Share

3 - Rencana Keji

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-08-09 22:33:28

Pukulan jarak jauh tersebut menghantam dinding warung. Terus melaju cepat melabrak warung-warung lain di sebelah.

Suara ledakan keras terdengar. Diiringi kepulan asap bercampur debu dari hancurnya sekat-sekat anyaman bambu yang hancur lebur. Menjadi remah-remah.

Suara ledakan keras itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitar tempat perkelahian. Membuat para pedagang dan orang-orang yang sedang makan-minum di warung-warung lain berhamburan keluar.

Awalnya orang-orang itu diliputi rasa penasaran. Lalu berbondong-bondong datang. Mendekat untuk mencari tahu arah sumber suara.

Namun setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi, seketika mereka berlarian. Lintang pukang menjauh sembari menjerit-jerit. Suasana berubah kacau mencekam.

Seta menghela napas panjang. Sang prajurit menyadari keadaan sudah menjadi gawat. Mereka telah berkelahi di pinggiran kotaraja. Hanya sejarak lima ratus depa (sekitar satu kilometer) dari istana raja!

"Kalian telah membuat kekacauan di kotaraja. Bersiaplah kepala kalian dipenggal di alun-alun!" ujar sang prajurit mengancam ketiga lawan.

Mendengar itu Ranajaya keluarkan dengusan pendek.

"Sudah kepalang tanggung, prajurit keparat. Sebelum kepala kami dipenggal, kau dulu yang akan aku buat mati!" balasnya.

Saudara gembong rampok Surajaya itu lantas gerakkan tangannya dengan cepat. Parang besar disabetkan ke muka dengan cepat. Menyasar pangkal leher Seta dalam satu serangan bengis.

Wuuuutt! Wuuuutt!

Diserang begitu rupa Seta jadi menggembor marah. Tangannya yang memegang pedang digerakkan tak kalah cepat.

Senjata itu berkiblat. Bergulung-gulung membentuk sebuah lingkaran perak menuju ke arah lawan. Gerakan tersebut menimbulkan suara mengaung menggidikkan.

Traaangg! Traaangg!

Dua senjata beradu. Suasana siang terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam parang besar dan pedang tersebut.

Karena baik Seta maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa.

Seta berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah.

"Kalian tidak perlu mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Seta sang wira tamtama, yang akan memenggal kepala kalian di sini sekarang juga!" bentak prajurit Jenggala gagah.

Seta tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan.

"Hiiaaaatt!"

Ranajaya mendengus dengan sepasang mata terpentang lebar. Parang besar di tangannya dipelintangkan di depan dada. Begitu ujung pedang Seta mendekat, senjata tersebut digerakkan sedemikian rupa.

Parang besar berputar-putar bagai kitiran diiringi suara desauan angin. Dengan gerakan tersebut Ranajaya menyongsongkan senjata di tangannya ke arah datangnya serangan lawan.

Traaangg!

Lagi-lagi suara berdentrangan keras memecah udara. Namun kali ini Ranajaya tampak meringis kesakitan. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah.

Sementara itu tangan Ranajaya yang memegang parang terlihat bergetar. Paras lelaki ini berubah ketika menyaksikan mata parangnya gompal di beberapa bagian!

Seta tertawa melihat perubahan raut muka lawan. Ia sudah dapat membaca bahwa kemampuannya berada di atas lelaki bercambang bauk itu. Meski hanya setingkat lebih tinggi.

"Bersiaplah, bajingan tengik! Sebab kau dan dua temanmu ini akan kubuat menyusul Surajaya ke neraka!" ujar Seta dalam suara menggeram kasar.

Di luar dugaan Ranajaya justru turut tertawa pula. Parang besarnya yang gompal tak karuan enak saja dilempar ke tanah. Kedua tangannya lantas ditekuk ke pinggang.

"Aku belum mau mati sekarang, prajurit tengik! Tidak sebelum aku puas menikmati hangatnya tubuh isterimu yang halus mulus," balasnya. Lalu lepaskan tawa lebih keras dari sebelumnya.

Seta tersurut mundur beberapa langkah. Wajahnya seketika memucat seputih kapas. Sedangkan kedua ujung alisnya bertaut rapat.

"K-kau ..?"

"A-apa maksud ucapanmu?" desis Seta tertahan dalam suara yang jelas sekali terdengar kaget. "Apa yang telah kau lakukan terhadap isteriku?"

Ranajaya masih terus tertawa terbahak-bahak. Dua lelaki temannya ikut tertawa pula. Membuat Seta semakin diliputi penasaran, sekaligus hawa amarah yang bertambah-tambah.

"Katakan, apa yang telah kalian lakukan terhadap isteriku?!" bentak Seta dengan sepasang mata berkilat-kilat.

"Dengar, Prajurit, mulai malam ini isterimu yang cantik itu akan menemaniku tidur. Oh, tidak, tidak ... bukan cuma aku. Menemani kami bertiga, maksudku," jawab Ranajaya sembari terus menyungging seringai.

Selepas itu Ranajaya dan kedua temannya kembali tertawa terbahak-bahak. Suara tawa mereka bertiga keras membahana.

Seta kertakkan rahang. "Bangsat! Berani kau berbuat macam-macam ..."

"Sssshhh!" Ranajaya menukas sambil goyang-goyangkan telunjuk di depan wajah.

"Kami memang tidak bermaksud berbuat macam-macam terhadap isterimu, Seta. Yang kami inginkan hanyalah satu macam saja dari isterimu itu. Cukup satu macam!" tambahnya.

Usai berkata begitu, Ranajaya menjilati bibir sendiri dengan sepasang mata merem-melek. Setelah itu lalu lelaki bercambang bauk lebat tersebut kembali tertawa keras.

Seta langsung paham apa maksud orang. Gerahamnya seketika beradu kencang, sedangkan wajahnya berubah kelam membesi.

"Iblis! Kau harus mati!" Seta menjerit keras. Tubuhnya melesat ke depan, melepas satu sabetan pedang ke arah Ranajaya.

Wuuuttt!

Pedang di tangan Seta bergerak cepat. Mengeluarkan suara mengaung nan menggidikkan. Kembali datang menyambar ke arah Ranajaya dan dua temannya.

Sayang, pikiran sang prajurit diliputi hawa amarah setelah mendengar ucapan lawannya tadi. Akibatnya, serangan yang dilancarkan prajurit Kerajaan Jenggala itu menjadi sangat serampangan. Sabetan pedangnya tak terlalu membahayakan lawan.

Melihat gelagat itu Ranajaya beri kesempatan pada dua rekannya untuk ganti meladeni lawan. Sementara ia menepi ke satu sudut warung. Menyaksikan pertempuran yang segera kembali pecah.

"Pengecut! Beraninya hanya main keroyok," dengus Seta mengejek.

Tentu saja dua kambrat Ranajaya tak ambil peduli. Lagi pula mereka mengeroyok bukan karena takut kalah. Tapi lebih disebabkan ingin segera menyudahi pertarungan tersebut. Dan selanjutnya menyuguhkan kejutan tambahan bagi sang prajurit.

Secara berbarengan kedua lelaki itu meladeni serangan Seta dengan sabetan parang besar. Dua bilah senjata berkelebat cepat, menimbulkan suara berdesing. Lalu berdentrangan keras saat beradu dengan pedang sang prajurit Jenggala.

"Hiaaaatt!"

Wuuuutt! Wuuuutt!

Meski kelebatan parang di tangan mereka tampak begitu ganas, tetapi kedua anak buah Ranajaya sama sekali tidak berniat menghabisi Seta. Tugas mereka bukan membunuh prajurit itu. Melainkan hanya membuatnya tak berdaya.

Setelah itu, seperti yang telah mereka rancang sejak awal, Ranajaya akan memberi tahu sesuatu yang tak pernah disangka-sangka oleh si prajurit.

Karena itu, sasaran pertama setiap serangan yang mereka lakukan adalah untuk melucuti pedang di tangan Seta. Baru kemudian membuatnya menyerah kalah. Sebelum memberi serangan pamungkas yang jauh lebih menyakitkan dari kematian.

"Hiaaaattt!"

Jika tidak sedang dikuasai amarah, sebetulnya Seta akan dapat dengan mudah mengatasi dua penjahat bercambang bauk lebat itu. Kemampuan kedua anak buah Ranajaya di bawah kemampuan miliknya.

Namun cerita menjadi berbeda karena sang prajurit tengah menggelegak darahnya. Hawa amarah menguasai dirinya, membuat setiap gerakannya tak lagi didasarkan pada pikiran jernih.

Itu sebabnya prajurit yang baru saja naik pangkat menjadi wira tamtama tersebut lambat laun keteteran. Ia hanya dapat mengimbangi kedua lawannya dalam empat-lima jurus awal. Memasuki jurus-jurus berikutnya, sang prajurit sudah kehilangan pedang.

Trraaaanggg!

Ketika Seta berusaha menangkis serangan salah satu penyerang, lelaki yang satu lagi berhasil mendaratkan pukulan ke tangannya. Kemudian diikuti dengan satu gerakan menggaet lepas pedang. Senjata itu pun mencelat mental entah kemana.

Paras Seta berubah. Ia menyadari dirinya semakin terdesak, tetapi ledakan amarah membuatnya terus bertahan dan melawan.

Hal itu tidak berlangsung lama. Karena dalam satu kesempatan kelebat parang besar lawan tak kuasa dihindari Seta. Tajamnya mata parang salah satu pengeroyok menyayat dada sang prajurit.

Craasss!

)|(

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   4 - Bara di Hantang

    Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.Buuukk!Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.Di tempatnya, Ranajaya menyeringa

    Last Updated : 2024-08-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   5 - Gua Selogiri

    Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,

    Last Updated : 2024-08-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   6 - Dikeroyok

    Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki

    Last Updated : 2024-08-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   7 - Pertunjukan Maut

    Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap

    Last Updated : 2024-08-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   8 - Amarah Seta

    MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss

    Last Updated : 2024-08-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   9 - Dibuang

    Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau

    Last Updated : 2024-08-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   10 - Teluk Lawa

    Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m

    Last Updated : 2024-08-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   11 - Petapa Tua

    Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok

    Last Updated : 2024-08-15

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status