Share

Wati vs Linda

Aku mematung sesaat, bagaimana pun, lelaki yang sedang bergumul diatas ranjang itu adalah suamiku. Aku menikah dengannya karena cinta, bukan perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kami. Sakiiit sekali rasanya saat melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau lelaki yang selama ini mencintaiku sedang memeluk tubuh wanita lain di ranjang tempat kami berdua memadu kasih.

“Wat–ti? Kok kamu bisa ada di sini? Kapan kamu pulangnya?” Mas Marno mengambil sarung untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Perlahan ia mendatangiku berusaha untuk memelukku tapi dengan cepat aku mendorong tubuhnya agar menjauh.

Mana mungkin aku mau disentuh oleh pria yang baru saja tidur dengan wanita lain di ranjang kami berdua? Dan dengan wajah tanpa berdosa wanita itu kembali berpakaian seakan merasa kalau aku ini tidak ada di sini. Sentuhan itu membuatku tersadar kalau Mas Marno sama sekali tidak pantas untuk ditangisi, apalagi mengingat perakuannya kepada Melati membuatku teringat tujuanu datang ke sini. 

“Ini gak seperti yang kamu kira, Wat. Aku sama Linda itu–”

“Cukup, Mas! Aku gak mau denger omong kosongmu itu!”

Tanpa mereka duga, aku menarik rambut wanita yang sedang mengambil bajunya itu. Wanita itu seketika menjerit ketakutan.

“Aku gak peduli kamu siapa, tapi kamu udah tidur di ranjangku! Aku yang membelinya dengan keringatku jadi aku gak rela kalau kamu memakainya!”

Aku menyeret wanita itu dengan menarik rambutnya. Dia terpaksa mengikuti langkahku karena kepalanya pasti terasa sakit kalau dia mencoba untuk berontak!

“Dasar wanita gil4! Lepasin tanganmu, Si4lan!” teriak pelakor itu.

“Wat, jangan kayak gini, kasihan Linda!”

“Diam kamu, Mas! Atau aku akan menarik rambutnya sampai lepas dari kulit kepalanya. Kamu tahu kan aku sabuk hitam? Jangan main-main sama aku!! Aku kerja di negeri orang biar kehidupan kita mapan tapi ini balasan yang kamu kasih buatku, Mas? Kalau kamu mau nikah lagi, modal dong! Aku gak mau kalau kalian enak-enakan menggunakan semua uangku!”

Mas Marno sama sekali tak bisa berkutik. Ia hanya bisa memasang wajah memelas dan memohon agar aku tidak berbuat lebih jauh lagi kepada wanita yang sedang menundukkan kepalanya itu.  Dia sudah tahu bagaimana kalau aku marah, aku bukanlah wanita lemah yang akan menangis darah saat suami selingkuh atau hatiku disakiti. Aku juga bukan wanita penyabar yang menunggu datangnya karma kepada mereka yang sudah menyakitiku, tapi aku akan langsung membalasnya saat itu juga karena kemarahanku ini perlu dilampiaskan.

Aku menyeretnya sampai ke halaman biar semua orang tahu kalau wanita ini sudah merusak rumah tangga orang. Herannya lagi, wanita itu tidak seperti pelakor lain yang menangis saat ketahuan berselingkuh dengan suami orang. Ia justru terus-terusan mengumpat dan menyumpahiku dengan berbagai sumpah serapah.

“Lepaskan aku, Si4lan! Awas kamu ya!  Aku akan balas nanti!”

“B4cot!”

Aku melemparnya begitu saja saat melepaskan tanganku dari rambutnya, ia terjerembab dan terjatuh. Teriakan dan umpatannya barusan membuat beberapa orang mulai memenuhi halaman rumah mertuaku. Namun tetap saja, aku dan dia sama-sama tidak peduli dengan banyaknya penonton yang seperti tengah penonton yang mengelilingi kami bertiga layaknya tengah mendapatkan hiburan gratis. Aku yakin mereka juga pasti merasa geram dengan Mas Marno yang membawa wanita lain ke rumah kami padahal tahu kalau aku tengah bekerja menjadi TKW di Arab.

“Aneh banget! Kok bisa ya Wajah pelakor malah lebih garang dari istri yah?”

“Ya itu lah, Mbak. kalau otak dan hati udah ketutup sama Nafsu, yang ada cuman gak tahu diri, playing victim.”

Mulai terdengar kasak-kusuk yang membicarakan Linda, aku bisa tahu karena tak sengaja mendengar saat mereka sedang berdiri di belakangku.

“Hajar aja, Mbak! Pelakor emang gak punya malu! Aku mendukungmu!” teriak entah siapa yang jelas aku yakin kalau mereka sedang membicarakan pelakor itu.

“Aku bukan pelakoor!” wanita itu pun juga mendengar percakapan ibu-ibu di belakang kami. 

“Aku ini dinikahi secara sah oleh Mas Marno, jadi aku juga istrinya. Emangnya salah kalau seorang istri sedang melakukan kewajibannya kepada suami? Kalian itu gak tahu apa-apa. Lebih baik keluar semua dari rumahku!” Linda yang marah mengusir orang-orang yang berkumpul di sini, kebanyakan dari mereka itu adalah ibu-ibu yang tentu saja membela istri sah daripada pelakor.

“Mana mungkin bisa nikah secara sah di mata negara. Wong Marno aja jelas masih punya istri kok. Kalau mau nikah secara sah ya … ceraiin dulu itu Mbak Wati. tapi kayaknya gak mungkin kan kalian cuma numpang idup sama Wati.”

“Iya, kalau gak ada Mbak Wati, gak mungkin kalian bisa punya rumah sebesar ini, punya mobil, bisa beli tanah. Wong mertuamu aja cuma pensiunan dengan gaji dua juta. Dan suamimu ini pemalas! Gak mau kerja susah, tapi maunya hidup enak!”

“Aku juga heran apa yang menarik dar janda ini, dari wajah aja udah keliatan kalau cantikan Mbak Wati, dari segi materi juga jelas kalah, jauh lebih berduit Mbak Wati.”

“bu-Ibu, gak perlu skill hebat kalau mau jadi pelakor. Cukup  gak tahu diri, gak punya malu dan diobral murah! Pasti tuh, langsung pada mendekat para lelaki yang lemah iman.”

Bukan aku yang barusan bilang begitu, tapi para ibu-ibu yang juga ikutan geram dengan tingkah pelakor yang memang gak tahu malu. Dia merasa benar hanya karena dinikahi secara diam-diam padahal hanya nikah di bawah tangan karena aku sebagai istri sah tidak tahu menahu.

“Diam kalian semua! Jangan kalian menyalahkan Linda! Dia sama sekali gak salah!”

Wah, sang pahlawan akhirnya berani membuka mulutnya padahal sejak tadi ia hanya diam saja melihat keadaan. Akan tetapi pada saat gund1k itu dihina, sang suami barunya itu langsung melindunginya. Hatiku terasa nyeri seperti tercubit pisau. Seharusnya aku lah yang berhak mendapatkan perlakuan itu, tapi karena hatinya sudah tertutup n4fsu membuat suamiku sama sekali tidak menyadari kalau aku lah yang tersakiti di sini. Aku yakin Mas Marno merasa kalau istri keduanya lah yang menjadi korban di sini.

“Wati! Ini yang kamu mau, hah? Kehidupan pribadi kita diekspos keluar? Bahkan sampai tetangga yang gak ada hubungan sama kita bisa komentar semaunya? Pulang-pulang attitude mu jadi kayak gak pernah sekolah! Gini nih kalau nikah sama wanita kampung! Ibumu gak pernah ngajarin sopan santun ya sama suami!”

Plak!

Akhirnya tanganku mendarat juga di pipi Mas Marno, sejak tadi aku diam saja dan menahan emosiku, tapi begitu dia menyebutkan Ibuku, entah kenapa tanganku reflek menamparnya. Aku tak terima kalau ibuku yang lemah lembut dan memiliki ilmu sabar tingkat tinggi itu dihina sama Mas Marno.

“Kasar banget sih jadi wanita! Pantes aja Mas Marno milih aku, kamu itu gak ada anggun-anggunya jadi wanita. Masa iya suami sendiri di tampar! Kamu gak papa, Mas?”

Aku tersenyum pahit, kenapa aku yang seperti orang jahat di sini padahal posisiku di sini adalah istri sah yang diselingkuhi suamiku sendiri.

“Sakit banget, Lin. Wati! Bener-bener kamu ya!” Mas Marno mengelus pipi kanannya yang terlihat memerah, dia pun maju beberapa langkah, sepertinya ingin membalas tamparanku barusan. Aku mulai bersiap–

“Ada apa ini?” tanya sebuah suara yang tiba-tiba datang dari arah pintu gerbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status