Aku mematung sesaat, bagaimana pun, lelaki yang sedang bergumul diatas ranjang itu adalah suamiku. Aku menikah dengannya karena cinta, bukan perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kami. Sakiiit sekali rasanya saat melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau lelaki yang selama ini mencintaiku sedang memeluk tubuh wanita lain di ranjang tempat kami berdua memadu kasih.
“Wat–ti? Kok kamu bisa ada di sini? Kapan kamu pulangnya?” Mas Marno mengambil sarung untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Perlahan ia mendatangiku berusaha untuk memelukku tapi dengan cepat aku mendorong tubuhnya agar menjauh.
Mana mungkin aku mau disentuh oleh pria yang baru saja tidur dengan wanita lain di ranjang kami berdua? Dan dengan wajah tanpa berdosa wanita itu kembali berpakaian seakan merasa kalau aku ini tidak ada di sini. Sentuhan itu membuatku tersadar kalau Mas Marno sama sekali tidak pantas untuk ditangisi, apalagi mengingat perakuannya kepada Melati membuatku teringat tujuanu datang ke sini.
“Ini gak seperti yang kamu kira, Wat. Aku sama Linda itu–”
“Cukup, Mas! Aku gak mau denger omong kosongmu itu!”
Tanpa mereka duga, aku menarik rambut wanita yang sedang mengambil bajunya itu. Wanita itu seketika menjerit ketakutan.
“Aku gak peduli kamu siapa, tapi kamu udah tidur di ranjangku! Aku yang membelinya dengan keringatku jadi aku gak rela kalau kamu memakainya!”
Aku menyeret wanita itu dengan menarik rambutnya. Dia terpaksa mengikuti langkahku karena kepalanya pasti terasa sakit kalau dia mencoba untuk berontak!
“Dasar wanita gil4! Lepasin tanganmu, Si4lan!” teriak pelakor itu.
“Wat, jangan kayak gini, kasihan Linda!”
“Diam kamu, Mas! Atau aku akan menarik rambutnya sampai lepas dari kulit kepalanya. Kamu tahu kan aku sabuk hitam? Jangan main-main sama aku!! Aku kerja di negeri orang biar kehidupan kita mapan tapi ini balasan yang kamu kasih buatku, Mas? Kalau kamu mau nikah lagi, modal dong! Aku gak mau kalau kalian enak-enakan menggunakan semua uangku!”
Mas Marno sama sekali tak bisa berkutik. Ia hanya bisa memasang wajah memelas dan memohon agar aku tidak berbuat lebih jauh lagi kepada wanita yang sedang menundukkan kepalanya itu. Dia sudah tahu bagaimana kalau aku marah, aku bukanlah wanita lemah yang akan menangis darah saat suami selingkuh atau hatiku disakiti. Aku juga bukan wanita penyabar yang menunggu datangnya karma kepada mereka yang sudah menyakitiku, tapi aku akan langsung membalasnya saat itu juga karena kemarahanku ini perlu dilampiaskan.
Aku menyeretnya sampai ke halaman biar semua orang tahu kalau wanita ini sudah merusak rumah tangga orang. Herannya lagi, wanita itu tidak seperti pelakor lain yang menangis saat ketahuan berselingkuh dengan suami orang. Ia justru terus-terusan mengumpat dan menyumpahiku dengan berbagai sumpah serapah.
“Lepaskan aku, Si4lan! Awas kamu ya! Aku akan balas nanti!”
“B4cot!”
Aku melemparnya begitu saja saat melepaskan tanganku dari rambutnya, ia terjerembab dan terjatuh. Teriakan dan umpatannya barusan membuat beberapa orang mulai memenuhi halaman rumah mertuaku. Namun tetap saja, aku dan dia sama-sama tidak peduli dengan banyaknya penonton yang seperti tengah penonton yang mengelilingi kami bertiga layaknya tengah mendapatkan hiburan gratis. Aku yakin mereka juga pasti merasa geram dengan Mas Marno yang membawa wanita lain ke rumah kami padahal tahu kalau aku tengah bekerja menjadi TKW di Arab.
“Aneh banget! Kok bisa ya Wajah pelakor malah lebih garang dari istri yah?”
“Ya itu lah, Mbak. kalau otak dan hati udah ketutup sama Nafsu, yang ada cuman gak tahu diri, playing victim.”
Mulai terdengar kasak-kusuk yang membicarakan Linda, aku bisa tahu karena tak sengaja mendengar saat mereka sedang berdiri di belakangku.
“Hajar aja, Mbak! Pelakor emang gak punya malu! Aku mendukungmu!” teriak entah siapa yang jelas aku yakin kalau mereka sedang membicarakan pelakor itu.
“Aku bukan pelakoor!” wanita itu pun juga mendengar percakapan ibu-ibu di belakang kami.
“Aku ini dinikahi secara sah oleh Mas Marno, jadi aku juga istrinya. Emangnya salah kalau seorang istri sedang melakukan kewajibannya kepada suami? Kalian itu gak tahu apa-apa. Lebih baik keluar semua dari rumahku!” Linda yang marah mengusir orang-orang yang berkumpul di sini, kebanyakan dari mereka itu adalah ibu-ibu yang tentu saja membela istri sah daripada pelakor.
“Mana mungkin bisa nikah secara sah di mata negara. Wong Marno aja jelas masih punya istri kok. Kalau mau nikah secara sah ya … ceraiin dulu itu Mbak Wati. tapi kayaknya gak mungkin kan kalian cuma numpang idup sama Wati.”
“Iya, kalau gak ada Mbak Wati, gak mungkin kalian bisa punya rumah sebesar ini, punya mobil, bisa beli tanah. Wong mertuamu aja cuma pensiunan dengan gaji dua juta. Dan suamimu ini pemalas! Gak mau kerja susah, tapi maunya hidup enak!”
“Aku juga heran apa yang menarik dar janda ini, dari wajah aja udah keliatan kalau cantikan Mbak Wati, dari segi materi juga jelas kalah, jauh lebih berduit Mbak Wati.”
“bu-Ibu, gak perlu skill hebat kalau mau jadi pelakor. Cukup gak tahu diri, gak punya malu dan diobral murah! Pasti tuh, langsung pada mendekat para lelaki yang lemah iman.”
Bukan aku yang barusan bilang begitu, tapi para ibu-ibu yang juga ikutan geram dengan tingkah pelakor yang memang gak tahu malu. Dia merasa benar hanya karena dinikahi secara diam-diam padahal hanya nikah di bawah tangan karena aku sebagai istri sah tidak tahu menahu.
“Diam kalian semua! Jangan kalian menyalahkan Linda! Dia sama sekali gak salah!”
Wah, sang pahlawan akhirnya berani membuka mulutnya padahal sejak tadi ia hanya diam saja melihat keadaan. Akan tetapi pada saat gund1k itu dihina, sang suami barunya itu langsung melindunginya. Hatiku terasa nyeri seperti tercubit pisau. Seharusnya aku lah yang berhak mendapatkan perlakuan itu, tapi karena hatinya sudah tertutup n4fsu membuat suamiku sama sekali tidak menyadari kalau aku lah yang tersakiti di sini. Aku yakin Mas Marno merasa kalau istri keduanya lah yang menjadi korban di sini.
“Wati! Ini yang kamu mau, hah? Kehidupan pribadi kita diekspos keluar? Bahkan sampai tetangga yang gak ada hubungan sama kita bisa komentar semaunya? Pulang-pulang attitude mu jadi kayak gak pernah sekolah! Gini nih kalau nikah sama wanita kampung! Ibumu gak pernah ngajarin sopan santun ya sama suami!”
Plak!
Akhirnya tanganku mendarat juga di pipi Mas Marno, sejak tadi aku diam saja dan menahan emosiku, tapi begitu dia menyebutkan Ibuku, entah kenapa tanganku reflek menamparnya. Aku tak terima kalau ibuku yang lemah lembut dan memiliki ilmu sabar tingkat tinggi itu dihina sama Mas Marno.
“Kasar banget sih jadi wanita! Pantes aja Mas Marno milih aku, kamu itu gak ada anggun-anggunya jadi wanita. Masa iya suami sendiri di tampar! Kamu gak papa, Mas?”
Aku tersenyum pahit, kenapa aku yang seperti orang jahat di sini padahal posisiku di sini adalah istri sah yang diselingkuhi suamiku sendiri.
“Sakit banget, Lin. Wati! Bener-bener kamu ya!” Mas Marno mengelus pipi kanannya yang terlihat memerah, dia pun maju beberapa langkah, sepertinya ingin membalas tamparanku barusan. Aku mulai bersiap–
“Ada apa ini?” tanya sebuah suara yang tiba-tiba datang dari arah pintu gerbang.
Melihat wanita mur4han itu memeluk suamiku, aku tak merasa cemburu sama sekali. Yang ada aku malah jijik saat melihatnya. Apalagi wajahnya yang dibuat-buat membuatku semakin muak saat melihatnya. Saat ini, Aku sangat ingin menampar keduanya. Apalagi saat tangan Mas Marno naik bersiap untuk menamparku hingga sebuah suara menghentikan pertikaian kami berdua.“Ada apa ini?” tanya Ratna, Ibu mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari arisan. Ia mengenakan pakaian yang bagus dan juga memakai make up. Tidak mungkin kalau dia pergi ke pasar dengan dandanan begitu mentereng.Aku melihat Ibuku berjalan di belakangnya dengan menenteng belanjaan di kedua tangannya. Melihat sorot wajah ibuku yang kelelahan aku yakin kalau barang bawaan sangatlah berat. Apalagi wajahnya kelihatan berkilat karena keringat yang terus mengalir dari keningnya. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku. Ibuku sudah tua, tapi masih harus dipaksa membawa belanjaan begitu banyak. Apa mereka sama sekali tidak merasa ka
“Aamiinaah! Mana makanannya aku udah laper banget ini! Lelet banget sih jadi orang tua!” Sebuah teriakan kembali terdengar dari lantai dua. Siapa lagi kalau bukan nona kecil yang bernama Tiara itu. Anak yang dibawa oleh Linda dan kini menduduki kamar yang seharusnya untuk Melati. Aku menyuruh Ibu untuk beristirahat saja di kamar sementara aku lah yang akan mengajari anak itu agar memiliki sopan santun kepada yang lebih tua.“Lama banget sih ngambilin makan aja! Budek kamu ya!” gerutu gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.Ia masih duduk membelakangiku, pasti ia mendengar pintu terbuka sehingga bisa berbicara seperti itu meskipun tanpa menoleh. Aku masih bergeming dan hanya bersedekap saja. Aku ingin tahu gadis seperti apa Tiara ini sehingga bisa mengambil alih semua milik Melati.Karena aku hanya diam saja, Tiara akhirnya menoleh. Aku melihat kalau usia Melati dan Tiara tidak begitu jauh, mungkin hanya selisih satu atau dua tahun saja. Namun anehnya kenapa wajahnya seperti mirip Mas
“Apa katamu, Wat? Kembalikan mobil ku!” teriak Mas Marno kesetanan.“Kenapa malah kamu yang marah? Harusnya aku yang marah sama kamu, Mas! Susah payah aku kerja jadi pembantu rumah tangga di negara orang, menahan rindu kepada anak semata wayangku dan mempercayakan semuanya di sini kepadamu. Tapi apa yang kudapat? Kamu menikah lagi, mertuamu yang juga ibu kandungku kau jadikan pembantu. Parahnya lagi kau juga menyiksa batin anakku. Dulu Melati adalah anak yang ceria, tapi kini semuanya berubah dan ini semua gara-gara kamu, Mas!”“Jangan salahin anakku!” Mertuaku tiba-tiba memotong ucapanku.“Semua ini salahmu, Wat. Coba kalau kamu itu lulusan sarjana, pasti bisa kerja daftar jadi PNS, atau minimal kerja di kantoran kayak Linda itu. Yang namanya laki-laki, pasti punya kebutuhan batin yang harus dipenuhi, dan dalam agama juga gak ada larangan kok. Kamu harusnya bersyukur, Wat karena aku gak nyuruh Marno buat nyerein kamu! Di Arab kamu emang bisa dapet banyak uang, tapi di sini? Bisa apa
POV Marno.“Bu, apa ini gak keterlaluan? Semua uang ini kan dari Wati? Masa dia yang diusir dari rumah ini?” keluhku kepada Ibu.“Yagak lah! Siapa suruh dia gak mau nurut sama kita. Disuruh diem aja kok gak mau. Kamu juga tahu kan kalau islam itu mengajarkan laki-laki boleh punya istri sampai empat? Ini kamu baru punya dua dia kok malah marah-marah gak terima!”“Ibu bener, Mas. Kita kan udah punya segalanya, dan kamu udah punya aku, istri yang cantik, pinter dan lulusan sarjana. Jadi ngapain ada Wati lagi?” sambung Linda, istri keduaku yang sangat cantik dan semok.Aku menikah dengannya karena dia begitu perhatian dan tentu saja jauh lebih seksi daripada Wati khususnya masalah di atas ranjang. Linda lebih aktif dan memiliki banyak gaya, sehingga membuatku tak bisa lepas dari pelukannya hingga akhirnya aku nekat menikahinya dengan harapan kalau Wati masih terus mau bersamaku asalkan aku bersikap adil kepadanya.“Tapi, Bu? Mobil kita gimana?”“Kamu tenang aja. Kalau masalah itu, kita an
Bab 10PoV WatiHari yang kutunggu akhirnya tiba, aku akan kembali ke rumah mertua yang kubangun dari hasil kerja kerasku. Kendaraan berat itu sedang diangkut ke rumah mertuaku, aku yakin mereka pasti akan kaget dengan kejutan yang kuberikan ini.“Wat, kamu serius dengan rencana kamu ini?” tanya Santi yang selama ini sudah membantuku.“Ya, tentu saja aku yakin. Enak sekali mereka mau hidup di rumah hasil kerja kerasku bertahun-tahun di negeri orang. Kalau mereka memang mau hidup enak, biar mereka usaha sendiri!” ucapku yakin.“Sapa tahu kan kamu cuma mau gertak mereka aja? Aku juga sebel sih sama keluarga suamimu itu. Gak sadar diri siapa yang selama ini udah bantu mereka. Bener-bener kacang lupa sama kulitnya itu.”Pembicaraan kami berakhir karena secara perlahan-lahan mobil sudah berhenti di sebuah rumah. Bukan milik suamiku, tapi tetangga sampingnya karena kendaraan berat di depanku itu sudah diturunkan tepat di depan gerbang.Suara yang berisik membuat beberapa orang keluar dari
Dari tadi Mas Marno diam saja saat barang-barang yang ada di dalam rumah diambil, justru Ibu yang menangis darah saat benda itu berpindah masuk ke dalam truk. Namun saat sangkar burung mahalnya dibawa pergi, barulah dia marah-marah kepadaku. Aku tahu kalau suamiku hobi memelihara burung, bahkan ia bisa membeli hewan kecil itu dengan harga puluhan juta tapi tetap saja menggunakan uangku sehingga aku tetap mengambilnya kembali. Bukannya aku kejam, hanya saja aku tak rela kalau mereka berbahagia menggunakan uangku.“Aku akan tetap membawanya karena itu dibeli menggunakan uangku. Aku beri waktu sampai besok untuk kalian mengembalikan semua uangku yang dipakai untuk membangun rumah ini. Kalau tidak, maka bersiaplah kalau rumah ini aku hancurkan menggunakan benda itu.” Aku menunjuk alat berat yang berwarna kuning itu.Mas Marno hanya bisa meneguk ludah, ia tak punya daya untuk melawan karena aku meminta preman untuk mengawalku.“Besok pagi aku akan kesini lagi dan pastikan kalian sudah puny
“Sudah, Bu. Sudah. Saya tahu kalau Ibu sedang marah dengan keluarga Ibu. Tapi Bukankah semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan?” tanya pria berpangkat RT tersebut.“Apanya yang mesti dibicarakan, Pak? Kemarin aku udah bilang, silakan kalau mau nikah lagi, tapi kembalikan semua harta yang udah kukasih. Au ga rela kalau aku yang nyari duit tapi mereka yang nikmatin. Selama ini aku diem karena kupikir Mas Marno ini laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku salah besar. Anakku dianiaya, Ibuku dijadikan pembantu dan dia nikah lagi sama janda gak jelas ini. Apa lagi yang mau dibicarakan, Pak?”Enak saja ketua RT ini minta bicara baik-baik. Dia tak merasakan apa yang kurasakan saat ini sehingga bisa dengan mudahnya meminta hal yang mustahil.“Iya, Saya tahu kalau Ibu sakit hati. Tapi kalau ibu menghancurkan rumah ini, itu sama aja dengan perusakan fasilitas pribadi.”“Ya emang disengaja. Mereka udah make uangku ratusan juta, tapi yang kudapat cuma sakit hati. Aku minta uangku dikembalika
Mereka bertiga terus saja menyalahkanku dan memaksaku untuk membatalkan perbuatanku tapi tentu saja aku mengindahkan permintaan mereka. Tidak ada satupun orang tua yang rela kalau anaknya disiksa oleh siapapun juga meskipun itu keluarga suaminya sendiri. Aku sedikit menyesal karena terlalu percaya dengan suamiku, tapi kini tidak akan lagi.“Itu mereka, Pak! Tangkap saja mereka!” sebuah suara mengejutkan kami semua. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan ternyata Pak RT yang kupikir sudah pulang, dia membawa rekannya yang berseragam coklat.“Ibu Wati? Saya mendapat kan pengaduan kalau ibu sedang melakukan pengrusakan rumah tanpa izin pemiliknya. Sekarang lebih baik Ibu ikut bersama kami,” ujar dua orang polisi yang datang ke rumah dan anehnya mereka tidak membawa mobil dinas.“Makan tuh penjara! Rasain kamu, Wat! Itu akibatnya kalau kamu berani main-main sama kita!” Ibu terlihat kesenangan saat ada polisi yang datang untuk menangkapku.Kedua preman yang menjagaku pun juga langsung pe
Sudah enam bulan berlalu sejak aku memberi tahu Melati kalau ayahnya sekarang berada di penjara. Mungkin dia memang masih kecil tapi aku tidak mungkin membohonginya sehingga aku pun mengatakan hal yang sebenarnya kepadanya. Mas Marno di penjara karena perbuatannya menyakiti Melati, secara tidak langsung aku mengajari Melati kalau kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Awalnya Melati merasa sedih karena bagaimanapun dia adalah ayahnya tapi kini senyum ceria di wajahnya sudah kembali.“Wat, usahamu sudah berkembang dengan pesat, gimana kalau kamu mulai buat beli rumah? Ucap Ibu di sela-sela memasak. “Boleh juga, Bu tapi aku belum nemu yang cocok. Ibu ada rekomendasi gak pengen tinggal dimana?”“Sebenarnya ada sih.” Ibu menaruh pisau yang dipegangnya kemudian mulai bercerita.“Bu Intan yang dulu tinggal gak jauh dari rumah mertuamu nawarin tanahnya. Dia mau jual karena butuh biaya buat berobat anaknya. Katanya sih mau dijual murah.”“Murahnya berapa, Bu?” tanyaku mulai tertarik. Aku meman
PoV Ratna“Setelah melihat dari bukti dan saksi yang ada akhirnya kami memutuskan untuk memberikan hukuman selama satu tahun penjara dan denda satu milyar. Mereka mendapatkan keringanan karena berkelakuan baik selama berada di dalam penjara. Hal itu lah yang digunakan sebagai pertimbangan.”Aku tidak mungkin bisa melupakan kalimat yang membuat hidupku berubah. Anakku satu-satunya di penjara padahal dia sama sekali tidak bersalah. Ini semua gara-gara Wati, wanita yang dinikahi oleh Marno, anakku. Kalau saja mereka tidak menikah, pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi kepadaku. Setiap hari aku hanya bisa menangis di dalam kamar yang sempit ini menunggu mereka berdua keluar dari hotel prodeo itu.Brak!Pintu kamar dibuka dengan keras, membuatku sampai berjingkat karena kaget. Rupanya yang melakukannya Devi, adiknya Linda yang menggantikan usaha kakaknya berjualan warung kopi yang lumayan ramai dikunjungi pembeli.“Bu, aku udah bilang berapa kali? Di sini tuh bukan hotel jadi jangan
Aku mengajaknya turun untuk makan, dan mungkin bisa mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin membahas tentang hal ini karena menurutku belum saatnya Melati mengetahui kalau ayahnya beras dibalik jeruji.Kupikir dia akan lupa, tapi tetap saja ia turun dengan membawa baju untuk ayahnya. Ya sudah mau tak mau aku pun harus menjawab pertanyaannya anak gadisku ini. Namun Bagaimana bisa dia membeli baju laki-laki seukuran ayahnya? Apakah begitu mudahnya dia memaafkan perilaku bapaknya yang tidak manusiawi itu? Aku masih terdiam, masih belum bisa menerima kenyataan kalau Melati semudah itu ingin bertemu dengan bapak kandungnya “Bukan ibu yang suruh, tapi dia tadi ngerengek minta dibeliin baju buat suami mu. Katanya di sekolah besok ada pelajaran bercerita tentang ayahnya, jadi dia pengen beliin sesuatu dan akan dia ceritakan di sekolah kalau dia masih punya bapak yang sayang sama dia.”Ya Allah, hatiku mencelos saat mendengar ibu menceritakan kisah dibalik sebuah kemeja berwarna putih itu.
Aku menjalani hari dengan tenang karena kedua orang yang mengganggu hidupku kini sedang berada di penjara. Aku senang karena akhirnya perlahan keadilan mulai datang kepadaku. Mas Marno dan Linda sedang berada di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya meskipun keputusan dari pengadilan belum keluar sepenuhnya. Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan panggilan telepon dari kepolisian katanya mereka berdua ingin berbicara denganku tapi aku mengabaikannya. Dan hari ini adalah sidang putusan tentang semuanya, makanya aku memutuskan untuk mengunjungi merek sebentar.“Bu, aku titip Melati ya! Bekal dan peralatan sekolahnya udah kusiapkan di kamar.”“Iya, Wat. Oh iya, nanti aku mau ngajak Melati jalan-jalan ke mall karena katanya dia pengen beli mainan yang sama dengan temannya. Boleh kan?”“Boleh, Bu. nanti aku transfer uangnya ya! Jangan lupa nanti pulangnya langsung ke warung aja, Bu. Soalnya nanti truk pengangkutnya datang siang.” Ibuku mengangguk setuju, tak lupa aku salim
Tanpa menunggu lagi, aku mendatangi rumah rentenir yang biasa dipanggil Bu Kaji itu. Siapa pun yang mendengar pertama kali pasti tidak akan menyangka kalau wanita itu adalah seorang rentenir karena gayanya yang terlihat biasa saja. Sudah dua kali aku pergi ke rumahnya dan terus saja kagum karena keamanannya. Banyak sekali preman-preman yang duduk santai di rumah ini seakan rumah mereka sendiri. Wajah mereka seram dan bertato tapi sama sekali tidak menakutkan karena mereka sangat ramah kepadaku. Preman itu juga selalu tersenyum, kontras sekali dengan jaket kulit dan tato yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.“Duduk di sini ya Mbak Wati. sebentar lagi Ibu turun kok. Diminum dulu tehnya!”“Makasih, Mas.” Aku tersenyum saat ada seorang pria yang menyodorkan segelas teh kepadaku, aku mencicipinya untuk menghargai si empunya rumah yang sudah menyambutku dan tak lama kemudian yang kucari akhirnya muncul. Seperti biasa, wanita yang akrab dipanggil Bu Kaji ini datang dengan menggunakan daste
“Wati? Kok mau bisa ada di sini?”“Ibu apain anakku?” teriakku marah.Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi apa yang sudah ibu perbuat benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Kupikir setelah kehilangan rumah, Ibu akan menyadari kesalahannya tapi ternyata tidak. Memang benar kalau watak itu tidak akan bisa berubah.“Ibu gak ngapa-ngapain kok. Melati terus aja teriak-teriak padahal gak ada apa-apa. Ibu minta buat diem, tapi dia ngeyel. Ya udah gimana lagi?”Nafasku memburu, dalam hati berulang kali aku mengucapkan istigfar agar tidak memukul wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. Perbuatannya kali ini sudah diluar batas dan tidak bisa dimaafkan lagi. “Dari Mana Ibu bisa tahu dimana sekolah Melati, hah? Dan kenapa ibu lancang jemput dia? Apa ibu belum puas nyakitin anakku?! Dasar–” Hampir saja amarahku meledak, untung saja tadi akhirnya Ibu dan Ardian ikut serta sehingga bisa membuatku mengerem ucapanku sendiri agar tidak mengumpat di depan Melati.Kuhirup nafas dalam-dalam untuk
Apa katanya? Melati tidak ada di sana? Bagaimana bisa ia mengatakan kalau aku kecelakaan padahal aku jelas sedang berdiri di sini? Kuarahkan pandangan kepada dua orang di depanku ini, keduanya sama-sama menyeringai, menandakan kalau mereka lah yang sudah mengatur hal ini.“Itu kalian kan? Dimana anakku!” teriakku panik. Ardian yang masih ada di sampingku pun sampai terkejut melihatnya.“Apa maksudmu, Wat? Aku gak paham,” ujar Mas Marno merasa tak bersalah. Bahkan wajahnya terlihat kebingungan. Bukankah barusan dia menyeringai? Kenapa sekarang berlagak bodoh?“Katakan dimana Melati! Bagaimana kamu bisa tahu di sekolah dimana, hah? Apa yang kamu lakukan kepadanya?”“Anakmu aman kalau kamu mengalah kepada kami, wanita s1alan! Dia belum hilang lebih dari dua puluh empat jam jadi kamu gak akan bisa melaporkannya ke polisi. Kalau kamu menurut, dia akan aman!” sambung wanita jahat itu. Aku sudah akan membalas ucapannya, tapi sebuah tangan menarikku kembali. Tanpa melihat pun aku yakin kalau
Sudah beberapa hari berlalu setelah pertemuanku dan Linda. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ternyata tujuan Linda menikahi Mas Marno karena uang. Terbukti setelah Mas Marno tak lagi memiliki rumah mewah itu, Linda langsung mencari mangsa baru untuk diporotin . kasihan banget kamu, Mas. Niatnya punya istri dua biar ada yang melayani, tapi ujung-ujungnya malah zonk, kamu kehilangan semuanya. Kamu kehilangan istri dan anak yang selama ini menyayangimu, kehilangan rumah dan juga kehilangan istri keduamu karena jelas dia tidak akan mau diajak susah. Kalau saja kamu gak selingkuh, mungkin saat ini aku pulang dan kita akan bahagia, bahkan aku berniat membeli rumah baru atas namamu. Namun di dunia ini, tak ada yang namanya ‘andaikan’ semuanya sudah berjalan seperti adanya dan itu karena ulahmu sendiri jadi jangan salahin aku ya, Mas.“Hei! Pagi-pagi kok ngelamun! Bayangin apa sih?” tanya Santi yang ikutan duduk di teras sambil meletakkan segelas teh hangat.“Kamu nih ngagetin aja, San. A
Aku penasaran dengan ucapan Santi barusan karena jarang sekali dia memintaku untuk segera datang kalau aku sedang melaksanakan ibadah. Aku yakin pasti hal ini sangat mendesak sampai-sampai dia memintaku untuk segera datang. Mukena sudah kulipat dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam tas, aku pun segera turun untuk menemui temanku yang sedang menungguku.“Ada apa sih, San? Tumben banget kamu minta aku buat cepet-cepet?” tanyaku setelah duduk di depan Santi.“Tuh. liat aja sendiri!” Santi menunjuk dengan wajahnya.Aku mengikuti arah pandang Santi dan aku melihat kalau ada seorang pasangan suami istri yang juga sedang makan siang bersama. Aku bisa mengatakan kalau mereka pasangan karena tangan laki-laki selalu menyentuh bagian tubuh si wanita.“Apa yang aneh sama pasangan itu? Kamu nih aneh-aneh aja! Nyuruh aku datang cuma buat kasih liat mereka yang lagi mesra-mesraan?” gerutuku sambil membuka buku menu, bersiap untuk memesan makan siangku.“Liat dengan jelas, siapa wanita itu?”“E