Share

Datang!

“Apa maksudnya, Bu? Melati kenapa?” Aku sangat shock mendengar penuturan ibu.

“Ibu sudah menduga kalau kamu pasti tidak tahu apa-apa. Baiklah, Ibu akan ceritakan semuanya dari awal. Setelahnya mau seperti apa, Ibu mendukung semua keputusanmu nanti.”

Aku mendengarkan dengan seksama saat Ibu menceritakan semuanya kalau ternyata sudah satu tahun ini Linda tinggal bersama dengan mereka meskipun saat itu mereka belum menikah. Saat itu Ibu yang sudah sangat merindukan cucunya nekat datang ke rumah Mas Marno untuk bertemu dengan Melati. Untuk itu Ibu nekat meminjam uang dengan menggadaikan rumah kami kepada salah seorang saudaranya karena ongkos pesawat Sumatra-jawa tidaklah murah. Begitu Ibu datang, ia mendengar suara tangisan Melati dan saat itu Ibu tahu kalau Melati sedang dipuk*li oleh Mas Marno. Ibu ingin membawa Melati kembali ke Sumatera tapi tidak diizinkan oleh Mas Marno, untuk itulah Ibu memilih untuk memaksa tinggal disana karena takut cucunya kenapa-kenapa. Karena di sana tidak ada pemasukan dan merasa menumpang, akhirnya Ibu pun lama kelamaan dianggap pembantu karena Ibu lah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.

“Astagfirullahaladzim! Benar-benar keluarga b1aad4p! Bisa-bisanya dia menyiksa anaknya sendiri!”

Aku benar- benar marah saat mendengar semua cerita Ibu. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku kalau Melati juga mendapatkan kekerasan suamiku padahal dia adalah darah dagingnya sendiri.

“Ini gak bisa dibiarkan, Bu! Secepatnya aku juga harus bawa Melati keluar dari rumah itu. Ibu, kumohon tinggallah bersamaku, jangan di rumah itu lagi. Aku gak terima kalau Ibu dianggap babu di sana.”

“Iya, Ibu mau, Nak. Tapi jangan sekarang, Marno belum tahu kan kalau kamu udah kembali? Kalau ibu tiba-tiba pergi begini, dia pasti curiga. Lebih baik bawa Ibu kembali ke sana. Ibu janji akan selalu menjaga Melati sampai kamu menjemput kami berdua nanti.”

“Ya udah, tapi sebelum ibu pulang, Ibu ikut aku bentar ya!”

Ibu mengangguk patuh, aku membawa Ibu ke sebuah konter hp dan membelikan Ibu ponsel baru. Bukan yang mahal karena aku tahu ibu sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel sehingga kalau terlalu canggih aku yakin malah akan membuat ibu kesulitan menggunakannya.

“Bu, Ini diterima ya! Biar aku gampang ngubungin Ibu.”

“Tapi, Nak. Kamu tahu sendiri kalau Ibu itu gak bisa main hp.”

“Aku ajarin, Ibu. Yang penting Ibu bisa nelpon dan nerima telfonku. Itu dulu aja.”

Setelah melihat Ibu mengangguk, aku pun mengajari Ibu mengoperasikan ponsel itu, dan setelah berulang kali mencoba, akhirnya Ibu pun membawa ponsel itu pulang bersama nya. Aku memesankan ojol karena tidak mungkin mengantarkannya langsung ke rumah. Aku juga meminta Ibu untuk sedikit berbohong kepada mereka agar rencanaku tidak ketahuan.

“Aku gak habis pikir, Wat. Kupikir suami kamu cuman menikah lagi, tapi ternyata nggak. Dia juga tega nyiksa anak dan mertuanya sendiri. Beneran dah suami kamu itu.”

“Makanya itu, San. Aku gak mungkin diem aja kan? Gak ada waktu buat meratapi nasib karena ditinggal nikah lagi, bagaimana pun caranya aku harus bisa ngebuat mereka nangis darah dan mohon ampun kepada Ibu dan anakku!”

Pandanganku melayang jauh, aku harus segera mengambil kembali anakku sebelum dia kembali disiksa. Sebelum Ibu pulang tadi, aku sudah menanyakan kabar Melati, ternyata dia hanya di sekolahkan di sekolah yang biasa saja bahkan gratis SPP dan uang masuk karena anakku anak yang pintar. Berarti uang yang diminta kemarin jelas untuk tambahan biaya pernikahan Mas Marno, bukan untuk sekolah Melati yang katanya masuk SD Internasional dan bodohnya aku percaya begitu saja.

Setelah mendapatkan info valid mengenai kabar Melati, aku pun memulai rencana keduaku yaitu bertemu dengan Melati. Saat ini aku sudah menunggu Melati di SD yang letaknya cukup jauh dari rumah. Matahari belum sepenuhnya meninggi Saat aku sedang menunggu Melati pulang dari sekolahnya. Aku menggunakan jilbab panjang dan menutupi wajahku dengan masker karena takut kalau Mas Marno melihatku saat menjemput Melati.

“Melati!”

Aku memanggil seorang anak yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Sekali lihat pun aku tahu kalau itu adalah anakku meskipun sudah beberapa tahun aku tidak melihatnya. Melati menoleh, ia terdiam sebentar, mungkin sedang mencari tahu apakah dia mengenaliku atau tidak. Aku pun membuka masker yang kupakai agar dia bisa melihat wajahku, barulah setelah itu dia berlari memanggil namaku.

“Mama!”

Ya Tuhan, dari dekat aku bisa melihat tubuhnya kurus kering, wajahnya pun sama seperti ibu, terlihat kuyu dan kulitnya berubah kecoklatan seperti terkena sengatan matahari setiap hari. Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi dengan orang-orang yang kusayangi? Kenapa keadaan ibu dan anakku begitu mengenaskan begini?

Aku menahan tangis saat memeluk tubuh kurus kering itu, berusaha terlihat tegar dan tersenyum meskipun hatiku menjerit. Anak dan Ibuku menjadi korban keb14dapan suami dan keluarganya.

“Kok Mama ada di sini? Kata Ayah, Mama udah gak sayang sama aku lagi karena aku anak nakal. Aku udah gak nakal kok, Ma gak pernah nangis lagi, gak ngompol lagi. Jadi apa Mama mau sayang sama aku lagi gak?”

Luruh sudah air mataku, aku tak kuat lagi menahan rasa sesak ini. Antara marah dan sedih, perasaanku bercampur menjadi satu.

“Mana mungkin Mama gak sayang sama kamu, Nak. Kamu itu anak Mama satu-satunya, Mama kerja jauh biar kamu bahagia. Maafkan Mama kalau kepergian Mama malah bikin kamu sedih ya, Nak.”

“Tapi aku jauh lebih bahagia kalau ada Mama, aku seneng Mama ada di sini. Papa sama Mama Linda jahat soalnya.”

Aku sampai tak bisa berkata-kata. Celotehan gadis kecil itu benar-benar membuat hatiku hancur, aku tak tahu penderitaan macam apa yang mereka alami, tapi aku berjanji kalau aku pasti akan membalasnya ribuan kali lebih pedih. Kupikir kepulanganku ke sini hanya untuk memberi pelajaran suami tak tahu diri itu, tapi kenyataan yang kudapat jauh lebih menyakitkan. Anak dan ibuku disiksa, sementara selama ini aku tak tahu apa-apa. Sudah cukup aku menjadi sumber ATM berjalan mereka, sudah cukup kebod0h4nku selama ini. Sekarang aku akan fokus pada tujuanku yang penting kedua orang yang kusayang sudah berada di sisiku.

“Ma, aku lapar, aku boleh makan sekarang?” ucap Melati saat ia menggandeng tanganku.

“Tentu aja boleh dong, Sayang. Kamu pengen makan apa? Bilang sama Mama. Pasti Mama beliin buat kamu.”

“Horee, aku pengen makan ayam kriuk yang ada di ujung jalan tu, Ma. Tiap hari aku cuma bisa liat, kayaknya kok enak banget. Boleh, Ma?”

“Oke!” Tangan kecil itu kembali meremas tanganku, aku merasakan kehangatan yang menjalar sampai ke relung hatiku.

“Loh? Kok kesini, Nak? Katanya mau beli ayam goreng kriuk itu?” Aku heran, barusan Melati bilang kalau dia ingin makan ayam, tapi kenapa malah menjauh dan menuju ke jalan besar?

“Iya, kan aku harus minta-minta dulu di perempatan sana, Ma baru boleh makan itu kan? Tapi boleh gak kalo aku makan satu ayamnya utuh, Ma? Biasanya aku cuma makan sisa dari Tiara aja, sekali-kali pengen ngerasain dagingnya juga.”

Hatiku mencelos saat mendengarnya. Anakku diberi makanan sisa? Ya Tuhan, kenyataan apa lagi ini? Aku yakin Tiara adalah anak dari janda itu. Jadi selain menyiksa, ia juga lalai memberi makan anakku? Pantas saja tubuhnya hitam terbakar matahari, wajar saja tubuhnya kurus kering begini, padahal terakhir kali bertemu dengannya ia adalah gadis kecil yang cantik dan lincah, tapi sekarang?

“Siapa itu Tiara?” tanyaku menahan air mataku agar tidak jatuh.

“Tiara itu anak yang dibawa Mama Linda. Dia lebih tua dariku, Ma. Dan kata Mama Linda aku boleh makan ayam kalo pulang sekolah bawa uang minimal sepuluh ribu, itu pun ayamnya dimakan dulu sama Tiara baru aku boleh makan.

“Astagfirullahaladzim.”

Aku sama sekali tidak tahu tentang hal ini karena Ibu sama sekali tidak menceritakannya kepadaku. Wajar saja kalau Ibu rela diperlakukan seperti pembantu disana karena sikapnya kepada Melati sungguh sangat tidak manusiawi. Kalau saja tidak ada Ibu, aku tak tahu hal kejam apa yang akan diterima anakku. Ibuku hanya wanita desa biasa, Ibu juga tidak bisa menggunakan ponsel sehingga tidak bisa menelponku dan mengatakan semuanya kepadaku. Namun yang membuatku heran kenapa Ibu tidak membawa Melati pergi kalau ternyata dia tidak bahagia selama tinggal di sana?

“Kamu boleh makan sepuasmu, Nak. gak perlu minta-minta di pinggir jalan. Sekarang kamu makan, terus pulang sama Tante Santi ya. Nanti dia akan nganter kamu ke tempat Mama. Mama masih ada urusan sebentar, Nak! Gimana? Kamu mau kan tinggal sama Mama?”

“Mau! Horeee! Aku gak perlu lagi pulang ke rumah Nenek. Tapi Mama janji bakalan jemput aku kan?”

“Iya, Sayang. Mama janji!”

Aku membawa Melati makan di ayam goreng yang tokonya tersebar di seluruh dunia. Ia tampak menikmati makanan itu.

“Pelan-pelan, Nak makannya, nanti kamu kesedak. Ngomong-ngomong setiap hari kamu pulang sendirian?” tanyaku saat menatap anakku yang sedang makan dengan lahap.

Melati menjawab dengan anggukan karena mulutnya masih mengunyah makanan.

“Jalan kaki sendirian?” tanyaku tak percaya. Ia kembali mengangguk. Anakku terlihat jauh lebih dewasa dari usianya. Justru aku yang sejak tadi menahan air mata yang selalu saja lolos turun membasahi pipi.

Setelah menemani Melati makan siang, akhirnya ia dibawa ke hotel oleh Santi sedangkan aku tak bisa lagi menahan amarahku. Lupakan saja rencana selanjutnya, aku akan mendatangi mereka secara langsung dan meminta penjelasan tentang hal ini. Mereka pasti kebingungan sekarang. Aku mendatangi rumah yang dulunya hanya satu petak saja. Kini rumah ini sudah jauh lebih megah daripada pada saat kutinggalkan. Namun tak ada rumah lain di sampingnya yang artinya Mas Marno menggunakan uangku hanya untuk memperbaiki rumah ibunya, padahal ia berkata kalau membuat rumah untuk kami berdua.

Aku mengetuk pintu depan, aku yakin mereka akan terkejut karena kedatanganku. Satu ketukan, masih tak ada jawaban. Aku kembali mengetuk, lagi-lagi tidak ada yang membuka pintu. Kemana mereka? Tidak mungkin tak ada di rumah kan? Iseng aku mencoba untuk membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Perlahan aku masuk ke dalam rumah dan melihat sekilas, rumah ini sudah banyak berubah. Aku tidak sempat berkeliling karena tujuanku adalah kamar kami berdua dulu.

Begitu pintu kamar terbuka, pemandangan mencengangkan yang terlihat di depanku. Ada dua orang yang tengah bergumul tanpa busana dan mereka langsung panik saat menyadari ada yang membuka pintu saat mereka sedang ‘sibuk.’

“Wati?” Mas Marno seperti melihat hantu disiang bolong, wajahnya shock dan hanya bisa mematung. Sementara wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut.

“Jadi ini yang kamu lakuin selama aku jadi TKW, Mas?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
jogja punya
bagus seru jalan ceritanya tor lanjut
goodnovel comment avatar
Wahid Listiawan
siapa kira-kira yang datang? penasaran aja ne cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status