Surajaya alias Begal Surajaya adalah gembong rampok paling ditakuti dari Alas Kampak di kawasan barat daya Jenggala. Gerombolannya kerap melakukan kejahatan di kampung-kampung dan juga di jalan-jalan dekat hutan di sekitaran kaki Gunung Kawi.
Berkali-kali Kerajaan Jenggala mengirim sepasukan kecil prajurit untuk menumpas gerombolan rampok itu, tetapi tak pernah berhasil. Pada pengiriman pasukan penumpas yang kesekian beberapa pekan lalu, Seta ikut di dalamnya.
Kali itu para prajurit Jenggala berhasil menggulung gerombolan rampok Alas Kampak. Nama Seta lantas mencuat dan dipuja-puji karena dirinyalah yang mengalahkan Surajaya.
Keberhasilan itu membuat sang prajurit mendapat anugerah kenaikan pangkat lebih cepat. Dari seorang prajurit rendahan, menjadi wira tamtama.
"Kau tampak terkejut, Seta," ujar lelaki bengis saudara Surajaya.
Seta kertakkan rahang. Sang prajurit sebetulnya sudah tak sabar ingin bertindak, melabrak ketiga lelaki tersebut. Namun ia tak boleh berlaku gegabah atau keselamatan simbok pemilik warung jadi taruhannya.
"Apapun yang kalian inginkan dariku, lepaskan dulu simbok ini. Aku rasa dia tak ada sangkut-pautnya dalam permasalahan antara kita," ujar Seta kemudian. Tentu saja ia tak mau si wanita pemilik warung ikut celaka karena urusan pribadinya.
Lelaki di hadapan Seta mendengus pendek.
"Huh, betapa beraninya kau memerintah kami, prajurit setan alas! Ada sangkut-pautnya atau tidak bukan kau yang menentukan, tapi aku!" bentaknya.
Usai berkata begitu lelaki berwajah bengis tersebut beri isyarat tangan pada dua lelaki di belakangnya.
Kedua lelaki yang memegangi simbok pemilik warung seketika tertawa-tawa begitu melihat isyarat tersebut. Lalu tanpa disangka-sangka, dalam satu gerakan sangat cepat lelaki yang memegang parang besar tarik tangannya ke belakang.
Sreeett! Craasss!
Mata tajam senjata tersebut tanpa ampun menggorok leher wanita pemilik warung! Tak ada jeritan. Hanya terdengar suara keluhan tertahan, kemudian disusul mengucurnya darah segar dari luka menganga di leher si wanita paruh baya.
Ketika dua lelaki yang menyanderanya melepaskan pegangan, tubuh simbok pemilik warung melosoh jatuh ke lantai tanah. Berkelojotan sebentar dengan sepasang mata mendelik, lalu diam tak bergerak. Darah berceceran di mana-mana.
Kesabaran Seta habis sudah. Tangan kanannya yang sedari tadi sudah menggenggam gagang pedang bergerak.
Sreeet! Senjata itu pun dicabut dari warangka, terhunus lurus di depan dada.
"Keparaaaatt!" pekik Seta dengan amarah memuncak.
Sembari menggeram keras tubuh sang wira tamtama melesat ke depan, menyerbu tiga lelaki jahanam yang sedang tertawa-tawa senang di dekat mayat simbok pemilik warung.
Pedang di tangan prajurit Panjalu tersebut disabetkan ke muka dengan sepenuh tenaga.
"Hiaaaatt!"
Wuuuutt! Wuuuutt! Wuuuutt!
Tiga lelaki berwajah ganas sambut sabetan pedang Seta sambil ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah sang wira tamtama Jenggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.
Sembari terus tertawa, dua lelaki yang masih bertangan kosong sigap mencabut parang besar dari dalam warangka yang tergantung di pinggang mereka.
Sreett! Sreett!
Lalu kejap berikutnya lelaki yang berdiri paling depan gerakkan senjata di tangannya dengan cepat. Parang besar berkiblat menangkis datangnya serangan.
Traaangg! Traaangg!
Suara berdentrangan keras terdengar manakala mata pedang Seta menghantam parang lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara siang yang panas.
Wajah Seta mengernyit. Tangannya yang memegang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.
Tapi sang prajurit Jenggala yang sudah dibakar amarah itu tidak peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar tiga sabetan sekaligus ke muka.
Wuuuutttt! Wuuuutttt! Wuuuutttt!
Lelaki yang diserang menyeringai. Parang besar kembali digerakkan menangkis sabetan pedang. Suara dentrang beradunya senjata sekali lagi memenuhi udara siang.
Tukar-menukar serangan di antara mereka berlangsung dengan sengit. Seisi warung makan dibuat porak poranda. Benda-benda berpentalan akibat terkena sambaran gerakan mereka, atau bahkan hanya hempasan anginnya.
Dalam dua jurus berselang, terlihat bahwasanya Seta memiliki kemampuan sedikit lebih unggul dari lawan. Sekali-dua prajurit Jenggala itu bahkan nyaris berhasil menyarangkan tusukan atau sabetan pedangnya ke tubuh lawan.
"Sebelum nyawa busukmu aku buat lepas dari badan, sebutkan siapa namamu!" seru Seta.
Belum lagi mulutnya menutup, tubuh wira tamtama Kerajaan Jenggala itu sudah melesat ke depan dengan sebelah kaki terjulur lurus. Seta lancarkan satu tendangan maut yang diarahkan ke dada lawan.
Wuuuutttt!
Suara angin menderu terdengar bersamaan dengan meluncurnya kaki Seta. Tentulah tendangan yang dilancarkan sang prajurit dialiri tenaga dalam tinggi. Sampai lawannya lengah dan kena hantaman tendangan itu, tulang dadanya dijamin jebol berantakan.
Yang diserang mendengus keras. Tentu saja lelaki yang ingin balas dendam itu tak mau mati konyol.
Dengan sigap lelaki bertampang ganas membuang tubuh ke samping untuk menghindari tendangan. Setelah bersalto dua kali di udara, kedua kakinya mendarat mantap di tanah.
"Prajurit besar mulut! Jangan harap kau dapat mengungguli aku," makinya seraya memandang tajam pada Seta.
"Tapi memang ada perlunya kau ingat namaku baik-baik," sambung lelaki itu. "Dengar, wahai prajurit, namaku Ranajaya. Aku datang untuk membalaskan kematian Surajaya!"
Usai berkata begitu, lelaki bercambang bauk lebat hentakkan sebelah tangannya ke depan. Mulutnya keluarkan satu geraman keras.
Bersamaan dengan itu selarik sinar kehitaman nan terang menyilaukan mata, keluar dari telapak tangan si lelaki. Melesat cepat ke arah Seta.
Wuuuuss!
Suara bergemuruh terdengar, seolah Gunung Kawi tengah meletus hebat. Lalu tiba-tiba saja hawa udara di dalam warung kecil berdinding bambu itu menjadi sangat panas. Matahari bagaikan hanya sejengkal di atas kepala!
Seta telan ludah menyaksikan datangnya pukulan jarak jauh lawan. Begitu menggetarkan hati. Benar dugaan sang prajurit, lelaki di hadapannya itu memiliki kemampuan yang tak boleh diremehkan.
Tak mau jadi santapan empuk sinar hitam mematikan milik lawan, Seta lempar tubuh tegapnya ke samping. Begitu menyentuh tanah, sang prajurit berguling-guling menghindar sejauh mungkin.
Blaaar!
)|(
Pukulan jarak jauh tersebut menghantam dinding warung. Terus melaju cepat melabrak warung-warung lain di sebelah.Suara ledakan keras terdengar. Diiringi kepulan asap bercampur debu dari hancurnya sekat-sekat anyaman bambu yang hancur lebur. Menjadi remah-remah.Suara ledakan keras itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitar tempat perkelahian. Membuat para pedagang dan orang-orang yang sedang makan-minum di warung-warung lain berhamburan keluar.Awalnya orang-orang itu diliputi rasa penasaran. Lalu berbondong-bondong datang. Mendekat untuk mencari tahu arah sumber suara.Namun setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi, seketika mereka berlarian. Lintang pukang menjauh sembari menjerit-jerit. Suasana berubah kacau mencekam.Seta menghela napas panjang. Sang prajurit menyadari keadaan sudah menjadi gawat. Mereka telah berkelahi di pinggiran kotaraja. Hanya sejarak lima ratus depa (sekitar satu kilometer) dari istana raja!"Kalian telah membuat kekacauan di kotaraja. Bersiaplah ke
Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.Buuukk!Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.Di tempatnya, Ranajaya menyeringa
Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,
Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki
Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap
MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m