“Apa katamu, Wat? Kembalikan mobil ku!” teriak Mas Marno kesetanan.“Kenapa malah kamu yang marah? Harusnya aku yang marah sama kamu, Mas! Susah payah aku kerja jadi pembantu rumah tangga di negara orang, menahan rindu kepada anak semata wayangku dan mempercayakan semuanya di sini kepadamu. Tapi apa yang kudapat? Kamu menikah lagi, mertuamu yang juga ibu kandungku kau jadikan pembantu. Parahnya lagi kau juga menyiksa batin anakku. Dulu Melati adalah anak yang ceria, tapi kini semuanya berubah dan ini semua gara-gara kamu, Mas!”“Jangan salahin anakku!” Mertuaku tiba-tiba memotong ucapanku.“Semua ini salahmu, Wat. Coba kalau kamu itu lulusan sarjana, pasti bisa kerja daftar jadi PNS, atau minimal kerja di kantoran kayak Linda itu. Yang namanya laki-laki, pasti punya kebutuhan batin yang harus dipenuhi, dan dalam agama juga gak ada larangan kok. Kamu harusnya bersyukur, Wat karena aku gak nyuruh Marno buat nyerein kamu! Di Arab kamu emang bisa dapet banyak uang, tapi di sini? Bisa apa
POV Marno.“Bu, apa ini gak keterlaluan? Semua uang ini kan dari Wati? Masa dia yang diusir dari rumah ini?” keluhku kepada Ibu.“Yagak lah! Siapa suruh dia gak mau nurut sama kita. Disuruh diem aja kok gak mau. Kamu juga tahu kan kalau islam itu mengajarkan laki-laki boleh punya istri sampai empat? Ini kamu baru punya dua dia kok malah marah-marah gak terima!”“Ibu bener, Mas. Kita kan udah punya segalanya, dan kamu udah punya aku, istri yang cantik, pinter dan lulusan sarjana. Jadi ngapain ada Wati lagi?” sambung Linda, istri keduaku yang sangat cantik dan semok.Aku menikah dengannya karena dia begitu perhatian dan tentu saja jauh lebih seksi daripada Wati khususnya masalah di atas ranjang. Linda lebih aktif dan memiliki banyak gaya, sehingga membuatku tak bisa lepas dari pelukannya hingga akhirnya aku nekat menikahinya dengan harapan kalau Wati masih terus mau bersamaku asalkan aku bersikap adil kepadanya.“Tapi, Bu? Mobil kita gimana?”“Kamu tenang aja. Kalau masalah itu, kita an
Bab 10PoV WatiHari yang kutunggu akhirnya tiba, aku akan kembali ke rumah mertua yang kubangun dari hasil kerja kerasku. Kendaraan berat itu sedang diangkut ke rumah mertuaku, aku yakin mereka pasti akan kaget dengan kejutan yang kuberikan ini.“Wat, kamu serius dengan rencana kamu ini?” tanya Santi yang selama ini sudah membantuku.“Ya, tentu saja aku yakin. Enak sekali mereka mau hidup di rumah hasil kerja kerasku bertahun-tahun di negeri orang. Kalau mereka memang mau hidup enak, biar mereka usaha sendiri!” ucapku yakin.“Sapa tahu kan kamu cuma mau gertak mereka aja? Aku juga sebel sih sama keluarga suamimu itu. Gak sadar diri siapa yang selama ini udah bantu mereka. Bener-bener kacang lupa sama kulitnya itu.”Pembicaraan kami berakhir karena secara perlahan-lahan mobil sudah berhenti di sebuah rumah. Bukan milik suamiku, tapi tetangga sampingnya karena kendaraan berat di depanku itu sudah diturunkan tepat di depan gerbang.Suara yang berisik membuat beberapa orang keluar dari
Dari tadi Mas Marno diam saja saat barang-barang yang ada di dalam rumah diambil, justru Ibu yang menangis darah saat benda itu berpindah masuk ke dalam truk. Namun saat sangkar burung mahalnya dibawa pergi, barulah dia marah-marah kepadaku. Aku tahu kalau suamiku hobi memelihara burung, bahkan ia bisa membeli hewan kecil itu dengan harga puluhan juta tapi tetap saja menggunakan uangku sehingga aku tetap mengambilnya kembali. Bukannya aku kejam, hanya saja aku tak rela kalau mereka berbahagia menggunakan uangku.“Aku akan tetap membawanya karena itu dibeli menggunakan uangku. Aku beri waktu sampai besok untuk kalian mengembalikan semua uangku yang dipakai untuk membangun rumah ini. Kalau tidak, maka bersiaplah kalau rumah ini aku hancurkan menggunakan benda itu.” Aku menunjuk alat berat yang berwarna kuning itu.Mas Marno hanya bisa meneguk ludah, ia tak punya daya untuk melawan karena aku meminta preman untuk mengawalku.“Besok pagi aku akan kesini lagi dan pastikan kalian sudah puny
“Sudah, Bu. Sudah. Saya tahu kalau Ibu sedang marah dengan keluarga Ibu. Tapi Bukankah semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan?” tanya pria berpangkat RT tersebut.“Apanya yang mesti dibicarakan, Pak? Kemarin aku udah bilang, silakan kalau mau nikah lagi, tapi kembalikan semua harta yang udah kukasih. Au ga rela kalau aku yang nyari duit tapi mereka yang nikmatin. Selama ini aku diem karena kupikir Mas Marno ini laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku salah besar. Anakku dianiaya, Ibuku dijadikan pembantu dan dia nikah lagi sama janda gak jelas ini. Apa lagi yang mau dibicarakan, Pak?”Enak saja ketua RT ini minta bicara baik-baik. Dia tak merasakan apa yang kurasakan saat ini sehingga bisa dengan mudahnya meminta hal yang mustahil.“Iya, Saya tahu kalau Ibu sakit hati. Tapi kalau ibu menghancurkan rumah ini, itu sama aja dengan perusakan fasilitas pribadi.”“Ya emang disengaja. Mereka udah make uangku ratusan juta, tapi yang kudapat cuma sakit hati. Aku minta uangku dikembalika
Mereka bertiga terus saja menyalahkanku dan memaksaku untuk membatalkan perbuatanku tapi tentu saja aku mengindahkan permintaan mereka. Tidak ada satupun orang tua yang rela kalau anaknya disiksa oleh siapapun juga meskipun itu keluarga suaminya sendiri. Aku sedikit menyesal karena terlalu percaya dengan suamiku, tapi kini tidak akan lagi.“Itu mereka, Pak! Tangkap saja mereka!” sebuah suara mengejutkan kami semua. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan ternyata Pak RT yang kupikir sudah pulang, dia membawa rekannya yang berseragam coklat.“Ibu Wati? Saya mendapat kan pengaduan kalau ibu sedang melakukan pengrusakan rumah tanpa izin pemiliknya. Sekarang lebih baik Ibu ikut bersama kami,” ujar dua orang polisi yang datang ke rumah dan anehnya mereka tidak membawa mobil dinas.“Makan tuh penjara! Rasain kamu, Wat! Itu akibatnya kalau kamu berani main-main sama kita!” Ibu terlihat kesenangan saat ada polisi yang datang untuk menangkapku.Kedua preman yang menjagaku pun juga langsung pe
“Marno! Kenapa kamu bicara kayak gitu? Emangnya kamu gak malu apa?” sahut Ibu saat mendengar ucapan Mas Marno.“Ya gak lah, Bu. Ngapain malu? Emangnya kalian mau di penjara? Kalau aku sih No!” balas Mas Marno.“Halah, Wati itu pasti cuma omdo. Gak mungkin lah dia sampe lapor-lapor ke polisi segala? Emangnya kayak gitu gak butuh uang? Lagian dia kan b0doh, mana mungkin paham hukum. Kamu ini loh, laki-laki di gertak dikit aja langsung melempem,” sahut Ibu lagi.Aku tersenyum mencibir, kelihatan sekali kalau suamiku begitu mudahnya disetir oleh mertua. Ia sama sekali mengabaikan keinginannya sendiri yang ingin memperbaiki hubungan rumah tangga kami. Aku yakin Mas Marno akan memilih untuk menuruti Ibunya dibandingkan merayuku agar berbaikan dengannya meskipun aku pun tidak akan begitu mudah memaafkannya.“Dengerin apa kata Ibumu tuh, Mas. udah ya? Selamat tinggal suamiku!”“Tapi, Wat-”“Marno! Kalau kamu tetep ngikutin Wati, kamu bukan anakku lagi!” ancam Ibu lagi.Mas Marno yang awalnya
PoV Marno“Ibu capek! Semua ini gara-gara wati s1alan itu!”Aku mendengar Ibu kembali mengumpat. Bukan kali pertama Ibu mengeluh, ini sudah ketiga kalinya Ibu mengeluh akibat pekerjaan yang melelahkan. Semua ini memang gara-gara Wati, kalau saja dia tidak menghancurkan rumah kami, pasti saat ini kami bisa tidur nyenyak di ranjang empuk. Bukan malah bekerja layaknya babu di rumah ini. Linda, istri baruku ternyata jauh lebih kejam, kupikir ia baik hati seperti wati, ternyata dia tega menyuruh kami untuk bekerja di rumah ini kalau ingin tinggal di sini. Padahal di rumah sebelumnya, jangankan mengepel, mencuci piring makanku sendiri pun tidak pernah kulakukan karena semua sudah ada yang membantuku.Sudah tiga hari aku tinggal di rumah ini, tapi tetap saja aku tidak bisa memeluk tubuh Linda yang semok itu. Ia memilih tidur sendirian di kamar sementara aku dan ibu harus tidur di kamar belakang yang tidak ada AC-nya. Nasib … nasib!“Marno! Ibu udah gak tahan lagi! Badan Ibu capek, gatel-gate