Melihat wanita mur4han itu memeluk suamiku, aku tak merasa cemburu sama sekali. Yang ada aku malah jijik saat melihatnya. Apalagi wajahnya yang dibuat-buat membuatku semakin muak saat melihatnya. Saat ini, Aku sangat ingin menampar keduanya. Apalagi saat tangan Mas Marno naik bersiap untuk menamparku hingga sebuah suara menghentikan pertikaian kami berdua.
“Ada apa ini?” tanya Ratna, Ibu mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari arisan. Ia mengenakan pakaian yang bagus dan juga memakai make up. Tidak mungkin kalau dia pergi ke pasar dengan dandanan begitu mentereng.
Aku melihat Ibuku berjalan di belakangnya dengan menenteng belanjaan di kedua tangannya. Melihat sorot wajah ibuku yang kelelahan aku yakin kalau barang bawaan sangatlah berat. Apalagi wajahnya kelihatan berkilat karena keringat yang terus mengalir dari keningnya. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku. Ibuku sudah tua, tapi masih harus dipaksa membawa belanjaan begitu banyak. Apa mereka sama sekali tidak merasa kasihan dengan ibuku?
“Wati? Kok kamu ada di sini?” Ibu mertuaku tampak kaget saat melihatku berdiri di depannya.
Dengan segera ia mengambil belanjaan dari tangan Ibuku, pasti ia tak mengira kalau aku akan melihat langsung dengan mataku bagaimana perlakuan mereka kepada ibuku.
“Kok gak ngabarin dulu kalau kamu pulang? Tapi kebetulan banget ibu besan juga pas main ke sini. Kami berdua baru aja pulang dari pasar, ibumu ini pinter masak, makanya Ibu mau minta tolong sama Bu Besan buat masak. Iya kan, Bu Besan?” Ibu berbalik menghadap ibuku, dari sorot mata yang sedikit terlihat olehku, aku yakin kalau ia mengancam ibuku dengan ekspresi marah agar ibuku tidak menceritakan semuanya padahal aku sudah tahu kelakuan bej4t mereka semua.
“Oh iya, Wat. Kenalin ini Linda, dia ini anak saudara jauh ibu. dia–”
“Gak usah pura-pura lagi Bu. Wati udah tahu kalau aku nikah sama Linda. Makanya dia bikin keributan sampai banyak orang.” Mas Marno memotong ucapan ibunya.
“Oh, jaadi dia udah tahu. Ya udah baguslah. Kalau gitu kalian ngapain masih berdiri di sini? Bubaar semuaanyaa!”
Gabungan Ibu-ibu anti pelakor itu melirik ke arahku, seakan bertanya apakah aku membutuhkan bantuan mereka atau tidak, tapi aku mengangguk dan mengatakan kalau aku pasti akan baik-baik saja sekarang. Satu persatu mereka keluar dari halaman rumah yang luas ini hingga akhirnya hanya tersisa kami berlima saja.
“Kamu udah kenalan kan sama Linda? Jadi gak perlu ibu kenalin lagi ya. Ibu harap kalian berdua bisa akur tinggal di rumah ini. Oh iya, Wat kapan kamu balik lagi ke Arab? Kalau kelamaan di sini nanti kamu dipecat gimana?” tanya Ibu mertuaku lagi.
Enak sekali mulutnya bisa ngomong seperti itu? Emangnya dia kira aku akan diam saja saat melihat suamiku menikah lagi dengan janda gatel itu?
“Siapa bilang kalau aku mau dimadu, Bu? Lebih baik aku jadi janda daripada punya suami gak bisa setia! Muka pas-pasan aja berani-beraninya selingkuh!”
“Wati! Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Emangnya kamu mau dianggap remeh karena jadi janda? Lagian yang namanya laki-laki itu gak masalah kalau punya istri lebih dari satu. Kamu tuh harusnya bersyukur karena kalau Marno nikah lagi, kamu gak perlu repot mikirin suamimu di sini karena udah ada Linda yang bantuin kamu buat nyiapin semua kebutuhan suami dan anakmu.”
“Ya, Ibu benar. Aku memang harus mengucapkan makasih banyak buat wanita mur4han ini karena gara-gara dia yang kegatelan, aku jadi tahu kalau Mas Marno itu lelaki buaya buntung! Udah muka pas-pasan, gak kerja, masih beraninya selingkuh! Pantes aja sih karena dia itu lahir dari ibu sepertimu!”
“Apa katamu?”
Ibu tak terima dengan ucapanku, ia pun mengambil sapu yang ada di halaman dan bermaksud untuk memukulku. Aku bisa saja menghindar, tapi tiba sebuah tangan mendorongku sehingga aku terjatuh.
“Aduh!” aku mengelus lengan kananku yang terkena konblok yang keras, dan aku juga melihat kalau ibuku sedang menunduk melindungiku.
“Kok malah kamu sih Bu Besan. Udah kamu minggir sana ke dapur buatin aku es teh. Pusing kepalaku liat menantu gak tahu diri datang-datang malah bikin emosi. Bukannya bawa oleh-oleh dari arab, ini malah bikin darah tinggi naik!” gerutu mertuaku.
Tanpa rasa bersalah dan meminta maaf kepada ibuku, ia melempar sapu itu begitu saja disusul oleh anak lelaki dan juga menantu barunya. Apa mereka pikir aku akan diam saja melihat ibu yang sudah melahirkanku diperlakukan seperti babu? Tentu saja tidak! Aku tidak akan membiarkan mereka begitu saja.
“Berhenti kalian! Ayo minta maaf sama Ibuku! Seenaknya saja kalian memerintah ibuku layaknya pembantu!” teriakku membuat mertuaku keluar kembali.
“Heh, Wati. Udah untung ya aku mau nampung ibu kamu selama kamu kerja di Arab. Harusnya Ibu kamu bersyukur karena sudah bisa tinggal di rumah semewah ini. Aku yakin sampai kapan pun dia gak akan bisa punya rumah kayak rumahku ini! Jadi gak usah macem-macem dan buruan bikin es teh terus masak. Aku udah laper!”
Ibu ingin melangkah maju, tapi aku langsung menghentikannya. Selama aku berada di sini, tidak mungkin aku akan membiarkan ibuku ditindas dan direndahkan lagi oleh mereka.
“Apa ibu lupa kalau uang yang dipakai untuk renovasi ini adalah uang hasil kerja kerasku? Bukankah aku juga berhak untuk rumah ini?”
“Hahaha … kamu? Ya nggak lah! Rumah ini berdiri di atas tanah atas namaku, dan semua bahan yang membeli itu Marno, anak lelaki ku. Dan uangnya juga sama aja uangku, jadi kalau kamu yang ngasih duit, sama saja itu duitku. Paham sampai sini?” lanjut mertuaku lagi.
Inilah yang saat ini menjadi salah satu penyesalan terbesarku, kenapa kemarin aku gak beli tanah sendiri atas namaku dan justru menyerahkan semuanya kepada suamiku? Sekarang ia menggunakan uang yang kukirim untuk membuat istana di rumah ibunya dan aku tak bisa menuntut apa-apa. Aku berpikir sebentar, bagaimanapun caranya aku harus bisa membalas perbuatan mereka yang sudah berlaku tidak adil padaku.
“Kenapa diam aja? Baru sadar kan kalau kamu itu gak bisa apa-apa tanpa anakku. Dibilangin orang tua kok ngeyel! Gak usah marah kalau suami kamu nikah lagi, dan jadilah istri yang baik di rumah,” ujar mertuaku masuk kembali ke rumah mewah hasil jerih payahku.
“Gimana, Wat? Kamu ada rencana apa? Ibu ngikut kamu,” tanya Ibuku lagi.
“Aku udah punya rencana, Bu. Mari kita masuk ke dalam rumah ini,” ajakku saat sebuah ide terlintas di kepalaku.
“Kok masuk lagi? Katanya mau pergi dari sini? Kasihan Melati nanti? Kamu masih mau lanjut pernikahanmu sama Marno?” tanya Ibu panik. Aku paham kalau dia pasti merasa khawatir dengan anak dan cucunya, tapi tenang saja, Bu. Aku tidaklah sebodoh itu.
“Tenang aja, Bu. Aku udah punya rencana kok. Aku juga gak berniat buat lanjutin pernikahanku sama Mas Marno. Hanya saja sebelum aku cerai, ada beberapa hal yang harus aku lakukan, Bu. Ibu percaya kan sama aku?”
Ibuku mengangguk tanpa ragu, lalu aku menggandeng tangannya dan kita berdua pun masuk kembali ke dalam rumah. Tadi aku tidak sempat memperhatikan ternyata ada sebuah pigura besar yang terpasang di dinding ruang tamu. Sebuah foto sepasang pengantin yang tersenyum bahagia ke arah kamera tapi sayangnya, itu bukanlah foto pernikahanku melainkan foto pernikahan kedua suamiku dengan seorang janda bernama Linda itu. Sesak sekali rasanya, tapi aku berulang kali mengambil nafas dalam-dalam dan yakin kalau semuanya pasti akan baik-baik saja.dan saat ini waktunya untuk membalas mereka semua.
“Bibiiikk aku laperr! Bawain makan ke atas!” teriak sebuah suara anak kecil. Aku yakin pemilik suara kecil itu adalah Tiara, anaknya pelakor itu.
“Iya, Non!” Ibu reflek menjawab teriakan itu. Sepertinya ibu sudah terbiasa makanya tanpa sadar menjawabnya.
“Maaf, Wat. Ibu gak sengaja jawab. Kelepasan.”
“Nggak papa, Bu aku ngerti. Tapi, Bu biar aku saja yang bawain makanannya ya. Kamar dia dimana?”
Ibu menunjuk sebuah kamar di lantai dua, dan aku ingat kalau itu seharusnya adalah kamar yang dipersiapkan untuk Melati.
‘Ibu dan anak sama-sama gak tahu diri. Sepertinya mereka berdua perlu diajari apa itu sopan santun’ gumamku saat pergi ke dapur untuk mengambil makanan.
“Aamiinaah! Mana makanannya aku udah laper banget ini! Lelet banget sih jadi orang tua!” Sebuah teriakan kembali terdengar dari lantai dua. Siapa lagi kalau bukan nona kecil yang bernama Tiara itu. Anak yang dibawa oleh Linda dan kini menduduki kamar yang seharusnya untuk Melati. Aku menyuruh Ibu untuk beristirahat saja di kamar sementara aku lah yang akan mengajari anak itu agar memiliki sopan santun kepada yang lebih tua.“Lama banget sih ngambilin makan aja! Budek kamu ya!” gerutu gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.Ia masih duduk membelakangiku, pasti ia mendengar pintu terbuka sehingga bisa berbicara seperti itu meskipun tanpa menoleh. Aku masih bergeming dan hanya bersedekap saja. Aku ingin tahu gadis seperti apa Tiara ini sehingga bisa mengambil alih semua milik Melati.Karena aku hanya diam saja, Tiara akhirnya menoleh. Aku melihat kalau usia Melati dan Tiara tidak begitu jauh, mungkin hanya selisih satu atau dua tahun saja. Namun anehnya kenapa wajahnya seperti mirip Mas
“Apa katamu, Wat? Kembalikan mobil ku!” teriak Mas Marno kesetanan.“Kenapa malah kamu yang marah? Harusnya aku yang marah sama kamu, Mas! Susah payah aku kerja jadi pembantu rumah tangga di negara orang, menahan rindu kepada anak semata wayangku dan mempercayakan semuanya di sini kepadamu. Tapi apa yang kudapat? Kamu menikah lagi, mertuamu yang juga ibu kandungku kau jadikan pembantu. Parahnya lagi kau juga menyiksa batin anakku. Dulu Melati adalah anak yang ceria, tapi kini semuanya berubah dan ini semua gara-gara kamu, Mas!”“Jangan salahin anakku!” Mertuaku tiba-tiba memotong ucapanku.“Semua ini salahmu, Wat. Coba kalau kamu itu lulusan sarjana, pasti bisa kerja daftar jadi PNS, atau minimal kerja di kantoran kayak Linda itu. Yang namanya laki-laki, pasti punya kebutuhan batin yang harus dipenuhi, dan dalam agama juga gak ada larangan kok. Kamu harusnya bersyukur, Wat karena aku gak nyuruh Marno buat nyerein kamu! Di Arab kamu emang bisa dapet banyak uang, tapi di sini? Bisa apa
POV Marno.“Bu, apa ini gak keterlaluan? Semua uang ini kan dari Wati? Masa dia yang diusir dari rumah ini?” keluhku kepada Ibu.“Yagak lah! Siapa suruh dia gak mau nurut sama kita. Disuruh diem aja kok gak mau. Kamu juga tahu kan kalau islam itu mengajarkan laki-laki boleh punya istri sampai empat? Ini kamu baru punya dua dia kok malah marah-marah gak terima!”“Ibu bener, Mas. Kita kan udah punya segalanya, dan kamu udah punya aku, istri yang cantik, pinter dan lulusan sarjana. Jadi ngapain ada Wati lagi?” sambung Linda, istri keduaku yang sangat cantik dan semok.Aku menikah dengannya karena dia begitu perhatian dan tentu saja jauh lebih seksi daripada Wati khususnya masalah di atas ranjang. Linda lebih aktif dan memiliki banyak gaya, sehingga membuatku tak bisa lepas dari pelukannya hingga akhirnya aku nekat menikahinya dengan harapan kalau Wati masih terus mau bersamaku asalkan aku bersikap adil kepadanya.“Tapi, Bu? Mobil kita gimana?”“Kamu tenang aja. Kalau masalah itu, kita an
Bab 10PoV WatiHari yang kutunggu akhirnya tiba, aku akan kembali ke rumah mertua yang kubangun dari hasil kerja kerasku. Kendaraan berat itu sedang diangkut ke rumah mertuaku, aku yakin mereka pasti akan kaget dengan kejutan yang kuberikan ini.“Wat, kamu serius dengan rencana kamu ini?” tanya Santi yang selama ini sudah membantuku.“Ya, tentu saja aku yakin. Enak sekali mereka mau hidup di rumah hasil kerja kerasku bertahun-tahun di negeri orang. Kalau mereka memang mau hidup enak, biar mereka usaha sendiri!” ucapku yakin.“Sapa tahu kan kamu cuma mau gertak mereka aja? Aku juga sebel sih sama keluarga suamimu itu. Gak sadar diri siapa yang selama ini udah bantu mereka. Bener-bener kacang lupa sama kulitnya itu.”Pembicaraan kami berakhir karena secara perlahan-lahan mobil sudah berhenti di sebuah rumah. Bukan milik suamiku, tapi tetangga sampingnya karena kendaraan berat di depanku itu sudah diturunkan tepat di depan gerbang.Suara yang berisik membuat beberapa orang keluar dari
Dari tadi Mas Marno diam saja saat barang-barang yang ada di dalam rumah diambil, justru Ibu yang menangis darah saat benda itu berpindah masuk ke dalam truk. Namun saat sangkar burung mahalnya dibawa pergi, barulah dia marah-marah kepadaku. Aku tahu kalau suamiku hobi memelihara burung, bahkan ia bisa membeli hewan kecil itu dengan harga puluhan juta tapi tetap saja menggunakan uangku sehingga aku tetap mengambilnya kembali. Bukannya aku kejam, hanya saja aku tak rela kalau mereka berbahagia menggunakan uangku.“Aku akan tetap membawanya karena itu dibeli menggunakan uangku. Aku beri waktu sampai besok untuk kalian mengembalikan semua uangku yang dipakai untuk membangun rumah ini. Kalau tidak, maka bersiaplah kalau rumah ini aku hancurkan menggunakan benda itu.” Aku menunjuk alat berat yang berwarna kuning itu.Mas Marno hanya bisa meneguk ludah, ia tak punya daya untuk melawan karena aku meminta preman untuk mengawalku.“Besok pagi aku akan kesini lagi dan pastikan kalian sudah puny
“Sudah, Bu. Sudah. Saya tahu kalau Ibu sedang marah dengan keluarga Ibu. Tapi Bukankah semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan?” tanya pria berpangkat RT tersebut.“Apanya yang mesti dibicarakan, Pak? Kemarin aku udah bilang, silakan kalau mau nikah lagi, tapi kembalikan semua harta yang udah kukasih. Au ga rela kalau aku yang nyari duit tapi mereka yang nikmatin. Selama ini aku diem karena kupikir Mas Marno ini laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku salah besar. Anakku dianiaya, Ibuku dijadikan pembantu dan dia nikah lagi sama janda gak jelas ini. Apa lagi yang mau dibicarakan, Pak?”Enak saja ketua RT ini minta bicara baik-baik. Dia tak merasakan apa yang kurasakan saat ini sehingga bisa dengan mudahnya meminta hal yang mustahil.“Iya, Saya tahu kalau Ibu sakit hati. Tapi kalau ibu menghancurkan rumah ini, itu sama aja dengan perusakan fasilitas pribadi.”“Ya emang disengaja. Mereka udah make uangku ratusan juta, tapi yang kudapat cuma sakit hati. Aku minta uangku dikembalika
Mereka bertiga terus saja menyalahkanku dan memaksaku untuk membatalkan perbuatanku tapi tentu saja aku mengindahkan permintaan mereka. Tidak ada satupun orang tua yang rela kalau anaknya disiksa oleh siapapun juga meskipun itu keluarga suaminya sendiri. Aku sedikit menyesal karena terlalu percaya dengan suamiku, tapi kini tidak akan lagi.“Itu mereka, Pak! Tangkap saja mereka!” sebuah suara mengejutkan kami semua. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan ternyata Pak RT yang kupikir sudah pulang, dia membawa rekannya yang berseragam coklat.“Ibu Wati? Saya mendapat kan pengaduan kalau ibu sedang melakukan pengrusakan rumah tanpa izin pemiliknya. Sekarang lebih baik Ibu ikut bersama kami,” ujar dua orang polisi yang datang ke rumah dan anehnya mereka tidak membawa mobil dinas.“Makan tuh penjara! Rasain kamu, Wat! Itu akibatnya kalau kamu berani main-main sama kita!” Ibu terlihat kesenangan saat ada polisi yang datang untuk menangkapku.Kedua preman yang menjagaku pun juga langsung pe
“Marno! Kenapa kamu bicara kayak gitu? Emangnya kamu gak malu apa?” sahut Ibu saat mendengar ucapan Mas Marno.“Ya gak lah, Bu. Ngapain malu? Emangnya kalian mau di penjara? Kalau aku sih No!” balas Mas Marno.“Halah, Wati itu pasti cuma omdo. Gak mungkin lah dia sampe lapor-lapor ke polisi segala? Emangnya kayak gitu gak butuh uang? Lagian dia kan b0doh, mana mungkin paham hukum. Kamu ini loh, laki-laki di gertak dikit aja langsung melempem,” sahut Ibu lagi.Aku tersenyum mencibir, kelihatan sekali kalau suamiku begitu mudahnya disetir oleh mertua. Ia sama sekali mengabaikan keinginannya sendiri yang ingin memperbaiki hubungan rumah tangga kami. Aku yakin Mas Marno akan memilih untuk menuruti Ibunya dibandingkan merayuku agar berbaikan dengannya meskipun aku pun tidak akan begitu mudah memaafkannya.“Dengerin apa kata Ibumu tuh, Mas. udah ya? Selamat tinggal suamiku!”“Tapi, Wat-”“Marno! Kalau kamu tetep ngikutin Wati, kamu bukan anakku lagi!” ancam Ibu lagi.Mas Marno yang awalnya