Pukulan jarak jauh tersebut menghantam dinding warung. Terus melaju cepat melabrak warung-warung lain di sebelah.
Suara ledakan keras terdengar. Diiringi kepulan asap bercampur debu dari hancurnya sekat-sekat anyaman bambu yang hancur lebur. Menjadi remah-remah.
Suara ledakan keras itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitar tempat perkelahian. Membuat para pedagang dan orang-orang yang sedang makan-minum di warung-warung lain berhamburan keluar.
Awalnya orang-orang itu diliputi rasa penasaran. Lalu berbondong-bondong datang. Mendekat untuk mencari tahu arah sumber suara.
Namun setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi, seketika mereka berlarian. Lintang pukang menjauh sembari menjerit-jerit. Suasana berubah kacau mencekam.
Seta menghela napas panjang. Sang prajurit menyadari keadaan sudah menjadi gawat. Mereka telah berkelahi di pinggiran kotaraja. Hanya sejarak lima ratus depa (sekitar satu kilometer) dari istana raja!
"Kalian telah membuat kekacauan di kotaraja. Bersiaplah kepala kalian dipenggal di alun-alun!" ujar sang prajurit mengancam ketiga lawan.
Mendengar itu Ranajaya keluarkan dengusan pendek.
"Sudah kepalang tanggung, prajurit keparat. Sebelum kepala kami dipenggal, kau dulu yang akan aku buat mati!" balasnya.
Saudara gembong rampok Surajaya itu lantas gerakkan tangannya dengan cepat. Parang besar disabetkan ke muka dengan cepat. Menyasar pangkal leher Seta dalam satu serangan bengis.
Wuuuutt! Wuuuutt!
Diserang begitu rupa Seta jadi menggembor marah. Tangannya yang memegang pedang digerakkan tak kalah cepat.
Senjata itu berkiblat. Bergulung-gulung membentuk sebuah lingkaran perak menuju ke arah lawan. Gerakan tersebut menimbulkan suara mengaung menggidikkan.
Traaangg! Traaangg!
Dua senjata beradu. Suasana siang terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam parang besar dan pedang tersebut.
Karena baik Seta maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa.
Seta berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah.
"Kalian tidak perlu mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Seta sang wira tamtama, yang akan memenggal kepala kalian di sini sekarang juga!" bentak prajurit Jenggala gagah.
Seta tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan.
"Hiiaaaatt!"
Ranajaya mendengus dengan sepasang mata terpentang lebar. Parang besar di tangannya dipelintangkan di depan dada. Begitu ujung pedang Seta mendekat, senjata tersebut digerakkan sedemikian rupa.
Parang besar berputar-putar bagai kitiran diiringi suara desauan angin. Dengan gerakan tersebut Ranajaya menyongsongkan senjata di tangannya ke arah datangnya serangan lawan.
Traaangg!
Lagi-lagi suara berdentrangan keras memecah udara. Namun kali ini Ranajaya tampak meringis kesakitan. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah.
Sementara itu tangan Ranajaya yang memegang parang terlihat bergetar. Paras lelaki ini berubah ketika menyaksikan mata parangnya gompal di beberapa bagian!
Seta tertawa melihat perubahan raut muka lawan. Ia sudah dapat membaca bahwa kemampuannya berada di atas lelaki bercambang bauk itu. Meski hanya setingkat lebih tinggi.
"Bersiaplah, bajingan tengik! Sebab kau dan dua temanmu ini akan kubuat menyusul Surajaya ke neraka!" ujar Seta dalam suara menggeram kasar.
Di luar dugaan Ranajaya justru turut tertawa pula. Parang besarnya yang gompal tak karuan enak saja dilempar ke tanah. Kedua tangannya lantas ditekuk ke pinggang.
"Aku belum mau mati sekarang, prajurit tengik! Tidak sebelum aku puas menikmati hangatnya tubuh isterimu yang halus mulus," balasnya. Lalu lepaskan tawa lebih keras dari sebelumnya.
Seta tersurut mundur beberapa langkah. Wajahnya seketika memucat seputih kapas. Sedangkan kedua ujung alisnya bertaut rapat.
"K-kau ..?"
"A-apa maksud ucapanmu?" desis Seta tertahan dalam suara yang jelas sekali terdengar kaget. "Apa yang telah kau lakukan terhadap isteriku?"
Ranajaya masih terus tertawa terbahak-bahak. Dua lelaki temannya ikut tertawa pula. Membuat Seta semakin diliputi penasaran, sekaligus hawa amarah yang bertambah-tambah.
"Katakan, apa yang telah kalian lakukan terhadap isteriku?!" bentak Seta dengan sepasang mata berkilat-kilat.
"Dengar, Prajurit, mulai malam ini isterimu yang cantik itu akan menemaniku tidur. Oh, tidak, tidak ... bukan cuma aku. Menemani kami bertiga, maksudku," jawab Ranajaya sembari terus menyungging seringai.
Selepas itu Ranajaya dan kedua temannya kembali tertawa terbahak-bahak. Suara tawa mereka bertiga keras membahana.
Seta kertakkan rahang. "Bangsat! Berani kau berbuat macam-macam ..."
"Sssshhh!" Ranajaya menukas sambil goyang-goyangkan telunjuk di depan wajah.
"Kami memang tidak bermaksud berbuat macam-macam terhadap isterimu, Seta. Yang kami inginkan hanyalah satu macam saja dari isterimu itu. Cukup satu macam!" tambahnya.
Usai berkata begitu, Ranajaya menjilati bibir sendiri dengan sepasang mata merem-melek. Setelah itu lalu lelaki bercambang bauk lebat tersebut kembali tertawa keras.
Seta langsung paham apa maksud orang. Gerahamnya seketika beradu kencang, sedangkan wajahnya berubah kelam membesi.
"Iblis! Kau harus mati!" Seta menjerit keras. Tubuhnya melesat ke depan, melepas satu sabetan pedang ke arah Ranajaya.
Wuuuttt!
Pedang di tangan Seta bergerak cepat. Mengeluarkan suara mengaung nan menggidikkan. Kembali datang menyambar ke arah Ranajaya dan dua temannya.
Sayang, pikiran sang prajurit diliputi hawa amarah setelah mendengar ucapan lawannya tadi. Akibatnya, serangan yang dilancarkan prajurit Kerajaan Jenggala itu menjadi sangat serampangan. Sabetan pedangnya tak terlalu membahayakan lawan.
Melihat gelagat itu Ranajaya beri kesempatan pada dua rekannya untuk ganti meladeni lawan. Sementara ia menepi ke satu sudut warung. Menyaksikan pertempuran yang segera kembali pecah.
"Pengecut! Beraninya hanya main keroyok," dengus Seta mengejek.
Tentu saja dua kambrat Ranajaya tak ambil peduli. Lagi pula mereka mengeroyok bukan karena takut kalah. Tapi lebih disebabkan ingin segera menyudahi pertarungan tersebut. Dan selanjutnya menyuguhkan kejutan tambahan bagi sang prajurit.
Secara berbarengan kedua lelaki itu meladeni serangan Seta dengan sabetan parang besar. Dua bilah senjata berkelebat cepat, menimbulkan suara berdesing. Lalu berdentrangan keras saat beradu dengan pedang sang prajurit Jenggala.
"Hiaaaatt!"
Wuuuutt! Wuuuutt!
Meski kelebatan parang di tangan mereka tampak begitu ganas, tetapi kedua anak buah Ranajaya sama sekali tidak berniat menghabisi Seta. Tugas mereka bukan membunuh prajurit itu. Melainkan hanya membuatnya tak berdaya.
Setelah itu, seperti yang telah mereka rancang sejak awal, Ranajaya akan memberi tahu sesuatu yang tak pernah disangka-sangka oleh si prajurit.
Karena itu, sasaran pertama setiap serangan yang mereka lakukan adalah untuk melucuti pedang di tangan Seta. Baru kemudian membuatnya menyerah kalah. Sebelum memberi serangan pamungkas yang jauh lebih menyakitkan dari kematian.
"Hiaaaattt!"
Jika tidak sedang dikuasai amarah, sebetulnya Seta akan dapat dengan mudah mengatasi dua penjahat bercambang bauk lebat itu. Kemampuan kedua anak buah Ranajaya di bawah kemampuan miliknya.
Namun cerita menjadi berbeda karena sang prajurit tengah menggelegak darahnya. Hawa amarah menguasai dirinya, membuat setiap gerakannya tak lagi didasarkan pada pikiran jernih.
Itu sebabnya prajurit yang baru saja naik pangkat menjadi wira tamtama tersebut lambat laun keteteran. Ia hanya dapat mengimbangi kedua lawannya dalam empat-lima jurus awal. Memasuki jurus-jurus berikutnya, sang prajurit sudah kehilangan pedang.
Trraaaanggg!
Ketika Seta berusaha menangkis serangan salah satu penyerang, lelaki yang satu lagi berhasil mendaratkan pukulan ke tangannya. Kemudian diikuti dengan satu gerakan menggaet lepas pedang. Senjata itu pun mencelat mental entah kemana.
Paras Seta berubah. Ia menyadari dirinya semakin terdesak, tetapi ledakan amarah membuatnya terus bertahan dan melawan.
Hal itu tidak berlangsung lama. Karena dalam satu kesempatan kelebat parang besar lawan tak kuasa dihindari Seta. Tajamnya mata parang salah satu pengeroyok menyayat dada sang prajurit.
Craasss!
)|(
Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.Buuukk!Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.Di tempatnya, Ranajaya menyeringa
Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,
Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki
Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap
MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok