Share

BUKAN ISTRI LEMAH
BUKAN ISTRI LEMAH
Penulis: Rahayu Triningsih

Kabar Perselingkuhan

“Halo, Wat? Aku butuh uang dua puluh lima juta untuk bayar uang pangkal sekolahnya Melati,” ucap mas Marno, suamiku begitu panggilan tersambung.

Selalu saja seperti ini, ia menelpon kalau sedang membutuhkan uang dan tak pernah sekalipun menanyakan kabarku di sini. Padahal aku disini bekerja menjadi TKW di Arab demi kehidupan keluargaku menjadi lebih baik.

“Wati! Kok kamu malah diem aja sih? Buruan kirim uangnya, Senen besok udah batas terakhir bayar. Kalau gak segera dilunasin, nama Melati bisa dicoret dan gak bisa masuk sekolah ini!” lanjut suamiku lagi.

“Kok mahal banget sih, Mas? Bukannya Melati itu baru masuk SD? Kenapa biayanya udah sama kayak SMA?” keluhku kepada suamiku yang sedang berada di rumah.

“Ya aku kan pengen Melati dapat pendidikan yang bagus, Wat. Ini kan demi masa depannya juga. Dia itu masuk ke SD Az Zahra sekolah Internasional, makanya uang masuknya mahal tapi kan sebanding sama apa yang didapat nanti!”

“Tapi, Mas. Aku gak ada uang segitu banyaknya. Uang gajiku bulan ini udah aku kirim semua ke kamu kan? Masa udah abis aja sih?”

Bukannya pelit untuk urusan anak, tapi baru awal bulan kemarin aku mengirimkan dua puluh juta kepada Mas Marno. Selain merawat seorang nenek yang ditinggal keluarganya bekerja, aku juga merangkap menjadi asisten rumah tangga, sehingga gajiku lumayan besar bila dibandingkan dengan pekerja devisa lainnya.

“Ya udah abis lah, Wat. Kemarin kan baru aja buat bayar tukang yang lagi renov rumah terus buat ngelunasin mobil juga. Pokoknya aku gak mau tahu, kirim uangnya sekarang juga! Kalau gak pengen ngeliat Melati nangis karena gak jadi masuk sekolah impiannya!”

Diancam seperti itu membuatku akhirnya hanya bisa menghela nafas.

“Ya udah aku kirim, Mas. Tapi aku hanya ada sepuluh juta, itu aja buat keperluanku di sini, Mas.”

“Ya gak bisa lah, Wat! Emangnya sekolahnya itu kayak bank plecit bisa diangsur! Ini tuh sekolah internasional jadi gak mungkin lah kalau bayarnya kurang! Aku gak mau tahu pokoknya kamu kirim sekarang juga! Ingat! Ini semua demi Melati!”

Panggilan dimatikan sepihak. Selalu saja seperti ini, kalau Mas Marno menginginkan sesuatu, aku harus menurutinya karena selalu saja anak kami yang menjadi alasan. Kuletakkan pel yang tadi sedang kupegang dan meraih ponsel yang kuletakkan di meja dapur. Aku mengirimkan uang yang diminta kepada Mas Marno.

Mau bagaimana lagi? Demi anakku, aku rela makan seadanya di sini dan mengirimkan semua uang yang ada di rekening milikku. Tidak apa-apalah, semua demi Melati, aku kerja juga buat dia semua. Laporan terkirim sudah kuterima, berarti besok Mas Marno pasti sudah bisa mencairkan uangnya, aku pun mengirim pesan kepadanya untuk memberi kabar kalau uangnya sudah masuk dan aku juga meminta Mas Marno untuk mengirimkan foto Melati mengenakan seragam barunya. Membayangkan senyum tersungging dari wajah lugunya, pasti anakku terlihat bahagia.

Satu jam, dua jam pesanku tidak dibalas oleh Mas Marno, begitu pun panggilan dariku juga diabaikan olehnya, aku menjadi kepikiran sebenarnya apa yang terjadi dengan suamiku?

Hari berganti hari, Mas Marno menjadi semakin sulit dihubungi. Ia hanya membalas dengan singkat dengan alasan sibuk mengurus toko. Hingga akhirnya nomor Mas Marno benar-benar tidak aktif.

Seharian ini, aku menjadi tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Pesanku sejak dua hari yang lalu masih centang satu, itu artinya nomor Mas Marno masih belum aktif juga. Aku menjadi semakin panik! Takut terjadi apa-apa dengan suami dan anakku. Aku sudah mencoba menelpon Ibu mertua dan adik iparku, tapi katanya Mas Marno baik-baik saja dan hpnya rusak. Mereka memintaku mengirim uang untuk membeli ponsel baru kalau ingin Mas Marno bisa menelpon lagi.

“Halo, Wat?”

Alhamdulillah, akhirnya aku bisa mendengar suara suamiku setelah hampir seminggu tidak ada kabar meskipun aku menelpon lewat nomor ibu mertuaku.

“Kamu kemana sih, Mas? Abis aku transfer kok ngilang gitu aja!? Gimana kabar Melati? Dia udah masuk sekolah kan? Coba kirimin fotonya dong? Aku juga mau denger suaranya!” cerocosku tak bisa menahan kerinduan lagi.

“Aduh! Cerewet banget sih! Hp ku tu rusak, jadi gak bisa nelpon. Kamu kirim uang dong Wat buat beli hp baru. Aku mau nya epon yang 14 promak, malu soalnya semua wali murid make hp itu.”

“Melati mana, Mas?” Aku mengabaikan ucapannya dan memilih menanyakan anak semata wayang kami.

“Dia masih sekolah, pulangnya nanti sore jam empat. Abis itu dia ngaji dan belajar terus tidur. Jadi lebih baik gak usah ganggu dia! Yang penting kirimin uang dulu!”

Aku kembali menghela nafas, susah sekali hanya untuk berbincang dengan anakku.

“Aku belum gajian, Mas. Aku udah gak ada uang lagi, ini aja aku udah ngirit-ngirit banget di sini.”

“Ya udah, kalo gitu gak usah nyari aku karena aku gak punya hp, gak enak kalo kamu neror ibu dan adikku terus! Kabarin aja kalo kamu udah ada uang buat beli epon.”

“Astagfirullahaladzim!” aku hanya bisa beristighfar menanggapi sifat suamiku yang seenaknya sendiri begitu.

Baru saja aku meletakkan ponselku, benda pipih itu kembali berbunyi. Ngapain Mas Marno nelpon lagi?

“Halo, Assalamualaikum Mas?” Aku mengangkat panggilan tanpa melihat kembali nomor yang menelpon.

“Wa Alaikum sallam. Aku Santi, Wat. Bukan suamimu!” jawab si penelpon.

Aku sedikit kaget dan mengecek kembali ponselku ternyata memang benar kalau yang menelpon itu Santi, temanku yang sama-sama bekerja di Arab dan secara kebetulan dia tinggal tak jauh dari rumah tempat tinggalku.

“Astaga, sorry banget, San. Aku pikir kamu itu Mas Marno, barusan aku telponan sama suamiku. Tumben malem-malem gini nelpon? Ada apa, San?”

Berada di kampung sebelah, membuat Santi tahu tentang Mas Marno karena aku pernah menunjukkan foto suamiku kepadanya, hanya saja dia tidak mengenalnya dan hanya tahu wajahnya saja.

“Aku mau ngomong penting sama kamu, Wat. Tapi Kamu percaya sama aku kan? Aku ngelakuin ini karena kasihan sama kamu dan ngerasa kalau kamu harus tahu hal ini!”

“Bentar-bentar! Ini ada apa sih? Kamu kenapa, San? Lagi ada masalah?” Aku heran kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu kepadaku.

Beberapa minggu yang lalu memang Santi pulang duluan karena dia mau menikah dengan pacarnya dan rencananya akan kembali ke sini setelah menikah jadi apa mungkin ia pernikahan mereka batal?

“Aku kirim aja ya ke kamu, tapi kamu harus tenang dulu pokoknya. Ini aku dapet gak sengaja pas aku ikut temenku dateng ke acara nikahan.”

“Iya, San. Ya udah kirim aja. Aku tunggu ya!” jawabku dengan nada santai.

Santi mematikan panggilan, dan tak berapa lama sebuah video masuk kepadaku. Awalnya aku tidak berpikir apa-apa hingga saat aku memutar videonya, duniaku seakan runtuh.

Di video itu aku melihat kalau Mas Marno sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita. Aku hampir tak bisa mempercayai apa yang kulihat, air mata mengalir deras. Aku tak bisa lagi melihat kelanjutan video pernikahan itu.

Mas Marno yang selama ini menjadi suami yang kucintai, tega menduakanku dan menikah dengan wanita lain di belakangku. Hatiku sakit, teramat sakit sampai aku tak bisa berkata apa-apa. Di sini aku bekerja keras demi keluargaku, tapi malah ini yang kudapatkan? Pengkhianatan dari suamiku sendiri. Pantas saja beberapa hari ini dia tak ada kabar, wajar lah karena dia sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita perusak rumah tangga orang.

Setelah puas menangis, dengan hati yang teramat perih, aku memutuskan untuk memutar kembali video yang baru saja dikirimkan oleh Santi. Di situ pernikahan mereka dihadiri oleh seluruh keluarga Mas Marno, yang artinya Ibu dan juga adik iparku mendukung pernikahan mereka bukannya mengingatkan kalau tindakan Mas Marno itu salah. Raut bahagia terlihat sekali di wajah mereka semua. Apa mereka lupa kalau mereka bisa tersenyum lebar seperti itu karena hasil kerja kerasku?

Butuh waktu lama untuk mengontrol hatiku sendiri. Sakit memang, tapi rasa kecewa dan api kemarahan jauh lebih besar dibanding rasa sakit yang kurasakan. Sebelum menikah denganku, Mas Marno hanya bekerja serabutan sedangkan ibu hanya mendapatkan uang pensiunan dari bapak yang berpangkat rendah. Setelah aku mengangkat derajat hidup mereka dengan bekerja menjadi TKW, kini mereka malah tidak tahu diri dan tega menusukku dari belakang.

Ini tak bisa dibiarkan! Aku harus secepatnya kembali dan mendapatkan kembali apa yang memang seharusnya menjadi milikku! Aku kembali menelpon Santi setelah memikirkan masak-masak apa yang akan kulakukan kepada suamiku dan keluarganya.

“Halo, San? Sepertinya aku butuh bantuanmu disana, San!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wahid Listiawan
bagus ceritanya up lagi kaka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status