Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.
Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.
Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.
Buuukk!
Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.
Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.
Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.
Di tempatnya, Ranajaya menyeringai lebar melihat lawan tak berdaya. Dengan langkah perlahan lelaki itu mendatangi Seta yang tergeletak diam. Hanya dapat menggeliat di atas serpihan-serpihan kayu reruntuhan meja. Kembali terdengar lelaki itu tertawa.
"Prajurit malang," ujarnya dengan nada mengejek. "Andai saja rajamu melihat keadaanmu saat ini, aku rasa sang raja akan langsung mencabut anugerah prajurit terbaik darimu sekarang juga."
Ucapan Ranajaya diikuti ledakan tawa dari dua rekannya. Bertiga mereka berdiri mengelilingi Seta yang meringkuk tanpa dapat bergerak.
Seta merasakan sekujur tubuhnya sangat sakit, sekaligus lemas bukan main. Bahkan sekedar untuk mendongak pun tak kuat.
Ranajaya melangkah ke arah dekat kepala Seta. Orang ini lantas berjongkok. Seringai keji terus terpampang di wajahnya yang bengis.
"Dengar baik-baik olehmu, Prajurit Tengik. Kalau kau ingin mengambil kembali isterimu dari kami, datanglah seorang diri ke Gua Selogiri hari ini juga sebelum malam datang," ujar Ranajaya setengah mendesis.
"Ingat, Seta, datanglah seorang diri saja! Dan jangan datang terlalu malam. Sebab, kalau sudah malam aku pasti akan sangat sibuk ...."
Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja potong kalimatnya. Perlahan ia bungkukkan badan, sehingga kepalanya mendekat ke kepala Seta. Mulutnya berada tepat di atas daun telinga sang prajurit.
"... Sibuk menikmati tubuh isteri cantikmu yang halus mulus," lanjutnya, lalu diikuti dengan tawa terbahak-bahak. Dua temannya ikut menimpali tawa tersebut.
Seta menggeram keras. Susah payah dikumpulkannya sisa-sisa tenaga, lalu ayunkan tangan sekuat mungkin hendak meninju Ranajaya. Namun gerakan yang dikiranya cepat itu bagi yang diserang tak ubahnya lambaian biasa. Sehingga dapat dengan mudah ditangkap.
"Ah, sebaiknya kau hemat-hemat tenagamu, Seta," ujar Ranajaya mendesis. Tangannya menggenggam erat-erat pergelangan tangan si prajurit.
"Sebelum pergi ke Gua Selogiri, ada baiknya kau terlebih dahulu menengok anakmu di rumah. Siapa tahu karena ibunya tidak ada, anak kecil itu hangus terbakar menjadi abu," sambung Ranajaya.
Usai berkata begitu dengan kasar Ranajaya lepaskan tangan Seta yang tadi dipegangnya. Sementara sepasang mata Seta seketika terbelalak mendengar ucapan tersebut. Wajah sang prajurit menjadi begitu tegang dan pucat.
"A-apa maksudmu?" tanya Seta dengan napas tersengal-sengal.
Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu bangkit berdiri, lalu memberi isyarat kepala pada kedua temannya. Kejap berikutnya mereka bertiga melesat pergi, menghindari kedatangan tiga orang prajurit Jenggala dari arah pasar.
Tiga prajurit tersebut melihat kepergian Ranajaya dan dua temannya. Mereka berusaha mengejar, tapi tubuh ketiga penjahat sudah keburu menghilang entah ke mana.
Mereka pun memilih masuk ke dalam warung yang sudah porak poranda untuk melihat keadaan. Seruan tertahan langsung keluar dari mulut tiga prajurit begitu berada di dalam warung.
Mula-mula pandangan mata ketiganya tertuju pada mayat wanita pemilik warung dengan luka besar di leher. Kemudian beralih ke arah Seta karena wira tamtama itu keluarkan rintihan tertahan.
"Seta! Apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari ketiga prajurit sembari melompat mendekat.
Yang ditanya tak menjawab. Hanya wajah meringis kesakitan yang ia tunjukkan saat berusaha bangkit dan duduk. Ketiga prajurit bergegas membantu. Mereka menyandarkan sang wira tamtama ke salah satu tiang warung.
"An-antarkan aku ... T-tolong antarkan aku ke Hantang," ujar Seta kemudian dengan susah payah.
Hantang adalah nama daerah di mana kediaman Seta berada. Tempat tersebut terletak di barat laut Kutaraja, berbatasan langsung dengan Kerajaan Panjalu. Berjarak sejauh lebih dari dua puluh delapan ribu depa (sekitar 52 kilometer).
Tiga prajurit yang baru datang tidak banyak bertanya. Mereka langsung berbagi tugas.
Yang seorang mengantar Seta ke Hantang. Sedangkan dua lainnya mengurusi mayat wanita pemilik warung, sekaligus melaporkan kejadian di sana kepada atasan di istana.
Setelah berkuda selama dua penanakan nasi (sekitar 1,5 jam) berselang, Seta dan prajurit pengantar sudah tiba di Hantang. Kedatangan keduanya disambut dengan suasana riuh rendah nan mencekam.
Terdengar suara-suara orang-orang berteriak panik. Lalu banyak pula yang berlarian menuju satu rumah di ujung jalan yang tengah terbakar hebat.
"Cepat padamkan apinya! Ada anak kecil di dalam rumah itu!" Terdengar satu teriakan. Lalu disusul teriakan lain yang tak begitu jelas didengar.
Seta berseru tertahan. Wajahnya seketika menjadi tegang. Kuda tunggangannya langsung dipacu lebih kencang lagi, mendahului orang-orang yang berlarian.
Sesampainya di depan rumah tersebut tangis Seta langsung pecah. Tubuhnya jatuh memeluk leher kuda, lalu melorot turun ke bawah dan berlutut di tanah.
"Anakku!" desis Seta bergetar.
Tatapan mata sang prajurit nanar memandangi rumah yang keseluruhannya diselimuti api berkobar-kobar. Sekali pandang saja prajurit itu tahu, siapa pun yang berada di dalam rumah tersebut tak akan bisa selamat.
Dengan demikian, anaknya di dalam rumah itu pastilah sudah hangus terbakar dilalap api.
Tubuh Seta seketika menggigil hebat, menahan hawa amarah yang tahu-tahu saja membuncah. Darahnya seolah menggelegak. Dari mulutnya keluar teriakan menggelegar.
"Ranajaya keparat! Tunggu balasanku!"
)|(
Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,
Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki
Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap
MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok
Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj