Dari tadi Mas Marno diam saja saat barang-barang yang ada di dalam rumah diambil, justru Ibu yang menangis darah saat benda itu berpindah masuk ke dalam truk. Namun saat sangkar burung mahalnya dibawa pergi, barulah dia marah-marah kepadaku. Aku tahu kalau suamiku hobi memelihara burung, bahkan ia bisa membeli hewan kecil itu dengan harga puluhan juta tapi tetap saja menggunakan uangku sehingga aku tetap mengambilnya kembali. Bukannya aku kejam, hanya saja aku tak rela kalau mereka berbahagia menggunakan uangku.“Aku akan tetap membawanya karena itu dibeli menggunakan uangku. Aku beri waktu sampai besok untuk kalian mengembalikan semua uangku yang dipakai untuk membangun rumah ini. Kalau tidak, maka bersiaplah kalau rumah ini aku hancurkan menggunakan benda itu.” Aku menunjuk alat berat yang berwarna kuning itu.Mas Marno hanya bisa meneguk ludah, ia tak punya daya untuk melawan karena aku meminta preman untuk mengawalku.“Besok pagi aku akan kesini lagi dan pastikan kalian sudah puny
“Sudah, Bu. Sudah. Saya tahu kalau Ibu sedang marah dengan keluarga Ibu. Tapi Bukankah semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan?” tanya pria berpangkat RT tersebut.“Apanya yang mesti dibicarakan, Pak? Kemarin aku udah bilang, silakan kalau mau nikah lagi, tapi kembalikan semua harta yang udah kukasih. Au ga rela kalau aku yang nyari duit tapi mereka yang nikmatin. Selama ini aku diem karena kupikir Mas Marno ini laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku salah besar. Anakku dianiaya, Ibuku dijadikan pembantu dan dia nikah lagi sama janda gak jelas ini. Apa lagi yang mau dibicarakan, Pak?”Enak saja ketua RT ini minta bicara baik-baik. Dia tak merasakan apa yang kurasakan saat ini sehingga bisa dengan mudahnya meminta hal yang mustahil.“Iya, Saya tahu kalau Ibu sakit hati. Tapi kalau ibu menghancurkan rumah ini, itu sama aja dengan perusakan fasilitas pribadi.”“Ya emang disengaja. Mereka udah make uangku ratusan juta, tapi yang kudapat cuma sakit hati. Aku minta uangku dikembalika
Mereka bertiga terus saja menyalahkanku dan memaksaku untuk membatalkan perbuatanku tapi tentu saja aku mengindahkan permintaan mereka. Tidak ada satupun orang tua yang rela kalau anaknya disiksa oleh siapapun juga meskipun itu keluarga suaminya sendiri. Aku sedikit menyesal karena terlalu percaya dengan suamiku, tapi kini tidak akan lagi.“Itu mereka, Pak! Tangkap saja mereka!” sebuah suara mengejutkan kami semua. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan ternyata Pak RT yang kupikir sudah pulang, dia membawa rekannya yang berseragam coklat.“Ibu Wati? Saya mendapat kan pengaduan kalau ibu sedang melakukan pengrusakan rumah tanpa izin pemiliknya. Sekarang lebih baik Ibu ikut bersama kami,” ujar dua orang polisi yang datang ke rumah dan anehnya mereka tidak membawa mobil dinas.“Makan tuh penjara! Rasain kamu, Wat! Itu akibatnya kalau kamu berani main-main sama kita!” Ibu terlihat kesenangan saat ada polisi yang datang untuk menangkapku.Kedua preman yang menjagaku pun juga langsung pe
“Marno! Kenapa kamu bicara kayak gitu? Emangnya kamu gak malu apa?” sahut Ibu saat mendengar ucapan Mas Marno.“Ya gak lah, Bu. Ngapain malu? Emangnya kalian mau di penjara? Kalau aku sih No!” balas Mas Marno.“Halah, Wati itu pasti cuma omdo. Gak mungkin lah dia sampe lapor-lapor ke polisi segala? Emangnya kayak gitu gak butuh uang? Lagian dia kan b0doh, mana mungkin paham hukum. Kamu ini loh, laki-laki di gertak dikit aja langsung melempem,” sahut Ibu lagi.Aku tersenyum mencibir, kelihatan sekali kalau suamiku begitu mudahnya disetir oleh mertua. Ia sama sekali mengabaikan keinginannya sendiri yang ingin memperbaiki hubungan rumah tangga kami. Aku yakin Mas Marno akan memilih untuk menuruti Ibunya dibandingkan merayuku agar berbaikan dengannya meskipun aku pun tidak akan begitu mudah memaafkannya.“Dengerin apa kata Ibumu tuh, Mas. udah ya? Selamat tinggal suamiku!”“Tapi, Wat-”“Marno! Kalau kamu tetep ngikutin Wati, kamu bukan anakku lagi!” ancam Ibu lagi.Mas Marno yang awalnya
PoV Marno“Ibu capek! Semua ini gara-gara wati s1alan itu!”Aku mendengar Ibu kembali mengumpat. Bukan kali pertama Ibu mengeluh, ini sudah ketiga kalinya Ibu mengeluh akibat pekerjaan yang melelahkan. Semua ini memang gara-gara Wati, kalau saja dia tidak menghancurkan rumah kami, pasti saat ini kami bisa tidur nyenyak di ranjang empuk. Bukan malah bekerja layaknya babu di rumah ini. Linda, istri baruku ternyata jauh lebih kejam, kupikir ia baik hati seperti wati, ternyata dia tega menyuruh kami untuk bekerja di rumah ini kalau ingin tinggal di sini. Padahal di rumah sebelumnya, jangankan mengepel, mencuci piring makanku sendiri pun tidak pernah kulakukan karena semua sudah ada yang membantuku.Sudah tiga hari aku tinggal di rumah ini, tapi tetap saja aku tidak bisa memeluk tubuh Linda yang semok itu. Ia memilih tidur sendirian di kamar sementara aku dan ibu harus tidur di kamar belakang yang tidak ada AC-nya. Nasib … nasib!“Marno! Ibu udah gak tahan lagi! Badan Ibu capek, gatel-gate
Bab 16“Wat, ada surat buat kamu nih!” sahut Santi.Beberapa hari ini aku memang tinggal di salah satu rumah miliknya, aku menumpang untuk sementara sampai aku menemukan rumah baru untuk kutinggali. Ibu dan anakku juga tinggal di sini bersamaku, untuk saat ini sudah cukup buatku.“Dari siapa, San?” Aku menerima sebuah surat panggilan dari kepolisian setempat. Hal ini membuatku terkejut, Bagaimana mungkin mereka bisa menemukan alamatku secepat ini? Tapi isi dari surat ini membuatku jauh lebih terkejut.“Apa isinya?” tanya Santi penasaran.“Panggilan dari kepolisian, katanya suamiku melaporkan, San.”Sama sepertiku, Santi juga terkejut dengan penuturan barusan, ia merebut surat itu dan membawanya sendiri. Mungkin ia tidak yakin kalau tidak memastikannya sendiri.“Gila ya suami kamu itu, Wat? Dia yang salah tapi malah dia yang buat laporan? Harusnya itu kamu! Kok malah dia sih? Ini gak bisa dibiarkan, Wat!”“Memang. Aku bermaksud untuk mencari pengacara, San. Kamu punya kenalan gak?” ta
Pandangan Ibu beralih ke arah Santi, aku lupa kalau kemarin dia pernah datang ke rumah dan berpura-pura sebagai pegawai sorum mobil yang akan menukar mobil Mas Marno. Pasti nanti akan menjadi sangat seru, biarlah, kita lihat aja nanti siapa yang akan menang di persidangan.“Bagus ya! Ternyata kalian emang udah bersekongkol sejak awal! Liat aja nanti! Aku juga bakalan penjarain penipu itu! Kembalikan mobilku kalau kalian gak pengen ngerasain tidur di bui. Atau, kalau kamu mau minta maaf dan bersujud kepadaku, aku akan mencabut laporan ini. Gimana? Bukan ide yang buruk kan?”Cuih!” aku meludah tepat di samping kiriku dan sukses membuat mereka semua kaget karena memang selama ini aku tidak pernah melakukan perbuatan ini.“Emangnya kamu Tuhan sampai minta aku buat sujud sama kamu? Aku sama sekali gak takut! Karena aku juga bakalan ngelaporin balik kalian semua. Apa kalian lupa kalau kesalahan kalian padaku jauh lebih banyak?”Ibu dan Mas Marno tampak terkejut, tapi hanya sesaat saja karen
Aku penasaran dengan ucapan Santi barusan karena jarang sekali dia memintaku untuk segera datang kalau aku sedang melaksanakan ibadah. Aku yakin pasti hal ini sangat mendesak sampai-sampai dia memintaku untuk segera datang. Mukena sudah kulipat dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam tas, aku pun segera turun untuk menemui temanku yang sedang menungguku.“Ada apa sih, San? Tumben banget kamu minta aku buat cepet-cepet?” tanyaku setelah duduk di depan Santi.“Tuh. liat aja sendiri!” Santi menunjuk dengan wajahnya.Aku mengikuti arah pandang Santi dan aku melihat kalau ada seorang pasangan suami istri yang juga sedang makan siang bersama. Aku bisa mengatakan kalau mereka pasangan karena tangan laki-laki selalu menyentuh bagian tubuh si wanita.“Apa yang aneh sama pasangan itu? Kamu nih aneh-aneh aja! Nyuruh aku datang cuma buat kasih liat mereka yang lagi mesra-mesraan?” gerutuku sambil membuka buku menu, bersiap untuk memesan makan siangku.“Liat dengan jelas, siapa wanita itu?”“E
Sudah enam bulan berlalu sejak aku memberi tahu Melati kalau ayahnya sekarang berada di penjara. Mungkin dia memang masih kecil tapi aku tidak mungkin membohonginya sehingga aku pun mengatakan hal yang sebenarnya kepadanya. Mas Marno di penjara karena perbuatannya menyakiti Melati, secara tidak langsung aku mengajari Melati kalau kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Awalnya Melati merasa sedih karena bagaimanapun dia adalah ayahnya tapi kini senyum ceria di wajahnya sudah kembali.“Wat, usahamu sudah berkembang dengan pesat, gimana kalau kamu mulai buat beli rumah? Ucap Ibu di sela-sela memasak. “Boleh juga, Bu tapi aku belum nemu yang cocok. Ibu ada rekomendasi gak pengen tinggal dimana?”“Sebenarnya ada sih.” Ibu menaruh pisau yang dipegangnya kemudian mulai bercerita.“Bu Intan yang dulu tinggal gak jauh dari rumah mertuamu nawarin tanahnya. Dia mau jual karena butuh biaya buat berobat anaknya. Katanya sih mau dijual murah.”“Murahnya berapa, Bu?” tanyaku mulai tertarik. Aku meman
PoV Ratna“Setelah melihat dari bukti dan saksi yang ada akhirnya kami memutuskan untuk memberikan hukuman selama satu tahun penjara dan denda satu milyar. Mereka mendapatkan keringanan karena berkelakuan baik selama berada di dalam penjara. Hal itu lah yang digunakan sebagai pertimbangan.”Aku tidak mungkin bisa melupakan kalimat yang membuat hidupku berubah. Anakku satu-satunya di penjara padahal dia sama sekali tidak bersalah. Ini semua gara-gara Wati, wanita yang dinikahi oleh Marno, anakku. Kalau saja mereka tidak menikah, pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi kepadaku. Setiap hari aku hanya bisa menangis di dalam kamar yang sempit ini menunggu mereka berdua keluar dari hotel prodeo itu.Brak!Pintu kamar dibuka dengan keras, membuatku sampai berjingkat karena kaget. Rupanya yang melakukannya Devi, adiknya Linda yang menggantikan usaha kakaknya berjualan warung kopi yang lumayan ramai dikunjungi pembeli.“Bu, aku udah bilang berapa kali? Di sini tuh bukan hotel jadi jangan
Aku mengajaknya turun untuk makan, dan mungkin bisa mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin membahas tentang hal ini karena menurutku belum saatnya Melati mengetahui kalau ayahnya beras dibalik jeruji.Kupikir dia akan lupa, tapi tetap saja ia turun dengan membawa baju untuk ayahnya. Ya sudah mau tak mau aku pun harus menjawab pertanyaannya anak gadisku ini. Namun Bagaimana bisa dia membeli baju laki-laki seukuran ayahnya? Apakah begitu mudahnya dia memaafkan perilaku bapaknya yang tidak manusiawi itu? Aku masih terdiam, masih belum bisa menerima kenyataan kalau Melati semudah itu ingin bertemu dengan bapak kandungnya “Bukan ibu yang suruh, tapi dia tadi ngerengek minta dibeliin baju buat suami mu. Katanya di sekolah besok ada pelajaran bercerita tentang ayahnya, jadi dia pengen beliin sesuatu dan akan dia ceritakan di sekolah kalau dia masih punya bapak yang sayang sama dia.”Ya Allah, hatiku mencelos saat mendengar ibu menceritakan kisah dibalik sebuah kemeja berwarna putih itu.
Aku menjalani hari dengan tenang karena kedua orang yang mengganggu hidupku kini sedang berada di penjara. Aku senang karena akhirnya perlahan keadilan mulai datang kepadaku. Mas Marno dan Linda sedang berada di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya meskipun keputusan dari pengadilan belum keluar sepenuhnya. Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan panggilan telepon dari kepolisian katanya mereka berdua ingin berbicara denganku tapi aku mengabaikannya. Dan hari ini adalah sidang putusan tentang semuanya, makanya aku memutuskan untuk mengunjungi merek sebentar.“Bu, aku titip Melati ya! Bekal dan peralatan sekolahnya udah kusiapkan di kamar.”“Iya, Wat. Oh iya, nanti aku mau ngajak Melati jalan-jalan ke mall karena katanya dia pengen beli mainan yang sama dengan temannya. Boleh kan?”“Boleh, Bu. nanti aku transfer uangnya ya! Jangan lupa nanti pulangnya langsung ke warung aja, Bu. Soalnya nanti truk pengangkutnya datang siang.” Ibuku mengangguk setuju, tak lupa aku salim
Tanpa menunggu lagi, aku mendatangi rumah rentenir yang biasa dipanggil Bu Kaji itu. Siapa pun yang mendengar pertama kali pasti tidak akan menyangka kalau wanita itu adalah seorang rentenir karena gayanya yang terlihat biasa saja. Sudah dua kali aku pergi ke rumahnya dan terus saja kagum karena keamanannya. Banyak sekali preman-preman yang duduk santai di rumah ini seakan rumah mereka sendiri. Wajah mereka seram dan bertato tapi sama sekali tidak menakutkan karena mereka sangat ramah kepadaku. Preman itu juga selalu tersenyum, kontras sekali dengan jaket kulit dan tato yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.“Duduk di sini ya Mbak Wati. sebentar lagi Ibu turun kok. Diminum dulu tehnya!”“Makasih, Mas.” Aku tersenyum saat ada seorang pria yang menyodorkan segelas teh kepadaku, aku mencicipinya untuk menghargai si empunya rumah yang sudah menyambutku dan tak lama kemudian yang kucari akhirnya muncul. Seperti biasa, wanita yang akrab dipanggil Bu Kaji ini datang dengan menggunakan daste
“Wati? Kok mau bisa ada di sini?”“Ibu apain anakku?” teriakku marah.Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi apa yang sudah ibu perbuat benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Kupikir setelah kehilangan rumah, Ibu akan menyadari kesalahannya tapi ternyata tidak. Memang benar kalau watak itu tidak akan bisa berubah.“Ibu gak ngapa-ngapain kok. Melati terus aja teriak-teriak padahal gak ada apa-apa. Ibu minta buat diem, tapi dia ngeyel. Ya udah gimana lagi?”Nafasku memburu, dalam hati berulang kali aku mengucapkan istigfar agar tidak memukul wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. Perbuatannya kali ini sudah diluar batas dan tidak bisa dimaafkan lagi. “Dari Mana Ibu bisa tahu dimana sekolah Melati, hah? Dan kenapa ibu lancang jemput dia? Apa ibu belum puas nyakitin anakku?! Dasar–” Hampir saja amarahku meledak, untung saja tadi akhirnya Ibu dan Ardian ikut serta sehingga bisa membuatku mengerem ucapanku sendiri agar tidak mengumpat di depan Melati.Kuhirup nafas dalam-dalam untuk
Apa katanya? Melati tidak ada di sana? Bagaimana bisa ia mengatakan kalau aku kecelakaan padahal aku jelas sedang berdiri di sini? Kuarahkan pandangan kepada dua orang di depanku ini, keduanya sama-sama menyeringai, menandakan kalau mereka lah yang sudah mengatur hal ini.“Itu kalian kan? Dimana anakku!” teriakku panik. Ardian yang masih ada di sampingku pun sampai terkejut melihatnya.“Apa maksudmu, Wat? Aku gak paham,” ujar Mas Marno merasa tak bersalah. Bahkan wajahnya terlihat kebingungan. Bukankah barusan dia menyeringai? Kenapa sekarang berlagak bodoh?“Katakan dimana Melati! Bagaimana kamu bisa tahu di sekolah dimana, hah? Apa yang kamu lakukan kepadanya?”“Anakmu aman kalau kamu mengalah kepada kami, wanita s1alan! Dia belum hilang lebih dari dua puluh empat jam jadi kamu gak akan bisa melaporkannya ke polisi. Kalau kamu menurut, dia akan aman!” sambung wanita jahat itu. Aku sudah akan membalas ucapannya, tapi sebuah tangan menarikku kembali. Tanpa melihat pun aku yakin kalau
Sudah beberapa hari berlalu setelah pertemuanku dan Linda. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ternyata tujuan Linda menikahi Mas Marno karena uang. Terbukti setelah Mas Marno tak lagi memiliki rumah mewah itu, Linda langsung mencari mangsa baru untuk diporotin . kasihan banget kamu, Mas. Niatnya punya istri dua biar ada yang melayani, tapi ujung-ujungnya malah zonk, kamu kehilangan semuanya. Kamu kehilangan istri dan anak yang selama ini menyayangimu, kehilangan rumah dan juga kehilangan istri keduamu karena jelas dia tidak akan mau diajak susah. Kalau saja kamu gak selingkuh, mungkin saat ini aku pulang dan kita akan bahagia, bahkan aku berniat membeli rumah baru atas namamu. Namun di dunia ini, tak ada yang namanya ‘andaikan’ semuanya sudah berjalan seperti adanya dan itu karena ulahmu sendiri jadi jangan salahin aku ya, Mas.“Hei! Pagi-pagi kok ngelamun! Bayangin apa sih?” tanya Santi yang ikutan duduk di teras sambil meletakkan segelas teh hangat.“Kamu nih ngagetin aja, San. A
Aku penasaran dengan ucapan Santi barusan karena jarang sekali dia memintaku untuk segera datang kalau aku sedang melaksanakan ibadah. Aku yakin pasti hal ini sangat mendesak sampai-sampai dia memintaku untuk segera datang. Mukena sudah kulipat dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam tas, aku pun segera turun untuk menemui temanku yang sedang menungguku.“Ada apa sih, San? Tumben banget kamu minta aku buat cepet-cepet?” tanyaku setelah duduk di depan Santi.“Tuh. liat aja sendiri!” Santi menunjuk dengan wajahnya.Aku mengikuti arah pandang Santi dan aku melihat kalau ada seorang pasangan suami istri yang juga sedang makan siang bersama. Aku bisa mengatakan kalau mereka pasangan karena tangan laki-laki selalu menyentuh bagian tubuh si wanita.“Apa yang aneh sama pasangan itu? Kamu nih aneh-aneh aja! Nyuruh aku datang cuma buat kasih liat mereka yang lagi mesra-mesraan?” gerutuku sambil membuka buku menu, bersiap untuk memesan makan siangku.“Liat dengan jelas, siapa wanita itu?”“E