Sebuah kamar berukuran empat meter persegi, menjadi tempat tinggal Abi selama ia bekerja menjadi salah satu ajudan di keluarga Mahika. Kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Elana, hanya berjarak beberapa meter namun, terdapat benteng besar pembatas melintang di tengah-tengah. Kamar Elana terletak di lantai dua, sedangkan kamar yang ditempati Abi berada di lantai bawah, persis di seberang bangunan utama rumah mewah Mahika, namun ada pintu kecil yang menghubungkan bangunan utama keluarga Mahika dan kamar yang di tempati Abi.
Abi memasuki kamar yang hanya berukuran sebesar kamar mandi Elana, namun baginya itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat pelepas lelah setelah satu hari penuh ia harus selalu menemani Elana kemanapun gadis itu pergi. Satu bulan sekali Abi mendapat izin cuti selama dua hari, dan kebetulan esok adalah hari libur yang sudah ia nantikan.
Merebahkan tubuh sejenak sambil memejamkan mata, sebelum ia harus segera pulang untuk menemui keluarganya. Samar-samar terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar, membuat Abi terbangun dan segera menghampiri pintu. Ia membuka tirai jendela terlebih dahulu sebelum ia membuka pintu yang selalu ia kunci. Bekerja menjadi seorang ajudan memang harus selalu siap siaga setiap waktu, meskipun di jam istirahat seperti ini. Pekerjaan seperti ini memang tidak menentu, terkadang ia bisa santai satu hari berada di rumah, atau sebaliknya ia justru harus bekerja diluar rumah sesuai keinginan sang majikan.
Abi membuka tirai jendela, melihat siapa yang datang di waktu seperti ini. Abi terheran begitu melihat seorang wanita memakai piyama berwarna merah muda dengan motif hello kitty, lengkap dengan bandana dan sandal senada, tengah berdiri di depan pintu kamarnya.
Abi segera membuka pintu, menghampiri Elana.
"Ganggu ya?"
Abi menggeleng, ia segera menutup kembali kamarnya. Membuat Elana mendesah kecewa, meskipun ia sering menghampiri ajudannya itu hingga ke kamar pribadinya, namun Elana tidak pernah sekalipun melihat isi kamar Abi. Lelaki itu seolah tidak mengizinkan siapapun melihat isi kamarnya, dan selalu sigap menutup pintu dengan cepat.
"Besok kamu libur?" Elana duduk di sebuah bangku di depan kamar Abi, di ikuti Abi yang duduk di sebelahnya setelah ia menggeser lebih jauh kursi tersebut dari dekat Elana.
"Berapa lama libur? Gak lama kan?"
Abi menggerakan tangan, ia mulai berbicara.
"Dua hari"
Elana mengangguk, "Janji ya, cuman dua hari? Ada sedikit oleh-oleh untuk keluargamu. Semoga mereka suka," Elana menyerahkan satu paperbag berisi berbagai makanan, dari mulai permen hingga biskuit.
"Aku gak tau kamu punya adik atau kakak, apakah mereka laki-laki atau perempuan. Tapi,, pokoknya berikan ini untuk keluargamu ya, atau kalau kamu gak mau berikan saja pada tetangga atau orang yang kamu temui di jalan." Elana menyerahkan paperbag berwarna biru muda itu ke hadapan Abi.
"Terimakasih banyak," Abi menggerakan kedua tangannya, berterimakasih dan menerima pemberian Elana.
"Kalau begitu aku harus kembali ke kamarku, selamat berlibur, Bi." Elana beranjak dari kursi dan segera meninggalkan Abi. Namun baru beberapa langkah ia terhenti ketika tepukan kecil mendarat hangat di pundaknya.
Elana berbalik, mendapati Abi tengah berdiri tak jauh darinya.
"Hubungi aku jika kamu butuh sesuatu, maka aku akan segera kembali."
Elana tersenyum dan mengangguk.
"Selamat malam Abi," ucapan terakhirnya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Abi.
Sesampainya di kamar, Elana tidak langsung tertidur. Ia masih memperhatikan kamar Abi dari balik jendela kamarnya. Hampir menjelang tengah malam, Abi baru keluar dari kamarnya. Lelaki jangkung itu sudah mengganti pakaiannya, memakai jaket bomber hitam, celana jeans hitam, tidak lupa kacamata hitam yang selalu bertengger manis di hidung mancungnya. Sekilas penampilan Abi lebih mirip lelaki normal pada umumnya, sangat berbeda ketika ia mengenakan pakaian kerja, meski apapun yang Abi kenakan sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya. Iya,,,Bi memang tampan, Elana mengakui itu.
Samar-samar terdengar suara motor milik Abi mulai menggema, membuat petugas keamanan langsung membuka pintu gerbang begitu motor yang ditunggangi Abi hendak keluar. Suara motor semakin lama semakin menjauh, bahkan sosok Abi hilang ditelan gelapnya malam membuat Elana perlahan menutup tirai jendela kamar.
"Dia pergi,,," gumam Elana pelan. Meski bukan pertama kalinya Abi pergi, namun setiap kali lelaki itu berada jauh darinya, Elana merasa ada sesuatu yang aneh. Seolah ada yang kurang jika Abi tidak ada di sekitarnya. Elana menyadari rasa kehilangan itu, namun sejauh ini ia hanya menganggap itu hal biasa karena setiap harinya ia selalu bergantung pada Abi. Bukan perasaan kehilangan yang dirasakannya untuk seorang lelaki.
Esok paginya, seperti biasa Elana dan sang Ayah sarapan bersama. Sarapan bersama merupakan agenda wajib yang diharuskan oleh Erlangga sebelum mereka sama-sama melakukan aktivitas masing-masing.
"Hari ini ada kegiatan apa, sayang?" Tanya Erlangga.
"Tidak ada. Paling hanya dirumah saja."
"Tumben, biasanya pergi."
"Abi cuti bulanan." Jawab Elana sambil mengunyah roti isi selai stroberi, kesukaannya.
"Nanti Ayah akan menyuruh Roni mengajakmu pergi, atau jalan-jalan."
"Tidak perlu, Ayah. Rony pasti sibuk. Aku bisa dirumah, lagipula Abi cuti hanya dua hari. Jangan merepotkan Rony."
"Baiklah kalau begitu, Ayah akan usahakan pulang secepatnya." Elana mengangguk, meski itu hal mustahil yang bisa dilakukan Ayahnya.
"Ayah berangkat dulu. Kamu bisa minta ditemani ajudan lain jika merasa bosan." Elana kembali mengangguk. Mulutnya terasa penuh hanya untuk sekedar menjawab ucapan sang Ayah.
"Ayah pasti pulang cepat." Erlangga memastikan ucapannya, sebelum ia berangkat dan mencium kening putrinya.
Elana memperhatikan punggung Erlangga, hingga lelaki paruh baya itu menghilang di balik pintu. Setelah Ayahnya pergi, Elana memuntahkan roti yang masih memenuhi mulutnya ke dalam tong sampah. Rasa laparnya hilang seketika.
Berada di dalam rumah besar dan mewah seorang diri membuat Elana sangat merasa kesepian. Tidak ada orang lain selain dirinya, Erlangga dan beberapa pekerja. Sepi sudah menjadi teman baik Elana sejak ia kecil. Erlangga sibuk dengan pekerjaannya begitu juga dengan para asisten yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada yang bisa Elana ajak untuk bicara atau bermain
Satu-satunya orang yang selalu mendengarkan setiap curahan isi hatinya hanya Abi, lelaki bisu yang baru bekerja satu tahun lebih di kediamannya.
Elana merasa beruntung memiliki ajudan seperti Abi, meski Abi tidak pernah menjawab panjang lebar setiap curahan isi hatinya, namun justru kekurangan Abi menjadi kelebihan tersendiri untuk Elea. Setidaknya apa yang ia ceritakan tidak akan Abi ceritakan lagi pada orang lain.
Mengingat sosok Abi membuatnya ingin tau bagaimana keadaan lelaki itu. Elana segera beranjak menuju kamarnya, ia mengambil ponsel dan mengetik sebuah pesan lalu dikirim nya segera.
Tidak berapa lama pesannya terbalas, "Wahh gercep banget." Elana tersenyum membalas setiap pesan. Hingga ide jahil terlintas begitu saja di pikirannya. Tidak tanggung-tanggung, Elana langsung mengirim voice note, agar pesannya langsung di dengar.
"Abi, aku butuh bantuanmu sekarang,"
Pesan terkirim, dan tidak lama pesan balasan datang.
"Aku akan kembali nanti sore."
Elana tertawa sambil berguling-guling di kasur, menyembunyikan teriakannya di balik bantal yang menutupi wajahnya.
Elana menatap pantulan wajahnya di cermin, hari ini ia dan Rony akan pergi bersama menghadiri sebuah acara pernikahan salah satu Dokter yang bekerja di MMC. Elana ingin berpenampilan menarik, cantik dan berbeda dari biasanya. Ia memilih gaun terbaik yang dimilikinya, untuk urusan penampilan Elana selalu menyesuaikan dengan trend terbaru. Tentu saja karena ia tidak ingin dianggap jadul atau terlalu kolot.Dua asisten rumah tangga ikut membantunya, Ani dan Ana. Dua gadis kembar anak Bi Ijah."Kalian kenapa dari tadi terus tersenyum? Ada yang salah dengan penampilanku?" Tanya Elana, karena kedua gadis itu sesekali tersenyum membuat Elana penasaran."Maaf Non, kita tidak bermaksud menertawakan Non Elana." Jawab Ani."Terus kenapa kalian cekikian dari tadi?"Kedua gadis itu saling bertatapan, bahkan mereka saling menyikut satu sama lain."Itu,,, Ani baru saj
Katakanlah Abi memang gila, atau ia terlalu menganggap pekerjaannya penting, atau mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.Tanpa sepengetahuan Elana, Abi mengikutinya dari belakang menggunakan sepeda motor. Bahkan lelaki itu dengan setia menunggu di luar Hotel, dengan jarak cukup jauh. Abi hafal dengan baik mobil yang dikendarai Rony, meski berjarak cukup jauh, ia bisa mengenalinya.Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Elana muncul di layar. Segera mungkin ia menekan tombol hijau, dan terdengar suara merdu Elana mengalun cepat, memintanya agar segera datang. Abi kelimpungan, bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus datang secepat mungkin sentara ia tidak mengendarai mobil? Atau ia harus putar balik untuk menukar kendaraanya terlebih dahulu, tapi itu akan memakan waktu lama. Jalanan Ibu kota tidak pernah sepi, terlebih di malam minggu seperti ini.Abi kebingungan, namun begitu ia melihat sosok Elana keluar d
Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat.Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi.Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu.Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera mas
"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya."Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya."Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?""Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,""Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama."Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga."Baik,"Erlangga tidak pua
"Kita ke Rumah sakit dulu sebentar," ajak Elana begitu mereka pulang dari kediaman Delano.Buah-buahan yang diberikan Ibu Delano sangat banyak, Elana tidak mungkin bisa menghabiskannya seorang diri. Elana menyisakan beberapa untuk dibawanya pulang, untuk dibagi dengan beberapa pekerja, dan sisanya ia akan bagi untuk anak-anak di Rumah sakit.Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menuju Rumah sakit, tidak butuh waktu sampai satu jam mereka sudah sampai.Dua kantong plastik besar di bawa Abi, sedangkan Elana membawa satu kantong yang berukuran terlalu besar. Elana sengaja membawa satu kantong tersebut, untuk diberikan pada Rony. Meskipun Elana masih kesal karena Rony tidak menghubunginya lagi setelah malam itu, namun Elana tetap ingin menemui Rony dan memberikan buah segar padanya."Tunggu sebentar ya, aku mau ke ruang kerja Rony. Nanti kita bertemu anak-anak bersama."
Alunan piano mengalun lembut, menjadi pengiring makan malam romantis. Pencahayaan remang-remang, dan hanya beberapa pasangan saja yang berada di tempat itu, sungguh suasana makan malam romantis yang selalu diimpikan pasangan muda. Tapi tidak dengan dua orang yang tengah menikmati hidangan makan malam mereka. Keduanya tampak asik menikmati hidangan masing-masing, tanpa bicara sedikitpun. Tidak ada obrolan ringan, ataupun canda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara."El,," panggil Rony.Semenjak mereka tiba di tempat tersebut, Elana tidak bersuara sama sekali. Membuat Rony akhirnya mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini aneh," lanjutnya.Elana mengangkat kepalanya, sejak tadi ia hanya fokus pada sepotong daging di hadapannya."Aneh? Aneh seperti apa maksud kamu." Elana balik bertanya."Biasanya kamu banyak bicar
Elana merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, perlahan senyum di bibirnya mengembang begitu saja. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja kedua pipinya terasa panas.Elana bangun dari tempat tidur, berjalan perlahan menghampiri jendela kamar. Dari celah kecil ia bisa melihat sosok Abi tengah duduk di bangku depan kamarnya, membuat Elana kembali tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti orang gila, hanya saja kini hatinya terasa penuh dan berbunga. Bahkan ia melupakan sejenak masalahnya dengan Rony. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dering ponsel miliknya, membuat ia kembali tersadar.Elana sempat ragu membuka pesan yang tertera di kotak masuk, ia tidak ingin melihat pesan yang dikirim Rony. Namun mengabaikan lelaki itu juga tidak akan menyelesaikan masalah."Sudah sampai rumah? Aku minta maaf karena sikapku tadi."Elana tersenyum hambar membacany
Abi memalingkan wajahnya begitu ia mengenali mobil berwarna putih memasuki kawasan perumahan Elana. Ia tersenyum kecut begitu melihat Rony turun terlebih dahulu, dan membuka pintu dimana Elana berada. Tidak hanya sampai disitu saja, Rony pun mencium kening Elana sekilas, membuat Abi memilih pergi. Ia tidak ingin melihat kelanjutan dari dua sejoli itu.Abi memilih duduk di depan kamarnya. Semenjak ia tau Elana pergi tanpa mengikutsertakan dirinya, Abi pun langsung tau dengan siapa wanita itu akan pergi. Namun entah mengapa setelah melihat kedekatan mereka secara langsung, seperti beberapa menit lalu, Abi merasa sesuatu perasaan aneh menggelitik hatinya. Perasaan tidak suka, yang sulit sekali dijelaskan. Seharusnya ia menyadari posisinya, bahkan ini bukan kali pertama Elana pergi berdua bersama Rony, tapi begitu melihat mereka berdua secara langsung, rasanya terasa berbeda dan sedikit membuatnya kesal.Benar apa yang diucapkan Mila, wanita