Setelah kejadian kemarin, Devan mulai sering melamun. Dia tidak menyangka bila Adnan memeluk perempuan lain kemarin malam. "Heum, bisa aja itu saudara kandung Adnan, kan?" batin Devan. Ia mencoba untuk berpikir positif. Namun, ketika berada di tempat kerja, dia mendapat informasi yang membuatnya tercengang. "Van, kamu harus lihat foto ini," Ferel menepuk pundak Devan sembari menunjukkan sebuah foto di hadapan Devan. Dahi Devan berkerut ketika melihat foto Adnan dengan seorang perempuan yang dia lihat kemarin malam. "Astaga, Ferel. Ini kan perempuan yang aku lihat kemarin malem?" Devan menyerahkan foto itu kembali kepada Ferel. "Oh, kemarin malam kamu juga lihat mereka berdua, ya? Aku sempet lihat kamu, sih. Cuman, aku nggak ngomong apa-apa. Sekarang, kamu harus tahu ini, perempuan yang ada di foto itu adalah pemilik perusahaan ternama di sini," ucap Ferel dengan nada tegas."Hah? Maksud kamu?" tanya Devan dengan suara lirih. "Iya, Devan. Dia itu anak direktur perusahaan tekstil
"Ferel! Kayaknya, kamu nggak perlu cari informasi lagi soal Adnan," ucap Devan sembari tersenyum. Ferel menoleh ke arah Devan dengan wajah keheranan. "Heum, kenapa?" tanya Ferel, dia penasaran dengan apa yang terjadi kepada Devan. "Aku udah baikan sama Istri dan anakku, Ferel. Jadi, kita berdua udah mulai dari awal lagi sekarang. Doain aja biar semuanya baik, ya. Soal Adnan, biarin aja udah," balas Devan sembari tersenyum. Lelaki itu menganggukkan kepalanya."Oalah, jadi gitu. Selamat ya, yang udah baikan. Aku ikut seneng dengernya," kata Ferel. "Heum, iya, Rel. Makasih banyak, ya. Ini semua nggak bakal terjadi kalo kamu nggak bantuin aku," balas Devan dengan sembari tersenyum. Ferel menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bantuanku? Nggak, dong, Van. Aku cuman buka jalannya aja, semua itu kan kembali ke kamunya sendiri, hahaha." "Iya, aku ngerti. Tapi, itu semua nggak bakalan terjadi kalo kamu nggak bantuin aku. Jadi, aku bener-bener berterima kasih banyak sama kamu," ucap Devan.
"Van! Kamu jangan gerak ke mana-mana dulu, ada temen aku yang bisa aku ajak kerja sama, jangan khawatir!"Devan membaca sebaris pesan yang membuatnya tenang. Di satu sisi, Ferel segera pergi dan berpamitan kepada sang bapak. Setelahnya, dia pergi ke jalanan, memberikan komando kepada teman-temannya. "Ya, Ferel?" "Kita harus ke daerah Cikarang, kamu ngerti, kan? Jangan lupa, bawa anak-anak yang lain! Pastikan kali ini kita berhasil!""Oh! Baguslah! Sasaran polisi yang hilang selama lima tahun itu! Mereka-"Percakapan itu semakin dalam, hingga pada akhirnya. Entah apa yang terjadi, sampai akhirnya, dia menghentikan motornya. Tangan kanannya mengambil sebuah foto yang selama ini dia simpan di dalam sakunya. "Mama tenang aja, aku di sini bakal usahain itu. I love you, Mom," ucap Ferel, ia mencium foto seorang perempuan paruh baya yang tengah menggendong seorang bocah berusia enam tahun."Malam ini!" batin Ferel. ******Ferel kembali fokus ke jalanan, lalu, tak lama kemudian, dua orang
Selamat malam, semuanya. Mohon maaf sebelumnya, ya. Sepertinya Author ingin libur dulu, soalnya kondisinya semakin memburuk. Terima kasih untuk semua orang yang masih membaca ini. Saya akan berusaha agar bab selanjutnya, saya buat besok. Untuk hari ini, saya ingin lebih fokus untuk kesehatan saya. Apabila ada kekurangan dalam kisah ini, saya mohon maaf, ya. Sekali lagi, terima kasih karena telah membaca dan mengikuti kisah ini hingga bab ini. Saya merasa senang karena ini. Terim kasih dan mohon maaf sekali lagi, semuanya. :)Saya berharap, kalian semua menjaga kondisi kalian, ya. Selamat malam, semoga kalian selalu diberi kesehatan, Aamiin. Selamat malamSalam hormatAuthor, Repetition
Suara langkah berderap, memenuhi segala penjuru ruangan. Sunyi, senyap, dan seolah tak ada tanda kehidupan. Semuanya membisu untuk sesaat. "Van, kamu jalan ke arah utara aja, aku bakalan ke selatan. Bawa temanmu satu sama aku," ucap Luteas dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ferel dengan tatapan tajam. "Oke, Pak. Hati-hati, ya," balas Ferel dengan nada rendah. Mereka segera bergerak ke arah masing-masing. Ferel berjalan dengan tatapan ragu. Dio yang berjalan di belakang Ferel, mendapati sebuah peluru tergeletak di salah satu lorong panjang yang mereka lewati. "Stop, Rel. Lihat, di sini ada peluru," kata Dio, ia mengambil peluru di depannya dan memberikannya kepada Ferel. "Astaga, ini gila, Dio. Apa mereka berusaha menembak Vasya sama keluarganya?" tanya Ferel, ia menaikkan salah satu alisnya ke atas. Dio menggelengkan kepala, lalu menelan ludah, "Heum, bisa jadi. Ayo," balas Dio. Ferel dan Dio segera berangkat ke ruangan lain. Mereka merapalkan doa untuk menjaga diri. Tak lam
"Itu semua kembali ke kamu, Dio! Oh iya, bangunkan temanmu itu! Dasar!" teriak Bobi dengan suara lantang. Ia menaruh tangan kanannya ke atas pinggang. Deg!"Ferel! Ferel bangun!" Dio sesekali menendang kaki Ferel secara perlahan. Ferel seketika terbangun, pandangannya kabur. Tangan kanannya ia gunakan untuk memijit keningnya. "Kita di mana, Dio?!" tanya Ferel. Lelaki itu mencoba berdiri, namun, karena kondisinya yang lemah, dia terjatuh. Bug!"Hahaha! Bangun juga nih si tengil! Sekarang, Lo udah ada di sini, Ferel! Lo ngerti, kan?! Ini Gue! Bobi! Lo pasti masih inget masa lalu kita kan, Rel?!" tanya Bobi dengan suara lantang, ia menarik kerah baju lelaki itu. Kedua mata mereka saling bertatapan. "Bobi?! Wah! Seru juga ketemu Lo di sini, Bob!" jawab Ferel, ia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam, sekalipun dia masih terasa pusing. "Ck! Diem! Lo sekarang nggak aman, Rel! Lo harus ikut kata-kata Gue kalo mau selamat!" "Bang***! Kalo Lo ada urusan sama Gue! Lo harusnya selesai
“Di mana yang lainnya?” tanya Luteas, dia mengedarkan pandangan ke segala arah karena tak ada satupun orang di sana. “Tunggu, Jenderal Luteas. Aku rasa, aku tadi mendengar jeritan seseorang. Dan aku rasa, jeritan itu berasal dari ruangan yang ada di sana,” jawab salah satu polisi dengan senapan panjanganya. Dia menunjuk ke salah satu ruangan yang tertutup rapat. “Heum, apa kau yakin mereka ada di sana, Gilang?” Jenderal Luteas menaikkan salah satu alisnya. Ia menatap kedua mata Gilang dengan tatapan tajam. “Coba perhatikan ini, Jenderal Luteas. Lihat, di sini memang ada beberapa tanda berwarna merah yang menjadi salah satu indikasi keberadaan mereka,” Gilang memperlihatkan sebuah layar berwarna hitam yang menunjukkan sebuah titik merah. Jenderal Luteas menganggukkan kepala, tanda bahwa dia mengerti dengan jelas apa yang dimaksud oleh anak buahnya. “Ya sudah, tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana. Tapi, beberapa orang harus tetap berjaga dan mencari di ruangan yang berbeda. K
Vasya yang masih berada di pelukan sang ayah, seketika menoleh sebentar. Ia mengamati bagaimana jati dirinya dibuat menderita ketika melihat sosok Bobi. "Ayah, aku takut sama dia, Ayah. Jangan jauh-jauh dari aku ya, Yah." Vasya memeluk sang ayah dengan wajah ketakutan. Nalarnya tak sanggup menyuarakan kata nestapa. "Udah, Sayang. Kamu bakalan baik-baik aja, kok. Jangan takut, ya. Ada Ayah di sini," ucap Devan dengan wajah resah. Dia menggendong sang anak sambil membawanya keluar dari tempat itu. Ariana yang masih berada di sana, seketika ikut ke luar. Ia hendak memarahi sang suami karena dirinyalah yang menyebabkan semua ini terjadi."Ayah lihat, kan?! Apa yang udah Ayah lakukan, ha?! Jangan bertindak bodoh makanya! Punya temen itu dilihat-lihat dulu! Udah tahu aku ini orangnya gampang nderedeg! Kamu mau aku jantungan terus mati, Yah?!" Ariana memberontak kepada Devan. Ia merebut sang anak dari rangkulannya. Setelah itu, dia langsung pergi ke luar. Tersisa Devan seorang diri, dia h
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg