Share

Anak Rahasia Sang Presdir
Anak Rahasia Sang Presdir
Author: Missia

Pertemuan Tak Sengaja

Restoran bergaya rustic dengan tema kayu dan besi berwarna hitam itu tampak ramai. Penyebabnya adalah waktu yang sudah memasuki jam makan siang. Restoran itu terkenal dengan makanan daging panggangnya yang sedap dan beraroma wangi. Tak heran jika orang-orang ingin makan di sana untuk makan siang.

Namun, pria yang tampak berwibawa dengan setelan jasnya itu justru berjalan menuju pintu keluar. Ia baru saja menyelesaikan rapatnya di lantai dua restoran tersebut.

Pria bernama Saka Wilson itu berjalan cepat dengan melengos melewati kerumunan para pengunjung. Sayangnya, karena terlalu sibuk memperhatikan jalan di depannya, ia jadi tidak menyadari adanya sosok kecil di bawah kakinya.

Bruk!

“Astaga!” pekik Saka. 

Langkah Saka terhenti ketika menyadari suatu benda menghalangi jalannya. Ia menunduk untuk memeriksa hal itu. Pupilnya mengecil ketika menyadari sesuatu yang menghadangnya.

Seorang bocah laki-laki dengan gaya pakaian sailor yang imut itu jatuh terduduk di depan Saka. Wajah Saka mendadak pucat saat menyadari jika dirinya adalah penyebabnya. Apalagi ketika melihat anak kecil itu mulai memasang wajah seolah ingin menangis.

Dengan matanya yang besar dan berkaca-kaca, anak berusia 4 tahun itu mendongak untuk melihat siapa yang menabraknya. Matanya semakin berkaca-kaca saat melihat sosok tinggi menjulang di depannya. Apalagi, mata pria itu sangat tajam hingga membuatnya merasa seperti tikus di pojokan. 

Mulutnya mengeluarkan ringisan perih karena bokongnya yang mendarat di atas lantai yang keras. Namun, suara rintihan itu tidak berlangsung  lama. Ia dengan cepat berdiri dari posisinya. Ia membungkuk dengan badannya yang kecil—berusaha untuk meminta maaf.

“Maaf karena sudah menabrakmu, Paman,” ucap anak kecil itu dengan suara bergetar.

Saka menghela napas panjang. “Di mana orang tuamu?” 

Mendengar suara tegas dan berat itu, anak kecil itu sedikit terlonjak. “Emm … tidak tahu. Tadi Mama terpisah denganku.” Alis anak itu mengernyit tajam. “Mama, sih, tidak berpegangan tangan denganku, jadinya Mama menghilang. Sepertinya Mama tersesat …,” jelas anak kecil itu dengan kebingungan. Ada raut kekhawatiran di wajahnya.

Melihat hal itu, Saka menutup mulutnya, berusaha menyembunyikan tawanya. Biasanya, ibulah yang kehilangan anaknya, tetapi anak di hadapannya itu justru menceritakan hal sebaliknya dengan wajah yang pura-pura dewasa.

“Oh begitu,” respons Saka. Ia sedikit berjongkok dan mensejajarkan matanya dengan mata anak itu. “Siapa namamu?” tanya Saka.

“Namaku Felix, Paman!” jawab anak itu dengan tegas. Ia sudah tidak seperti akan menangis sekarang. 

Di saat Saka akan membuka mulutnya, tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada satu orang yang ia kenal sedang menoleh ke sana kemari, seolah sedang mencari sesuatu. Saat matanya dan mata Saka bertemu, wajahnya langsung berubah cerah. Orang itu pun segera berjalan mendekati Saka.

“Ternyata Anda ada di sini. Maaf sudah membuat Anda menunggu lama, Presdir,” ucap pria yang menjadi bawahan Saka itu. 

Saka memang keluar duluan dan meninggalkan bawahannya yang masih mengurus beberapa klien. Rencananya, Saka akan beristirahat di dalam mobil sembari memakan toast yang ia pesan, tetapi langkahnya terhenti karena menabrak Felix.

Pandangan sekretaris Saka itu tanpa sadar teralihkan pada anak kecil yang berdiri di sebelah Saka. Anak itu tampak dekat dengan Saka, padahal setahunya, Saka tidak pernah dekat dengan orang asing, apalagi anak-anak.

“Anak siapa itu, Presdir?” tanya sekretaris Saka keheranan.

Saka mengendikan bahu. “Aku tidak tahu. Tadi aku tidak sengaja menabraknya saat keluar dari restoran,” jawabnya sambil melirik Felix yang menatap keramaian, sepertinya dia masih berusaha mencari ibunya.

Sekretaris Saka yang bernama Nichole itu mendadak berjongkok dan menatap Felix dari dekat. Felix yang terkejut melangkah mundur satu kali. Tangannya bergerak seolah ingin menggapai seseorang di sebelahnya, tetapi ia sadar jika orang di sebelahnya bukan ibunya, melainkan Saka. Felix pun mengurungkan niatnya.

“Halo, aku Nichole. Siapa namamu? Apa kamu tahu di mana orang tuamu sekarang?”

“Halo, Paman Nichole! Aku Felix. Mamaku hilang beberapa saat yang lalu. Dia sepertinya lupa tidak memegang tanganku tadi,” jawab Felix dengan wajah tenang. 

“Apa kamu ingat alamat rumah atau nomor telepon orang tuamu?” tanya Nichole sekali lagi. “Mungkin Paman bisa menghubungi ibumu dan memberitahukan kalau kamu ada di sini.”

Nichole sudah bersiap mengeluarkan ponselnya dan menghubungi orang tua Felix. Namun, Felix justru terlihat murung.

“Maaf, aku tidak tahu. Mama sudah menyuruhku untuk menghafalkan nomor telepon dan alamat rumah kami, tapi aku belum hafal,” ucap Felix dengan wajahnya yang sendu. “Seharusnya aku menuruti kata Mama. Kasihan Mama, pasti Mama sekarang sedang sedih karena tersesat.”

Nichole tertawa kaku mendengar penjelasan itu. “Lain kali jangan lupa hafalkan, ya!” Nichole menghibur Felix dengan membelai lembut kepalanya.

Nichole bangkit dari jongkoknya dan menatap Saka. Ia tahu jika mereka harus segera kembali ke kantor sebelum jam makan siang berakhir. Namun, ia tidak tega jika harus meninggalkan anak yang hilang itu sendirian.

“Presdir, bagaimana ini?”

“Apanya yang bagaimana? Tinggalkan saja dia, berikan pada satpam atau polisi,” jawab Saka jutek dengan bersedekap dada.

Nichole menganga mendengar jawaban dingin Saka. “Tega sekali Anda, Presdir! Mana mungkin kita meninggalkan anak ini di tempat seperti itu?!”

Saka mengernyit. Ia heran, karena memang seharusnya anak hilang diberikan kepada pihak keamanan. Belum sempat ia membalas perkataan Nichole, niatnya terhenti saat merasakan tarikan kecil di celana bahannya.

“Paman Tampan … apa Paman Tampan mau pergi?” Felix bertanya dengan mata besar dan berkaca-kacanya. “Nanti aku sama siapa di sini?”

Saka sedikit terkejut dengan panggilan Felix kepadanya. Ia menoleh pada Nichole yang berusaha keras menahan tawanya. Saka terdiam. Tiba-tiba, Nichole ikut berdiri di sebelah Felix dan memasang wajah yang sama dengan Felix—tatapan memohon. Pria itu pun menghela napas panjang.

“Baiklah, terserah kamu saja.”

Nichole bangkit dengan cepat dan menatap Saka dengan mata berbinar. “Sungguh? Apa aku boleh membawanya ke kantor? Nanti kita bisa cari informasi di kantor!” Belum sempat Saka menjawab, Nichole kembali berjongkok di depan Felix. “Nak, kamu berjanji akan menurut dan tidak akan mengganggu saat di kantor nanti ‘kan?”

“Hei, aku belum menyetujuinya,” sanggah Saka. Namun, Nichole sepertinya tidak mendengarkan hal itu.

“Aku janji, Paman!” seru Felix bersemangat sambil mengangkat salah satu tangannya.

Nichole mengangguk-angguk setuju. Dengan perasaan senang ia pun mengangkat Felix dan menggendongnya dengan satu tangan. “Anak pintar! Ayo kita pergi!”

Felix dan Nichole berjalan di depan Saka. Saka hanya bisa menggeleng beberapa kali dan mengikuti dua orang yang tidak mendengarkan ucapannya itu. Beruntungnya, Nichole memang sangat dekat dengannya meski Nichole adalah bawahan. Jika dia bawahan biasa, mungkin Saka akan memecatnya karena sikapnya yang kelewatan itu.

***

Setelah kepergian dua orang pria bersama anak kecil itu, terlihat seorang wanita menoleh ke sana kemari. Beberapa orang menabrak badannya karena wanita itu tidak memperhatikan jalan dengan baik. Keringat mulai bercucuran di dahinya, terlihat jika ia sedang bingung dan terburu-buru.

Wanita bernama Ariana itu berhenti pada salah satu pengunjung toko bunga. “Apa kamu melihat anak ini? Dia memakai baju sailor berwarna coklat dan putih,” tanyanya sambil menunjukkan sebuah foto anak kecil berusia 4 tahun yang ada di ponselnya.

“Maaf, saya tidak melihatnya,” jawab nenek itu.

Ariana berterima kasih dan kembali mencari anak dalam ponselnya itu. Napasnya memburu karena kelelahan, tetapi sudah lima belas menit lebih mencari, ia tak kunjung menemukannya.

Langkahnya berhenti di salah satu restoran bergaya rustic. Ia menghampiri salah satu pengunjung yang ada di teras restoran. “Permisi, apa kamu lihat anak dalam foto ini? Tingginya sekitar segini, umurnya empat tahun, namanya Felix.”

Orang itu diam dan memperhatikan foto anak kecil itu. Ia terlihat sedang berpikir keras. “Sepertinya saya tadi lihat ada anak ini di sekitar sini. Kalau tidak salah, dia pergi dengan dua orang pria berjas hitam yang keluar dari restoran ini. Mereka terlihat seperti orang penting.”

“Apa?” Mendengar hal itu, Ariana panik. Ia tidak menyangka jika Felix pergi dengan orang asing. “Ya ampun, Felix! Mama kan sudah bilang untuk tidak ikut dengan orang asing,” gumam Ariana. Ia menatap orang itu, lalu berterima kasih dan meminta maaf karena sudah mengganggunya.

Setelah itu, Ariana pun mencoba untuk mencari Felix di sekitar sana. Beberapa orang mengatakan hal yang sama dengan pengunjung restoran itu—mengenai Felix yang pergi dengan dua orang berjas.

Tidak dapat dipungkiri, Ariana merasa resah karena tidak kunjung menemukan Felix. Ia takut dua pria yang membawa Felix berniat untuk melakukan hal buruk pada anak itu.

Karena merasa tidak menemukan titik terang, Ariana pun memutuskan untuk menelpon teman dekatnya untuk meminta bantuan.

***

Sebuah mobil berhenti di salah satu gedung termegah di kota itu. Presdir dari perusahaan yang berada di gedung itu turun bersama dengan sekretaris dan seorang anak kecil.

Beberapa orang yang menyadari atasan mereka membungkuk dan memberi salam. Hampir semua orang yang Saka lewati menampilkan raut terkejut di wajah mereka. Bagi mereka, adanya anak kecil di gedung adalah hal yang tidak pernah terjadi. Saka dan Nichole tidak peduli dan terus berjalan bersama Felix menuju ruang kerja Saka.

Dalam ruang kerja itu, Felix duduk di sofa. Ada beberapa hidangan manis khas anak-anak yang Nichole siapkan untuk menghibur Felix. Makanan dan minuman itu, selain terlihat manis, tetapi juga berwarna-warni, sangat kontras dengan suasana ruang kerja yang kaku. Ini juga pertama kalinya bagi Nichole untuk menyiapkan makanan sejenis itu.

“Apa aku boleh tahu siapa nama mamamu?” tanya Nichole pada Felix yang tengah asyik memakan roti pelangi. “Bisa kamu jelaskan juga usia dan ciri-cirinya?”

Felix menghabiskan gigitan terakhirnya, lalu menjawab, “Nama mamaku Ariana. Kalau tidak salah, usianya 28 tahun, soalnya minggu lalu Mami Alice kasih kue ke Mama, ada lilin angka dua sama delapan gitu! Kalau bulan lalu, aku dapat kue lilinnya angka empat!”

Felix bercerita panjang lebar dengan polosnya. Nichole hanya memasang senyum dan mengangguk-angguk sebagai respons.

“Terus, Mama orangnya cantik banget, matanya cokelat mirip dengan mataku. Rambut Mama itu panjang dan bergelombang. Eh, tapi kadang rambut mama juga bisa berubah jadi lurus, aku melihat mama memakai sebuah alat untuk membentuk rambutnya,” jelas Felix menggambarkan mamanya.

Nichole dan Saka terdiam. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Felix terlalu umum. Akan susah jika mencari orang dengan ciri-ciri itu. Saka yang sedari tadi melihat sambil bersandar di meja kerjanya itu memutuskan untuk maju.

“Apa kamu benar-benar tidak ingat di mana rumahmu?” tanya Saka mulai resah. 

Felix menggeleng. “Aku dan mama baru pindah dua hari yang lalu, jadi aku tidak hafal tempatnya. Sebelumnya, kami tinggal di negara lain.”

Mendengar hal itu, Saka dan Nichole sama-sama menghela napas panjang. Lagi-lagi, mereka belum menemukan jawaban yang tepat. Tiba-tiba, pandangan Nichole teralihkan pada tas berbentuk dinosaurus yang bawa oleh Felix. Ia tiba-tiba mendapatkan ide.

“Felix, apa aku boleh tahu isi tasmu?” tanya Nichole. 

Felix mengangguk. Ia melepaskan tas dinosaurusnya sambil berkata, “Aku dapat ini dari temanku waktu aku berpisah dengan mereka. Bagus kan dinonya?!”

“Iya, bagus!”

Felix mulai mengeluarkan apa yang ada di dalam tasnya. Ada permen cokelat, beberapa miniatur mobil-mobilan, botol air minum, pensil warna, dan yang terakhir adalah buku catatan yang berisi coretan maupun gambaran Felix.

Nichole pun berinisiatif untuk membuka catatan milik Felix. Banyak coretan-coretan khas anak kecil. Namun, akhirnya Nichole menemukan sesuatu yang jatuh dari catatan itu.  

Benda itu mirip seperti gelang dengan liontin berbentuk bintang krystal bening. Di dalam bintang krystal itu, ada titik berwarna merah terang. 

Saka yang melihat benda itu tertegun. Ia merasa tidak asing dengan benda itu. Seketika, matanya melebar setelah berhasil mengingatnya. Kenangan tentang seorang wanita berambut cokelat panjang menghampiri dirinya.

‘Bukankah itu krystal yang aku berikan lima tahun yang lalu pada wanita itu?’

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status