Share

Perjodohan yang Tidak Diinginkan

“Mama, teleponmu bunyi,” ucap Felix yang mengalihkan tatapannya dari piring berisi sereal bintang rasa madu menuju telepon Ariana yang berada di atas meja. 

Sementara itu, Ariana tampak sibuk di dapur untuk memasak makanan untuknya dan bekal untuk Felix nanti. Mata Ariana fokus pada masakan di depannya. Tangannya dengan cepat mengambil bumbu-bumbu dan mencampurkannya ke dalam teflon. Ia terlalu sibuk untuk bisa mengambil ponselnya yang berdering.

“Benarkah? Apa kamu bisa ambilkan ponsel Mama, Felix?” ucap Ariana sembari menoleh ke arah Felix yang ada di meja makan.

Felix pun mengambil ponsel Ariana yang ada di atas meja dan turun menuju mamanya. Ariana mengecilkan panas pada kompor tanamnya. Ia mengusap tangannya ke apron bergambar bunga mataharinya, lalu ia pun mengambil ponsel dari tangan Felix.

“Terima kasih, Felix,” ucap Ariana sembari mengusap kepala Felix.

“Paman Jake yang menelpon,” ujar Felix. Anak itu tadi melihat foto pria yang tidak asing di layar ponsel Ariana.

Ariana sendiri melihat tulisan ‘Jake’ dan segera mengangkat telepon itu sebelum mati. Senyumnya melebar membayangkan pria yang sudah akrab dengannya itu. “Halo, Jake! Maaf membuatmu menunggu lama, aku sedang memasak.”

"Halo juga, Ariana! Tidak apa-apa. Salahku sendiri menelpon jam segini. Di sana masih pagi, ya? Di sini sudah siang. Oh, iya! Bagaimana kabarmu dan Felix? Bagaimana rumah barunya? Lebih enak di sini atau di sana? Sudah lama kita tidak bertemu, aku jadi kangen sama kalian."

Ariana tertawa. “Apaan, sih, Jake? Kita kan baru bertemu minggu lalu. Aku dan Felix baik-baik saja. Felix juga tidak rewel di tempat barunya ini. Kamu sendiri bagaimana? Masih sibuk seperti biasanya?”

"Dasar, Ariana. Aku baik-baik saja dan sudah tidak sesibuk bulan lalu. Aku punya rencana untuk mengunjungi rumah baru kalian. Hampir dua bulan aku bekerja keras tanpa istirahat, sekarang aku mau liburan dan bermain di negara baru kalian berdua selama satu bulan penuh! Kamu tidak keberatan, kan?"

Felix yang mendengar suara Jake melalui speaker itu pun berbinar. “Paman Jake mau ke sini? Yeay! Aku enggak sabar ketemu sama Paman Jake lagi! Kapan Paman Jake datang?” Felix melompat-lompat kegirangan di sekitar Ariana.

"Wah, apa ada Felix di sana?" tanya Jake yang mendengar teriakan Felix.

“Mama, aku mau ngomong sama Paman Jake juga!” ucap Felix bersemangat.

Ariana tersenyum melihat tingkah Felix dan memutuskan untuk memberikan ponselnya pada anak itu. “Kamu saja yang bicara dengan Paman Jake. Mama mau lanjutkan masaknya, kalau dibiarkan terus nanti gosong, nih.”

Dengan ponsel di tangannya, Felix berlari kecil ke arah sofa dan duduk di sana. Ia mengganti mode telepon menjadi panggilan video sehingga bisa melihat wajah Jake dengan sangat jelas. Keduanya berbincang panjang lebar. Felix menanyakan berbagai macam pertanyaan dan Jake pun menimpalinya. Mereka berdiskusi tentang apa saja yang akan mereka lakukan ketika Jake sudah berada di sana nantinya.

“Aku enggak sabar main sama Paman Jake!”

***

Di sebuah laboratorium sains yang terlihat cukup berantakan, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih terlihat sibuk dengan kegiatannya. Matanya fokus dan berusaha untuk tidak ada yang terlewatkan dari pekerjaannya. Ia juga tidak boleh sembarangan dalam membuat hasil dari penelitiannya tersebut. 

Salah satu pria mendekatinya. Mereka berdua sama-sama mengenakan sneli putih. “Profesor Harry, sejauh ini hasilnya sudah mencapai delapan puluh persen identik.”

Pria itu memberikan hasil penelitiannya pada Harry, pria yang mulai beruban itu.

Harry pun dengan segera menerimanya dan memperhatikan dengan teliti. Kepalanya mengangguk-angguk sembari membaca kertas itu. 

‘Hanya tinggal selangkah lagi, maka semuanya akan selesai,’ batin Harry.

“Kurasa hasilnya memang tidak akan berbeda setelah ini.” Harry menyeringai. “Aku sepertinya sudah bisa menebak hasilnya. Sudahlah, ayo kita lanjutkan bagian akhirnya,” ucap Harry pada asistennya.

***

“Presdir, apa Anda benar-benar mau membatalkan pertemuan besok?” tanya Nichole dengan dahi mengerut. Ia berharap Saka akan menarik kembali keputusannya untuk membatalkan pertemuan di akhir pekan besok.

“Iya. Aku tidak punya pilihan lain selain menunda pertemuan ini.” keputusan Saka sudah bulat. Ia tidak bisa menolak permintaan ibunya dan terpaksa harus berbohong jika ia tidak punya pekerjaan, padahal sebenarnya sangat sibuk.

“Anda yakin?” tanya Nichole sekali lagi untuk memastikan.

Urat dahi Saka berkedut. Ia memijat keningnya. “Iya. Bukankah sudah aku katakan? Pindahkan jadwalnya ke minggu depan. Katakan saja ada urusan mendadak yang tidak bisa kutinggalkan. Biasanya juga aku tidak seperti ini.”

Saka harus segera sampai di mansion orang tuanya. Jika telat sebentar saja, pasti Diana akan mengomel dan memberikannya rentetan pertanyaan yang tidak jauh berbeda seperti saat di ruang investigasi. 

“Apa Presdir baik-baik saja?” tanya Nichole khawatir saat melihat raut wajah susah Saka. 

Saka menggeleng kecil. “Tidak, aku tidak apa-apa, cuma agak pusing saja.”

Masih dengan tatapan khawatir, Nichole berkata, “Ya sudah, kalau begitu akan aku sampaikan pada klien kita. Kalau Presdir butuh sesuatu, katakan saja pada saya.”

Saka mengangguk dan pergi menuju mobilnya yang berada di garasi. 

***

Dua orang pria dan wanita saling bertatapan, seolah saling terpana akan keberadaan satu sama lain. Dalam skenario, ini adalah pertemuan pertama antara pemeran utama pria dan wanita.

“Cut! Cut!” 

Sutradara berteriak dengan pengeras suara yang ada di tangannya. Seketika, kegiatan syuting pun berhenti. Orang-orang bernapas lega dan meletakkan beban yang ada di pundak mereka. Beberapa kru segera menghampiri aktris dan aktor dengan membawa payung dan minuman di tangan mereka.

“Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini,” ucap Alano dengan ramah. Rambutnya sedikit bergerak karena kipas angin kecil yang dipegang oleh salah satu kru yang mengarah kepadanya.

“Iya, kamu juga,” balas Luna yang memperbaiki rambutnya. 

“Syuting hari ini bagus! Semuanya berjalan lancar dan hanya ada sedikit kesalahan saja! Memang, ya, kalau bekerja dengan profesional pekerjaan jadi lebih mudah,” ucap Sutradara dan disetujui oleh orang-orang yang ada di sana. “Malam ini, kita akan makan-makan! Jadi, jangan ada yang pulang dulu, ya! Makanannya sudah aku pesankan, sebentar lagi akan datang!” 

“Wah, Pak Sutradara baik sekali!”

“Sepertinya biaya produksi kali ini memang cukup besar, jadi kita bisa sering makan-makan.”

Luna menyisir rambutnya dan berjalan mendekati Sutradara. “Pak Sutradara, maaf, kali ini aku tidak bisa ikut makan-makan. Aku sedang ada acara penting.”

“Yah, masa pemeran utamanya tidak bisa hadir? Ya sudah, tidak apa-apa. Aku tahu kalau kamu orang sibuk dan penting. Pergilah!” ucap Sutradara dengan wajah pura-pura sedih.

“Kamu tidak ikut makan bersama?” ucap Alano yang ikut bergabung. “Sayang sekali, Ariana juga tidak bisa ikut karena ada urusan.”

Luna tertawa kecil. Tawanya membuat semua orang lupa akan kesalahan yang ia perbuat. “Aku usahakan untuk bisa hadir ke acara makan-makan kita lain kali. Terima kasih sudah mengundangku, Pak Sutradara. Lain kali kita bisa makan bersama Kak Alano!”

***

Setelah beberapa menit mengemudi, mobil merah Saka pun berhenti di sebuah mansion mewah. Sudah lama Saka tidak datang ke mansion itu, padahal dulu ia besar di sini.  Beberapa pelayan menyambut kedatangannya dan berkata jika Diana sudah menunggunya.

Belum juga masuk ke ruang tengah, wanita dengan rambut disanggul itu muncul dengan senyum cerah. Kedua tangannya terentang untuk menyambut Saka. “Anakku! Akhirnya kamu pulang juga, Nak!”

Diana menarik Saka ke dalam pelukannya. Saka pun membalas pelukan ibunya. Meski ia terkadang kesal dengan wanita itu, bukan berarti Saka membenci Diana. Anak dan ibu itu berpelukan selama beberapa detik. Lalu, Diana menarik tangan Saka untuk masuk ke dalam.

“Bagaimana hari-harimu, hmm? Kamu makan dengan benar, kan? Jangan melewatkan makan! Mama akan menangis kalau kamu sakit,” omel Diana masih dengan menarik lengan Saka.

“Tidak, Ma. Aku selalu makan tepat waktu,” jawab Saka. Berbohong sedikit tidak masalah asal Diana senang.

“Oh, iya! Mama punya kejutan buat kamu! Kamu pasti tidak akan bisa menebaknya!” seru Diana bersemangat.

Alis Saka mengerut. “Kejutan?” tidak biasanya Diana memberikannya kejutan. Bukannya merasa senang, perasaan Saka justru menjadi tidak enak.

‘Apa keputusanku ke sini adalah hal yang salah?’ batin Saka. Ia ingin kembali, tetapi ia sudah masuk ke perangkap mamanya dan tidak akan bisa keluar sampai Diana yang melepaskannya sendiri.

Diana dan Saka pun sampai di ruang makan. Saka bisa melihat ayahnya, Arnold, sedang duduk di kursinya. Pria itu terlihat sedang berbincang dengan seseorang. Senyum lembut tercetak di wajah Arnold. Saka pun sadar jika itu bukanlah raut wajah yang biasanya dipasang Arnold ketika berbicara dengan pekerja di rumahnya.

Rasa penasaran Saka pun terjawab ketika ia benar-benar memasuki ruangan makan tersebut. Matanya melebar saat melihat seorang wanita tengah berbincang akrab dengan Arnold.

“Akhirnya, Saka sudah datang!” seru Diana senang. 

Dua orang yang tengah berbincang itu menghentikan dialog mereka dan menoleh ke arah Saka dengan senyum lebar. Sementara itu, Saka justru tertegun di tempatnya.

“Selamat datang, Saka,” sambut Arnold.

“Kak Saka! Sudah lama tidak bertemu, ya?” ucap wanita itu. Karena terlalu senang, ia sampai berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah Saka.

“Luna, bagaimana kamu bisa ada di sini?!”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status