakmu di rumah. Siapa tahu karena ibunya tidak ada, anak kecil itu hangus terbakar menjadi abu," sambung Ranajaya.

Usai berkata begitu dengan kasar Ranajaya lepaskan tangan Seta yang tadi dipegangnya. Sementara sepasang mata Seta seketika terbelalak mendengar ucapan tersebut. Wajah sang prajurit menjadi begitu tegang dan pucat.

"A-apa maksudmu?" tanya Seta dengan napas tersengal-sengal.

Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu bangkit berdiri, lalu memberi isyarat kepala pada kedua temannya. Kejap berikutnya mereka bertiga melesat pergi, menghindari kedatangan tiga orang prajurit Jenggala dari arah pasar.

Tiga prajurit tersebut melihat kepergian Ranajaya dan dua temannya. Mereka berusaha mengejar, tapi tubuh ketiga penjahat sudah keburu menghilang entah ke mana.

Mereka pun memilih masuk ke dalam warung yang sudah porak poranda untuk melihat keadaan. Seruan tertahan langsung keluar dari mulut tiga prajurit begitu berada di dalam warung.

Mula-mula pandangan mata ketiganya tertuju pada mayat wanita pemilik warung dengan luka besar di leher. Kemudian beralih ke arah Seta karena wira tamtama itu keluarkan rintihan tertahan.

"Seta! Apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari ketiga prajurit sembari melompat mendekat.

Yang ditanya tak menjawab. Hanya wajah meringis kesakitan yang ia tunjukkan saat berusaha bangkit dan duduk. Ketiga prajurit bergegas membantu. Mereka menyandarkan sang wira tamtama ke salah satu tiang warung.

"An-antarkan aku ... T-tolong antarkan aku ke Hantang," ujar Seta kemudian dengan susah payah.

Hantang adalah nama daerah di mana kediaman Seta berada. Tempat tersebut terletak di barat laut Kutaraja, berbatasan langsung dengan Kerajaan Panjalu. Berjarak sejauh lebih dari dua puluh delapan ribu depa (sekitar 52 kilometer).

Tiga prajurit yang baru datang tidak banyak bertanya. Mereka langsung berbagi tugas.

Yang seorang mengantar Seta ke Hantang. Sedangkan dua lainnya mengurusi mayat wanita pemilik warung, sekaligus melaporkan kejadian di sana kepada atasan di istana.

Setelah berkuda selama dua penanakan nasi (sekitar 1,5 jam) berselang, Seta dan prajurit pengantar sudah tiba di Hantang. Kedatangan keduanya disambut dengan suasana riuh rendah nan mencekam.

Terdengar suara-suara orang-orang berteriak panik. Lalu banyak pula yang berlarian menuju satu rumah di ujung jalan yang tengah terbakar hebat.

"Cepat padamkan apinya! Ada anak kecil di dalam rumah itu!" Terdengar satu teriakan. Lalu disusul teriakan lain yang tak begitu jelas didengar.

Seta berseru tertahan. Wajahnya seketika menjadi tegang. Kuda tunggangannya langsung dipacu lebih kencang lagi, mendahului orang-orang yang berlarian.

Sesampainya di depan rumah tersebut tangis Seta langsung pecah. Tubuhnya jatuh memeluk leher kuda, lalu melorot turun ke bawah dan berlutut di tanah.

"Anakku!" desis Seta bergetar.

Tatapan mata sang prajurit nanar memandangi rumah yang keseluruhannya diselimuti api berkobar-kobar. Sekali pandang saja prajurit itu tahu, siapa pun yang berada di dalam rumah tersebut tak akan bisa selamat.

Dengan demikian, anaknya di dalam rumah itu pastilah sudah hangus terbakar dilalap api.

Tubuh Seta seketika menggigil hebat, menahan hawa amarah yang tahu-tahu saja membuncah. Darahnya seolah menggelegak. Dari mulutnya keluar teriakan menggelegar.

"Ranajaya keparat! Tunggu balasanku!"

)|(

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   5 - Gua Selogiri

    Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,

    Last Updated : 2024-08-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   6 - Dikeroyok

    Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki

    Last Updated : 2024-08-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   7 - Pertunjukan Maut

    Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap

    Last Updated : 2024-08-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   8 - Amarah Seta

    MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss

    Last Updated : 2024-08-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   9 - Dibuang

    Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau

    Last Updated : 2024-08-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   10 - Teluk Lawa

    Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m

    Last Updated : 2024-08-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   11 - Petapa Tua

    Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok

    Last Updated : 2024-08-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   12 - Masa Penyembuhan

    Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj

    Last Updated : 2024-08-16

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status