Seorang gadis berambut hitam panjang berjalan perlahan menyusuri koridor Rumah sakit. Mata jernihnya menyusuri setiap detil bangunan kokoh bernuansa putih biru itu dengan seksama, sesekali ia menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. Senyum manis dengan bibir merah merona membuat siapa saja pasti akan tertular, bahkan dia sangat terkenal dengan sebutan sweet candy karena senyum manisnya.
Setiap harinya gadis bernama lengkap Elana Mahika, selalu datang ke Rumah sakit tepat pukul sepuluh pagi. Ia tidak pernah datang dengan tangan kosong, terkadang ia justru datang dengan berbagai macam barang di tangannya. Ia tidak berjalan sendiri, setiap harinya ia selalu ditemani seorang lelaki berjas hitam, berkacamata hitam, dengan raut wajah datar tanpa senyum sama sekali. Lelaki itu kebalikan dari Elana, ia tidak pernah tersenyum atau pun menyapa setiap kali ia berpapasan dengan orang lain.
Elana putri tunggal dari Erlangga Mahika, seorang Dokter bedah sekaligus pemilik Rumah sakit Mahika Medical Center. Sebagai pewaris tunggal dari Rumah sakit ternama, tidak membuat Elana besar kepala atau pun berbangga hati, ia justru lebih sering menghabiskan waktu di Rumah sakit bersama beberapa anak-anak kurang beruntung penderita penyakit ganas. Setiap harinya Elana selalu membawakan mereka berbagai jenis oleh-oleh yang ia beli terlebih dahulu sebelum ia datang.
"Abi, tolong bawakan ini ke sana, nanti aku nyusul." Elana menyerahkan dua kantong berisi permen lolipop beraneka ragam pada Abi, ajudan sekaligus orang yang dipercaya sang Ayah untuk mengikutinya kemanapun ia pergi.
Abi mengangguk, menerima dua kantong plastik berwarna merah muda dari Elana. Sementara itu Elana segera bergegas menuju tempat lain, tempat dimana kekasihnya Rony berada.
Rony salah satu Dokter umum yang bekerja di Rumah sakit ini, merupakan kekasih Elana atau lebih tepatnya calon suami Elana. Mereka sudah menjalin hubungan dua tahun lamanya dan dua bulan lalu mereka baru saja meresmikan hubungan pertunangan dan akan melangsungkan pernikahan awal tahun depan. Siapa yang tidak kenal sosok Rony, Dokter tampan dengan sejuta pesona. Siapapun pasti akan terpesona dengan ketampanan dan wibawa yang begitu kharismatik, termasuk Elana. Awalnya Elana dan Rony diperkenalkan oleh Erlangga, Ayah Elana. Erlangga melihat sosok Rony sebagai lelaki yang tepat untuk menjaga putri semata wayangnya, setelah ia pensiun. Bahkan Erlangga berencana menjadikan Rony sebagai pimpinan untuk menggantikannya setelah ia benar-benar pensiun.
Elana hendak membuka pintu ruang kerja Rony, namun baru saja ia meraih gagang pintu, pintu tersebut sudah terlebih dahulu terbuka.
"Elana?" Seorang perempuan keluar dari ruang kerja Rony dengan wajah terkejut.
"Giselle?" Elana pun tidak kalah terkejutnya, terlebih di jam kerja seperti ini, Giselle yang bekerja sebagai salah satu staff administrasi Rumah sakit justru keluar dari ruang kerja Dokter umum.
"Aku,,, aku baru saja konsultasi dengan Dokter Rony. Perutku sakit." Giselle memegang perut dengan kedua tangannya dan meringis kesakitan.
"Oh,,, begitu. Apa sakitnya parah?"
"Tidak. Ah,, iya tapi sekarang aku harus kembali bekerja dan minum obat."
"Semoga lekas sembuh, Giselle."
Giselle mengangguk, ia berjalan meninggalkan Elana yang masih memperhatikannya hingga tubuh semampai bak model itu menghilang. Sebagai seorang perempuan tentu saja hati kecil Elana bertanya-tanya, mengapa Giselle berada di ruang kerja Rony sedangkan ruang kerja dan ruang praktek berbeda tempat. Namun Elana tidak ingin berburuk sangka, bagaimanapun juga ia percaya pada kekasihnya itu jika Rony tidak akan menghianatinya.
"Sayang,,, ngapain disitu? Udah lama sampai?" Rony menghampiri Elana dan meraih sikut Elana menuntunnya masuk kedalam.
"Baru aja sampai. Barengan pas Giselle keluar." Jawab Elana.
Langkah Rony terhenti dan menoleh, "Giselle?"
"Iya, tadi dia bilang habis konsultasi karena perutnya sakit."
"Ah,,, iya. Dia memang sering mengalami sakit perut mendadak, dan kebetulan tadi mampir ke ruang kerjaku."
Elana hanya ber oh ria, meski hati kecilnya ingin sekali bertanya lebih jauh. Namun seperti biasa, Elana lebih memilih diam, tidak ingin mempermasalahkan hal kecil seperti itu.
"Mau minum apa, biar aku ambilkan." Tawar Rony, sambil menghampiri kulkas kecil yang berada di pojok ruangan.
"Aku mau minuman isotonik, dua ya."
"Dua? Buat siapa?"
"Buat Abi." Elana tahu Abi tidak akan pernah pergi kemanapun tanpa seizin darinya, bahkan jika ia haus atau kelaparan sekalipun. Terkecuali jika Abi benar-benar dalam keadaan terdesak, seperti urusannya dengan toilet. Ia akan pergi tanpa sepengetahuan Elana jika majikannya tidak sedang bersamanya.
"Kamu perhatian banget." Rony mengambil dua botol minuman isotonik pesanan Elana dan segera menghampiri Elana yang tengah duduk di sofa hitam dekat meja kerjanya.
"Kasihan dia pasti kehausan." Elana mengambil satu botol minuman dan memasukkannya kedalam tas selempang berwarna hitam yang ia bawa.
"Memangnya dia gak bisa beli sendiri. Aku rasa gaji menemanimu sudah lebih dari cukup hanya untuk sekedar membeli minuman kaleng."
Elana tersenyum sambil meneguk minuman miliknya. Entah mengapa Elana selalu senang setiap kali Rony menunjukan ketidak suka nya pada Abi, bahkan itu menjadikan Elana semakin yakin jika Rony cemburu dan tidak ingin ia berdekatan dengan lelaki lain.
"Dia tidak pernah pergi tanpa sepengetahuan atau izin dariku." Jelas Elana sambil mengusap bibir dengan punggung tangannya.
"Tapi dia bukan lelaki lumpuh, dia hanya bisu." Elak Rony, yang semakin membuat Elana terkikik geli.
"Iya memang. Kamu sepertinya tidak suka pada Abi, kenapa?"
"Bukannya aku tidak suka padanya, hanya saja aku tidak suka jika kamu lebih memperhatikan lelaki lain dibanding aku." Rony mengelus pipi Elana perlahan, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Elana.
"Dia hanya ajudanku, jangan cemburu padanya."
"Hanya ajudan, tidak lebih?"
"Tidak lebih." Tegas Elana.
Roni mencium kening Elana dengan lembut, membuat Elana semakin yakin jika Rony memang lelaki tepat untuk dirinya.
"Aku harus kembali bekerja, nanti kita ketemu setelah aku selesai. Oke?" Elana mengangguk, ia pun harus segera bergegas menemui beberapa anak yang pasti sudah menunggunya datang.
Setelah Elana keluar dari ruang kerjanya, Rony segera mengambil ponsel dari saku celananya, ponsel yang sejak tadi terus bergetar. Beberapa pesan masuk, salah satunya dari Giselle. Rony segera membalas dan menghela lega, kali ini ia benar-benar beruntung. Hampir saja Elana memergokinya.
Sentara itu Elana segera bergegas menuju salah ruang tempat berkumpulnya anak-anak pengidap penyakit mematikan. Setiap satu minggu sekali selalu diselenggarakan acara kumpul bersama di ruangan yang diberi nama ruang bermain.
Ruangan dengan luas enam meter persegi, awalnya dipakai sebagai gudang tempat penyimpanan barang itu disulap Elana dan beberapa relawan menjadi ruangan layak huni dengan berbagai gambar dan ornamen menarik. Membuat anak-anak betah berlama-lama disana dan mereka tidak akan merasa sedang berada di Rumah sakit.
Kehadiran Elana tentu saja disambut antusias anak-anak yang sudah menunggu kedatangannya, sorak gembira begitu riuh menyambut kedatangannya. Elana merasa sangat bahagia setiap kali ia melihat senyum di wajah anak-anak yang sebagian dari mereka sudah berubah warna kulit. Banyak dari mereka yang sudah kehilangan rambut, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak bisa berjalan karena penyakit ganas terus menggerogoti tubuh kecilnya.
"Siapa yang mau permen?" Elana menghampiri Abi yang sudah berdiri di belakang anak-anak, menenteng beberapa oleh-oleh yang dibeli Elana.
"Aku,,," anak-anak saling bersahutan dan berhamburan menghampiri Elana. Mereka tidak sabar untuk segera mendapatkan permen dan beberapa mainan dari Elana, sehingga terjadilah aksi saling dorong dan rebutan membuat Elana semakin terpojok.
"Sabar,,, antri ya adik-adik. Kalau berebut kak El, gak bisa bagi." Elana mencoba menginstruksikan anak-anak agar mereka mau berbaris menunggu giliran, namun mereka tetaplah makhluk kecil dengan rasa penasaran tinggi. Mereka tidak mau mendengar instruksi Elana, dan tetap berebut ingin segera mendapat permen.
Posisi Elana semakin terpojok, membuat ia dan Abi semakin tersudut. Elana hampir saja terjatuh, jika Abi tidak segera meraih tangannya dan menopang tubuhnya agar tidak terseret anak-anak. Kericuhan terjadi ketika salah satu anak berhasil merebut satu kantong plastik berisi permen dari tangan Elana. Sebagian anak-anak mengejar salah satu dari mereka yang berhasil merebut kantong permen, sebagian lagi masih berupaya mendapatkan permen dari Elana.
Kericuhan seperti ini bukan kali pertama untuk Elana, bahkan ia sudah terbiasa dengan segala tingkah laku anak-anak yang terkadang rusuh dan sering kali berakhir kacau. Namun itu tidak membuat Elana marah sedikitpun, justru ia merasa senang karena sedikit pemberiannya bisa membuat anak-anak bisa tertawa meski hanya berebut satu permen dengan harga tidak seberapa.
"Aku hampir lupa, ini buat kamu." Elana baru mengingat minuman yang ia bawa untuk Abi. Hampir saja ia melupakannya jika ia tidak memperhatikan wajah Abi yang sudah berkeringat, mungkin ia tidak menyadarinya.
"Udah gak dingin. Tapi enak." Abi mengangguk dan menerima minuman itu. Jujur saja ia sebenarnya sudah merasa kehausan sejak tadi, namun ia tidak berani meninggalkan Elana seorang diri.
"Mereka lucu bukan, aku suka sekali melihat mereka tertawa. Bagaimana menurutmu?"
Abi kembali mengangguk.
"Tidak ada yang sempurna didunia ini. Mereka dengan kekurangannya tapi sebagian dari mereka masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. Lalu aku,,," Elana menjeda kalimatnya, tatkala ia teringat sosok malaikat tak bersayap yang tidak pernah ia lihat sejak ia membuka mata di dunia ini.
"Aku,,, aku dengan segala kesempurnaan yang aku miliki tapi aku tidak bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu." Suaranya tercekat, rasa sakit itu kembali menyeruak ke permukaan hatinya.
Abi menggerakan tangannya, sebagai satu-satunya alat komunikasi yang ia pergunakan untuk berbicara dengan orang lain.
Elana tersenyum, satu setengah tahun mengenal Abi membuatnya perlahan mengerti apa yang diucapkan lelaki itu melewati bahasa isyarat. Bahkan Elana sengaja membeli beberapa buku untuknya mempelajari berbagai macam bahasa isyarat agar dirinya dan Abi bisa berkomunikasi dengan baik.
"Terimakasih karena selalu mendengarkan ceritaku." Elana menepuk pelan pundak Abi.
"Kita pulang, aku lapar." Lanjutnya. Abi mengangguk, ia mengikuti langkah Elana dari belakang. Abi selalu memilih beberapa langkah berada di belakang Elana, meski terkadang Elana selalu memintanya berjalan beriringan.
Abi memperhatikan sosok Elana dari belakang, sesekali ia tersenyum simpul tanpa sepengetahuan Elana. Dan diam-diam mengagumi Elana, namun tidak pernah ia menunjukkannya sedikitpun.
Sebuah kamar berukuran empat meter persegi, menjadi tempat tinggal Abi selama ia bekerja menjadi salah satu ajudan di keluarga Mahika. Kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Elana, hanya berjarak beberapa meter namun, terdapat benteng besar pembatas melintang di tengah-tengah. Kamar Elana terletak di lantai dua, sedangkan kamar yang ditempati Abi berada di lantai bawah, persis di seberang bangunan utama rumah mewah Mahika, namun ada pintu kecil yang menghubungkan bangunan utama keluarga Mahika dan kamar yang di tempati Abi.Abi memasuki kamar yang hanya berukuran sebesar kamar mandi Elana, namun baginya itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat pelepas lelah setelah satu hari penuh ia harus selalu menemani Elana kemanapun gadis itu pergi. Satu bulan sekali Abi mendapat izin cuti selama dua hari, dan kebetulan esok adalah hari libur yang sudah ia nantikan.Merebahkan tubuh sejenak sambil memejamkan mata, sebelum ia harus se
Sebuah kamar berukuran empat meter persegi, menjadi tempat tinggal Abi selama ia bekerja menjadi salah satu ajudan di keluarga Mahika. Kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Elana, hanya berjarak beberapa meter namun, terdapat benteng besar pembatas melintang di tengah-tengah. Kamar Elana terletak di lantai dua, sedangkan kamar yang ditempati Abi berada di lantai bawah, persis di seberang bangunan utama rumah mewah Mahika, namun ada pintu kecil yang menghubungkan bangunan utama keluarga Mahika dan kamar yang di tempati Abi.Abi memasuki kamar yang hanya berukuran sebesar kamar mandi Elana, namun baginya itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat pelepas lelah setelah satu hari penuh ia harus selalu menemani Elana kemanapun gadis itu pergi. Satu bulan sekali Abi mendapat izin cuti selama dua hari, dan kebetulan esok adalah hari libur yang sudah ia nantikan.Merebahkan tubuh sejenak sambil memejamkan mata, sebelum ia harus segera pul
Elana menatap pantulan wajahnya di cermin, hari ini ia dan Rony akan pergi bersama menghadiri sebuah acara pernikahan salah satu Dokter yang bekerja di MMC. Elana ingin berpenampilan menarik, cantik dan berbeda dari biasanya. Ia memilih gaun terbaik yang dimilikinya, untuk urusan penampilan Elana selalu menyesuaikan dengan trend terbaru. Tentu saja karena ia tidak ingin dianggap jadul atau terlalu kolot.Dua asisten rumah tangga ikut membantunya, Ani dan Ana. Dua gadis kembar anak Bi Ijah."Kalian kenapa dari tadi terus tersenyum? Ada yang salah dengan penampilanku?" Tanya Elana, karena kedua gadis itu sesekali tersenyum membuat Elana penasaran."Maaf Non, kita tidak bermaksud menertawakan Non Elana." Jawab Ani."Terus kenapa kalian cekikian dari tadi?"Kedua gadis itu saling bertatapan, bahkan mereka saling menyikut satu sama lain."Itu,,, Ani baru saj
Katakanlah Abi memang gila, atau ia terlalu menganggap pekerjaannya penting, atau mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.Tanpa sepengetahuan Elana, Abi mengikutinya dari belakang menggunakan sepeda motor. Bahkan lelaki itu dengan setia menunggu di luar Hotel, dengan jarak cukup jauh. Abi hafal dengan baik mobil yang dikendarai Rony, meski berjarak cukup jauh, ia bisa mengenalinya.Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Elana muncul di layar. Segera mungkin ia menekan tombol hijau, dan terdengar suara merdu Elana mengalun cepat, memintanya agar segera datang. Abi kelimpungan, bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus datang secepat mungkin sentara ia tidak mengendarai mobil? Atau ia harus putar balik untuk menukar kendaraanya terlebih dahulu, tapi itu akan memakan waktu lama. Jalanan Ibu kota tidak pernah sepi, terlebih di malam minggu seperti ini.Abi kebingungan, namun begitu ia melihat sosok Elana keluar d
Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat.Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi.Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu.Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera mas
"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya."Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya."Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?""Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,""Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama."Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga."Baik,"Erlangga tidak pua
"Kita ke Rumah sakit dulu sebentar," ajak Elana begitu mereka pulang dari kediaman Delano.Buah-buahan yang diberikan Ibu Delano sangat banyak, Elana tidak mungkin bisa menghabiskannya seorang diri. Elana menyisakan beberapa untuk dibawanya pulang, untuk dibagi dengan beberapa pekerja, dan sisanya ia akan bagi untuk anak-anak di Rumah sakit.Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menuju Rumah sakit, tidak butuh waktu sampai satu jam mereka sudah sampai.Dua kantong plastik besar di bawa Abi, sedangkan Elana membawa satu kantong yang berukuran terlalu besar. Elana sengaja membawa satu kantong tersebut, untuk diberikan pada Rony. Meskipun Elana masih kesal karena Rony tidak menghubunginya lagi setelah malam itu, namun Elana tetap ingin menemui Rony dan memberikan buah segar padanya."Tunggu sebentar ya, aku mau ke ruang kerja Rony. Nanti kita bertemu anak-anak bersama."
Alunan piano mengalun lembut, menjadi pengiring makan malam romantis. Pencahayaan remang-remang, dan hanya beberapa pasangan saja yang berada di tempat itu, sungguh suasana makan malam romantis yang selalu diimpikan pasangan muda. Tapi tidak dengan dua orang yang tengah menikmati hidangan makan malam mereka. Keduanya tampak asik menikmati hidangan masing-masing, tanpa bicara sedikitpun. Tidak ada obrolan ringan, ataupun canda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara."El,," panggil Rony.Semenjak mereka tiba di tempat tersebut, Elana tidak bersuara sama sekali. Membuat Rony akhirnya mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini aneh," lanjutnya.Elana mengangkat kepalanya, sejak tadi ia hanya fokus pada sepotong daging di hadapannya."Aneh? Aneh seperti apa maksud kamu." Elana balik bertanya."Biasanya kamu banyak bicar