“Halo, Wat? Gimana kamu? Aku sengaja gak nelpon kamu karena tahu kalo kamu butuh waktu buat nerima kabar itu. Tega banget ya suami kamu! Istrinya kerja di negara orang, dia malah enak-enakan kawin ama janda!” cerocos Santi begitu panggilan tersambung. “Janda?” “Iya! Aku aja geram liatnya, makanya nyari tahu dari ibuku yang dapet undangan nikahannya. Kata ibuku, wanita itu namanya Linda, janda anak satu. Gak tahu laki sebelumnya itu mati apa cerai. Yang jelas Ibu bilang kalo dia itu janda yang buka warung kopi di pinggir jalan kampung.” Santi menceritakan sendiri padahal aku tidak bertanya tentang hal itu. Lucu sekali kamu, Mas. menjandakan istri sendiri demi seorang janda. Memang ya, kalo udah selingkuh itu pasti gak punya otak! Atau otaknya sama-sama dipindah ke dengkul? “Aduh, sorry banget, Wat. Aku jadi ceritain hal ini sama kamu. Pasti malah buat kamu sedih ya! Betewe kamu mau minta tolong apa?” “Gak papa, San. Aku malah mau bilang makasih sama kamu karena kamu udah nunjukin b
“Aminah! Sini kamu!” teriak sebuah suara lagi yang sangat kukenal. Suara itu milik ibu mertuaku, aku tidak tahu apa yang terjadi disana yang jelas teriakan itu menandakan kalau ibuku melakukan suatu kesalahan sehingga teriakan ibu mertuaku sekeras itu. “Kamu itu gimana sih? Dapur berantakan malah ditinggal santai-santai buruan beresin!” hardik Ibu mertuaku. Aku menahan amarah, wanita yang sudah melahirkanku diperlakuan seperti babu oleh mereka. Benar-benar keterlaluan! “San, ntar tanyain ya apa yang terjadi sampe ibuku bisa jadi pembantu di rumah ini!” ucapku kepada Santi. Seperti tadi, Santi tidak menjawab, karena pasti akan dikira gila karena berbicara sendiri. “Selamat pagi, Pak, Bu!” “Pagi. Ana ya?” “Iya, Pak. Saya dimintai tolong sama Wati buat ngurus pertukaran mobil. Katanya Wati, dia udah DP buat beli lamborghini, makanya dia minta saya buat ngambil semua surat-surat mobil yang mau ditukar tambah. Sekalian bpkb nya saya bawa nanti bapak dapat mobil Lamborghini nya atas n
“Apa maksudnya, Bu? Melati kenapa?” Aku sangat shock mendengar penuturan ibu. “Ibu sudah menduga kalau kamu pasti tidak tahu apa-apa. Baiklah, Ibu akan ceritakan semuanya dari awal. Setelahnya mau seperti apa, Ibu mendukung semua keputusanmu nanti.” Aku mendengarkan dengan seksama saat Ibu menceritakan semuanya kalau ternyata sudah satu tahun ini Linda tinggal bersama dengan mereka meskipun saat itu mereka belum menikah. Saat itu Ibu yang sudah sangat merindukan cucunya nekat datang ke rumah Mas Marno untuk bertemu dengan Melati. Untuk itu Ibu nekat meminjam uang dengan menggadaikan rumah kami kepada salah seorang saudaranya karena ongkos pesawat Sumatra-jawa tidaklah murah. Begitu Ibu datang, ia mendengar suara tangisan Melati dan saat itu Ibu tahu kalau Melati sedang dipuk*li oleh Mas Marno. Ibu ingin membawa Melati kembali ke Sumatera tapi tidak diizinkan oleh Mas Marno, untuk itulah Ibu memilih untuk memaksa tinggal disana karena takut cucunya kenapa-kenapa. Karena di sana tidak
Aku mematung sesaat, bagaimana pun, lelaki yang sedang bergumul diatas ranjang itu adalah suamiku. Aku menikah dengannya karena cinta, bukan perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kami. Sakiiit sekali rasanya saat melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau lelaki yang selama ini mencintaiku sedang memeluk tubuh wanita lain di ranjang tempat kami berdua memadu kasih.“Wat–ti? Kok kamu bisa ada di sini? Kapan kamu pulangnya?” Mas Marno mengambil sarung untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Perlahan ia mendatangiku berusaha untuk memelukku tapi dengan cepat aku mendorong tubuhnya agar menjauh.Mana mungkin aku mau disentuh oleh pria yang baru saja tidur dengan wanita lain di ranjang kami berdua? Dan dengan wajah tanpa berdosa wanita itu kembali berpakaian seakan merasa kalau aku ini tidak ada di sini. Sentuhan itu membuatku tersadar kalau Mas Marno sama sekali tidak pantas untuk ditangisi, apalagi mengingat perakuannya kepada Melati membuatku teringat tujuanu datang ke sini. “Ini gak
Melihat wanita mur4han itu memeluk suamiku, aku tak merasa cemburu sama sekali. Yang ada aku malah jijik saat melihatnya. Apalagi wajahnya yang dibuat-buat membuatku semakin muak saat melihatnya. Saat ini, Aku sangat ingin menampar keduanya. Apalagi saat tangan Mas Marno naik bersiap untuk menamparku hingga sebuah suara menghentikan pertikaian kami berdua.“Ada apa ini?” tanya Ratna, Ibu mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari arisan. Ia mengenakan pakaian yang bagus dan juga memakai make up. Tidak mungkin kalau dia pergi ke pasar dengan dandanan begitu mentereng.Aku melihat Ibuku berjalan di belakangnya dengan menenteng belanjaan di kedua tangannya. Melihat sorot wajah ibuku yang kelelahan aku yakin kalau barang bawaan sangatlah berat. Apalagi wajahnya kelihatan berkilat karena keringat yang terus mengalir dari keningnya. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku. Ibuku sudah tua, tapi masih harus dipaksa membawa belanjaan begitu banyak. Apa mereka sama sekali tidak merasa ka
“Aamiinaah! Mana makanannya aku udah laper banget ini! Lelet banget sih jadi orang tua!” Sebuah teriakan kembali terdengar dari lantai dua. Siapa lagi kalau bukan nona kecil yang bernama Tiara itu. Anak yang dibawa oleh Linda dan kini menduduki kamar yang seharusnya untuk Melati. Aku menyuruh Ibu untuk beristirahat saja di kamar sementara aku lah yang akan mengajari anak itu agar memiliki sopan santun kepada yang lebih tua.“Lama banget sih ngambilin makan aja! Budek kamu ya!” gerutu gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.Ia masih duduk membelakangiku, pasti ia mendengar pintu terbuka sehingga bisa berbicara seperti itu meskipun tanpa menoleh. Aku masih bergeming dan hanya bersedekap saja. Aku ingin tahu gadis seperti apa Tiara ini sehingga bisa mengambil alih semua milik Melati.Karena aku hanya diam saja, Tiara akhirnya menoleh. Aku melihat kalau usia Melati dan Tiara tidak begitu jauh, mungkin hanya selisih satu atau dua tahun saja. Namun anehnya kenapa wajahnya seperti mirip Mas
“Apa katamu, Wat? Kembalikan mobil ku!” teriak Mas Marno kesetanan.“Kenapa malah kamu yang marah? Harusnya aku yang marah sama kamu, Mas! Susah payah aku kerja jadi pembantu rumah tangga di negara orang, menahan rindu kepada anak semata wayangku dan mempercayakan semuanya di sini kepadamu. Tapi apa yang kudapat? Kamu menikah lagi, mertuamu yang juga ibu kandungku kau jadikan pembantu. Parahnya lagi kau juga menyiksa batin anakku. Dulu Melati adalah anak yang ceria, tapi kini semuanya berubah dan ini semua gara-gara kamu, Mas!”“Jangan salahin anakku!” Mertuaku tiba-tiba memotong ucapanku.“Semua ini salahmu, Wat. Coba kalau kamu itu lulusan sarjana, pasti bisa kerja daftar jadi PNS, atau minimal kerja di kantoran kayak Linda itu. Yang namanya laki-laki, pasti punya kebutuhan batin yang harus dipenuhi, dan dalam agama juga gak ada larangan kok. Kamu harusnya bersyukur, Wat karena aku gak nyuruh Marno buat nyerein kamu! Di Arab kamu emang bisa dapet banyak uang, tapi di sini? Bisa apa
POV Marno.“Bu, apa ini gak keterlaluan? Semua uang ini kan dari Wati? Masa dia yang diusir dari rumah ini?” keluhku kepada Ibu.“Yagak lah! Siapa suruh dia gak mau nurut sama kita. Disuruh diem aja kok gak mau. Kamu juga tahu kan kalau islam itu mengajarkan laki-laki boleh punya istri sampai empat? Ini kamu baru punya dua dia kok malah marah-marah gak terima!”“Ibu bener, Mas. Kita kan udah punya segalanya, dan kamu udah punya aku, istri yang cantik, pinter dan lulusan sarjana. Jadi ngapain ada Wati lagi?” sambung Linda, istri keduaku yang sangat cantik dan semok.Aku menikah dengannya karena dia begitu perhatian dan tentu saja jauh lebih seksi daripada Wati khususnya masalah di atas ranjang. Linda lebih aktif dan memiliki banyak gaya, sehingga membuatku tak bisa lepas dari pelukannya hingga akhirnya aku nekat menikahinya dengan harapan kalau Wati masih terus mau bersamaku asalkan aku bersikap adil kepadanya.“Tapi, Bu? Mobil kita gimana?”“Kamu tenang aja. Kalau masalah itu, kita an
Sudah enam bulan berlalu sejak aku memberi tahu Melati kalau ayahnya sekarang berada di penjara. Mungkin dia memang masih kecil tapi aku tidak mungkin membohonginya sehingga aku pun mengatakan hal yang sebenarnya kepadanya. Mas Marno di penjara karena perbuatannya menyakiti Melati, secara tidak langsung aku mengajari Melati kalau kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Awalnya Melati merasa sedih karena bagaimanapun dia adalah ayahnya tapi kini senyum ceria di wajahnya sudah kembali.“Wat, usahamu sudah berkembang dengan pesat, gimana kalau kamu mulai buat beli rumah? Ucap Ibu di sela-sela memasak. “Boleh juga, Bu tapi aku belum nemu yang cocok. Ibu ada rekomendasi gak pengen tinggal dimana?”“Sebenarnya ada sih.” Ibu menaruh pisau yang dipegangnya kemudian mulai bercerita.“Bu Intan yang dulu tinggal gak jauh dari rumah mertuamu nawarin tanahnya. Dia mau jual karena butuh biaya buat berobat anaknya. Katanya sih mau dijual murah.”“Murahnya berapa, Bu?” tanyaku mulai tertarik. Aku meman
PoV Ratna“Setelah melihat dari bukti dan saksi yang ada akhirnya kami memutuskan untuk memberikan hukuman selama satu tahun penjara dan denda satu milyar. Mereka mendapatkan keringanan karena berkelakuan baik selama berada di dalam penjara. Hal itu lah yang digunakan sebagai pertimbangan.”Aku tidak mungkin bisa melupakan kalimat yang membuat hidupku berubah. Anakku satu-satunya di penjara padahal dia sama sekali tidak bersalah. Ini semua gara-gara Wati, wanita yang dinikahi oleh Marno, anakku. Kalau saja mereka tidak menikah, pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi kepadaku. Setiap hari aku hanya bisa menangis di dalam kamar yang sempit ini menunggu mereka berdua keluar dari hotel prodeo itu.Brak!Pintu kamar dibuka dengan keras, membuatku sampai berjingkat karena kaget. Rupanya yang melakukannya Devi, adiknya Linda yang menggantikan usaha kakaknya berjualan warung kopi yang lumayan ramai dikunjungi pembeli.“Bu, aku udah bilang berapa kali? Di sini tuh bukan hotel jadi jangan
Aku mengajaknya turun untuk makan, dan mungkin bisa mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin membahas tentang hal ini karena menurutku belum saatnya Melati mengetahui kalau ayahnya beras dibalik jeruji.Kupikir dia akan lupa, tapi tetap saja ia turun dengan membawa baju untuk ayahnya. Ya sudah mau tak mau aku pun harus menjawab pertanyaannya anak gadisku ini. Namun Bagaimana bisa dia membeli baju laki-laki seukuran ayahnya? Apakah begitu mudahnya dia memaafkan perilaku bapaknya yang tidak manusiawi itu? Aku masih terdiam, masih belum bisa menerima kenyataan kalau Melati semudah itu ingin bertemu dengan bapak kandungnya “Bukan ibu yang suruh, tapi dia tadi ngerengek minta dibeliin baju buat suami mu. Katanya di sekolah besok ada pelajaran bercerita tentang ayahnya, jadi dia pengen beliin sesuatu dan akan dia ceritakan di sekolah kalau dia masih punya bapak yang sayang sama dia.”Ya Allah, hatiku mencelos saat mendengar ibu menceritakan kisah dibalik sebuah kemeja berwarna putih itu.
Aku menjalani hari dengan tenang karena kedua orang yang mengganggu hidupku kini sedang berada di penjara. Aku senang karena akhirnya perlahan keadilan mulai datang kepadaku. Mas Marno dan Linda sedang berada di penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya meskipun keputusan dari pengadilan belum keluar sepenuhnya. Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan panggilan telepon dari kepolisian katanya mereka berdua ingin berbicara denganku tapi aku mengabaikannya. Dan hari ini adalah sidang putusan tentang semuanya, makanya aku memutuskan untuk mengunjungi merek sebentar.“Bu, aku titip Melati ya! Bekal dan peralatan sekolahnya udah kusiapkan di kamar.”“Iya, Wat. Oh iya, nanti aku mau ngajak Melati jalan-jalan ke mall karena katanya dia pengen beli mainan yang sama dengan temannya. Boleh kan?”“Boleh, Bu. nanti aku transfer uangnya ya! Jangan lupa nanti pulangnya langsung ke warung aja, Bu. Soalnya nanti truk pengangkutnya datang siang.” Ibuku mengangguk setuju, tak lupa aku salim
Tanpa menunggu lagi, aku mendatangi rumah rentenir yang biasa dipanggil Bu Kaji itu. Siapa pun yang mendengar pertama kali pasti tidak akan menyangka kalau wanita itu adalah seorang rentenir karena gayanya yang terlihat biasa saja. Sudah dua kali aku pergi ke rumahnya dan terus saja kagum karena keamanannya. Banyak sekali preman-preman yang duduk santai di rumah ini seakan rumah mereka sendiri. Wajah mereka seram dan bertato tapi sama sekali tidak menakutkan karena mereka sangat ramah kepadaku. Preman itu juga selalu tersenyum, kontras sekali dengan jaket kulit dan tato yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.“Duduk di sini ya Mbak Wati. sebentar lagi Ibu turun kok. Diminum dulu tehnya!”“Makasih, Mas.” Aku tersenyum saat ada seorang pria yang menyodorkan segelas teh kepadaku, aku mencicipinya untuk menghargai si empunya rumah yang sudah menyambutku dan tak lama kemudian yang kucari akhirnya muncul. Seperti biasa, wanita yang akrab dipanggil Bu Kaji ini datang dengan menggunakan daste
“Wati? Kok mau bisa ada di sini?”“Ibu apain anakku?” teriakku marah.Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi apa yang sudah ibu perbuat benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Kupikir setelah kehilangan rumah, Ibu akan menyadari kesalahannya tapi ternyata tidak. Memang benar kalau watak itu tidak akan bisa berubah.“Ibu gak ngapa-ngapain kok. Melati terus aja teriak-teriak padahal gak ada apa-apa. Ibu minta buat diem, tapi dia ngeyel. Ya udah gimana lagi?”Nafasku memburu, dalam hati berulang kali aku mengucapkan istigfar agar tidak memukul wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. Perbuatannya kali ini sudah diluar batas dan tidak bisa dimaafkan lagi. “Dari Mana Ibu bisa tahu dimana sekolah Melati, hah? Dan kenapa ibu lancang jemput dia? Apa ibu belum puas nyakitin anakku?! Dasar–” Hampir saja amarahku meledak, untung saja tadi akhirnya Ibu dan Ardian ikut serta sehingga bisa membuatku mengerem ucapanku sendiri agar tidak mengumpat di depan Melati.Kuhirup nafas dalam-dalam untuk
Apa katanya? Melati tidak ada di sana? Bagaimana bisa ia mengatakan kalau aku kecelakaan padahal aku jelas sedang berdiri di sini? Kuarahkan pandangan kepada dua orang di depanku ini, keduanya sama-sama menyeringai, menandakan kalau mereka lah yang sudah mengatur hal ini.“Itu kalian kan? Dimana anakku!” teriakku panik. Ardian yang masih ada di sampingku pun sampai terkejut melihatnya.“Apa maksudmu, Wat? Aku gak paham,” ujar Mas Marno merasa tak bersalah. Bahkan wajahnya terlihat kebingungan. Bukankah barusan dia menyeringai? Kenapa sekarang berlagak bodoh?“Katakan dimana Melati! Bagaimana kamu bisa tahu di sekolah dimana, hah? Apa yang kamu lakukan kepadanya?”“Anakmu aman kalau kamu mengalah kepada kami, wanita s1alan! Dia belum hilang lebih dari dua puluh empat jam jadi kamu gak akan bisa melaporkannya ke polisi. Kalau kamu menurut, dia akan aman!” sambung wanita jahat itu. Aku sudah akan membalas ucapannya, tapi sebuah tangan menarikku kembali. Tanpa melihat pun aku yakin kalau
Sudah beberapa hari berlalu setelah pertemuanku dan Linda. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ternyata tujuan Linda menikahi Mas Marno karena uang. Terbukti setelah Mas Marno tak lagi memiliki rumah mewah itu, Linda langsung mencari mangsa baru untuk diporotin . kasihan banget kamu, Mas. Niatnya punya istri dua biar ada yang melayani, tapi ujung-ujungnya malah zonk, kamu kehilangan semuanya. Kamu kehilangan istri dan anak yang selama ini menyayangimu, kehilangan rumah dan juga kehilangan istri keduamu karena jelas dia tidak akan mau diajak susah. Kalau saja kamu gak selingkuh, mungkin saat ini aku pulang dan kita akan bahagia, bahkan aku berniat membeli rumah baru atas namamu. Namun di dunia ini, tak ada yang namanya ‘andaikan’ semuanya sudah berjalan seperti adanya dan itu karena ulahmu sendiri jadi jangan salahin aku ya, Mas.“Hei! Pagi-pagi kok ngelamun! Bayangin apa sih?” tanya Santi yang ikutan duduk di teras sambil meletakkan segelas teh hangat.“Kamu nih ngagetin aja, San. A
Aku penasaran dengan ucapan Santi barusan karena jarang sekali dia memintaku untuk segera datang kalau aku sedang melaksanakan ibadah. Aku yakin pasti hal ini sangat mendesak sampai-sampai dia memintaku untuk segera datang. Mukena sudah kulipat dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam tas, aku pun segera turun untuk menemui temanku yang sedang menungguku.“Ada apa sih, San? Tumben banget kamu minta aku buat cepet-cepet?” tanyaku setelah duduk di depan Santi.“Tuh. liat aja sendiri!” Santi menunjuk dengan wajahnya.Aku mengikuti arah pandang Santi dan aku melihat kalau ada seorang pasangan suami istri yang juga sedang makan siang bersama. Aku bisa mengatakan kalau mereka pasangan karena tangan laki-laki selalu menyentuh bagian tubuh si wanita.“Apa yang aneh sama pasangan itu? Kamu nih aneh-aneh aja! Nyuruh aku datang cuma buat kasih liat mereka yang lagi mesra-mesraan?” gerutuku sambil membuka buku menu, bersiap untuk memesan makan siangku.“Liat dengan jelas, siapa wanita itu?”“E