Share

4 - Bara di Hantang

Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.

Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.

Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.

Buuukk!

Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.

Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.

Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.

Di tempatnya, Ranajaya menyeringai lebar melihat lawan tak berdaya. Dengan langkah perlahan lelaki itu mendatangi Seta yang tergeletak diam. Hanya dapat menggeliat di atas serpihan-serpihan kayu reruntuhan meja. Kembali terdengar lelaki itu tertawa.

"Prajurit malang," ujarnya dengan nada mengejek. "Andai saja rajamu melihat keadaanmu saat ini, aku rasa sang raja akan langsung mencabut anugerah prajurit terbaik darimu sekarang juga."

Ucapan Ranajaya diikuti ledakan tawa dari dua rekannya. Bertiga mereka berdiri mengelilingi Seta yang meringkuk tanpa dapat bergerak.

Seta merasakan sekujur tubuhnya sangat sakit, sekaligus lemas bukan main. Bahkan sekedar untuk mendongak pun tak kuat.

Ranajaya melangkah ke arah dekat kepala Seta. Orang ini lantas berjongkok. Seringai keji terus terpampang di wajahnya yang bengis.

"Dengar baik-baik olehmu, Prajurit Tengik. Kalau kau ingin mengambil kembali isterimu dari kami, datanglah seorang diri ke Gua Selogiri hari ini juga sebelum malam datang," ujar Ranajaya setengah mendesis.

"Ingat, Seta, datanglah seorang diri saja! Dan jangan datang terlalu malam. Sebab, kalau sudah malam aku pasti akan sangat sibuk ...."

Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja potong kalimatnya. Perlahan ia bungkukkan badan, sehingga kepalanya mendekat ke kepala Seta. Mulutnya berada tepat di atas daun telinga sang prajurit.

"... Sibuk menikmati tubuh isteri cantikmu yang halus mulus," lanjutnya, lalu diikuti dengan tawa terbahak-bahak. Dua temannya ikut menimpali tawa tersebut.

Seta menggeram keras. Susah payah dikumpulkannya sisa-sisa tenaga, lalu ayunkan tangan sekuat mungkin hendak meninju Ranajaya. Namun gerakan yang dikiranya cepat itu bagi yang diserang tak ubahnya lambaian biasa. Sehingga dapat dengan mudah ditangkap.

"Ah, sebaiknya kau hemat-hemat tenagamu, Seta," ujar Ranajaya mendesis. Tangannya menggenggam erat-erat pergelangan tangan si prajurit.

"Sebelum pergi ke Gua Selogiri, ada baiknya kau terlebih dahulu menengok anakmu di rumah. Siapa tahu karena ibunya tidak ada, anak kecil itu hangus terbakar menjadi abu," sambung Ranajaya.

Usai berkata begitu dengan kasar Ranajaya lepaskan tangan Seta yang tadi dipegangnya. Sementara sepasang mata Seta seketika terbelalak mendengar ucapan tersebut. Wajah sang prajurit menjadi begitu tegang dan pucat.

"A-apa maksudmu?" tanya Seta dengan napas tersengal-sengal.

Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu bangkit berdiri, lalu memberi isyarat kepala pada kedua temannya. Kejap berikutnya mereka bertiga melesat pergi, menghindari kedatangan tiga orang prajurit Jenggala dari arah pasar.

Tiga prajurit tersebut melihat kepergian Ranajaya dan dua temannya. Mereka berusaha mengejar, tapi tubuh ketiga penjahat sudah keburu menghilang entah ke mana.

Mereka pun memilih masuk ke dalam warung yang sudah porak poranda untuk melihat keadaan. Seruan tertahan langsung keluar dari mulut tiga prajurit begitu berada di dalam warung.

Mula-mula pandangan mata ketiganya tertuju pada mayat wanita pemilik warung dengan luka besar di leher. Kemudian beralih ke arah Seta karena wira tamtama itu keluarkan rintihan tertahan.

"Seta! Apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari ketiga prajurit sembari melompat mendekat.

Yang ditanya tak menjawab. Hanya wajah meringis kesakitan yang ia tunjukkan saat berusaha bangkit dan duduk. Ketiga prajurit bergegas membantu. Mereka menyandarkan sang wira tamtama ke salah satu tiang warung.

"An-antarkan aku ... T-tolong antarkan aku ke Hantang," ujar Seta kemudian dengan susah payah.

Hantang adalah nama daerah di mana kediaman Seta berada. Tempat tersebut terletak di barat laut Kutaraja, berbatasan langsung dengan Kerajaan Panjalu. Berjarak sejauh lebih dari dua puluh delapan ribu depa (sekitar 52 kilometer).

Tiga prajurit yang baru datang tidak banyak bertanya. Mereka langsung berbagi tugas.

Yang seorang mengantar Seta ke Hantang. Sedangkan dua lainnya mengurusi mayat wanita pemilik warung, sekaligus melaporkan kejadian di sana kepada atasan di istana.

Setelah berkuda selama dua penanakan nasi (sekitar 1,5 jam) berselang, Seta dan prajurit pengantar sudah tiba di Hantang. Kedatangan keduanya disambut dengan suasana riuh rendah nan mencekam.

Terdengar suara-suara orang-orang berteriak panik. Lalu banyak pula yang berlarian menuju satu rumah di ujung jalan yang tengah terbakar hebat.

"Cepat padamkan apinya! Ada anak kecil di dalam rumah itu!" Terdengar satu teriakan. Lalu disusul teriakan lain yang tak begitu jelas didengar.

Seta berseru tertahan. Wajahnya seketika menjadi tegang. Kuda tunggangannya langsung dipacu lebih kencang lagi, mendahului orang-orang yang berlarian.

Sesampainya di depan rumah tersebut tangis Seta langsung pecah. Tubuhnya jatuh memeluk leher kuda, lalu melorot turun ke bawah dan berlutut di tanah.

"Anakku!" desis Seta bergetar.

Tatapan mata sang prajurit nanar memandangi rumah yang keseluruhannya diselimuti api berkobar-kobar. Sekali pandang saja prajurit itu tahu, siapa pun yang berada di dalam rumah tersebut tak akan bisa selamat.

Dengan demikian, anaknya di dalam rumah itu pastilah sudah hangus terbakar dilalap api.

Tubuh Seta seketika menggigil hebat, menahan hawa amarah yang tahu-tahu saja membuncah. Darahnya seolah menggelegak. Dari mulutnya keluar teriakan menggelegar.

"Ranajaya keparat! Tunggu balasanku!"

)|(

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status