Share

Rencana Awal

Melihat wanita mur4han itu memeluk suamiku, aku tak merasa cemburu sama sekali. Yang ada aku malah jijik saat melihatnya. Apalagi wajahnya yang dibuat-buat membuatku semakin muak saat melihatnya. Saat ini, Aku sangat ingin menampar keduanya. Apalagi saat tangan Mas Marno naik bersiap untuk menamparku hingga sebuah suara menghentikan pertikaian kami berdua.

“Ada apa ini?” tanya Ratna, Ibu mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari arisan. Ia mengenakan pakaian yang bagus dan juga memakai make up. Tidak mungkin kalau dia pergi ke pasar dengan dandanan begitu mentereng.

Aku melihat Ibuku berjalan di belakangnya dengan menenteng belanjaan di kedua tangannya. Melihat sorot wajah ibuku yang kelelahan aku yakin kalau barang bawaan sangatlah berat. Apalagi wajahnya kelihatan berkilat karena keringat yang terus mengalir dari keningnya. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku. Ibuku sudah tua, tapi masih harus dipaksa membawa belanjaan begitu banyak. Apa mereka sama sekali tidak merasa kasihan dengan ibuku?

“Wati? Kok kamu ada di sini?” Ibu mertuaku tampak kaget saat melihatku berdiri di depannya.

Dengan segera ia mengambil belanjaan dari tangan Ibuku, pasti ia tak mengira kalau aku akan melihat langsung dengan mataku bagaimana perlakuan mereka kepada ibuku.

“Kok gak ngabarin dulu kalau kamu pulang? Tapi kebetulan banget ibu besan juga pas main ke sini. Kami berdua baru aja pulang dari pasar, ibumu ini pinter masak, makanya Ibu mau minta tolong sama Bu Besan buat masak. Iya kan, Bu Besan?” Ibu berbalik menghadap ibuku, dari sorot mata yang sedikit terlihat olehku, aku yakin kalau ia mengancam ibuku dengan ekspresi marah agar ibuku tidak menceritakan semuanya padahal aku sudah tahu kelakuan bej4t mereka semua.

“Oh iya, Wat. Kenalin ini Linda, dia ini anak saudara jauh ibu. dia–”

“Gak usah pura-pura lagi Bu. Wati udah tahu kalau aku nikah sama Linda. Makanya dia bikin keributan sampai banyak orang.” Mas Marno memotong ucapan ibunya.

“Oh, jaadi dia udah tahu. Ya udah baguslah. Kalau gitu kalian ngapain masih berdiri di sini? Bubaar semuaanyaa!” 

Gabungan Ibu-ibu anti pelakor itu melirik ke arahku, seakan bertanya apakah aku membutuhkan bantuan mereka atau tidak, tapi aku mengangguk dan mengatakan kalau aku pasti akan baik-baik saja sekarang. Satu persatu mereka keluar dari halaman rumah yang luas ini hingga akhirnya hanya tersisa kami berlima saja.

“Kamu udah kenalan kan sama Linda? Jadi gak perlu ibu kenalin lagi ya. Ibu harap kalian berdua bisa akur tinggal di rumah ini. Oh iya, Wat kapan kamu balik lagi ke Arab? Kalau kelamaan di sini nanti kamu dipecat gimana?” tanya Ibu mertuaku lagi.

Enak sekali mulutnya bisa ngomong seperti itu? Emangnya dia kira aku akan diam saja saat melihat suamiku menikah lagi dengan janda gatel itu?

“Siapa bilang kalau aku mau dimadu, Bu? Lebih baik aku jadi janda daripada punya suami gak bisa setia! Muka pas-pasan aja berani-beraninya selingkuh!” 

“Wati! Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Emangnya kamu mau dianggap remeh karena jadi janda? Lagian yang namanya laki-laki itu gak masalah kalau punya istri lebih dari satu. Kamu tuh harusnya bersyukur karena kalau Marno nikah lagi, kamu gak perlu repot mikirin suamimu di sini karena udah ada Linda yang bantuin kamu buat nyiapin semua kebutuhan suami dan anakmu.”

“Ya, Ibu benar. Aku memang harus mengucapkan makasih banyak buat wanita mur4han ini karena gara-gara dia yang kegatelan, aku jadi tahu kalau Mas Marno itu lelaki buaya buntung! Udah muka pas-pasan, gak kerja, masih beraninya selingkuh! Pantes aja sih karena dia itu lahir dari ibu sepertimu!”

“Apa katamu?”

Ibu tak terima dengan ucapanku, ia pun mengambil sapu yang ada di halaman dan bermaksud untuk memukulku. Aku bisa saja menghindar, tapi tiba sebuah tangan mendorongku sehingga aku terjatuh.

“Aduh!” aku mengelus lengan kananku yang terkena konblok yang keras, dan aku juga melihat kalau ibuku sedang menunduk melindungiku. 

“Kok malah kamu sih Bu Besan. Udah kamu minggir sana ke dapur buatin aku es teh. Pusing kepalaku liat menantu gak tahu diri datang-datang malah bikin emosi. Bukannya bawa oleh-oleh dari arab, ini malah bikin darah tinggi naik!” gerutu mertuaku.

Tanpa rasa bersalah dan meminta maaf kepada ibuku, ia melempar sapu itu begitu saja disusul oleh anak lelaki dan juga menantu barunya. Apa mereka pikir aku akan diam saja melihat ibu yang sudah melahirkanku diperlakukan seperti babu? Tentu saja tidak! Aku tidak akan membiarkan mereka begitu saja.

“Berhenti kalian! Ayo minta maaf sama Ibuku! Seenaknya saja kalian memerintah ibuku layaknya pembantu!” teriakku membuat mertuaku keluar kembali.

“Heh, Wati. Udah untung ya aku mau nampung ibu kamu selama kamu kerja di Arab. Harusnya Ibu kamu bersyukur karena sudah bisa tinggal di rumah semewah ini. Aku yakin sampai kapan pun dia gak akan bisa punya rumah kayak rumahku ini! Jadi gak usah macem-macem dan buruan bikin es teh terus masak. Aku udah laper!”

Ibu ingin melangkah maju, tapi aku langsung menghentikannya. Selama aku berada di sini, tidak mungkin aku akan membiarkan ibuku ditindas dan direndahkan lagi oleh mereka.

“Apa ibu lupa kalau uang yang dipakai untuk renovasi ini adalah uang hasil kerja kerasku? Bukankah aku juga berhak untuk rumah ini?”

“Hahaha … kamu?  Ya nggak lah! Rumah ini berdiri di atas tanah atas namaku, dan semua bahan yang membeli itu Marno, anak lelaki ku. Dan uangnya juga sama aja uangku, jadi kalau kamu yang ngasih duit, sama saja itu duitku. Paham sampai sini?” lanjut mertuaku lagi.

Inilah yang saat ini menjadi salah satu penyesalan terbesarku, kenapa kemarin aku gak beli tanah sendiri atas namaku dan justru menyerahkan semuanya kepada suamiku? Sekarang ia menggunakan uang yang kukirim untuk membuat istana di rumah ibunya dan aku tak bisa menuntut apa-apa. Aku berpikir sebentar, bagaimanapun caranya aku harus bisa membalas perbuatan mereka yang sudah berlaku tidak adil padaku.

“Kenapa diam aja? Baru sadar kan kalau kamu itu gak bisa apa-apa tanpa anakku. Dibilangin orang tua kok ngeyel! Gak usah marah kalau suami kamu nikah lagi, dan jadilah istri yang baik di rumah,” ujar mertuaku masuk kembali ke rumah mewah hasil jerih payahku.

“Gimana, Wat? Kamu ada rencana apa? Ibu ngikut kamu,” tanya Ibuku lagi.

“Aku udah punya rencana, Bu. Mari kita masuk ke dalam rumah ini,” ajakku saat sebuah ide terlintas di kepalaku.

“Kok masuk lagi? Katanya mau pergi dari sini? Kasihan Melati nanti? Kamu masih mau lanjut pernikahanmu sama Marno?” tanya Ibu panik. Aku paham kalau dia pasti merasa khawatir dengan anak dan cucunya, tapi tenang saja, Bu. Aku tidaklah sebodoh itu.

“Tenang aja,  Bu. Aku udah punya rencana kok. Aku juga gak berniat buat lanjutin pernikahanku sama Mas Marno. Hanya saja sebelum aku cerai, ada beberapa hal yang harus aku lakukan, Bu. Ibu percaya kan sama aku?”

Ibuku mengangguk tanpa ragu, lalu aku menggandeng tangannya dan kita berdua pun masuk kembali ke dalam rumah. Tadi aku tidak sempat memperhatikan ternyata ada sebuah pigura besar yang terpasang di dinding ruang tamu. Sebuah foto sepasang pengantin yang tersenyum bahagia ke arah kamera tapi sayangnya, itu bukanlah foto pernikahanku melainkan foto pernikahan kedua suamiku dengan seorang janda bernama Linda itu. Sesak sekali rasanya, tapi aku berulang kali mengambil nafas dalam-dalam dan yakin kalau semuanya pasti akan baik-baik saja.dan saat ini waktunya untuk membalas mereka semua.

“Bibiiikk aku laperr! Bawain makan ke atas!” teriak sebuah suara anak kecil. Aku yakin pemilik suara kecil itu adalah Tiara, anaknya pelakor itu.

“Iya, Non!” Ibu reflek menjawab teriakan itu. Sepertinya ibu sudah terbiasa makanya tanpa sadar menjawabnya.

“Maaf, Wat. Ibu gak sengaja jawab. Kelepasan.”

“Nggak papa, Bu aku ngerti. Tapi, Bu biar aku saja yang bawain makanannya ya. Kamar dia dimana?”

Ibu menunjuk sebuah kamar di lantai dua, dan aku ingat kalau itu seharusnya adalah kamar yang dipersiapkan untuk Melati. 

‘Ibu dan anak sama-sama gak tahu diri. Sepertinya mereka berdua perlu diajari apa itu sopan santun’ gumamku saat pergi ke dapur untuk mengambil makanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status