“Marno! Kenapa kamu bicara kayak gitu? Emangnya kamu gak malu apa?” sahut Ibu saat mendengar ucapan Mas Marno.“Ya gak lah, Bu. Ngapain malu? Emangnya kalian mau di penjara? Kalau aku sih No!” balas Mas Marno.“Halah, Wati itu pasti cuma omdo. Gak mungkin lah dia sampe lapor-lapor ke polisi segala? Emangnya kayak gitu gak butuh uang? Lagian dia kan b0doh, mana mungkin paham hukum. Kamu ini loh, laki-laki di gertak dikit aja langsung melempem,” sahut Ibu lagi.Aku tersenyum mencibir, kelihatan sekali kalau suamiku begitu mudahnya disetir oleh mertua. Ia sama sekali mengabaikan keinginannya sendiri yang ingin memperbaiki hubungan rumah tangga kami. Aku yakin Mas Marno akan memilih untuk menuruti Ibunya dibandingkan merayuku agar berbaikan dengannya meskipun aku pun tidak akan begitu mudah memaafkannya.“Dengerin apa kata Ibumu tuh, Mas. udah ya? Selamat tinggal suamiku!”“Tapi, Wat-”“Marno! Kalau kamu tetep ngikutin Wati, kamu bukan anakku lagi!” ancam Ibu lagi.Mas Marno yang awalnya
PoV Marno“Ibu capek! Semua ini gara-gara wati s1alan itu!”Aku mendengar Ibu kembali mengumpat. Bukan kali pertama Ibu mengeluh, ini sudah ketiga kalinya Ibu mengeluh akibat pekerjaan yang melelahkan. Semua ini memang gara-gara Wati, kalau saja dia tidak menghancurkan rumah kami, pasti saat ini kami bisa tidur nyenyak di ranjang empuk. Bukan malah bekerja layaknya babu di rumah ini. Linda, istri baruku ternyata jauh lebih kejam, kupikir ia baik hati seperti wati, ternyata dia tega menyuruh kami untuk bekerja di rumah ini kalau ingin tinggal di sini. Padahal di rumah sebelumnya, jangankan mengepel, mencuci piring makanku sendiri pun tidak pernah kulakukan karena semua sudah ada yang membantuku.Sudah tiga hari aku tinggal di rumah ini, tapi tetap saja aku tidak bisa memeluk tubuh Linda yang semok itu. Ia memilih tidur sendirian di kamar sementara aku dan ibu harus tidur di kamar belakang yang tidak ada AC-nya. Nasib … nasib!“Marno! Ibu udah gak tahan lagi! Badan Ibu capek, gatel-gate
Bab 16“Wat, ada surat buat kamu nih!” sahut Santi.Beberapa hari ini aku memang tinggal di salah satu rumah miliknya, aku menumpang untuk sementara sampai aku menemukan rumah baru untuk kutinggali. Ibu dan anakku juga tinggal di sini bersamaku, untuk saat ini sudah cukup buatku.“Dari siapa, San?” Aku menerima sebuah surat panggilan dari kepolisian setempat. Hal ini membuatku terkejut, Bagaimana mungkin mereka bisa menemukan alamatku secepat ini? Tapi isi dari surat ini membuatku jauh lebih terkejut.“Apa isinya?” tanya Santi penasaran.“Panggilan dari kepolisian, katanya suamiku melaporkan, San.”Sama sepertiku, Santi juga terkejut dengan penuturan barusan, ia merebut surat itu dan membawanya sendiri. Mungkin ia tidak yakin kalau tidak memastikannya sendiri.“Gila ya suami kamu itu, Wat? Dia yang salah tapi malah dia yang buat laporan? Harusnya itu kamu! Kok malah dia sih? Ini gak bisa dibiarkan, Wat!”“Memang. Aku bermaksud untuk mencari pengacara, San. Kamu punya kenalan gak?” ta
Pandangan Ibu beralih ke arah Santi, aku lupa kalau kemarin dia pernah datang ke rumah dan berpura-pura sebagai pegawai sorum mobil yang akan menukar mobil Mas Marno. Pasti nanti akan menjadi sangat seru, biarlah, kita lihat aja nanti siapa yang akan menang di persidangan.“Bagus ya! Ternyata kalian emang udah bersekongkol sejak awal! Liat aja nanti! Aku juga bakalan penjarain penipu itu! Kembalikan mobilku kalau kalian gak pengen ngerasain tidur di bui. Atau, kalau kamu mau minta maaf dan bersujud kepadaku, aku akan mencabut laporan ini. Gimana? Bukan ide yang buruk kan?”Cuih!” aku meludah tepat di samping kiriku dan sukses membuat mereka semua kaget karena memang selama ini aku tidak pernah melakukan perbuatan ini.“Emangnya kamu Tuhan sampai minta aku buat sujud sama kamu? Aku sama sekali gak takut! Karena aku juga bakalan ngelaporin balik kalian semua. Apa kalian lupa kalau kesalahan kalian padaku jauh lebih banyak?”Ibu dan Mas Marno tampak terkejut, tapi hanya sesaat saja karen
Aku penasaran dengan ucapan Santi barusan karena jarang sekali dia memintaku untuk segera datang kalau aku sedang melaksanakan ibadah. Aku yakin pasti hal ini sangat mendesak sampai-sampai dia memintaku untuk segera datang. Mukena sudah kulipat dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam tas, aku pun segera turun untuk menemui temanku yang sedang menungguku.“Ada apa sih, San? Tumben banget kamu minta aku buat cepet-cepet?” tanyaku setelah duduk di depan Santi.“Tuh. liat aja sendiri!” Santi menunjuk dengan wajahnya.Aku mengikuti arah pandang Santi dan aku melihat kalau ada seorang pasangan suami istri yang juga sedang makan siang bersama. Aku bisa mengatakan kalau mereka pasangan karena tangan laki-laki selalu menyentuh bagian tubuh si wanita.“Apa yang aneh sama pasangan itu? Kamu nih aneh-aneh aja! Nyuruh aku datang cuma buat kasih liat mereka yang lagi mesra-mesraan?” gerutuku sambil membuka buku menu, bersiap untuk memesan makan siangku.“Liat dengan jelas, siapa wanita itu?”“E
Sudah beberapa hari berlalu setelah pertemuanku dan Linda. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ternyata tujuan Linda menikahi Mas Marno karena uang. Terbukti setelah Mas Marno tak lagi memiliki rumah mewah itu, Linda langsung mencari mangsa baru untuk diporotin . kasihan banget kamu, Mas. Niatnya punya istri dua biar ada yang melayani, tapi ujung-ujungnya malah zonk, kamu kehilangan semuanya. Kamu kehilangan istri dan anak yang selama ini menyayangimu, kehilangan rumah dan juga kehilangan istri keduamu karena jelas dia tidak akan mau diajak susah. Kalau saja kamu gak selingkuh, mungkin saat ini aku pulang dan kita akan bahagia, bahkan aku berniat membeli rumah baru atas namamu. Namun di dunia ini, tak ada yang namanya ‘andaikan’ semuanya sudah berjalan seperti adanya dan itu karena ulahmu sendiri jadi jangan salahin aku ya, Mas.“Hei! Pagi-pagi kok ngelamun! Bayangin apa sih?” tanya Santi yang ikutan duduk di teras sambil meletakkan segelas teh hangat.“Kamu nih ngagetin aja, San. A
Apa katanya? Melati tidak ada di sana? Bagaimana bisa ia mengatakan kalau aku kecelakaan padahal aku jelas sedang berdiri di sini? Kuarahkan pandangan kepada dua orang di depanku ini, keduanya sama-sama menyeringai, menandakan kalau mereka lah yang sudah mengatur hal ini.“Itu kalian kan? Dimana anakku!” teriakku panik. Ardian yang masih ada di sampingku pun sampai terkejut melihatnya.“Apa maksudmu, Wat? Aku gak paham,” ujar Mas Marno merasa tak bersalah. Bahkan wajahnya terlihat kebingungan. Bukankah barusan dia menyeringai? Kenapa sekarang berlagak bodoh?“Katakan dimana Melati! Bagaimana kamu bisa tahu di sekolah dimana, hah? Apa yang kamu lakukan kepadanya?”“Anakmu aman kalau kamu mengalah kepada kami, wanita s1alan! Dia belum hilang lebih dari dua puluh empat jam jadi kamu gak akan bisa melaporkannya ke polisi. Kalau kamu menurut, dia akan aman!” sambung wanita jahat itu. Aku sudah akan membalas ucapannya, tapi sebuah tangan menarikku kembali. Tanpa melihat pun aku yakin kalau
“Wati? Kok mau bisa ada di sini?”“Ibu apain anakku?” teriakku marah.Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi apa yang sudah ibu perbuat benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Kupikir setelah kehilangan rumah, Ibu akan menyadari kesalahannya tapi ternyata tidak. Memang benar kalau watak itu tidak akan bisa berubah.“Ibu gak ngapa-ngapain kok. Melati terus aja teriak-teriak padahal gak ada apa-apa. Ibu minta buat diem, tapi dia ngeyel. Ya udah gimana lagi?”Nafasku memburu, dalam hati berulang kali aku mengucapkan istigfar agar tidak memukul wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. Perbuatannya kali ini sudah diluar batas dan tidak bisa dimaafkan lagi. “Dari Mana Ibu bisa tahu dimana sekolah Melati, hah? Dan kenapa ibu lancang jemput dia? Apa ibu belum puas nyakitin anakku?! Dasar–” Hampir saja amarahku meledak, untung saja tadi akhirnya Ibu dan Ardian ikut serta sehingga bisa membuatku mengerem ucapanku sendiri agar tidak mengumpat di depan Melati.Kuhirup nafas dalam-dalam untuk