Elana menatap pantulan wajahnya di cermin, hari ini ia dan Rony akan pergi bersama menghadiri sebuah acara pernikahan salah satu Dokter yang bekerja di MMC. Elana ingin berpenampilan menarik, cantik dan berbeda dari biasanya. Ia memilih gaun terbaik yang dimilikinya, untuk urusan penampilan Elana selalu menyesuaikan dengan trend terbaru. Tentu saja karena ia tidak ingin dianggap jadul atau terlalu kolot.
Dua asisten rumah tangga ikut membantunya, Ani dan Ana. Dua gadis kembar anak Bi Ijah.
"Kalian kenapa dari tadi terus tersenyum? Ada yang salah dengan penampilanku?" Tanya Elana, karena kedua gadis itu sesekali tersenyum membuat Elana penasaran.
"Maaf Non, kita tidak bermaksud menertawakan Non Elana." Jawab Ani.
"Terus kenapa kalian cekikian dari tadi?"
Kedua gadis itu saling bertatapan, bahkan mereka saling menyikut satu sama lain.
"Itu,,, Ani baru saja di kasih ini,," Ana menunjukan sebuah ikat rambut hitam dengan hiasan pita berwarna merah muda. Sebuah ikat rambut biasa.
"Oh,,,, dari pacarmu?"
"Calon pacar alias gebetan." Ani mencubit pinggang Ana, membuat Elana tertawa melihat kelakuan dua gadis itu. Sejujurnya Elana iri dengan kedekatan kakak beradik itu, karena ia tidak pernah tau bagaimana rasanya memiliki seorang saudara atau orang yang bisa diajak bercerita.
"Calon gebetan? Siapa?" Elana sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan lelaki yang sedang dekat dengan Ana, namun rasanya cukup menyenangkan melihat gadis berambut ikal itu tersipu malu dengan kedua pipinya bersemu merah.
"Bukan siapa-siapa, Non." Jawab Ani malu-malu.
Meski mereka berdua kembar identik, bahkan Elana dan bi Ijah sering tertukar memanggil nama, namun perbedaan mencolok yang bisa dilihat dari mereka berdua adalah sifat malu-malu Ani, dan sifat polos Ana.
"Apa lelaki itu bekerja disini juga?"
"Bener, Non." Sahut Ana.
Elana mengerutkan keningnya, mencoba mengingat siapa saja pegawai di rumahnya yang masih berstatus lajang. Hanya ada dua, yaitu Abi dan Anton. Tapi, bukannya Anton akan menikah bulan depan? Lalu yang dimaksud gebetan Ani, yaitu Abi?
"Abi?" Elana memastikan.
Rona merah di wajah Ani menjawab, sementara Ana hanya tertawa geli.
"Benar Abi?" Sekali lagi Elana memastikan.
"Iya, Non. Kemarin malam mas Abi memberikan ini, setelah di pulang cuti."
"Oh,, kalian cocok, semoga hubungan kalian langgeng."
"Terimakasih, Non." Balas Ani pelan.
Tepat pukul delapan malam, Rony datang menjemput Elana. Seperti bisa lelaki itu selalu berpenampilan modis dan menarik.
"Kamu cantik banget malam ini," puji Rony.
"Terimakasih," jawab Elana singkat.
Karena acara malam ini sangat formal dan hanya dihadiri tamu undangan tertentu saja, Abi tidak diperkenankan ikut, terlebih karena Elana pergi dengan calon suaminya sendiri.
"Kamu sakit?" Sekilas Rony melirik Elana, membagi fokus dengan jalanan ibu kota yang masih padat, terlebih karena ini malam minggu.
"Nggak. Kenapa? Apa riasanku terlihat pucat?" Elana memastikan riasan di wajahnya, bercermin di layar ponsel.
"Dari tadi kamu diem aja, jadi aku kira sakit."
Elana menurunkan layar ponsel dari depan wajahnya, ia menghela lemah dan menyandarkan punggungnya di kursi mobil.
"Aku baik-baik aja." Jawabnya pelan.
Elana sendiri merasa aneh dengan perubahan mood yang dialaminya. Awalnya dia begitu antusias karena ia akan pergi berdua bersama Rony, namun begitu mendengar cerita dua gadis kembar itu, tiba-tiba saja moodnya hilang entah kemana.
Perhelatan akbar sebuah pernikahan di kalangan orang kaya memang sudah menjadi hal lumrah. Bahkan tidak jarang mereka akan menunjukan seberapa hebatnya diri mereka dengan memamerkan sebuah pesta mewah, dengan biaya fantastis. Begitu juga pesta kali ini, mulai dekorasi, makanan hingga hotel mewah yang menjadi tempat digelar acara, sangat menunjukan jika tuan rumah bukan orang sembarangan.
Ballroom mewah itu disulap sedemikian rupa menjadi semakin cantik dengan banyak hiasan dan bunga-bunga segar.
"Nanti aku ingin pernikahan kita jauh lebih mewah dari ini," bisik Rony, tepat di telinga Elana. Elana hanya membalasnya dengan senyuman singkat.
Sejujurnya ia tidak menyukai pesta terlalu mewah, menurutnya pesta yang dihadirinya saat ini terlalu berlebihan, tapi Rony justru menginginkan pesta yang jauh lebih mewah dari ini. Membayangkannya saja sudah membuat Elana pusing dan mual.
Mereka berjalan bergandengan menyusuri karpet merah bak artis Hollywood. Keluarga mempelai pengantin benar-benar menyajikan acara dengan begitu spektakuler dan luar biasa.
Beberapa tamu langsung mengenali Elana dan Rony, bahkan mereka langsung menghampiri dan menyalami Elana bergantian. Nama Mahika yang tersemat di belakang namanya, membuat Elana begitu dikenali banyak orang.
"Kapan kalian nyusul? Jangan terlalu lama pacaran, nanti keburu bosen." Pertanyaan seperti itu hampir ratusan kali didengar dari setiap orang yang ditemuinya. Hanya senyuman dan anggukan yang mampu Elea lakukan, selebihnya Rony yang akan menjawab dengan jawaban yang sama, "Secepatnya, doakan saja."
"Aku lelah, kalau kamu masih mau berkeliling aku disini saja." Elea benar-benar merasa lelah, terlebih karena sepatu yang dikenakannya begitu menyiksa membuatnya semakin tersiksa.
"Aku mau kesana sebentar, kamu tunggu disini saja."
Elana mengangguk, sementara Rony meninggalkannya untuk bergabung dengan beberapa orang yang tidak Elana kenal.
Kali ini Elana benar-benar mengutuk kebohongannya. Ketika ia tersandung, ia justru berbohong jika itu akibat sepatu yang dikenakannya, namun kali ini hal itu benar-benar terjadi padanya. Sepatu cantik yang dikenakannya benar-benar membuatnya sakit, bahkan membuatnya tergores hingga menimbulkan luka kecil nan perih.
Elana melepas sepatu berwarna silver itu, membebaskan jemari kakinya dari siksaan. Entah mengapa banyak wanita justru menyukai sepatu menyiksa jenis itu, menurutnya sandal jepit lebih enak dipakai dan nyaman. Mengingat sandal jepit, seketika membuatnya ingat sosok Abi yang memberinya sandal jepit kemarin malam.
"Kenapa dia memberiku sandal jepit, sementara dia memberikan ikat rambut cantik pada Ani?" Tanpa sadar Elana menggerutu kesal.
"Tapi sandal lebih mahal dari ikat rambut,," lanjutnya, berbicara sendiri.
Sementara ia memijat telapak kakinya, dari kejauhan ia melihat Rony dan Giselle tengah berbincang-bincang. Sesekali Rony merangkul pinggang Giselle yang terbuka, karena wanita itu mengenakan gaun dengan backless yang begitu menggoda. Punggung putih dengan warna gaun merah menyala, perpaduan yang sempurna. Siapapun yang melihatnya akan langsung memuji kecantikan dan kemolekan Giselle.
Entah mengapa Elana melihat sesuatu yang ganjil diantar hubungan keduanya, mereka terlihat begitu akrab dan intim. Mereka saling berbisik, bahkan tatapan memuja dari keduanya sangat terlihat jelas. Wajar saja jika Elana merasa ada sesuatu diantara mereka berdua.
Rony benar-benar tidak menyadari ketika Elana memperhatikannya, bahkan ia tidak sadar telah mengabaikan Elana hingga pesta pernikahan itu hampir selesai. Merasa dirinya seperti orang bodoh, Elana mengambil ponsel dari tas kecil dan segera menghubungi Abi.
"Jemput aku sekarang."
Katakanlah Abi memang gila, atau ia terlalu menganggap pekerjaannya penting, atau mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.Tanpa sepengetahuan Elana, Abi mengikutinya dari belakang menggunakan sepeda motor. Bahkan lelaki itu dengan setia menunggu di luar Hotel, dengan jarak cukup jauh. Abi hafal dengan baik mobil yang dikendarai Rony, meski berjarak cukup jauh, ia bisa mengenalinya.Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Elana muncul di layar. Segera mungkin ia menekan tombol hijau, dan terdengar suara merdu Elana mengalun cepat, memintanya agar segera datang. Abi kelimpungan, bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus datang secepat mungkin sentara ia tidak mengendarai mobil? Atau ia harus putar balik untuk menukar kendaraanya terlebih dahulu, tapi itu akan memakan waktu lama. Jalanan Ibu kota tidak pernah sepi, terlebih di malam minggu seperti ini.Abi kebingungan, namun begitu ia melihat sosok Elana keluar d
Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat.Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi.Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu.Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera mas
"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya."Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya."Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?""Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,""Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama."Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga."Baik,"Erlangga tidak pua
"Kita ke Rumah sakit dulu sebentar," ajak Elana begitu mereka pulang dari kediaman Delano.Buah-buahan yang diberikan Ibu Delano sangat banyak, Elana tidak mungkin bisa menghabiskannya seorang diri. Elana menyisakan beberapa untuk dibawanya pulang, untuk dibagi dengan beberapa pekerja, dan sisanya ia akan bagi untuk anak-anak di Rumah sakit.Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menuju Rumah sakit, tidak butuh waktu sampai satu jam mereka sudah sampai.Dua kantong plastik besar di bawa Abi, sedangkan Elana membawa satu kantong yang berukuran terlalu besar. Elana sengaja membawa satu kantong tersebut, untuk diberikan pada Rony. Meskipun Elana masih kesal karena Rony tidak menghubunginya lagi setelah malam itu, namun Elana tetap ingin menemui Rony dan memberikan buah segar padanya."Tunggu sebentar ya, aku mau ke ruang kerja Rony. Nanti kita bertemu anak-anak bersama."
Alunan piano mengalun lembut, menjadi pengiring makan malam romantis. Pencahayaan remang-remang, dan hanya beberapa pasangan saja yang berada di tempat itu, sungguh suasana makan malam romantis yang selalu diimpikan pasangan muda. Tapi tidak dengan dua orang yang tengah menikmati hidangan makan malam mereka. Keduanya tampak asik menikmati hidangan masing-masing, tanpa bicara sedikitpun. Tidak ada obrolan ringan, ataupun canda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara."El,," panggil Rony.Semenjak mereka tiba di tempat tersebut, Elana tidak bersuara sama sekali. Membuat Rony akhirnya mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini aneh," lanjutnya.Elana mengangkat kepalanya, sejak tadi ia hanya fokus pada sepotong daging di hadapannya."Aneh? Aneh seperti apa maksud kamu." Elana balik bertanya."Biasanya kamu banyak bicar
Elana merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, perlahan senyum di bibirnya mengembang begitu saja. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja kedua pipinya terasa panas.Elana bangun dari tempat tidur, berjalan perlahan menghampiri jendela kamar. Dari celah kecil ia bisa melihat sosok Abi tengah duduk di bangku depan kamarnya, membuat Elana kembali tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti orang gila, hanya saja kini hatinya terasa penuh dan berbunga. Bahkan ia melupakan sejenak masalahnya dengan Rony. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dering ponsel miliknya, membuat ia kembali tersadar.Elana sempat ragu membuka pesan yang tertera di kotak masuk, ia tidak ingin melihat pesan yang dikirim Rony. Namun mengabaikan lelaki itu juga tidak akan menyelesaikan masalah."Sudah sampai rumah? Aku minta maaf karena sikapku tadi."Elana tersenyum hambar membacany
Abi memalingkan wajahnya begitu ia mengenali mobil berwarna putih memasuki kawasan perumahan Elana. Ia tersenyum kecut begitu melihat Rony turun terlebih dahulu, dan membuka pintu dimana Elana berada. Tidak hanya sampai disitu saja, Rony pun mencium kening Elana sekilas, membuat Abi memilih pergi. Ia tidak ingin melihat kelanjutan dari dua sejoli itu.Abi memilih duduk di depan kamarnya. Semenjak ia tau Elana pergi tanpa mengikutsertakan dirinya, Abi pun langsung tau dengan siapa wanita itu akan pergi. Namun entah mengapa setelah melihat kedekatan mereka secara langsung, seperti beberapa menit lalu, Abi merasa sesuatu perasaan aneh menggelitik hatinya. Perasaan tidak suka, yang sulit sekali dijelaskan. Seharusnya ia menyadari posisinya, bahkan ini bukan kali pertama Elana pergi berdua bersama Rony, tapi begitu melihat mereka berdua secara langsung, rasanya terasa berbeda dan sedikit membuatnya kesal.Benar apa yang diucapkan Mila, wanita
Abi membuka pintu mobil, mempersilahkan Elana turun. Ia melakukan itu bukan karena mulai hari ini mereka resmi menjadi pacar dua minggu, tapi karena sudah menjadi kebiasaannya selama ini. Elana tidak mempermasalahkannya, karena sudah seharusnya seorang kekasih melakukan hal seperti itu.Mereka berdua tampak canggung, terutama Abi. Beberapa kali lelaki itu menggaruk kepalanya, meski tidak gatal. Elana menyadari kecanggungan diantara mereka berdua, "Mulai hari ini perlakukan aku seperti layaknya seorang pacar. Jangan bersikap seperti seorang ajudan. Mengerti?"Abi tidak mengiyakan dengan cepat, ia justru tersenyum canggung. Bagaimana bisa ia menganggap Elana sebagai kekasihnya hanya dalam waktu singkat."Sampai ketemu lagi. Kekasihku," Elana tersenyum, sebelum akhirnya ia terlebih dahulu pergi meninggalkan Abi yang masih terpaku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.Begitupun