Share

Kenyataan Pahit

“Aminah! Sini kamu!” teriak sebuah suara lagi yang sangat kukenal.

Suara itu milik ibu mertuaku, aku tidak tahu apa yang terjadi disana yang jelas teriakan itu menandakan kalau ibuku melakukan suatu kesalahan sehingga teriakan ibu mertuaku sekeras itu.

“Kamu itu gimana sih? Dapur berantakan malah ditinggal santai-santai buruan beresin!” hardik Ibu mertuaku. Aku menahan amarah, wanita yang sudah melahirkanku diperlakuan seperti babu oleh mereka. Benar-benar keterlaluan!

“San, ntar tanyain ya apa yang terjadi sampe ibuku bisa jadi pembantu di rumah ini!” ucapku kepada Santi. Seperti tadi, Santi tidak menjawab, karena pasti akan dikira gila karena berbicara sendiri.

“Selamat pagi, Pak, Bu!”

“Pagi. Ana ya?”

“Iya, Pak. Saya dimintai tolong sama Wati buat ngurus pertukaran mobil. Katanya Wati, dia udah DP buat beli lamborghini, makanya dia minta saya buat ngambil semua surat-surat mobil yang mau ditukar tambah. Sekalian bpkb nya saya bawa nanti bapak dapat mobil Lamborghini nya atas nama Bapak,” ucap Santi kepada Mas Marno.

“Lamborghini? Beneran? ” Mas Marno membeo perkataan Santi. Aku yakin orang yang suka dipuji seperti Mas Marno pasti akan merasa sangat senang kalau memiliki mobil yang seharga rumah itu. Apalagi di wilayah ini belum ada seorangpun yang mempunyai mobil mewah tersebut. Aku juga yakin Mas Marno akan percaya begitu saja dan tidak mungkin mencurigai Santi.

“Mas! Jangan percaya! Siapa tahu dia itu penipu, sekarang kan banyak orang berkedok mau bantuin tapi malah dibawa kabur!” ucap seorang wanita yang kutahu pasti kalau dia adalah istri kedua suamiku

“Ibu ini siapa ya? Setahu saya Pak Marno ini adalah suami Wati, anda saudaranya atau siapa?” tanya Santi kepada wanita yang memotong pembicaraan mereka berdua. Aku sengaja menyuruh Santi untuk menanyakan hal itu apakah Mas Marno akan mengakui wanita itu atau tidak.

“Iba, Ibu! Emangnya aku ini ibumu! Asal kamu tahu, aku ini ist–”

“Dia ini sepupuku!” suara Mas Marno menghentikan pengakuan wanita itu padahal aku sudah merekamnya dan akan menggunakannya untuk bukti di pengadilan nanti.

“Oh cuman sepupu. Baiklah, Pak. tapi saya minta ibu ini tidak usah ikut campur dengan pembicaraan kita berdua. Saya di sini sebagai teman Wati tentu saja bisa membatalkan mobil itu begitu saja saat saya tahu kalau Bapak menyakitinya.”

“Tidak mungkin lah, Mbak. Wong aku ini cinta mati sama Wati kok. Jadi mobilnya datang kapan?” tanya Mas Marno dengan tidak sabar.

“Secepatnya setelah mobil nya saya bawa, Pak. Soalnya harus dicek dulu semuanya kalau mau tukar tambah. Jadi bagaimana, Pak? Kalau bapak setuju, tanda tangan saja di kertas perjanjian ini.”

“Baik, tunggu sebentar ya, Mbak!”

Seketika suasana menjadi hening, mungkin Mas Marno sedang mengambil surat-surat mobil itu di kamar. Inilah kesempatanku untuk meminta Santi mengeluarkan Ibu dari sana.

“San, kamu ajak Ibu dan anakku buat keluar dari rumah itu. Aku yakin mereka gak akan bahagia kalo terus berada di rumah itu. Apapun caranya, kamu harus bisa ya!” Aku belum selesai berbicara tapi suara Mas Marno terdengar kembali.

“Ini surat-surat mobil, tapi aku akan menelpon Wati dulu buat mastiin kalo kamu gak boong!”

“Silahkan saja, Pak.”

Aku sudah menduga hal ini, untunglah aku tidak hanya memiliki satu ponsel sehingga aku bisa tetap mengangkat panggilan dari suamiku ini.

“Halo, Mas? Ana udah datang belum?” tanyaku begitu panggilan terhubung.

“Udah, Wat. berarti bener ya kalo ini dari kamu? Aku agak ragu soalnya.”

“Beneran, Mas. Aku sengaja pengen kasih buat kamu kan bentar lagi kamu ulang tahun. Ya anggep aja kado dariku, Mas.”

“Yang bener, Wat? Wah, kamu emang istri yang baik. Ya udah aku kasih mobilnya sama temen kamu ya!”

Suara Mas Marno terdengar sangat bahagia, ya iyalah. Siapa yang gak bahagia kalau dibelikan mobil lamborghini. Aku tertawa dalam hati saat tahu kalau suamiku semudah itu diakalin. Terimalah kado terindah ini, Mas. aku yakin kamu tidak akan pernah bisa melupakannya.

“Nih, semua suratnya. Mobilnya juga ada di depan. Kamu langsung bawa aja!”

“Baik, Pak. Tapi saya butuh seseorang buat ikut saya ke kantor, bantuin bersihin mobilnya, kira-kira siapa yang bisa saya suruh untuk bersih-bersih ya, Pak? Sebenarnya ada sih orang dari kita, tapi nanti Bapak harus bayar sendiri biayanya sekitar lima jutaan karena itu diluar perjanjian kecuali ada seseorang yang bisa saya ajak untuk membersihkan mobilnya?”

“Kenapa gak dicuciin aja di tempat cuci mobil? Lagian aneh banget sih, tukar tambah mobil kok malah disuruh bantuin nyuciin!” tanya wanita itu lagi. Entah sejak kapan dia ikut nimbrung pembicaraan mereka.

“Ini Mobil mahal jadi tidak sembarang orang bisa membersihkannya, Bu. Karena Wati membeli dengan harga teman, jadi ada beberapa bagian yang perlu dibersihkan karena pembeliannya off the record. Tapi kalau kalian keberatan ya gak masalah, nanti tinggal bayar aja pas mobilnya datang.”

“Jangan! Enak aja mau ngasih lima juta cuma buat bersihin mobil. Mending buat beli emas. Kamu bawa aja pembantu di rumah ini, tapi menurutku sih percuma karena tenaganya udah tua!” sahut Ibu tiba-tiba.

“Tapi, Bu. Nanti kalau ia bilang sama Wati gimana?” sahut Mas Marno cepat. Aku yakin yang mereka maksud pembantu itu adalah ibuku.

Kurang ajar sekali mereka! Sudah menikmati uangku, tapi malah memperlakukan ibuku layaknya pembantu. Padahal tanpa beliau, tak mungkin aku bisa hadir di dunia. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak memaki mereka karena semuanya akan berantakan nantinya.

“Nggak akan, iya kan, Mbak? Kamu gak usah bilang sama Wati tentang hal ini ya! Buruan diurus mobilnya aku udah gak sabar!” ucap Ibu mertuaku kegirangan.

“Baiklah, Bu, Bapak. Silakan tunggu satu minggu lagi ya! Mobil lamborghini akan terparkir cantik di rumah kalian ini. Aku yakin pasti tetangga akan sangat terkagum-kagum sama kalian!” ucapan Santi pasti semakin memprovokasi Mas Marno dan keluarganya.

“Asyiik! Minggu depan kita dapet mobil baru. Aku mau bawa keliling kampung, pasti semua orang bakalan menaruh hormat sama kita, Bu!” ucap Mas Marno girang.

“Rencana sukses!” bisik Santi perlahan.

***

Saat ini aku masih menunggu di hotel dengan tidak sabar. Santi berjanji akan langsung kemari begitu berhasil membawa mobil yang dibeli dengan menggunakan uangku. Aku berharap kalau ibuku bersamanya sehingga aku bisa menyelamatkannya dari penindasan Mas Marno dan keluarganya.

Tok! Tok! Tok!

Aku segera berlari saat mendengar pintu kamar hotelku diketuk, akhirnya mereka datang!

“Ibu!” Aku langsung memeluk wanita yang sudah melahirkanku tiga puluh lima tahun yang lalu itu. Ibu tampak kaget karena aku tiba-tiba memeluknya, satu detik kemudian barulah Ibu paham kalau yang saat ini sedang berada di depannya adalah anak yang sudah lama tak ditemuinya.

“Masya Allah, Wati? Ini benar kamu, Nak? Ya Allah, anakku!” teriak Ibu histeris.

Seketika suasana berubah menjadi haru, dua orang wanita yang memiliki ikatan batin yang kuat kembali bertemu setelah dipisahkan oleh jarak. Ibu tak henti-hentinya mengucap kata syukur karena bisa bertemu denganku, kedua netranya mengucurkan air mata bahagia. Santi yang melihat pertemuan kami pun tak kuasa menahan air matanya.

Setelah puas melepas rindu, aku pun mengajak ibu untuk berbincang, tidak di kamar hotel, melainkan kami pergi ke restoran yang ada di hotel ini karena aku yakin kalau ibu belum makan.

“Gimana kabarmu, Wat? Kamu makin putih aja kerja di Arab.”

“Alhamdulillah aku baik, Bu. Tapi kebalik, Bu. harusnya aku yang tanya gimana kabar ibu di sini? Kok bisa aku denger tadi ibu manggil mereka juragan? Maksudnya apa? Ceritakan semuanya kepadaku, Bu”

Ibu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaanku.

“Ibu terpaksa melakukan nya biar cucu ibu gak disiksa sama mereka, Nak!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status