Share

Pria Dingin

Keberadaan wanita berambut pirang yang langsung mendekat ke arah Saka itu membuat pria itu mengernyit samar. Ia sedikit menjaga jaraknya darinya.

“Kak Saka ini bicara apa, sih? Tante Diana sendiri yang mengundang aku ke sini! Kebetulan aku juga sedang ada syuting di kota ini, jadi aku bisa datang sekalian mampir. Kan sudah lama kita tidak bertemu? Apa Kak Saka tidak rindu padaku? Padahal aku rindu sekali dengan Kak Saka dan Tante Diana.”

Luna menggembungkan pipinya pura-pura kecewa. Ia juga melipat tangannya di depan dada dan membuang mukanya kesal. Saka berdecak kecil. Sementara itu, Diana yang sadar dengan muka masam Saka pun menarik lengan pria itu dengan pelan.

“Sudah, sudah, bagaimana kalau kita duduk dulu? Ayo, makan. Kalian semua pasti lapar karena sudah bekerja sejak pagi, kan?” ajak Diana dan menarik Saka untuk duduk. Luna pun ikut duduk di depan Saka. Meski kesal, Saka tidak bisa menolaknya.

Saka memang mengenal Luna sejak lama. Diana selalu terobsesi agar Saka bisa menikah dengan cepat di saat usianya masih 25 tahun dan sampai sekarang, ketika usianya sudah 31 tahun, Diana semakin gencar dan tidak pernah lelah untuk menuntutnya segera menikah.

Luna adalah salah satu wanita yang dikenalkan Diana pada Saka. Waktu itu usia Saka masih sekitar 25 tahun dan karir aktris Luna belum setenar sekarang. Entah darimana Diana mengenal Luna, yang jelas, Diana sudah menyukai Luna sejak lama. 

‘Mama tidak sedang berusaha menjodohkanku dengan dia lagi, kan?’ batin Saka curiga. Ia sudah menolak Luna dan ia tetap tidak akan mengubah pikirannya sama sekali.

Berbeda dengan Saka yang terus merengut, Luna justru tersenyum sepanjang pertemuannya dengan keluarga Wilson. Otot-otot pipinya tidak pernah lelah meski sudah bekerja di luar seharian dan harus menjaga image-nya sebagai aktris yang ramah. Ditambah lagi, ia bertingkah malu-malu karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan Saka setelah sekian lama.

Momen penolakan Saka pada Luna memang cukup membuat wanita itu sakit hati. Ia bahkan sempat berhenti syuting selama beberapa saat karena matanya yang bengkak akibat menangis berlebihan. Namun, ia memutuskan untuk tidak menyerah. 

Luna berusaha menarik perhatian Saka dengan bertekad menjadi aktris yang lebih terkenal. Ia diam-diam melakukan sedikit operasi plastik agar membuat wajahnya semakin sempurna. Tak hanya itu, perawatan kecantikan tubuhnya pun tidak murah. Tidak berhenti sampai di situ saja, ia juga meningkatkan skill aktingnya hingga dikenal secara global.

Menurut Luna, semakin sering ia tampil di media hiburan, maka Saka pasti akan menyadari keberadaannya dan terpikat kepadanya. Lagi pula, siapa yang tidak merasa beruntung karena mengenal seorang artis papan atas, apalagi jika bisa menjadi tunangannya.

Namun, Luna ternyata salah. Saka tidak pernah seperti itu. Ia bahkan jarang menonton televisi, melihat Luna berakting saja ia tidak pernah. Meski Luna mengubah wajahnya, merapikan gigi, menyulam alis, bahkan sampai membentuk tubuhnya hingga molek dan menjadi idaman para wanita pun, Saka tidak pernah menoleh ke arahnya.

“Saka,” Diana menyenggol lengan Saka, “ada Luna di sini, apa kamu tidak mau mengobrol dengannya? Kalian kan saling kenal sejak lama. Seharusnya kamu lebih akrab dong sama dia.”

Saka tidak menjawab dan hanya bergumam tidak jelas. Menyadari hal itu, Luna pun berinisiatif untuk membuka obrolan. Setidaknya Luna tidak mau membuang-buang kesempatan yang diberikan Diana kepadanya.

“Emm, Kak Saka, aku dengar Kak Saka baru saja mengakuisisi agensi milik Tuan Harold, ya?”

Luna terdengar sangat antusias, padahal Saka hanya memasang wajah datarnya.

“Ya, begitulah. Prospeknya bagus, tawaranku juga besar dan dia tidak punya alasan untuk menolaknya.”

“Kebetulan sekali aku juga artis di agensi itu! Padahal kalau Kak Saka mau, Kak Saka bisa bertemu denganku saat mampir ke gedung agensi,” lanjut Luna sembari mengedip-ngedipkan matanya.

“Hmm.” lagi-lagi, Saka hanya bergumam sebagai jawaban. 

Diana menghela napas dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Saka yang seperti anak kecil. Sejak dulu, Saka memang tidak mau repot-repot untuk ramah di depan orang lain.

“Maaf, ya, Luna. Saka Memang seperti ini sejak dia kecil. Sebenarnya, dia baik. Kamu tahu sendiri, kan? Tante yakin, kalau dia sudah jatuh cinta, pasti bucinnya akan sampai minta ampun!”

“Tidak apa-apa, Tante. Luna bisa mengerti, kok,” ucap Luna sembari tersenyum. 

Senyuman itu membuat Diana merasa tenang. ‘Anak ini sangat sempurna. Bisa-bisanya Saka tidak mau dijodohkan dengan wanita secantik dan sesopan ini.’

Acara pertemuan itu pun kembali berlanjut. Diana dan Luna terus berusaha mengajak Saka untuk mengobrol. Mereka makan bersama dengan hangat meski hanya Saka saja yang bersikap dingin. Luna juga tidak merasa terlalu sedih. Ia senang karena keluarga Wilson selalu menerima keberadaannya.

“Mama senang kalian berdua bisa datang hari ini. Lain kali, kita berempat makan di luar sama-sama, ya?” ucap Diana pada Saka dan Luna yang ada di depan rumah. Kedua orang itu hendak kembali ke rumah mereka.

“Iya, Tante! Tante bisa undang Luna kapan saja. Luna punya waktu khusus buat dihabiskan sama Tante!” ucap Luna penuh semangat.

Saka hanya diam. Matanya tanpa sengaja bertemu dengan Arnold. Dari tatapan ayahnya itu, Saka paham jika Arnold ingin ia mendekat ke arahnya.

”Saka, Papa tahu kamu memang sudah lelah dengan topik perjodohan ini. Tapi ingatlah umurmu. Kamu memang masih muda, tapi kamu juga harus tahu jika manusia tidak bisa selamanya hidup sendiri. Mamamu hanya kasihan sama kamu, dia ingin kamu bahagia,” ucap Arnold.

“Aku mengerti,” jawab Saka seadanya.

“Papa tidak memaksa kamu untuk menikah dengannya. Tapi, cinta biasanya bisa tumbuh bersamaan dengan waktu. Coba pikirkan kembali.”

“Baik, Pa.”

***

“Pokoknya aku mau ikut Mama syuting!”

Ariana menghela napas panjang. “Tidak bisa, Felix. Kalau kamu ikut, nanti tidak ada yang menjaga kamu. Lokasi syutingnya sangat luas. Kalau kamu hilang lagi seperti waktu itu bagaimana?”

“Biarin! Pokoknya aku mau ikut Mama!”

Ariana menatap Felix yang mulai berkaca-kaca kembali. Sejak pagi tadi, Felix entah kenapa menjadi rewel, tidak seperti biasanya. Ketika biasanya Felix bisa mandi sendiri, pagi itu ia minta dimandikan dengan air hangat. Tak berhenti sampai di situ saja, Felix bahkan meminta Ariana untuk menyuapinya. Ia sempat menangis dan menolak untuk makan ayam panggang buatan Ariana dan Ariana terpaksa harus memasak dua kali demi Felix yang terus menangis.

Setelahnya, Felix terus merengek untuk ikut ke lokasi syuting. Bahkan ketika ia masuk ke mobil dan sekarang sudah sampai di depan tempat kerja Alice pun, Felix masih saja merengek.

“Felix, kenapa kamu jadi rewel begini? Ayo jadi anak pintar seperti biasanya. Tuh, Mami Alice sudah nunggu kamu.” Ariana menunjukan Alice yang sudah ada di depan butiknya untuk menyambut Felix.

“Felix, ayo turun. Kasihan Mama Ariana, nanti dia terlambat ke lokasi syuting. Kamu tahu sendiri kan kalau persiapan syutingnya juga lama. Gimana kalau Mama Ariana nanti dimarahin orang-orang karena terlambat gara-gara Felix?” bujuk Alice.

Felix menoleh ke arah Ariana. “Kalau terlambat, nanti Mama dimarahin?”

Sebenarnya, Ariana tidak mau berbohong, tetapi akhirnya ia mengangguk. “Iya, nanti Pak Sutradara marah. Terus, kalau tahu Mama terlambat gara-gara Felix, nanti Pak Sutradara jadi tidak suka.”

Felix semakin cemberut. Ia pun mengambil tas dinosaurusnya dan membuka pintu untuk turun. Alice dan Ariana pun menghela napas lega. Ariana ikut turun dan mendekati Felix yang sekarang sudah berada di sisi Alice.

“Mama tahu kalau Felix anak pintar dan tidak menyusahkan orang lain. Lain kali, kita pergi ke taman bermain bersama kalau syuting Mama sudah selesai, ya? Kamu kan belum pernah main ke taman bermain yang ada di sekitar sini.”

“Benarkah?” Felix menatap Ariana dengan matanya yang bulat dan besar.

Ariana mengangguk. “Asalkan Felix jadi anak pintar!”

“Oke!” Felix meloncat-loncat kegirangan.

“Mama pergi dulu, ya, Sayang.” Ariana mengecup pipi Felix sekilas. “Alice, aku titip Felix dulu, ya? Maaf selalu merepotkanmu.”

“Tidak masalah! Sukses untuk syutingnya!”

Alice dan Felix melambaikan tangan ke arah mobil Ariana yang mulai menjauh. Alice menatap Felix yang masih terlihat cemberut menatap kepergian mamanya. Ia pun menggendong Felix meski badan bocah itu sudah cukup berat.

“Jangan sedih begitu, anak tampan! Mami punya banyak mainan baru di dalam! Apalagi, cat lukis pesanan Felix sudah datang!”

Berkat itu, wajah Felix kembali cerah. Mainan barunya membuat Felix lupa dengan fakta bahwa ia sepanjang pagi menangis minta ikut dengan Ariana.

***

“Ariana belum datang?” bisik Alano pada beberapa kru yang ada di sebelahnya.

“Belum. Sepertinya akan terlambat.”

Alano diam dan kembali menatap ke depan. Orang-orang hari ini berkumpul di satu tempat yang sama. Katanya, akan ada tamu penting yang akan berkunjung sebelum syuting hari ini dimulai.

Seorang pria berjas muncul dan menarik perhatian semua orang. Napas mereka tertahan saat melihat kegagahan dan ketampanan pria itu. Beberapa orang pun setuju jika ketampanannya mungkin melebihi ketampanan Alano.

Alano sendiri tidak merasa sakit hati. Ia justru menyetujui hal itu. Sangat jarang ia melihat orang-orang tampan di dunia.

“Siapa orang itu?” tanya Alano ada salah satu kru.

“Apa kamu tidak tahu? Katanya pemilik agensi yang baru akan datang untuk melihat lokasi syuting dan prosesnya.”

“Hah? Aku kok baru dengar?”

Alano menatap wajah pria itu dengan takjub. ‘Jadi dia pemilik agensi yang baru? Wah, muda sekali. Umurnya pasti seumuran denganku.’

“Presdir, silakan berdiri di sini.” Nichole memberi jalan untuk Saka berdiri di depan para kru. Di sebelahnya terdapat Sutradara yang sudah menunggu kedatangan mereka.

“Selamat datang, Presdir Saka. Kami sudah menunggu kedatangan Anda sejak kemarin. Terima kasih sudah mau menyempatkan diri untuk mampir kemari. Silakan ikuti saya, saya sudah menyiapkan tempat khusus untuk Anda.”

Saka duduk di kursi yang sudah disiapkan. Di sebelahnya ada Nichole yang sedang berdiri. Sutradara dan Produser pun mulai memanggil orang-orang penting untuk dikenalkan kepadanya, termasuk beberapa pimpinan produksi dan artis penting.

“Alano, kemarilah!” panggil sang Sutradara.

Alano pun segera menghampiri mereka. Sutradara menepuk punggung Alano beberapa kali agar terlihat lebih akrab.

“Ini Alano Thompson. Kalau Presdir tahu, dia adalah artis papan atas yang sedang digandrungi oleh para wanita di luar sana. Dia juga berperan sebagai pemeran utama pria dalam drama kali ini.”

Pujian itu membuat muka Alano memerah, padahal biasanya ia tidak pernah semalu itu saat dikenalkan di depan orang lain.

“Sebenarnya, ada pemeran utama wanita bernama Luna Audrey, tapi dia tidak hadir karena bukan jadwal syutingnya. Lalu, ada satu wanita lagi … di mana dia sekarang, ya?”

“Emm, dia sepertinya akan terlambat,” ucap Alano. Ia mendengar berita itu dari kru lain dan belum sempat menelpon Ariana secara langsung. Sejujurnya dia khawatir.

“Oh, begitu ya? Sayang sekali.”

‘Ada yang belum datang?’ batin Saka. ‘Sangat tidak profesional sekali. Orang yang menghambat pekerjaan orang lain seharusnya dihukum.’

Drrt! Drrt! Drrt!

Saka menoleh pada ponselnya saat melihat ada telepon yang masuk. Ia menoleh pada Nichole dan berbicara melalui tatapannya. Setelah itu, ia pun segera pergi ke tempat yang agak jauh.

“Iya, Profesor Harry? Ada apa?”

"Presdir! Hasilnya tes DNA-nya sudah keluar!"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status