Aku mematung sesaat, bagaimana pun, lelaki yang sedang bergumul diatas ranjang itu adalah suamiku. Aku menikah dengannya karena cinta, bukan perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kami. Sakiiit sekali rasanya saat melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau lelaki yang selama ini mencintaiku sedang memeluk tubuh wanita lain di ranjang tempat kami berdua memadu kasih.
“Wat–ti? Kok kamu bisa ada di sini? Kapan kamu pulangnya?” Mas Marno mengambil sarung untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Perlahan ia mendatangiku berusaha untuk memelukku tapi dengan cepat aku mendorong tubuhnya agar menjauh.
Mana mungkin aku mau disentuh oleh pria yang baru saja tidur dengan wanita lain di ranjang kami berdua? Dan dengan wajah tanpa berdosa wanita itu kembali berpakaian seakan merasa kalau aku ini tidak ada di sini. Sentuhan itu membuatku tersadar kalau Mas Marno sama sekali tidak pantas untuk ditangisi, apalagi mengingat perakuannya kepada Melati membuatku teringat tujuanu datang ke sini.
“Ini gak seperti yang kamu kira, Wat. Aku sama Linda itu–”
“Cukup, Mas! Aku gak mau denger omong kosongmu itu!”
Tanpa mereka duga, aku menarik rambut wanita yang sedang mengambil bajunya itu. Wanita itu seketika menjerit ketakutan.
“Aku gak peduli kamu siapa, tapi kamu udah tidur di ranjangku! Aku yang membelinya dengan keringatku jadi aku gak rela kalau kamu memakainya!”
Aku menyeret wanita itu dengan menarik rambutnya. Dia terpaksa mengikuti langkahku karena kepalanya pasti terasa sakit kalau dia mencoba untuk berontak!
“Dasar wanita gil4! Lepasin tanganmu, Si4lan!” teriak pelakor itu.
“Wat, jangan kayak gini, kasihan Linda!”
“Diam kamu, Mas! Atau aku akan menarik rambutnya sampai lepas dari kulit kepalanya. Kamu tahu kan aku sabuk hitam? Jangan main-main sama aku!! Aku kerja di negeri orang biar kehidupan kita mapan tapi ini balasan yang kamu kasih buatku, Mas? Kalau kamu mau nikah lagi, modal dong! Aku gak mau kalau kalian enak-enakan menggunakan semua uangku!”
Mas Marno sama sekali tak bisa berkutik. Ia hanya bisa memasang wajah memelas dan memohon agar aku tidak berbuat lebih jauh lagi kepada wanita yang sedang menundukkan kepalanya itu. Dia sudah tahu bagaimana kalau aku marah, aku bukanlah wanita lemah yang akan menangis darah saat suami selingkuh atau hatiku disakiti. Aku juga bukan wanita penyabar yang menunggu datangnya karma kepada mereka yang sudah menyakitiku, tapi aku akan langsung membalasnya saat itu juga karena kemarahanku ini perlu dilampiaskan.
Aku menyeretnya sampai ke halaman biar semua orang tahu kalau wanita ini sudah merusak rumah tangga orang. Herannya lagi, wanita itu tidak seperti pelakor lain yang menangis saat ketahuan berselingkuh dengan suami orang. Ia justru terus-terusan mengumpat dan menyumpahiku dengan berbagai sumpah serapah.
“Lepaskan aku, Si4lan! Awas kamu ya! Aku akan balas nanti!”
“B4cot!”
Aku melemparnya begitu saja saat melepaskan tanganku dari rambutnya, ia terjerembab dan terjatuh. Teriakan dan umpatannya barusan membuat beberapa orang mulai memenuhi halaman rumah mertuaku. Namun tetap saja, aku dan dia sama-sama tidak peduli dengan banyaknya penonton yang seperti tengah penonton yang mengelilingi kami bertiga layaknya tengah mendapatkan hiburan gratis. Aku yakin mereka juga pasti merasa geram dengan Mas Marno yang membawa wanita lain ke rumah kami padahal tahu kalau aku tengah bekerja menjadi TKW di Arab.
“Aneh banget! Kok bisa ya Wajah pelakor malah lebih garang dari istri yah?”
“Ya itu lah, Mbak. kalau otak dan hati udah ketutup sama Nafsu, yang ada cuman gak tahu diri, playing victim.”
Mulai terdengar kasak-kusuk yang membicarakan Linda, aku bisa tahu karena tak sengaja mendengar saat mereka sedang berdiri di belakangku.
“Hajar aja, Mbak! Pelakor emang gak punya malu! Aku mendukungmu!” teriak entah siapa yang jelas aku yakin kalau mereka sedang membicarakan pelakor itu.
“Aku bukan pelakoor!” wanita itu pun juga mendengar percakapan ibu-ibu di belakang kami.
“Aku ini dinikahi secara sah oleh Mas Marno, jadi aku juga istrinya. Emangnya salah kalau seorang istri sedang melakukan kewajibannya kepada suami? Kalian itu gak tahu apa-apa. Lebih baik keluar semua dari rumahku!” Linda yang marah mengusir orang-orang yang berkumpul di sini, kebanyakan dari mereka itu adalah ibu-ibu yang tentu saja membela istri sah daripada pelakor.
“Mana mungkin bisa nikah secara sah di mata negara. Wong Marno aja jelas masih punya istri kok. Kalau mau nikah secara sah ya … ceraiin dulu itu Mbak Wati. tapi kayaknya gak mungkin kan kalian cuma numpang idup sama Wati.”
“Iya, kalau gak ada Mbak Wati, gak mungkin kalian bisa punya rumah sebesar ini, punya mobil, bisa beli tanah. Wong mertuamu aja cuma pensiunan dengan gaji dua juta. Dan suamimu ini pemalas! Gak mau kerja susah, tapi maunya hidup enak!”
“Aku juga heran apa yang menarik dar janda ini, dari wajah aja udah keliatan kalau cantikan Mbak Wati, dari segi materi juga jelas kalah, jauh lebih berduit Mbak Wati.”
“bu-Ibu, gak perlu skill hebat kalau mau jadi pelakor. Cukup gak tahu diri, gak punya malu dan diobral murah! Pasti tuh, langsung pada mendekat para lelaki yang lemah iman.”
Bukan aku yang barusan bilang begitu, tapi para ibu-ibu yang juga ikutan geram dengan tingkah pelakor yang memang gak tahu malu. Dia merasa benar hanya karena dinikahi secara diam-diam padahal hanya nikah di bawah tangan karena aku sebagai istri sah tidak tahu menahu.
“Diam kalian semua! Jangan kalian menyalahkan Linda! Dia sama sekali gak salah!”
Wah, sang pahlawan akhirnya berani membuka mulutnya padahal sejak tadi ia hanya diam saja melihat keadaan. Akan tetapi pada saat gund1k itu dihina, sang suami barunya itu langsung melindunginya. Hatiku terasa nyeri seperti tercubit pisau. Seharusnya aku lah yang berhak mendapatkan perlakuan itu, tapi karena hatinya sudah tertutup n4fsu membuat suamiku sama sekali tidak menyadari kalau aku lah yang tersakiti di sini. Aku yakin Mas Marno merasa kalau istri keduanya lah yang menjadi korban di sini.
“Wati! Ini yang kamu mau, hah? Kehidupan pribadi kita diekspos keluar? Bahkan sampai tetangga yang gak ada hubungan sama kita bisa komentar semaunya? Pulang-pulang attitude mu jadi kayak gak pernah sekolah! Gini nih kalau nikah sama wanita kampung! Ibumu gak pernah ngajarin sopan santun ya sama suami!”
Plak!
Akhirnya tanganku mendarat juga di pipi Mas Marno, sejak tadi aku diam saja dan menahan emosiku, tapi begitu dia menyebutkan Ibuku, entah kenapa tanganku reflek menamparnya. Aku tak terima kalau ibuku yang lemah lembut dan memiliki ilmu sabar tingkat tinggi itu dihina sama Mas Marno.
“Kasar banget sih jadi wanita! Pantes aja Mas Marno milih aku, kamu itu gak ada anggun-anggunya jadi wanita. Masa iya suami sendiri di tampar! Kamu gak papa, Mas?”
Aku tersenyum pahit, kenapa aku yang seperti orang jahat di sini padahal posisiku di sini adalah istri sah yang diselingkuhi suamiku sendiri.
“Sakit banget, Lin. Wati! Bener-bener kamu ya!” Mas Marno mengelus pipi kanannya yang terlihat memerah, dia pun maju beberapa langkah, sepertinya ingin membalas tamparanku barusan. Aku mulai bersiap–
“Ada apa ini?” tanya sebuah suara yang tiba-tiba datang dari arah pintu gerbang.
Melihat wanita mur4han itu memeluk suamiku, aku tak merasa cemburu sama sekali. Yang ada aku malah jijik saat melihatnya. Apalagi wajahnya yang dibuat-buat membuatku semakin muak saat melihatnya. Saat ini, Aku sangat ingin menampar keduanya. Apalagi saat tangan Mas Marno naik bersiap untuk menamparku hingga sebuah suara menghentikan pertikaian kami berdua.“Ada apa ini?” tanya Ratna, Ibu mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari arisan. Ia mengenakan pakaian yang bagus dan juga memakai make up. Tidak mungkin kalau dia pergi ke pasar dengan dandanan begitu mentereng.Aku melihat Ibuku berjalan di belakangnya dengan menenteng belanjaan di kedua tangannya. Melihat sorot wajah ibuku yang kelelahan aku yakin kalau barang bawaan sangatlah berat. Apalagi wajahnya kelihatan berkilat karena keringat yang terus mengalir dari keningnya. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku. Ibuku sudah tua, tapi masih harus dipaksa membawa belanjaan begitu banyak. Apa mereka sama sekali tidak merasa ka
“Aamiinaah! Mana makanannya aku udah laper banget ini! Lelet banget sih jadi orang tua!” Sebuah teriakan kembali terdengar dari lantai dua. Siapa lagi kalau bukan nona kecil yang bernama Tiara itu. Anak yang dibawa oleh Linda dan kini menduduki kamar yang seharusnya untuk Melati. Aku menyuruh Ibu untuk beristirahat saja di kamar sementara aku lah yang akan mengajari anak itu agar memiliki sopan santun kepada yang lebih tua.“Lama banget sih ngambilin makan aja! Budek kamu ya!” gerutu gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.Ia masih duduk membelakangiku, pasti ia mendengar pintu terbuka sehingga bisa berbicara seperti itu meskipun tanpa menoleh. Aku masih bergeming dan hanya bersedekap saja. Aku ingin tahu gadis seperti apa Tiara ini sehingga bisa mengambil alih semua milik Melati.Karena aku hanya diam saja, Tiara akhirnya menoleh. Aku melihat kalau usia Melati dan Tiara tidak begitu jauh, mungkin hanya selisih satu atau dua tahun saja. Namun anehnya kenapa wajahnya seperti mirip Mas
“Apa katamu, Wat? Kembalikan mobil ku!” teriak Mas Marno kesetanan.“Kenapa malah kamu yang marah? Harusnya aku yang marah sama kamu, Mas! Susah payah aku kerja jadi pembantu rumah tangga di negara orang, menahan rindu kepada anak semata wayangku dan mempercayakan semuanya di sini kepadamu. Tapi apa yang kudapat? Kamu menikah lagi, mertuamu yang juga ibu kandungku kau jadikan pembantu. Parahnya lagi kau juga menyiksa batin anakku. Dulu Melati adalah anak yang ceria, tapi kini semuanya berubah dan ini semua gara-gara kamu, Mas!”“Jangan salahin anakku!” Mertuaku tiba-tiba memotong ucapanku.“Semua ini salahmu, Wat. Coba kalau kamu itu lulusan sarjana, pasti bisa kerja daftar jadi PNS, atau minimal kerja di kantoran kayak Linda itu. Yang namanya laki-laki, pasti punya kebutuhan batin yang harus dipenuhi, dan dalam agama juga gak ada larangan kok. Kamu harusnya bersyukur, Wat karena aku gak nyuruh Marno buat nyerein kamu! Di Arab kamu emang bisa dapet banyak uang, tapi di sini? Bisa apa
POV Marno.“Bu, apa ini gak keterlaluan? Semua uang ini kan dari Wati? Masa dia yang diusir dari rumah ini?” keluhku kepada Ibu.“Yagak lah! Siapa suruh dia gak mau nurut sama kita. Disuruh diem aja kok gak mau. Kamu juga tahu kan kalau islam itu mengajarkan laki-laki boleh punya istri sampai empat? Ini kamu baru punya dua dia kok malah marah-marah gak terima!”“Ibu bener, Mas. Kita kan udah punya segalanya, dan kamu udah punya aku, istri yang cantik, pinter dan lulusan sarjana. Jadi ngapain ada Wati lagi?” sambung Linda, istri keduaku yang sangat cantik dan semok.Aku menikah dengannya karena dia begitu perhatian dan tentu saja jauh lebih seksi daripada Wati khususnya masalah di atas ranjang. Linda lebih aktif dan memiliki banyak gaya, sehingga membuatku tak bisa lepas dari pelukannya hingga akhirnya aku nekat menikahinya dengan harapan kalau Wati masih terus mau bersamaku asalkan aku bersikap adil kepadanya.“Tapi, Bu? Mobil kita gimana?”“Kamu tenang aja. Kalau masalah itu, kita an
Bab 10PoV WatiHari yang kutunggu akhirnya tiba, aku akan kembali ke rumah mertua yang kubangun dari hasil kerja kerasku. Kendaraan berat itu sedang diangkut ke rumah mertuaku, aku yakin mereka pasti akan kaget dengan kejutan yang kuberikan ini.“Wat, kamu serius dengan rencana kamu ini?” tanya Santi yang selama ini sudah membantuku.“Ya, tentu saja aku yakin. Enak sekali mereka mau hidup di rumah hasil kerja kerasku bertahun-tahun di negeri orang. Kalau mereka memang mau hidup enak, biar mereka usaha sendiri!” ucapku yakin.“Sapa tahu kan kamu cuma mau gertak mereka aja? Aku juga sebel sih sama keluarga suamimu itu. Gak sadar diri siapa yang selama ini udah bantu mereka. Bener-bener kacang lupa sama kulitnya itu.”Pembicaraan kami berakhir karena secara perlahan-lahan mobil sudah berhenti di sebuah rumah. Bukan milik suamiku, tapi tetangga sampingnya karena kendaraan berat di depanku itu sudah diturunkan tepat di depan gerbang.Suara yang berisik membuat beberapa orang keluar dari
Dari tadi Mas Marno diam saja saat barang-barang yang ada di dalam rumah diambil, justru Ibu yang menangis darah saat benda itu berpindah masuk ke dalam truk. Namun saat sangkar burung mahalnya dibawa pergi, barulah dia marah-marah kepadaku. Aku tahu kalau suamiku hobi memelihara burung, bahkan ia bisa membeli hewan kecil itu dengan harga puluhan juta tapi tetap saja menggunakan uangku sehingga aku tetap mengambilnya kembali. Bukannya aku kejam, hanya saja aku tak rela kalau mereka berbahagia menggunakan uangku.“Aku akan tetap membawanya karena itu dibeli menggunakan uangku. Aku beri waktu sampai besok untuk kalian mengembalikan semua uangku yang dipakai untuk membangun rumah ini. Kalau tidak, maka bersiaplah kalau rumah ini aku hancurkan menggunakan benda itu.” Aku menunjuk alat berat yang berwarna kuning itu.Mas Marno hanya bisa meneguk ludah, ia tak punya daya untuk melawan karena aku meminta preman untuk mengawalku.“Besok pagi aku akan kesini lagi dan pastikan kalian sudah puny
“Sudah, Bu. Sudah. Saya tahu kalau Ibu sedang marah dengan keluarga Ibu. Tapi Bukankah semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan?” tanya pria berpangkat RT tersebut.“Apanya yang mesti dibicarakan, Pak? Kemarin aku udah bilang, silakan kalau mau nikah lagi, tapi kembalikan semua harta yang udah kukasih. Au ga rela kalau aku yang nyari duit tapi mereka yang nikmatin. Selama ini aku diem karena kupikir Mas Marno ini laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku salah besar. Anakku dianiaya, Ibuku dijadikan pembantu dan dia nikah lagi sama janda gak jelas ini. Apa lagi yang mau dibicarakan, Pak?”Enak saja ketua RT ini minta bicara baik-baik. Dia tak merasakan apa yang kurasakan saat ini sehingga bisa dengan mudahnya meminta hal yang mustahil.“Iya, Saya tahu kalau Ibu sakit hati. Tapi kalau ibu menghancurkan rumah ini, itu sama aja dengan perusakan fasilitas pribadi.”“Ya emang disengaja. Mereka udah make uangku ratusan juta, tapi yang kudapat cuma sakit hati. Aku minta uangku dikembalika
Mereka bertiga terus saja menyalahkanku dan memaksaku untuk membatalkan perbuatanku tapi tentu saja aku mengindahkan permintaan mereka. Tidak ada satupun orang tua yang rela kalau anaknya disiksa oleh siapapun juga meskipun itu keluarga suaminya sendiri. Aku sedikit menyesal karena terlalu percaya dengan suamiku, tapi kini tidak akan lagi.“Itu mereka, Pak! Tangkap saja mereka!” sebuah suara mengejutkan kami semua. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan ternyata Pak RT yang kupikir sudah pulang, dia membawa rekannya yang berseragam coklat.“Ibu Wati? Saya mendapat kan pengaduan kalau ibu sedang melakukan pengrusakan rumah tanpa izin pemiliknya. Sekarang lebih baik Ibu ikut bersama kami,” ujar dua orang polisi yang datang ke rumah dan anehnya mereka tidak membawa mobil dinas.“Makan tuh penjara! Rasain kamu, Wat! Itu akibatnya kalau kamu berani main-main sama kita!” Ibu terlihat kesenangan saat ada polisi yang datang untuk menangkapku.Kedua preman yang menjagaku pun juga langsung pe