Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat.
Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi.
Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu.
Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera masuk kedalam kamar, tidak berapa lama ia kembali keluar dan terbatuk-batuk dengan sangat kencang.
Satu kali, dua kali, bahkan sampai tiga kali, Abi terbatuk dengan sangat kencang, namun belum ada respon. Tindakannya kurang berhasil, namun baru saja ia hendak melakukan hal konyol lainnya tiba-tiba jendela terbuka.
Abi segera melirik, dan kali ini berhasil. Elana membuka jendela kamarnya, melongok ke arah Abi.
"Kamu kenapa? Sakit?" Elana setengah berteriak dari jendela kamarnya. Abi segera mengangguk, satu tangannya terangkat dan satu lagi memegangi perutnya.
"Kamu baik-baik saja?"
Kali ini Abi sengaja tidak mengangguk, membuat Elana terlihat cemas. Elana kembali menutup jendela kamar, samar-samar terlihat gadis itu menjauh dari jendela. Abi tersenyum senang, setidaknya aktingnya kali ini berhasil memancing Elana keluar.
Hanya butuh waktu kurang dari dua menit, Elana sampai di depan kamar Abi. Ia membawa beberapa minuman dan obat-obatan khusus masuk angin. Elana mengira Abi masuk angin, karena lelaki itu mengendarai motor tanpa menggunakan jaket.
"Minum ini, biar mualnya gak makin parah." Elana menyodorkan satu botol kecil minuman pereda mual.
"Terimakasih," Abi menerima botol pemberian Elana, dan langsung meminumnya. Sebenarnya ia tidak memerlukan obat seperti itu, karena sebenarnya ia baik-baik saja. Tapi tidak ada salahnya juga menerima pemberian Elana, anggap saja untuk menyempurnakan aktingnya.
"Obat herbal ini bisa meredakan mual karena masuk angin. Kamu pasti masuk angin."
"Sepertinya begitu,"
Elana nampak khawatir, membuat Abi merasa bersalah karena sudah membuatnya datang dengan membawa beberapa obat-obatan.
"Aku baik-baik saja, sebaiknya kamu istirahat. Ini sudah jam satu pagi,"
Melihat kondisi Elana seperti sedang tidak baik-baik saja, membuat Abi menyesal. Wajah Elana tampak murung dengan mata sembab dan merah.
"Kenapa kamu selalu bersikap baik padaku? Apa karena pekerjaan? Kalau begitu jika kamu tidak dibayar dan tidak bekerja padaku lagi, kamu akan bersikap jahat, seperti orang lain?"
Abi mengerjap, ia tidak mengerti maksud ucapan Elana.
"Semua orang yang mendekatiku hanya karena uang. Apa kamu termasuk salah satu diantaranya?"
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu."
"Kamu hanya perlu jawab iya atau tidak!"
Sepertinya Elana benar-benar sedang dalam kondisi tertekan, berbicara dengan nada tinggi dan bergetar, seolah ia menahan sesak di dadanya.
"Kalau begitu, semua kebaikan yang kamu berikan padaku selama ini juga karena uang? Karena kamu bekerja disini?"
Cairan bening itu lolos dari pelupuk mata Elana, membuat hati Abi terenyuh. Tanpa sadar ia menarik pundak Elana kedalam pelukannya, menenggelamkan wajah Elana di dadanya.
Tangis Elana pecah, teredam dipelukan Abi. Tangisannya begitu pilu dan menyayat hati, membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa iba.
Meski ragu, Abi menepuk pelan pundak Elana sebagai tanda ia sangat bersimpati atas kesedihannya.
Perlahan Elana melepas pelukannya, meski tangisnya sedikit mereda, namun isak nya masih terlihat jelas.
"Maaf, tadi aku tidak bermaksud,,"
"Aku tau, seharusnya aku minta maaf karena selalu merepotkanmu." Elana mengusap sisa air mata di pipinya,
"Aku merasa beruntung karena karena kamu bekerja padaku. Semua kebaikanmu aku anggap tulus, meski aku tidak tau kebenarannya. Terimakasih,"
Elana tersenyum samar sebelum akhirnya ia meninggalkan Abi.
Apa yang terjadi padanya terasa bagai mimpi, tidak nyata namun terngiang dengan jelas di benak Abi. Hanya suara detak jantung yang kian bertalu keras, deru nafas kian memburu dan persendiannya terasa lemas, yang kini dirasakannya.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Abi masuk kedalam kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Sesekali ia memeriksa detak jantungnya, apakah ia mengalami gangguan jantung mendadak? Rasanya seperti habis berlari ratusan kilometer, bahkan wajahnya pun ikut terasa panas.
"Tuhan,,, apa yang terjadi padaku." Gumamnya pelan.
Sementara itu, apa yang dirasakan Abi tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Elana. Sesampainya di kamar, ia segera mematikan lampu dan duduk termenung di pinggiran tempat tidur.
Apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Abi, mampu membuatnya seperti tersengat listrik, melemahkan seluruh syaraf dan membuatnya terasa pusing. Pelukan hangat yang ia rasakan, lingkaran tangan kekar Abi di tubuh kecilnya, mampu mengalirkan rasa nyaman dan hangat. Ditambah lagi degup jantungnya yang kian berdebar kencang, semakin membuat Elana bingung, apa yang terjadi padanya?
Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?
Entahlah mereka berdua tidak tau, hanya sinar rembulan dan ribuan bintang yang menyaksikan keduanya sambil merahasiakan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Sementara itu di tempat lain, dua manusia berbeda jenis kelamin, dengan tubuh sama-sama polos tanpa sehelai benang, tengah bergumul di atas kasur, setelah kegiatan panas mereka berakhir.
"Dia benar-benar tidak curiga, setelah pertemuan tidak sengaja waktu itu?" Tanya si wanita, ia bergelayut manja di lengan si lelaki yang tengah memeriksa ponselnya.
"Dia tidak akan berpikir sampai sejauh itu," lelaki itu mencium puncak kepala wanitanya.
"Bahkan dia tidak akan pernah berani marah, meski tadi aku dengan sengaja mengabaikannya di pesta."
Keduanya saling tertawa, "Dia benar-benar umpan paling bagus. Cantik, kaya, dan bodoh."
Wanita bertubuh sexy itu, meraih ponsel dari tangan lelakinya. "Kita nikmati malam ini, jangan hanya ponsel yang kau mainkan, aku juga mau," godanya dengan suara manja di buat-buat.
"Tentu,,, mana mungkin aku mengabaikan wanita secantik dirimu." Lelaki itu kembali menciumnya dengan penuh ghairah, mereka saling membalas ciuman satu sama lain seolah tidak ada hari esok, seolah mereka tidak bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal mereka sering bertemu setiap hari, tanpa sepengetahuan Elana.
"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya."Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya."Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?""Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,""Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama."Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga."Baik,"Erlangga tidak pua
"Kita ke Rumah sakit dulu sebentar," ajak Elana begitu mereka pulang dari kediaman Delano.Buah-buahan yang diberikan Ibu Delano sangat banyak, Elana tidak mungkin bisa menghabiskannya seorang diri. Elana menyisakan beberapa untuk dibawanya pulang, untuk dibagi dengan beberapa pekerja, dan sisanya ia akan bagi untuk anak-anak di Rumah sakit.Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menuju Rumah sakit, tidak butuh waktu sampai satu jam mereka sudah sampai.Dua kantong plastik besar di bawa Abi, sedangkan Elana membawa satu kantong yang berukuran terlalu besar. Elana sengaja membawa satu kantong tersebut, untuk diberikan pada Rony. Meskipun Elana masih kesal karena Rony tidak menghubunginya lagi setelah malam itu, namun Elana tetap ingin menemui Rony dan memberikan buah segar padanya."Tunggu sebentar ya, aku mau ke ruang kerja Rony. Nanti kita bertemu anak-anak bersama."
Alunan piano mengalun lembut, menjadi pengiring makan malam romantis. Pencahayaan remang-remang, dan hanya beberapa pasangan saja yang berada di tempat itu, sungguh suasana makan malam romantis yang selalu diimpikan pasangan muda. Tapi tidak dengan dua orang yang tengah menikmati hidangan makan malam mereka. Keduanya tampak asik menikmati hidangan masing-masing, tanpa bicara sedikitpun. Tidak ada obrolan ringan, ataupun canda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara."El,," panggil Rony.Semenjak mereka tiba di tempat tersebut, Elana tidak bersuara sama sekali. Membuat Rony akhirnya mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini aneh," lanjutnya.Elana mengangkat kepalanya, sejak tadi ia hanya fokus pada sepotong daging di hadapannya."Aneh? Aneh seperti apa maksud kamu." Elana balik bertanya."Biasanya kamu banyak bicar
Elana merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, perlahan senyum di bibirnya mengembang begitu saja. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja kedua pipinya terasa panas.Elana bangun dari tempat tidur, berjalan perlahan menghampiri jendela kamar. Dari celah kecil ia bisa melihat sosok Abi tengah duduk di bangku depan kamarnya, membuat Elana kembali tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti orang gila, hanya saja kini hatinya terasa penuh dan berbunga. Bahkan ia melupakan sejenak masalahnya dengan Rony. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dering ponsel miliknya, membuat ia kembali tersadar.Elana sempat ragu membuka pesan yang tertera di kotak masuk, ia tidak ingin melihat pesan yang dikirim Rony. Namun mengabaikan lelaki itu juga tidak akan menyelesaikan masalah."Sudah sampai rumah? Aku minta maaf karena sikapku tadi."Elana tersenyum hambar membacany
Abi memalingkan wajahnya begitu ia mengenali mobil berwarna putih memasuki kawasan perumahan Elana. Ia tersenyum kecut begitu melihat Rony turun terlebih dahulu, dan membuka pintu dimana Elana berada. Tidak hanya sampai disitu saja, Rony pun mencium kening Elana sekilas, membuat Abi memilih pergi. Ia tidak ingin melihat kelanjutan dari dua sejoli itu.Abi memilih duduk di depan kamarnya. Semenjak ia tau Elana pergi tanpa mengikutsertakan dirinya, Abi pun langsung tau dengan siapa wanita itu akan pergi. Namun entah mengapa setelah melihat kedekatan mereka secara langsung, seperti beberapa menit lalu, Abi merasa sesuatu perasaan aneh menggelitik hatinya. Perasaan tidak suka, yang sulit sekali dijelaskan. Seharusnya ia menyadari posisinya, bahkan ini bukan kali pertama Elana pergi berdua bersama Rony, tapi begitu melihat mereka berdua secara langsung, rasanya terasa berbeda dan sedikit membuatnya kesal.Benar apa yang diucapkan Mila, wanita
Abi membuka pintu mobil, mempersilahkan Elana turun. Ia melakukan itu bukan karena mulai hari ini mereka resmi menjadi pacar dua minggu, tapi karena sudah menjadi kebiasaannya selama ini. Elana tidak mempermasalahkannya, karena sudah seharusnya seorang kekasih melakukan hal seperti itu.Mereka berdua tampak canggung, terutama Abi. Beberapa kali lelaki itu menggaruk kepalanya, meski tidak gatal. Elana menyadari kecanggungan diantara mereka berdua, "Mulai hari ini perlakukan aku seperti layaknya seorang pacar. Jangan bersikap seperti seorang ajudan. Mengerti?"Abi tidak mengiyakan dengan cepat, ia justru tersenyum canggung. Bagaimana bisa ia menganggap Elana sebagai kekasihnya hanya dalam waktu singkat."Sampai ketemu lagi. Kekasihku," Elana tersenyum, sebelum akhirnya ia terlebih dahulu pergi meninggalkan Abi yang masih terpaku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.Begitupun
Abi benar-benar merasa kebingungan, harus kemana ia membawa Elana pergi. Hampir tiga puluh menit berlalu, namun ia masih belum menemukan tempat yang pas untuknya dan Elana berkencan."Aku lapar," terdengar suara Elana, persis di sebelah telinganya.Abi semakin kebingungan setelah mengetahui Elana lapar. Kemana ia harus membawa Elana mencari makanan, mengingat nasib isi dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar uang kertas, rasanya tidak mungkin membawa Elana ke tempat makan yang biasa Elana kunjungi.Tidak ingin membuat kekasih sementaranya kelaparan, akhirnya Abi menepikan sepeda motornya di salah satu restoran cepat saji cukup terkenal. Meski namanya restoran itu cukup terkenal di semua kalangan masyarakat, setidaknya menyantap dua porsi makan disana tidak akan menguras habis isi dompet Abi.Sesekali Abi memperhatikan raut wajah Elana, mencari kekecewan di wajah Elana. Namun nyatanya jus
Abi benar-benar merasa kebingungan, harus kemana ia membawa Elana pergi. Hampir tiga puluh menit berlalu, namun ia masih belum menemukan tempat yang pas untuknya dan Elana berkencan."Aku lapar," terdengar suara Elana, persis di sebelah telinganya.Abi semakin kebingungan setelah mengetahui Elana lapar. Kemana ia harus membawa Elana mencari makanan, mengingat nasib isi dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar uang kertas, rasanya tidak mungkin membawa Elana ke tempat makan yang biasa Elana kunjungi.Tidak ingin membuat kekasih sementaranya kelaparan, akhirnya Abi menepikan sepeda motornya di salah satu restoran cepat saji cukup terkenal. Meski namanya restoran itu cukup terkenal di semua kalangan masyarakat, setidaknya menyantap dua porsi makan disana tidak akan menguras habis isi dompet Abi.Sesekali Abi memperhatikan raut wajah Elana, mencari kekecewan di wajah Elana. Namun nyatanya jus