Katakanlah Abi memang gila, atau ia terlalu menganggap pekerjaannya penting, atau mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.
Tanpa sepengetahuan Elana, Abi mengikutinya dari belakang menggunakan sepeda motor. Bahkan lelaki itu dengan setia menunggu di luar Hotel, dengan jarak cukup jauh. Abi hafal dengan baik mobil yang dikendarai Rony, meski berjarak cukup jauh, ia bisa mengenalinya.
Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Elana muncul di layar. Segera mungkin ia menekan tombol hijau, dan terdengar suara merdu Elana mengalun cepat, memintanya agar segera datang. Abi kelimpungan, bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus datang secepat mungkin sentara ia tidak mengendarai mobil? Atau ia harus putar balik untuk menukar kendaraanya terlebih dahulu, tapi itu akan memakan waktu lama. Jalanan Ibu kota tidak pernah sepi, terlebih di malam minggu seperti ini.
Abi kebingungan, namun begitu ia melihat sosok Elana keluar dari dalam gedung seorang diri, ia tidak mampu lagi berpikir. Segera mungkin ia mengendarai motor dan menghampiri Elana yang tengah berdiri.
Elana menatap bingung sosok lelaki yang masih berada di atas motornya, lengkap dengan jaket hitam dan helm berwarna senada. Tidak perlu membuka helm untuk mengenali siapa yang datang, namun Elana tidak menyangka Abi akan datang secepat kilat, selang beberapa menit ia menghubunginya.
"Kamu,, cepat sekali."
"Kebetulan aku sedang ada di luar rumah,"
"Ngapain?"
"Ada sedikit urusan,"
"Dengan?" Elana terus bertanya seperti seorang wanita mengintrogasi kekasihnya telat datang.
"Dengan seorang teman,"
"Wanita?"
Abi menghela lemah, dan mengangguk agar Elana tidak kembali bertanya.
"Dengan, Ani?"
Sejenak Abi mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti dengan pertanyaan Elana. Mengapa Elana memiliki pemikiran seperti itu, bahkan menyebut nama Ani.
Abi tidak ingin semakin lama Elana semakin banyak bertanya, karena jujur saja ia merasa kurang nyaman, menurutnya tempat ini terlalu asing untuk ukuran seperti dirinya. Abi mengangguk cepat, dan mempersilahkan Elana untuk naik ke atas motornya.
Suasana hati Elana semakin memburuk, terlebih seletalah Abi mengangguk untuk pertanyaannya yang terakhir.
"Kamu mau aku naik motor?!" Tanya Elana, tidak percaya.
"Aku tidak punya mobil, hanya ini yang aku miliki."
"Kenapa gak pake mobil seperti biasanya! Kenapa harus bawa motor!" Elana kesal untuk alasan yang tidak dimengertinya.
"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Kalau kamu keberatan, aku bisa pesankan taksi, aku akan mengikutimu dari belakang."
"Kamu memintaku naik taksi? Bagaimana jika sopir itu berniat jahat padaku?"
Abi benar-benar tidak mengerti, mengapa Elana bersikap berlebihan tidak seperti biasanya. Wajah Elana nampak kesal, dan tidak bersahabat seperti biasanya.
"Lalu bagaimana baiknya? Aku ikuti apapun yang kamu mau."
Elana justru semakin kesal dengan bahasa isyarat Abi, ia melepas sepatu dan menaiki motor Abi tanpa memperdulikan belahan dress yang dikenakannya terangkat hingga sebatas paha.
"Ayo buruan jalan!" Elana menepuk pundak Abi.
Menghadapi wanita yang sedang dalam mode marah, diam memang lebih baik. Abi tidak berkomentar apapun lagi, ia melajukan motor sesuai keinginan Elana.
Beruntunglah Abi memiliki hobi berkeliling Jakarta menggunakan sepeda motor, ia hafal jalan kecil untuk menghindari cegatan polisi. Penampilan Elana yang mencolok, menggunakan dress berpotongan rendah tentu saja tidak cocok menaiki motor miliknya yang sudah didesain sedemikian rupa. Penampilan Elana cocok dengan mobil mewah milik Rony, bukan dengan motor sport miliknya.
Sesampainya di persimpangan jalan, Abi tiba-tiba berhenti.
"Kenapa berhenti? Rumah masih jauh kan?"
"Tolong, turun dulu sebentar."
"Kenapa?"
"Sebentar saja,,,"
Elana turun, meski ia tidak tau apa yang akan dilakukan ajudannya itu.
"Kamu tidak berniat meninggalkanku kan?" Selidik Elana dengan tatapan menyelidik, sekaligus was-was.
Sementar itu Abi tidak menghiraukan ucapan Elana, ia ikut turun dari motor dan berdiri di hadapan Elana.
"Kita tidak mungkin pulang dengan kondisi kamu seperti itu, terlebih jika Ayahmu tau, putrinya pulang menggunakan sepeda motor bersamaku, bukan bersama Rony."
Abi berusaha keras menjelaskan, agar Elana mengerti dan mau mengerti maksud ucapannya.
"Lalu, aku harus bagaimana? Apa aku harus pulang sendiri, sedangkan saat ini aku tidak tau sedang berada dimana."
"Aku akan carikan taksi, dan aku akan mengikutimu dari belakang,"
"Ya Tuhan Abi, aku sudah jelaskan dari tadi! Bagaimana jika sopir taksi tersebut berniat jahat padaku, atau justru melukaiku? Mereka pasti akan menculik atau, mungkin membunuhku." Segala praduga yang Elana sebutkan, memang bisa saja terjadi, mengingat ia putri tunggal salah satu konglomerat di Negeri ini. Namun membawa Elana pulang dengan sepeda motornya, juga bukan solusi terbaik. Abi pasti di tegur habis-habisan oleh Ayah Elana, karena membahayakan nyawa putrinya. Karena sebagian orang kaya masih beranggapan menaiki sepeda motor memiliki resiko kecelakaan lebih besar dibanding mobil.
Abi melepas jaket dan helm yang sejak tadi dikenakannya. Tanpa menunggu persetujuan dari Elana, ia memakaikan jaket beserta helm pada wanita itu.
"Jangan pernah melepasnya, jika nyawamu ingin selamat."
Elana tidak bisa mengelak, ia pasrah meski penampilannya sedikit aneh. Ia harus mau memakai helm dan mengenakan jaket milik Abi, yang terlihat seperti menenggelamkan tubuhnya yang kecil.
"Aku akan memastikan selalu berada dibelakangmu, dan membuatmu aman."
"Tapi,,,"
"Percaya padaku."
Memilih percaya pada Abi adalah pilihan terakhir, ia tidak mungkin mempercayai orang lain selain Abi. Namun melihat kesungguhan lelaki itu, mengikutinya dengan jarak sedekat mungkin antara taksi dan sepeda motor yang dikendarainya, membuat Elana benar-benar merasa aman. Setiap kali Abi tidak terlihat, karena terhalang beberapa mobil lainnya Elana ketakutan, namun begitu Abi kembali terlihat, hati Elana kembali tenang.
Elana tersenyum dibalik helm yang menutupi wajahnya, bagaimana bisa lelaki itu mengorbankan keselamatannya hanya untuk melindungi dirinya. Bahkan Abi benar-benar tidak takut sedikitpun, karena melanggar peraturan lalu lintas. Ia tidak mengenakan jaket bahkan helm, beruntunglah tidak ada polisi yang melihatnya, sehingga Abi dan juga dirinya sampai di rumah dengan selamat.
Sopir taksi pergi, setelah Abi membayarnya dengan beberapa uang kertas berwarna biru. Tentu saja itu uang milik Abi, karena Elana hanya membawa tas kecil berisi ponsel.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Elana.
Abi menoleh dan mengangguk.
"Maaf merepotkanmu,"
"Tidak apa-apa, lagipula itu sudah menjadi bagian dari pekerjaanku."
"Ah,,iya. Aku lupa, menjagaku memang sudah menjadi pekerjaanmu." Terdengar nada kecewa dari ucapan Elana.
"Nanti uangnya aku ganti." Lanjut Elana, membuka helm dan memberikannya pada Abi.
Elana bergegas masuk kedalam rumah, ia tidak lagi ingin memperdulikan Abi. Beruntunglah Ayahnya tidak nampak terlihat, Elana bisa masuk kedalam kamar tanpa perlu di introgasi terlebih dahulu.
Sesampainya di kamar, Elana tidak segera membersihkan diri, ia justru duduk termenung di depan cermin, menatap pantulan wajahnya. Sesekali ia memeriksa ponsel yang tergeletak di atas meja rias, tidak ada satupun pesan atau panggilan dari Rony. Lelaki itu benar-benar lupa, jika ia membawa serta Elana ke pesta itu. Rony seperti memiliki dunia sendiri, terlebih ketika ia bertemu dengan Giselle.
Satu jam berlalu, dan Elana masih setia menatap cermin. Entah apa yang dilihatnya, ia hanya menggeser-geser setiap menu di ponselnya, tanpa tujuan. Tiba-tiba ponselnya bergetar, nama Rony muncul di layar panggilan.
"El, kamu dimana?" Tanya Rony di seberang sana.
"Dirumah,"
"Kenapa pulang tanpa memberitahuku? Kamu sakit?"
"Iya, kakiku sakit."
"Ya sudah kalau begitu, aku tidak tahu kalau kakimu sakit."
Elana mematikan panggilan sepihak, hal yang tidak biasa dilakukannya. Namun kali ini Elana benar-benar merasa kecewa dengan sikap Rony.
Lelaki itu bahkan mengatakan tidak tau, jika kakinya sakit, sedangkan selama mereka menyalami setiap kali orang menyapa, Elana sudah berjalan sedikit berjinjit. Bahkan seharusnya Rony mendengar ringisan kecil yang keluar dari mulut Elana. Namun sayang sekali, Rony tidak menyadari hal seperti itu, hal kecil yang selalu Abi tahu, bahkan sebelum Elana sendiri menyadarinya.
Setetes air mata jatuh membasahi wajah Elana, ia kecewa.
"Ibu,,," lirihnya pelan.
Setiap kali dirinya merasa sedih, hanya Ibu yang selalu dipanggilnya, berharap dengan menyebut nama itu, ia bisa merasakan kehadirannya.
Namun seberapa sering ia memanggil nama Ibu, nyatanya sosok itu tidak pernah sekalipun muncul, meski hanya di mimpinya. Tapi kali ini sedikit berbeda, biasanya Elana akan menangis dan membiarkan tubuhnya kedinginan, dan berharap sang Ibu datang memeluknya. Tapi kali ini ia justru merasa hangat.
Elana mengamati penampilannya, sekarang ia tau ternyata jaket Abi masih melekat erat di tubuhnya dan membuatnya merasa hangat.
Sudah menjadi kewajibannya atau mungkin menjadi kebiasaannya, Abi selalu memandang ke arah kamar Elana. Jika lampu kamar Elana masih menyala, ia tidak akan masuk kedalam kamarnya, begitu juga sebaliknya, jika lampu kamar Elana sudah mati, barulah ia akan masuk ke kamar dan beristirahat.Ada yang berbeda malam ini, lampu kamar Elana masih menyala padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Bayangan Elana masih terlihat jelas dibalik tirai tipis berwarna putih, tidak ada pergerakan hanya duduk, dan diam sejak tadi.Abi ingin memastikan keadaan Elana, ponsel sudah berada di tangannya dan akan mengirim pesan. Namun jika ia mengirim Elana pesan dan bertanya, tentu saja Elana akan tau selama ini Abi selalu memperhatikannya. Tapi jika ia tidak bertanya, rasa penasaran dan khawatir yang kini dirasakannya sungguh mengganggu.Abi berpikir, mencari cara lain agar kebiasaannya tidak disadari Elana. Ia segera mas
"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya."Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya."Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?""Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,""Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama."Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga."Baik,"Erlangga tidak pua
"Kita ke Rumah sakit dulu sebentar," ajak Elana begitu mereka pulang dari kediaman Delano.Buah-buahan yang diberikan Ibu Delano sangat banyak, Elana tidak mungkin bisa menghabiskannya seorang diri. Elana menyisakan beberapa untuk dibawanya pulang, untuk dibagi dengan beberapa pekerja, dan sisanya ia akan bagi untuk anak-anak di Rumah sakit.Mobil yang mereka tumpangi melaju cepat menuju Rumah sakit, tidak butuh waktu sampai satu jam mereka sudah sampai.Dua kantong plastik besar di bawa Abi, sedangkan Elana membawa satu kantong yang berukuran terlalu besar. Elana sengaja membawa satu kantong tersebut, untuk diberikan pada Rony. Meskipun Elana masih kesal karena Rony tidak menghubunginya lagi setelah malam itu, namun Elana tetap ingin menemui Rony dan memberikan buah segar padanya."Tunggu sebentar ya, aku mau ke ruang kerja Rony. Nanti kita bertemu anak-anak bersama."
Alunan piano mengalun lembut, menjadi pengiring makan malam romantis. Pencahayaan remang-remang, dan hanya beberapa pasangan saja yang berada di tempat itu, sungguh suasana makan malam romantis yang selalu diimpikan pasangan muda. Tapi tidak dengan dua orang yang tengah menikmati hidangan makan malam mereka. Keduanya tampak asik menikmati hidangan masing-masing, tanpa bicara sedikitpun. Tidak ada obrolan ringan, ataupun canda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara."El,," panggil Rony.Semenjak mereka tiba di tempat tersebut, Elana tidak bersuara sama sekali. Membuat Rony akhirnya mengakhiri kesunyian di antara mereka berdua."Kamu kenapa? Akhir-akhir ini aneh," lanjutnya.Elana mengangkat kepalanya, sejak tadi ia hanya fokus pada sepotong daging di hadapannya."Aneh? Aneh seperti apa maksud kamu." Elana balik bertanya."Biasanya kamu banyak bicar
Elana merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, perlahan senyum di bibirnya mengembang begitu saja. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja kedua pipinya terasa panas.Elana bangun dari tempat tidur, berjalan perlahan menghampiri jendela kamar. Dari celah kecil ia bisa melihat sosok Abi tengah duduk di bangku depan kamarnya, membuat Elana kembali tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti orang gila, hanya saja kini hatinya terasa penuh dan berbunga. Bahkan ia melupakan sejenak masalahnya dengan Rony. Tapi itu tidak berlangsung lama karena dering ponsel miliknya, membuat ia kembali tersadar.Elana sempat ragu membuka pesan yang tertera di kotak masuk, ia tidak ingin melihat pesan yang dikirim Rony. Namun mengabaikan lelaki itu juga tidak akan menyelesaikan masalah."Sudah sampai rumah? Aku minta maaf karena sikapku tadi."Elana tersenyum hambar membacany
Abi memalingkan wajahnya begitu ia mengenali mobil berwarna putih memasuki kawasan perumahan Elana. Ia tersenyum kecut begitu melihat Rony turun terlebih dahulu, dan membuka pintu dimana Elana berada. Tidak hanya sampai disitu saja, Rony pun mencium kening Elana sekilas, membuat Abi memilih pergi. Ia tidak ingin melihat kelanjutan dari dua sejoli itu.Abi memilih duduk di depan kamarnya. Semenjak ia tau Elana pergi tanpa mengikutsertakan dirinya, Abi pun langsung tau dengan siapa wanita itu akan pergi. Namun entah mengapa setelah melihat kedekatan mereka secara langsung, seperti beberapa menit lalu, Abi merasa sesuatu perasaan aneh menggelitik hatinya. Perasaan tidak suka, yang sulit sekali dijelaskan. Seharusnya ia menyadari posisinya, bahkan ini bukan kali pertama Elana pergi berdua bersama Rony, tapi begitu melihat mereka berdua secara langsung, rasanya terasa berbeda dan sedikit membuatnya kesal.Benar apa yang diucapkan Mila, wanita
Abi membuka pintu mobil, mempersilahkan Elana turun. Ia melakukan itu bukan karena mulai hari ini mereka resmi menjadi pacar dua minggu, tapi karena sudah menjadi kebiasaannya selama ini. Elana tidak mempermasalahkannya, karena sudah seharusnya seorang kekasih melakukan hal seperti itu.Mereka berdua tampak canggung, terutama Abi. Beberapa kali lelaki itu menggaruk kepalanya, meski tidak gatal. Elana menyadari kecanggungan diantara mereka berdua, "Mulai hari ini perlakukan aku seperti layaknya seorang pacar. Jangan bersikap seperti seorang ajudan. Mengerti?"Abi tidak mengiyakan dengan cepat, ia justru tersenyum canggung. Bagaimana bisa ia menganggap Elana sebagai kekasihnya hanya dalam waktu singkat."Sampai ketemu lagi. Kekasihku," Elana tersenyum, sebelum akhirnya ia terlebih dahulu pergi meninggalkan Abi yang masih terpaku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.Begitupun
Abi benar-benar merasa kebingungan, harus kemana ia membawa Elana pergi. Hampir tiga puluh menit berlalu, namun ia masih belum menemukan tempat yang pas untuknya dan Elana berkencan."Aku lapar," terdengar suara Elana, persis di sebelah telinganya.Abi semakin kebingungan setelah mengetahui Elana lapar. Kemana ia harus membawa Elana mencari makanan, mengingat nasib isi dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar uang kertas, rasanya tidak mungkin membawa Elana ke tempat makan yang biasa Elana kunjungi.Tidak ingin membuat kekasih sementaranya kelaparan, akhirnya Abi menepikan sepeda motornya di salah satu restoran cepat saji cukup terkenal. Meski namanya restoran itu cukup terkenal di semua kalangan masyarakat, setidaknya menyantap dua porsi makan disana tidak akan menguras habis isi dompet Abi.Sesekali Abi memperhatikan raut wajah Elana, mencari kekecewan di wajah Elana. Namun nyatanya jus