“Maksudnya apa?” Riri memandang Arsya. “Sa, maksudnya apa? Laki-laki ini siapa? Dia ngomong apa?” Jeritan Riri semakin keras. Sementara Panca dan Mayang bertukar pandang.Sekitar tempatnya berdiri sebenarnya sangat riuh. Suara orang bertanya dan menjawab sahut menyahut. Suara sirene yang tadi terdengar jauh perlahan mendekat. Lalu suara derap kaki kembali mewarnai sisa hari itu. Tidak ada yang ia dengar selain suara seorang pria menyebut namanya. Indah menoleh. Arsya mengulurkan tangan dan menyunggingkan senyum. Harusnya memang semua sudah selesai, namun di antara kelelahan fisiknya, hatinya terasa lebih lelah.“Kenapa kita harus ikut? Aku nggak mau!” teriak Riri lagi. “Mereka yang harus ikut dan dipenjara! Biarkan mereka membusuk di penjara. Fanny meninggal karena kelalaian mereka. Jangan pegang aku!”“Kamu belum ngerti juga ya? Belum paham juga? Laki-laki itu udah ngomong soal barang bukti. Yang membunuh saudarimu itu bukan kita berdua. Tapi kamu.” Mayang membalas teriakan Riri. “Ca
“Udah? Segitu aja? Sekian lama kami berdua mengusahakan pengobatan dan akhirnya harus begini aja? Coba lagi! Coba lagi, Dokter …. Saya mohon dicoba lagi. Pagi tadi bayi saya baik-baik aja.” Indah menangkup tangannya di depan dada memohon dokter yang biasa menangani Alif di poliklinik. Melihat dokter bergeming, Indah merunduk untuk memeluk Alif di ranjang. “Kasihani kami berdua, Dok. Kasihani kami. Kami datang ke kota ini cuma berdua. Kami nggak punya siapa-siapa di sini. Bantu Alif, Dokter. Alif nggak pernah bahagia. Saya gagal buat Alif bahagia. Saya egois.” Indah meraup tubuh Alif dan menggesek pipi Alif dengan hidungnya.Arsya membeku di tempatnya berdiri. Memandang satu persatu wajah sedih yang ikut meneteskan air mata diam-diam saat mendengar ratapan Indah. Ia pun ikut menangis. Sebagian hatinya sedih dan hancur karena kepergian Alif, sebagian lagi sedih dan hancur karena Indah mengatakan tidak memiliki siapa-siapa di kota itu. Serasa sesuatu yang berat menghantam dadanya.“Sa, k
Rasanya memang seperti mimpi. Ia sudah dua kali merasakan kehilangan. Mama, Papa, lalu sekarang putra spesialnya; Alif. Rasanya sama sakit, sama sedih. Bedanya kehilangan kali ini membuat ia semakin mati rasa. Cobaan yang menghantamnya sudah lebih dari cukup. Sekedar air mata pun rasanya tidak bisa menggambarkan hancur hatinya.Perhatiannya tertuju hanya pada tubuh mungil Alif yang terbaring menyedihkan.“Alif anak Mama …,” lirih Indah saat Alif bersiap untuk diberangkatkan ke Bandung. Langkahnya terus mengikuti ke mana dua orang pria mengangkat jenazah Alif.“Indah…Indah. Kita langsung berangkat. Semua perlengkapan kamu sudah dibawa Bu Anum.” Sarah menjajari langkah Indah yang tidak memedulikannya. Bu Della dan Pak Ari juga ikut berangkat. Kamu juga bakal ditemani Laras. Bu Lina sudah bersiap di Bandung untuk menerima Alif.” Sarah menahan lengan Indah yang mau tidak mau berhenti untuk memandangnya.“Maaf, Bu. Saya nggak dengar,” kata Indah, dengan sudut mata tetap tertuju pada pintu
“Saya kira Anda bisa berubah meski sedikit,” ucap Arsya dengan tatapan menyedihkan pada Panca.Panca melirik Mayang. “Maaf,” ucap Panca.“Ooo …,” sela Dean berhenti di depan Panca. Sejak tadi pengacara itu berjalan mengitari ruangan menunggui pembicaraan Arsya selesai. “Saudari Mayang bisa keluar dan menunggu di luar. Ada kursi di luar pintu ini. Silakan,” kata Dean, membuka pintu yang berada di dekatnya, lalu menelengkan kepala mempersilakan Mayang keluar.Mayang keluar tanpa banyak protes. Sadar karena posisinya sedang tidak menguntungkan saat itu.Ketika pintu sudah kembali ditutupnya, Dean berkata, “Silakan bicara, Pak Panca. Istri Anda sedang berada di luar,” tukas Dean. “Ada beberapa pria yang tidak nyaman bicara lugas saat berada di bawah tatapan istrinya. Yang jelas bukan aku,” tambah Dean saat Arsya memandangnya seakan meminta penjelasan.Panca mengembuskan napas panjang dan berat. “Maaf, Pak Arsya. Kondisi saya saat ini sangat sulit. Papa saya masih di tahanan dan sidang ban
Indah baru beranjak dari sisi Alif saat Laras menyentuh kedua sisi bahunya. Ia menoleh menampakkan wajah kuyunya. “Mbak Laras …,” ucap Indah dengan suara serak.“Alif mau berangkat,” ucap Laras. “Dan di sana … ada yang mau ketemu kamu.” Laras memandang Panca dan Mayang yang muncul di pintu yang membuat perhatian semua orang tertuju pada mereka.“Oh, kenapa mereka datang? Apa Mas Panca sedih Alif meninggal?” Nada suara Indah terdengar tidak yakin.“Masih ada waktu sedikit,” kata Laras mengingatkan. Tanpa diminta Panca melangkah masuk menghampiri Indah. Panca tiba lebih dulu di dekat Alif sedangkan Mayang mendekat dengan raut takut-takut.“Bayi yang kamu sebut idiot dan cacat sudah meninggal, Mayang. Apa kalau sudah begini kamu bisa lebih tenang karena Mas Panca tidak harus menanggung siapa-siapa?” Suara Indah sangat pelan tapi sangat jelas menusuk Mayang yang sontak mengusap perutnya.Mayang membasahi bibirnya. Tangannya mencari-cari tangan Panca seolah mencari pembelaan.“Jangan biki
Arsya sedikit terperangah. Tidak menyangka dengan pertanyaan yang berani ia sampaikan pada sang ayah, juga tidak menyangka kalau ia akan mendapat jawaban selugas itu. “Oh, bukan, ya?” tiba-tiba Arsya merasa bodoh dan gegabah. Juga sedikit malu. Ia meringis. “Apa benar-benar sudah ingat? Memangnya waktu itu kamu mengantar bunga sampai ke mana?” Ari Subianto mengernyit memandang putranya. “Ingat tempat ini atau ingat Indah?” Lalu bertanya lagi tanpa menunggu Arsya menjawab. “Sewaktu berdiri di pagar itu aku lihat pohon beringin. Dari pintu letaknya sebelah kanan. Lalu … aku ingat mendatangi anak perempuan yang sedang nangis dalam pelukan laki-laki. Aku nggak sempat lihat wajah anak perempuan itu, tapi aku ingat bawa bunga. Lalu ….” Arsya menajamkan ingatannya. Lalu ia terhenyak dan membulatkan mata. “Lalu?” ulang Ari Subianto menunggu ingatan Arsya. “Laki-laki yang memeluk Indah itu Almarhum Pak Hadi. Itu sebabnya di rumah sakit Pak Hadi membelalak sewaktu ketemu aku pertama kali. A
Seharian ini seluruh perhatian Indah hanya tertuju untuk bersama Alif. Semakin dekat waktu pemakaman Alif, rasanya waktu yang dimilikinya semakin sempit. Ia tidak mau meninggalkan Alif barang sedetik pun. Ia mengusap pipi, mencium, memeluk dan berbisik banyak hal di telinga bayinya itu. Hilang sudah satu-satunya orang yang paling ia percaya sebagai tempat bercerita. Seiring dengan kulit Alif yang semakin dingin dalam sentuhannya. Tak ada yang tersisa selain pertanyaan soal kapan ia akan dipertemukan lagi dengan bayinya itu? Akankah di kehidupan setelah kematian ia dan Alif bisa berbincang? Akankah ia bisa melihat Alif tumbuh besar dan berbicara. Waktu terasa terhenti seiring dengan airmatanya yang terus mengalir tak terbendung. Kehadiran Panca pun menjadi perusak suasana berkabungnya. Ia ingin Panca dan Mayang lenyap dari tempat itu. Atau adakah seseorang yang bisa membawa pergi dua makhluk itu dari hadapannya? Kemudian Indah mendengar suara Arsya memotong perkataan Panca dan menol
Ucapan Indah memang terdengar sederhana, tapi nyatanya mampu membuat jantung Arsya berdenyut menyakitkan. Rasa tidak nyaman merambati sekujur tubuhnya. Dahinya mengernyit dan sorot matanya terlihat sedih. Kenapa Indah bisa dengan mudah bicara seperti itu? Apakah kehilangan Alif tidak membuat Indah butuh tempat bersandar? Apa Indah tidak butuh pelukannya?Arsya menelan ludah. “Sebelum kita bicara panjang lebar, Abang mau peluk Indah.”Indah menggeleng. “Nggak perlu. Alif udah pergi dan kurasa aku nggak perlu pelukan. Makasih karena ikut mengantar Alif ke sini.”“Bukan Indah yang perlu pelukan, tapi Abang,” ujar Arsya, semakin mendekati Indah yang beringsut ke pintu kamar.Wajah Indah masih sama datarnya. “Abang bersih-bersih dan istirahat di kamar itu. Atau kalau Abang nggak mau istirahat, setelah bersih-bersih Abang bisa langsung pulang ke Jakarta. Aku rasa nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya selesai….” Arsya mengabaikan ucapan Indah. Kakinya tetap melangkah dan sepasa
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”