"Ma, di sini gelap banget, Vasya takut," bisik Vasya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ariana dengan tatapan takut. Ariana seketika menganggukkan kepala, berusaha mengelus kepala sang anak. "Sebenernya ini kos atau bukan, sih? Kenapa mesti ada gudang dan banyak tong kosong besar di sini?" batin Ariana. Yah, wanita itu berpikir keras karena untuk ukuran rumah kos-kosan, rumah ini terlalu besar. Bahkan, di beberapa dindingnya pun terdapat beberapa gambaran seperti petunjuk tertentu yang sama sekali tidak dimengerti oleh Ariana. Pula, di sana juga terdapat sebuah tulisan "No Entry" yang semakin membuat rasa penasarannya tinggi. Ariana seketika menelan ludahnya sendiri. Wanita itu akhirnya berdiri ketika sampai di depan sebuah pintu. Beruntungnya, pintu itu terbuka sedikit. Ariana langsung mengeceknya. "Untung aja nggak ada orang di sini," batinnya. Ia buru-buru menggandeng tangan Vasya dan masuk ke dalam ruangan itu. Vasya awalnya sempat menolak. Namun, bagaimana pun Ariana tet
"Jadi, ini gimana, Van?" tanya Ferel. Lelaki itu menaikkan salah satu alisnya ke atas. ********"Kamu tahu ini ruangan apa, Rot?" Udin bertanya dengan wajah gelisah. Ia mengedarkan pandangan ke segala ruangan. Di sana, hanya ada beberapa tumpukan peti mati sekaligus sebuah kotak besar nan kosong. "Aku nggak ngerti kita berdua di mana, tapi ini ngeri, ayo balik ke atas, kayanya, kita kejauhan. Aku takut," balas Jarot. Udin manggut-manggut, dia menyetujui usulan itu. Tak lama kemudian, keduanya langsung bergegas kembali ke tangga atas. Ketika melewati tangga atas itu, ada beberapa pajangan dengan gambaran sebuah batu hitam dengan batu hijau emas. Jarot dan Udin sama sekali tak mengerti apa artinya. "Udah, Rot. Kamu nggak usah ngomong dulu, kita harus pergi dari sini," ucap Udin dengan suara lirih. Keduanya langsung bergegas pergi ke atas, mereka menyusuri ruangan yang nampak lengang. Tak ada satu pun yang tahu soal ruangan itu, karena masing-masing ruangan tertutup. Pergerakan kedu
"Apa katamu? Mantan mafia? Yang bener aja, Ferel! Nggak mungkin mereka mantan mafia!" pekik lelaki itu dengan suara lantang. Ferel seketika menoleh ke arah Devan. "Heum, kamu kok nggak percaya sama aku, sih? Aku ini udah kerja di bidang penyelidikan selama puluhan tahun. Dan sekarang, kamu malah ngeraguin aku? Udah ya, Van. Mulai sekarang, aku saranin, kamu mendingan pergi dari kota ini. Pindah ke kota lain yang buat kamu lebih aman," ucap Ferel. Ia memberikan sebuah arahan kepada Devan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dan juga keluarganya. "Kalo aku pindah ke kota lain, di mana aku harus tinggal? Ariana juga nggak bakalan mau, soalnya, kamu tahu, kan? Dai juga kerja di kota ini," ucap Devan dengan wajah pasrah. "Soal itu, kamu tenang aja. Soalnya, tempat Istri kamu kerja itu punya cabangnya sendiri, kok. Dan kebetulan, aku udah lihat kalo di sana aman. Pindah ke Surabaya aja, mereka nggak bakalan ke sana, kok," kata Ferel dengan tegas. Deg!"Hah? Di mana kamu tahu tempat Istrik
"Jadi, apa tindakanmu sekarang? Kamu masih mau hidup di daerah sini? Atau gimana?" tanya Ferel dengan suara lirih. Ariana menoleh ke arah Devan, berusaha menyikutnya, hendak memberi isyarat agar lelaki itu turut berbicara. "Mas, gimana? Kamu punya tindakan apa?" Ariana kembali melontarkan pertanyaan. Sudah jelas hal itu membuat Devan kebingungan. "Aduh, Ma. Aku nggak ngerti sama jalan pemikiran kamu, serius. Aku dari dulu nggak pernah tahu di mana letak otakmu itu, loh. Bikin pusing orang aja," balas Devan dengan suara lantang. Dia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam. "Mas! Jangan ngomong sembarangan kamu! Di sini ada Mas Ferel, loh! Kalo kamu mau ngomong kasar! Seenggaknya mikir-mikir dulu! Dasar suami bobrok!" pekik Ariana dengan wajah kesal. Ferel menghembuskan nafas panjangnya, ia merasa letih jika harus mendengar huru-hara di sana sini. Terlebih, dia sendiri sebenarnya tidak bisa melihat sosok Devan yang selalu bertindak kasar di hadapan Ariana. "Van, jangan ngomong k
Devan terdiam untuk beberapa saat, sedangkan Ariana hanya bisa menghela nafas panjang. Tak lama kemudian, dia segera pergi, meninggalkan Devan yang ada di dalam ketakutan dan kepanikan. "Heum, gimana sama keadaan Ariana, ya? Aku nggak tahu kenapa dia bisa kayak gitu!" batin Devan sembari menundukkan kepalanya. Sesekali, dia mengepalkan tangan kanan dan langsung mendobrak meja. Tak lama kemudian, Devan berjalan kembali ke rumah, dan langsung pergi bertemu dengan Ariana. "Ma, aku ke luar dulu, ada urusan sama Ferel. Dan, aku juga harus kerja sekarang," ucap Devan dengan suara lirih. Ariana hanya menganggukkan kepala, ia menghiraukan Devan yang dari tadi berusaha untuk berbicara dengannya. ******Devan kini berada di gudang, dia segera melakukan pekerjaannya. Di sana, beberapa orang tengah melakukan pengemasan beberapa barang. "Devan, kamu jangan lupa setoran jumlah barang buat hari ini, ya. Aku udah mau selesai nih, sama pekerjaannya," ucap Ferel sembari tersenyum. "Oke, tenang aj
"Ya udah, ayo pergi dari sini setelah selesai minum, Ferel. Aku harus mengurus gudang," ucap Devan dengan nada tegas. Ia tidak ingin bermain-main dengan pekerjaannya sendiri. Ferel menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Devan. Mereka berdua menyelesaikannya dengan cepat. Keduanya sempat saling melirik kedua matanya. Masing-masing dari mereka, memikirkan kembali apa yang telah mereka lontarkan satu sama lain. Tak lama kemudian, mereka berdua menyelesaikan makanannya. Sehingga, mereka langsung pergi dari cafe tersebut. Keduanya melesat ke jalanan, lalu pergi ke gudang. Di sana, Devan menghindari Ferel. Devan langsung melakukan kegiatannya dengan baik. Selepas pulang, Devan pulang ke rumahnya sendiri dengan perasaan gelisah. Di tengah-tengah perjalanan, dia memutuskan untuk menenangkan diri sendiri. *********"Astaghfirullah, itu kan Adnan," batin Devan, lelaki itu tengah mengendarai motor. Di sana, kedua matanya melihat sosok Adnan yang sedang berbincang dengan seorang perempuan
Setelah kejadian kemarin, Devan mulai sering melamun. Dia tidak menyangka bila Adnan memeluk perempuan lain kemarin malam. "Heum, bisa aja itu saudara kandung Adnan, kan?" batin Devan. Ia mencoba untuk berpikir positif. Namun, ketika berada di tempat kerja, dia mendapat informasi yang membuatnya tercengang. "Van, kamu harus lihat foto ini," Ferel menepuk pundak Devan sembari menunjukkan sebuah foto di hadapan Devan. Dahi Devan berkerut ketika melihat foto Adnan dengan seorang perempuan yang dia lihat kemarin malam. "Astaga, Ferel. Ini kan perempuan yang aku lihat kemarin malem?" Devan menyerahkan foto itu kembali kepada Ferel. "Oh, kemarin malam kamu juga lihat mereka berdua, ya? Aku sempet lihat kamu, sih. Cuman, aku nggak ngomong apa-apa. Sekarang, kamu harus tahu ini, perempuan yang ada di foto itu adalah pemilik perusahaan ternama di sini," ucap Ferel dengan nada tegas."Hah? Maksud kamu?" tanya Devan dengan suara lirih. "Iya, Devan. Dia itu anak direktur perusahaan tekstil
"Ferel! Kayaknya, kamu nggak perlu cari informasi lagi soal Adnan," ucap Devan sembari tersenyum. Ferel menoleh ke arah Devan dengan wajah keheranan. "Heum, kenapa?" tanya Ferel, dia penasaran dengan apa yang terjadi kepada Devan. "Aku udah baikan sama Istri dan anakku, Ferel. Jadi, kita berdua udah mulai dari awal lagi sekarang. Doain aja biar semuanya baik, ya. Soal Adnan, biarin aja udah," balas Devan sembari tersenyum. Lelaki itu menganggukkan kepalanya."Oalah, jadi gitu. Selamat ya, yang udah baikan. Aku ikut seneng dengernya," kata Ferel. "Heum, iya, Rel. Makasih banyak, ya. Ini semua nggak bakal terjadi kalo kamu nggak bantuin aku," balas Devan dengan sembari tersenyum. Ferel menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bantuanku? Nggak, dong, Van. Aku cuman buka jalannya aja, semua itu kan kembali ke kamunya sendiri, hahaha." "Iya, aku ngerti. Tapi, itu semua nggak bakalan terjadi kalo kamu nggak bantuin aku. Jadi, aku bener-bener berterima kasih banyak sama kamu," ucap Devan.
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg