Share

Rencana Awal

“Halo, Wat? Gimana kamu? Aku sengaja gak nelpon kamu karena tahu kalo kamu butuh waktu buat nerima kabar itu. Tega banget ya suami kamu! Istrinya kerja di negara orang, dia malah enak-enakan kawin ama janda!” cerocos Santi begitu panggilan tersambung.

“Janda?”

“Iya! Aku aja geram liatnya, makanya nyari tahu dari ibuku yang dapet undangan nikahannya. Kata ibuku, wanita itu namanya Linda, janda anak satu. Gak tahu laki sebelumnya itu mati apa cerai. Yang jelas Ibu bilang kalo dia itu janda yang buka warung kopi di pinggir jalan kampung.”

Santi menceritakan sendiri padahal aku tidak bertanya tentang hal itu. Lucu sekali kamu, Mas. menjandakan istri sendiri demi seorang janda. Memang ya, kalo udah selingkuh itu pasti gak punya otak! Atau otaknya sama-sama dipindah ke dengkul?

“Aduh, sorry banget, Wat. Aku jadi ceritain hal ini sama kamu. Pasti malah buat kamu sedih ya! Betewe kamu mau minta tolong apa?”

“Gak papa, San. Aku malah mau bilang makasih sama kamu karena kamu udah nunjukin busuknya suamiku dan keluarganya. Jadi gini, San. Aku pengen minta tolong sama kamu buat dateng ke rumahku. Cari tahulah tentang suamiku dan istri barunya disana. Aku punya rencana, tenang aja, nanti aku kasih uang buat ganti beli bensin! Gimana kamu mau gak? Kalau kamu keberatan sih aku juga gak masalah–”

“Oke! Aku mau, Wat. Pas ngeliat aja aku udah pengen jambak rambut wanita itu. Bener-bener gak tahu diri mereka itu! Sorry, Wat! Aku ikutan emosi ngeliatnya jadi aku pasti bantuin kamu. Bila perlu aku bantuin ngelabrak itu pelak0r kegatelan! Jangan lama-lama larut dalam kesedihan! Rugi nangisin mereka!”

Perkataan Santi membuatku tertawa, tapi ucapannya benar. Perselingkuhan mereka memang membuatku sedih tapi tak ada gunanya juga menangisi seorang pengkhianat dan juga sampah yang hobi memungut barang sisa orang lain. Aku hanya tidak terima kalau mereka masih menggunakan fasilitas yang kubeli dengan uangku. Mas Marno pernah memberitahuku, kalau ia sudah merenovasi rumah, membeli mobil dan juga tanah serta barang berharga lainnya yang aku yakin semuanya menggunakan uangku jadi aku akan merebutnya kembali sebelum membuang keluarga benalu itu ke laut!

Aku pun menceritakan semua rencanaku kepada Santi karena aku tidak bisa langsung pulang begitu saja. Namun tetap saja apapun yang terjadi, aku akan segera pulang untuk membuat perhitungan dengan suamiku dan keluarganya karena bagaimanapun tamu tidak akan masuk kalau tuan rumah tidak membukakan pintu. Beda cerita kalau maling, ia akan masuk secara diam-diam dan mengambil apa yang bisa menguntungkan dirinya.

Kuraih kembali gawai yang kuletakkan di atas nakas dan menelpon mertuaku, sebelumnya aku sudah mengirim pesan kalau aku akan membelikan mereka mobil baru, asalkan aku bisa berbicara dengan suamiku dan aku yakin Ibu langsung sumringah saat membaca pesanku. Hal ini terlihat dari panggilan dariku yang langsung diangkat pada deringan pertama.

“Halo, Wat? Kata ibu kamu mau beliin mobil baru ya?” tanya Mas Marno ceria.

“Iya, Mas. Atasanku menang tender besar dan dia ngasih bonus juga buatku, kalo dirupiahin sih bisa milyaran, Mas. kita kan udah punya rumah, jadi kayaknya buat beli mobil aja kali ya?”

“Milyaran? Iya, bener itu, Wat? Gimana kalo Mas beli Lambo aja? Kamu pasti senang juga kan kalau suamimu ini jadi keren banget kalo naik mobil itu?”

“Lambo? Boleh aja sih, Mas nanti aku bilang sama temenku. Jadi gini, Mas. Temenku kan owner sorum mobil, dia bisa tuh ngurus pembelian mobilnya tapi dia maunya tukar tambah gitu. Jadi nanti mobil alpard yang baru kita beli, ditukerin sama Lambo. Gimana? Mau kan?” tanyaku lagi. Aku yakin orang serakah dan gila pujian seperti Mas Marno pasti tidak akan berpikir panjang dan menerima begitu saja.

“Boleh banget itu. Ya udah kamu kasih aja nomor temen kamu, biar Mas yang urus mobil barunya di sini. Udah ya, Mas lanjut lagi.”

Mas Marno mematikan panggilan, aku tersenyum puas, aku memang berencana mengambil kembali mobil yang kubeli menggunakan uangku karena akan sulit kalau aku mengambilnya sendiri. Dengan begini, ia pasti akan menyerahkan semua surat-surat mobil itu dan menunggu datangnya mobil yang dia inginkan. Silakan nunggu sampe kiamat, Mas. karena mobil itu gak bakalan datang! Sekarang aku tinggal menunggu kabar dari Santi kapan dia janjian dengan Mas suamiku.

Keesokan harinya, aku menjual semua perhiasanku dan semua barang-barang milikku di sini, untung saja selama ini aku tidak memberikan seluruh gajiku kepada Mas Marno sehingga aku masih memiliki tabungan untuk diriku sendiri. Aku juga harus mengundurkan diri dari pekerjaan ini, meskipun merasa sayang tapi bagaimana lagi? Urusan ini jauh lebih penting dari apapun juga. Sebelum pergi, aku berpamitan kepada keluarga Ahmad yang selama ini sudah menampungku untuk bekerja di rumahnya. Aku pun menceritakan alasan sebenarnya kenapa aku memutuskan untuk berhenti kerja. Untunglah mereka mengerti dan tidak menuntutku karena berhenti kerja diluar kontrak. Baiknya lagi, mereka malah memberiku pesangon yang sangat banyak apabila dikonversikan ke rupiah. Hal ini membuatku tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Saat ini Aku sudah duduk di pesawat, beberapa jam lagi aku akan bertemu kembali dengan suami pengkhianat dan keluarga lucknut itu. Dasar lelaki tidak tahu berterima kasih! Udah dikasih hidup enak, bukannya nabung untuk masa depan malah keenakan berselingkuh! Liat aja nanti, Mas! Batinku sambil meremas bajuku sendiri untuk meredam amarah yang begitu besar tak sabar rasanya aku ingin melihat wajah terkejut mereka.

Sampai di kota kelahiran, Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah untuk melihat sendiri dengan mata kepalaku kalau Mas Marno sudah menikah lagi dengan Linda, janda yang berhasil merebut hati suamiku. Aku memesan sebuah kamar di hotel yang tidak jauh dari rumah kami karena aku belum sempat mencari rumah ataupun kontrakan di sini.

Ya, setelah menikah memang aku tinggal dengan mertua, dan pada saat pertama kali aku pergi ke luar negeri, Mas Marno berjanji kalau dia akan membangun rumah untuk kami berdua agar tidak lagi merepotkan ibu dan bodohnya lagi aku percaya begitu saja dengan ucapannya dan mengirimkan gajiku kepadanya.

****

“San, pokoknya nanti kalau kamu datang ke rumahnya, jangan matiin panggilan kita ya! Biar aku bisa denger apa perkataan mereka dan kamu bicara sesuai dengan ucapanku ya. Jangan lupa juga kamu beli nomor baru dan kasihin ke mereka!”

“Iya … Wati! Kamu udah ngomong itu ratusan kali. Ini aku udah di depan gerbang rumah mereka nih. Betewe, Rumah kamu gede juga ya? Aku yakin rumahmu ini yang paling besar di kampung ini.”

Aku tidak langsung menjawab, karena aku sendiri belum pernah melihat rumah yang sudah dibangun oleh suamiku itu. Panggilan dimatikan, dan tak berapa lama aku mendengar Santi sedang berbicara dengan seseorang.

“Selamat pagi, Nama saya Ana yang janjian dengan Pak Marno.” Santi berbicara dengan seseorang, aku yakin ia sudah berada di depan Ibu atau si Gund1k itu. Aku juga memintanya untuk menggunakan nama samaran agar mereka tidak bisa mencari tahu tentang Santi.

“Iya, tadi Ndoro Lanang sudah bilang. Silakan masuk!”

“San, agak deketan dikit, suara dia gak gitu kedengaran!” aku memang mendengar suara Santi, tapi tidak dengan lawan bicaranya yang hanya terdengar lirih. Santi tidak menjawabku tapi aku yakin dia mendengarnya.

“Ibu namanya siapa? Kenapa tangan ibu luka?” tanya Santi lagi, sepertinya ia berbasa-basi saat masuk ke dalam rumahnya.

“Nama Ibu Aminah, Ibu pembantu di rumah ini dan luka ini, gak sengaja Ibu kepleset pas masak tadi trus kena minyak. Duduk dulu, Mbak. Biar saya panggilkan Ndoro Juragan!”

Deg!

Suara itu? Apa aku tak salah dengar? Ndoro Juragan? Aminah? Ibuku? Kenapa ibu ada di rumah mertuaku? Dan kenapa ia memperkenalkan diri menjadi pembantu di rumah? Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status