“Baik, kalau begitu aku akan segera ke sana sekarang juga.” Saka menutup teleponnya dengan profesor Harry.
Mendengar fakta bahwa hasil tes DNA yang selama ini sudah Saka tunggu keluar, Saka segera berbalik menuju Nichole yang sudah menunggu kedatangannya.
“Nichole, aku harus segera kembali,” putus Saka yang tentu saja membuat Nichole mengernyit terkejut.
“Maksud Anda apa, Presdir?”
“Hasilnya sudah keluar,” jawab Saka singkat. Nichole langsung paham apa yang Saka katakan. “Aku tunggu di mobil.”
Saka berlalu begitu saja dan meninggalkan orang-orang dengan pandangan heran. Nichole adalah orang yang menjelaskan jika Saka sedang ada urusan mendadak, jadi tidak bisa sepenuhnya mengawasi jalannya proses syuting sepenuhnya seperti yang sudah diagendakan.
“Maaf, Presdir sedang ada urusan mendesak, jadi harus segera kembali. Tapi Presdir berharap agar drama ini sukses besar. Tentu saja akan ada imbalan yang sesuai jika drama ini bisa melebihi target,” ucap Nichole sembari mengedipkan sebelah matanya pada orang-orang yang bekerja “Oleh karena itu, Presdir sangat menantikan kerja keras kalian. Saya permisi.”
Setelah berkata demikian, Nichole pun menyusul Saka yang sudah menunggunya di dalam mobil. Saka menyuruh Nichole agar bisa mengemudi dengan cepat ke laboratorium profesor Harry.
Di sisi lain, staf penting yang mengerjakan drama itu menghela napas lega.
“Syukurlah Presdir tidak komplain mengenai pekerjaan kita.”
“Benar, rasanya kalau diawasi dengan tatapan seperti itu membuatku tidak bisa bekerja dengan benar.”
“Iya, kamu betul. Tapi, Presdir kita masih muda dan tampan, ya? Hihi.”
“Sudah, sudah, ayo kembali bekerja!”
Alano tersenyum kecil mendengar keributan para staf setelah kepergian pemilik baru agensi mereka. Ia menunduk dan menatap ponsel di tangannya. Sedari tadi, nomor yang ia hubungi terus berdering dan berakhir tidak terjawab.
‘Ke mana perginya Ariana sampai sekarang belum datang,’ batin Alano cemas. ‘Semoga tidak terjadi hal buruk pada Ariana dan Felix.’
“Alano!”
Suara dari wanita yang sedari tadi Alano cari-cari akhirnya terdengar bersamaan dengan tepukan kecil di bahunya.
“Ariana! Akhirnya kamu datang juga!” seru Alano sembari menghela napas lega. “Dari mana saja kamu? Kenapa telat sekali datangnya?”
“Maaf, Felix tiba-tiba jadi rewel sekali,” jawab Ariana dengan menghela napas panjang. Ia lalu melihat sekelilingnya yang lebih ramai dari biasanya. Suasananya pun tampak berbeda. “Ada apa ini? Kenapa rasanya banyak yang berkumpul di sini?”
“Tadi ada tamu penting yang datang. Dia adalah pemilik baru agensi dari film yang kita kerjakan,” jelas Alano. “Awalnya dia berencana untuk mengawasi proses syuting hari ini. Tapi dia sudah pulang, katanya ada urusan mendesak.”
Alis Ariana mengernyit mendengarnya. “Hah? Benarkah? Kok aku tidak tahu tentang hal itu?”
Alano menggeleng kecil dan mengangkat bahunya. “Katanya sudah dibagikan informasinya di grup chat kemarin malam. Apa kamu tidak membacanya?”
Ariana menggeleng. Dia ingat kalau dia belum sempat membuka ponselnya dari semalam. Dia terlalu lelah dan ketiduran. Tadi pagi pun, Felix yang rewel membuatnya tidak bisa mengecek ponselnya.
“Sudahlah. Lagi pula, orangnya sudah pergi, kok. Untungnya dia tidak komplain apa-apa tentang kita dan berharap agar film ini bisa sukses ke depannya,” jelas Alano. “Ayo kita ke sana bergabung dengan yang lainnya,” ajak Alano setelahnya sembari menunjuk Sutradara dan beberapa staf yang sedang berkumpul.
“Baiklah, terima kasih informasinya.”
***
“Selamat datang, Tuan Saka. Profesor Harry sudah menunggu Anda di dalam.”
Saka dan Nichole baru saja sampai di laboratorium itu setelah mendengar jika hasil DNA-nya sudah keluar. Gedung pusat penelitian ini cukup luas dan orang-orang di dalamnya sudah mengenal Saka dengan baik. Begitu mereka melihat Saka, segera saja pria itu di arahkan menuju ruangan profesor Harry.
“Silakan tunggu di sini,” ucap salah satu staf dan mempersilakan Saka serta Nichole untuk duduk di ruang tunggu khusus itu. Tak lupa, ia memberikan minuman dan hidangan kecil untuk keduanya.
Harry sendiri masih mengumpulkan dokumen-dokumennya. Setelah semua menjadi satu dalam sebuah map, ia pun bergegas menemui Saka.
“Professor Harry?” Saka bangkit saat melihat Harry memasuki ruangan tunggu tersebut.
“Aku sudah berusaha mengerjakannya dengan sangat teliti. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapanmu,” ucap Harry dengan menyerahkan berkas itu pada Saka.
Saka segera membukanya tanpa berbicara panjang lebar. Sesekali ia menoleh pada profesor Harry yang menjelaskan isi berkas tersebut. Matanya melebar saat melihat tulisan DNA 99,99% mirip dengannya.
“Seperti yang kamu lihat di situ. Hasilnya sangat mirip. DNA kalian berdua identik, jadi bisa dibilang kalau kamu memang ayah kandung dari anak itu,” jelas Harry.
Saka mengusap dagunya. ‘Ternyata tebakanku memang tidak salah. Anak itu adalah anakku. Tidak kusangka, meski hanya sekali melakukannya, tetapi ternyata aku berhasil. Padahal aku sama sekali tidak berharap akan hal itu.’
“Saka, aku tahu kamu pasti terkejut dengan hasilnya. Tapi, seperti yang sudah kubilang sebelumnya, meski hanya berhubungan satu kali saja tetap ada kemungkinan bisa terjadinya pembuahan,” jelas Harry.
“Kalau begitu, Felix benar-benar anak Presdir Saka?!” ucap Nichole syok. Ia tidak percaya jika pria yang selama ini ia abdikan hidupnya ternyata sudah memiliki seorang anak berusia empat tahun. Rasanya Nichole seperti tidak percaya.
Berbanding terbalik dengan Nichole, Harry justru tersenyum. “Selamat, Saka, akhirnya kamu bisa punya anak sesuai dengan keinginanmu dulu,” ucap Harry dengan menepuk-nepuk pundak Saka. “Kita jadi tidak usah susah-susah mencari orang dengan DNA yang cocok lagi denganmu.”
Harry tahu betul jika Saka tidak memiliki niat untuk menikah sama sekali. Namun, karena keadaan, Saka membutuhkan seorang penerus. Maka dari itu, Saka menginginkan seorang anak dengan menggunakan rahim sewaan. Akan tetapi, dengan kepribadiannya yang seperti itu, Saka tidak mau memilih wanita sembarangan.
Dengan bantuan Harry, Saka meminta pria paruh baya itu untuk mencari wanita yang akan melahirkan anaknya itu dengan seleksi yang ketat. Awalnya, mereka hampir putus asa untuk mencari wanita yang sesuai. Meski ada banyak ribuan sampel yang harus mereka periksa, mereka tetap melakukannya.
Sayangnya, mereka belum juga menemukan satupun DNA yang sesuai. Sekalipun ada, DNA tersebut tidak terlalu cocok untuk disatukan dengan DNA milik Saka. Saka sendiri tidak puas dengan hasilnya. Sampai akhirnya, ada seorang wanita paruh baya yang datang membawa sampel darah milik putrinya kepada kaki tangan Saka yang bernama Claus. Claus pun menyerahkan sampel darah tersebut pada profesor Harry.
Meski tidak mengharapkan apa pun, Harry melakukan uji coba dengan darah tersebut. Dan seperti menemukan berlian di tengah segunung sampah, Harry bahkan hampir menangis saat DNA tersebut memiliki kecocokan yang sangat tinggi dengan DNA milik Saka.
Harry pun segera memberitahukan hal tersebut pada Saka. Penantian dan usaha keras mereka akhirnya terbayarkan. Saka berhasil bertemu dengan putri dari wanita paruh baya itu.
“Tunggu dulu, kalau dipikir-pikir, kau dan wanita itu seharusnya sudah pernah bertemu, kan? Apa kau tidak mengenalinya waktu kalian bertemu?” tanya Harry keheranan.
Saka menghela napas panjang. “Ceritanya panjang dan sebenarnya banyak hal yang cukup janggal,” cerita Saka. “Bahkan, nama wanita itu berbeda dengan namanya yang sekarang. Sepertinya terjadi sesuatu antara dia dan wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.”
Ada keheningan sejenak di antara mereka. Saka tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia terlihat seperti akan pergi.
“Terima kasih banyak, Profesor Harry. Dengan begini aku jadi tahu jika dia memang benar anakku,” ucap Saka.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Harry.
“Karena terlalu mendadak, aku jadi masih perlu waktu untuk memikirkannya, tapi aku tentu saja akan melakukan tindakan secepatnya. Untuk sekarang, mungkin aku akan mencari orang yang menyerahkan putrinya itu. Aku ingin dia menjelaskan semuanya langsung kepadaku.”
“Setelah kupikir-pikir, sepertinya memang terjadi sesuatu padanya. Kamu harus segera mencari tahunya, Saka. Apalagi jika itu menyangkut ibu dari anakmu. Dia sudah membesarkan anak itu seorang diri dan menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah.”
Saka mengangguk. Ia dan Nichole pun pergi dari laboratorium itu menuju tempat kerja mereka. Sepanjang jalan, Saka terus memperhatikan berkas yang ada di genggamannya. Bayangan masa lalu menghampiri benaknya saat ia pertama kali berusaha untuk mencari rahim yang sesuai untuk keturunannya.
***
Sesampainya di ruangannya, Saka masih saja sibuk memikirkan semua kejadian lima tahun yang lalu.
“Tuan Claus, saya sangat berterima kasih karena Anda memilih anak saya. Saya berani jamin jika anak perempuan saya sangat cantik. Anda pasti akan sangat suka dengannya.”
Saka mengamati perbincangan keduanya dari sebuah balik dinding yang tak terlihat. Claus terlihat tidak menjawab dan hanya melirik pada wanita paruh baya itu. Sejujurnya, Saka tidak peduli perempuan seperti apa dia.
“Dia sudah menunggu Anda di dalam! Tapi … emmm.” wanita itu menggosok-gosok tangannya. “... apa saya boleh minta bayarannya sekarang?”
Saka terus memperhatikan mereka. Claus yang mengerti akan hal itu pun mengeluarkan satu lembar cek yang sudah ia siapkan. Di sana tertulis nominal uang yang sangat besar sesuai dengan tawaran yang sebelumnya ia berikan. Wanita itu dengan cepat mengambilnya.
“Terima kasih! Terima kasih banyak!”
Begitu mendapatkan apa yang ia inginkan, wanita paruh baya itu segera menghilang dari hadapannya. Begitu tak terlihat lagi, Claus langsung menghampiri keberadaan Saka.
"Presdir, semuanya sudah saya urus sesuai dengan perintah Presdir. Wanita itu sekarang ada di dalam sana. Presdir bisa segera menemuinya. Saya pergi dulu," pamit Claus.
"Ya, terima kasih Claus."
Claus hanya tersenyum kecil menanggapinya dan segera berlalu dari sana.
Saka dengan perasaan sedikit gugupnya mulai melangkahkan kakinya menuju kamar hotel yang telah disiapkan. Sayangnya, begitu Saka masuk, kamar itu terlihat gelap dan tidak ada satu pun lampu yang dinyalakan. Hanya ada cahaya remang-remang dari lampu kota dari luar jendela.
Saka menoleh ke arah kasur. Ada seorang gadis yang sedang menutup tubuhnya dengan selimut. Meski gelap, bukan berarti Saka tidak bisa melihat sepenuhnya.
“A-apa itu kamu?” suara lemah lembut terdengar dari seorang gadis. “Lampunya ... dimatikan saja, ya?”
Saka mengangkat salah satu alisnya. Semakin ia mendekat, semakin tercium aroma alkohol yang sangat kuat.
“Kau minum alkohol?” tanya Saka.
Gadis itu tampaknya terkejut. Saka bisa melihat pupil matanya yang bergetar ketakutan. Ini pertama kalinya Saka tertegun melihat mata seorang perempuan. Biasanya, ia tidak seperti itu.
“I-itu … iya … ini pertama kalinya bagiku. Jadi—”
“Aku mengerti,” potong Saka.
Malam itu pun berlangsung panjang bagi keduanya. Namun, tidak ada cinta di antara mereka. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui dengan jelas bagaimana wajah masing-masing.
Sayangnya, ketika pagi telah tiba, gadis itu menghilang dari pandangan Saka. Tentu saja Saka langsung memberikan perintah pada semua orang untuk mencari keberadaan gadis itu dengan ibunya. Namun, sayangnya, mereka tidak bisa menemukannya. Kedua orang itu seolah hilang ditelan bumi.
Saka yang sudah mengeluarkan banyak uangnya itu pun marah besar. Tak hanya uang, ia bahkan juga memberikan sebuah krystal langka pada gadis itu sebagai hadiah malam pertamanya. Ia sampai menggunakan bantuan kepolisian untuk mengusut kasus itu. Namun, tetap saja tidak ada hasilnya sama sekali.
Semenjak kejadian itu, Saka sudah kehilangan minatnya untuk mencari perempuan lain sebagai pengganti wanita itu. Ia juga tidak berminat lagi untuk memiliki seorang anak.
“Nichole, hubungi Claus segera,” perintah Saka pada Nichole kemudian. “Suruh dia datang dengan membawa dokumen yang aku minta urus padanya lima tahun yang lalu. Dia pasti paham.”
“Baik, Presdir.”
***
“Mama, katanya kalau sudah selesai syuting mau pergi ke taman bermain?” protes Felix.
Ariana yang baru saja pulang dari syuting itu menghela napas panjang. Syuting hari ini cukup melelahkan baginya. Namun, Felix terus saja merengek seperti pagi tadi. Mau tidak mau, daripada Felix terus merengek dan mengganggu istirahatnya, Ariana pun terpaksa menuruti keinginannya.
“Iya, iya. Mama siap-siap dulu.”
“Hore!” Felix melompat kegirangan. Ia lalu berhenti dan mendorong Ariana. “Sana, Mama cepat ganti bajunya! Yang cantik, ya!”
Ariana tidak benar-benar membawa Felix ke taman bermain, ia membawa Felix ke tempat bermain yang ada di sebuah plaza mall. Setidaknya lebih dekat dan tidak terlalu menghabiskan tenaga.
Felix bermain dengan sangat puas. Sementara itu, Ariana hanya melihatnya dari kejauhan sembari mengumpulkan tenaga. Setelah bermain pun, Felix terlihat masih bersemangat dan tidak kehabisan tenaga. Selanjutnya mereka pergi berbelanja, Felix merengek meminta untuk dibelikan susu banana cokelat kesukaannya.
Karena tidak mau berdebat, Ariana langsung saja membelikan beberapa stok untuk di rumah.
“Yeay, Mama beli banyak susunya!” ucap Felix kegirangan.
“Felix, jangan lari-lari!” nasihat Ariana sembari mendorong troli dan berusaha mengikuti langkah Felix dengan cepat. “Felix! Nanti kamu jatuh!”
Bruk!
“Felix!”
Baru saja Ariana mengatakan demikian, tetapi Felix sudah jatuh terlebih dahulu. Karena terlalu senang, ia jadi tidak sengaja menabrak seseorang yang ada di depannya.
“Ya ampun, Felix!”
Ariana segera berlari menuju Felix dan membantu anak itu untuk berdiri. Ariana membungkukkan badannya berkali-kali dan meminta maaf. “Maaf, maafkan anak saya.”
“... Ariana? Apa itu kamu?”
Ariana mematung. Perlahan, ia mengangkat wajahnya dan seketika wajahnya menjadi memucat. “Ma … Mama?”
Bersambung ....
Belum sempat Felix menoleh pada wanita yang tadi ia tabrak, Ariana tiba-tiba sudah menarik Felix dalam gendongannya. Ia buru-buru pergi dan menjauh dari wanita yang tadi ia panggil sebagai 'mama’ itu.“Mama, susuku!” seru Felix dengan polosnya saat Ariana membawanya dan meninggalkan troli belanjaan mereka.Ariana sama sekali tidak peduli akan hal itu. Ia langsung meninggalkan plaza menuju tempat parkir. Laju larinya semakin cepat kala ia menyadari jika wanita paruh baya itu justru mengejar dan memanggil nama Ariana.“Mama, kenapa?” tanya Felix ikut panik saat Ariana meletakkannya di jok penumpang.“Tidak apa-apa, Felix. Kita beli di tempat lain saja susunya, ya?” bujuk Ariana sembari berusaha tersenyum. Ia beralih masuk ke kursi kemudi dan segera membawa mobilnya melaju meninggalkan plaza mall tersebut.Sementara itu, wanita paruh baya yang ditemuinya tadi berusaha untuk mengikuti mobil Ariana. Sayangnya, mobil Ariana sudah menghilang dari keramaian. Ia tidak sempat mengikuti jejak Ar
Pria yang baru saja turun dari pesawat itu mendengar suara anak kecil yang tidak asing di telinganya. Begitu ia menoleh, ia bisa langsung melihat anak yang sedang memanggilnya itu tengah melambai sambil melompat-lompat kecil.“Paman Jake! Paman Jake! Di sini!” panggil Felix.Segera saja Jake berlari menuju anak kecil itu dengan merentangkan kedua tangannya. “Felix!!” seru Jake yang berhasil menarik perhatian banyak orang.Ariana dan Alano yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Padahal mereka tidak mau jadi pusat perhatian dengan sudah memakai masker dan kacamata, tetapi Jake justru berteriak dan berlari ke arah Felix, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia bahkan sampai meninggalkan kopernya beberapa langkah di belakang.“Paman Jake!” Felix tertawa saat badannya berada jauh lebih tinggi dari orang-orang di sekitarnya. Lalu setelah tiga kali diangkat seperti itu, Jake menggendong Felix dengan satu tangannya.“Bagaimana kabarmu, Felix? Selama ini kamu jadi anak yang pintar dan
“Sudah, sudah! Ayo duduk kalian berdua! Apa tidak lelah berdiri terus sepanjang hari?” ucap Alice yang membuyarkan fokus orang-orang.Ariana dan Alano pun duduk di sofa yang ada di hadapan Saka dan Nichole. Felix dengan cepat segera menghampiri Ariana dan langsung duduk di pangkuan ibunya.“Felix, bagaimana harimu?” tanya Ariana.“Menyenangkan!” jawab Felix cepat. “Aku undang Paman Nichole dan Paman Tampan untuk datang kemari, soalnya aku mau kasih kukis yang kemarin kita buat ke mereka.”‘Paman Tampan?’ batin Alano saat mendengar ucapan Felix. Ia segera menoleh pada Saka dan Nichole, bertanya-tanya siapa ‘Paman Tampan’ yang dikatakan oleh Felix. Sebenarnya, ada satu orang yang cocok dengan sebutan itu, tetapi Alano tidak mau mengakuinya.‘Tunggu dulu, entah kenapa mereka terlihat tidak asing,’ batin Alano bertanya-tanya.Sementara itu, Felix melanjutkan ceritanya, “Aku senang bisa punya teman baru. Kata Mama, kalau punya teman harus saling berbagi apa yang kita punya, kan? Jadi, aku
“Sampai di sini saja kunjungannya. Kalian boleh kembali bekerja sekarang,” perintah Saka yang membuat Nichole kembali menoleh pada Saka. Nichole tidak menyangka jika Saka akan menyelesaikan kunjungan mereka lebih cepat dari yang ada di jadwal. Padahal, biasanya Saka selalu mengikuti sesuai jadwal kecuali jika ada keadaan darurat.Bahkan, orang-orang yang ikut saling menatap dengan keheranan dengan keputusan sang Presdir yang tiba-tiba itu. Wajah mereka pucat, hingga salah satu dari mereka menghampiri Saka.“Maaf, Presdir, apa terjadi sesuatu yang membuat Anda tidak nyaman?” tanya orang itu dengan khawatir, takut berbuat salah tanpa dia ketahui.Nichole yang paham apa yang terjadi segera menjadi penengah di antara mereka. “Sudah, tidak apa-apa. Presdir hanya sedang ada urusan mendadak, jadi terpaksa harus menghentikan kegiatan ini. Tapi, setidaknya kita sudah berkeliling hampir ke semua tempat. Menurut Presdir, pengelolaan tempat ini sudah cukup baik. Untuk masalah peningkatannya nant
“Felix, meski kamu punya keinginan seperti itu, kamu jangan sampai mengatakan hal itu di depan dia, ya?” nasihat Ariana. “Bisa saja nanti dia sudah punya anak dan keluarga. Dia pasti akan jadi tidak enak hati dan canggung kalau mendengar ucapanmu.”Felix menatap Ariana dengan cemberut, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Dia menjawab, “Jadi, Paman Tampan sudah punya anak juga?”Melihat hal itu, Ariana jadi panik. “Eh? Bukan, maksudnya, kita tidak tahu apakah dia punya anak atau tidak, belum tentu juga dia punya anak.”“Begitu, ya? Oke, Mama …,” jawab Felix dengan lesu. Dalam hati, ia masih ingin memiliki ayah seperti Saka. Rasanya, ia tidak mau Saka punya anak selain dirinya. Namun, ia juga tidak bisa membantah ucapan Ariana.Tiba-tiba, raut wajah sedih Felix menghilang digantikan dengan raut wajah cerianya, seolah ia sudah melupakan kesedihannya barusan. Ada hal yang terjadi tadi siang, yang membuat Felix merasa senang.“Oh, iya, Mama! Tadi siang Paman Tampan belikan aku banyak mainan j
‘Ariana? Apa mungkin Ariana yang itu?’ batin Saka terkejut. Hanya ada satu nama Ariana yang terpikirkan olehnya saat ini, yaitu ibu dari anaknya, Felix.“Tunjukkan kami di mana tempatnya,” perintah Saka tanpa pikir panjang. Kru itu pun segera menunjukkan lokasi di mana Ariana terjatuh. Banyak orang yang berdiri di ujung tebing itu. Mereka berteriak seolah sedang mencoba berbicara dengan orang yang ada di dasar tebing. Beberapa saling berbincang satu sama lain, seolah sedang berusaha mencari ide yang tepat dan berpikir bagaimana caranya agar mereka bisa menyelamatkan Ariana.Bersamaan dengan itu, Sutradara yang juga tidak kalah paniknya dengan para kru itu kini semakin memucat saat melihat kedatangan sang pemilik agency.“Ya, ampun, Presdir. Saya benar-benar lupa jika Anda akan datang hari ini,” ucap Sutradara itu dengan gugup. “Jelaskan apa yang sedang terjadi. Aku dengar terjadi kecelakaan di sini,” perintah Saka dengan tegas.Sutradara sudah tidak bisa mengelak lagi. “Itu ... bena
Tak lama, dokter yang dikirimkan oleh Harry pun datang bersamaan dengan tim penyelamat yang tadi mereka telepon. Saka sempat memprotes tentang keterlambatan mereka saat dokter melihat kondisi Ariana.Beruntungnya, Ariana tidak terluka parah, bahkan kakinya hanya terkilir ringan dan tidak mengalami keretakan di tulangnya. Namun, ada baiknya untuk diperiksakan lebih lanjut. Dokter juga memberikan beberapa resep obat untuk Ariana.“Tuan, terima kasih sudah menyelamatkan saya,” ucap Ariana ketika yang lainnya pergi meninggalkan tenda. Saka menoleh pada Ariana dan berdeham. “Tidak masalah. Cepatlah sembuh,” ucap Saka dan langsung pergi meninggalkan Ariana. Jika terlalu lama berada di dekatnya, entah mengapa jantung Saka jadi berdetak tidak beraturan.“Nichole, ayo kita kembali,” perintah Saka setelah Nichole mengurus kedatangan tim penyelamat.“Baik, Tuan!” Ketika Saka dan Nichole sudah berada di dalam mobil dan sedang dalam perjalanan ke perusahaan mereka, Nichole tidak bisa berhenti me
“Apa? Nichole, kau ini benar-benar—”“Tuan-Tuan! Makanannya sudah siap, mari kita makan bersama,” ucap Ariana yang baru saja muncul dan tanpa sengaja memotong ucapan Saka.“Wah, terima kasih banyak, Nona Ariana!” Nichole segera kabur dari pandangan Saka sebelum atasannya itu memarahinya lebih lanjut.Saka mendengkus kesal dan memutuskan untuk diam dan mengikuti langkah Felix ke meja makan. Mereka duduk berempat di sana dan bersiap untuk makan. Masakan Ariana malam itu sederhana, hanya sebuah pasta. Namun, mereka memakannya habis tanpa bersisa.Felix yang duduk di sebelah Saka terus memperhatikan Saka tanpa henti. Bahkan, Felix juga mengikuti gerak-gerik Saka ketika ia makan dan menirunya. Ketika selesai makan, ia masih saja tidak mengalihkan tatapannya.“Paman Tampan,” panggil Felix, “Bagaimana masakan mamaku? Enakkan? Paman suka, ‘kan?” Saka yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Felix menjadi gugup. Ia tidak pernah dekat dengan anak kecil, maka dari itu k