Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
"Ini uangnya. Jangan protes lagi kayak kemarin malam, ya! Mau nggak mau, kamu harus terima!" Ariana kemudian menerima selembar uang lima ribu yang diberikan sang suami dengan rasa gusar. Tangannya mengepal. Suaminya seringkali memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, dua ribu rupiah, bahkan lima ratus rupiah tanpa rasa bersalah. Namun, pria itu menuntut semua pekerjaan rumah beres. Anak harus sekolah dan dirinya harus kenyang. Mau berutang di mana lagi? Semua warung bahkan nyaris mem-blacklist keluarga mereka. Kali ini, Ariana bertekad harus memberanikan diri untuk angkat bicara!"Lima ribu lagi, Mas? Apa gak bisa lebih Mas untuk makan anak-anak?" tanya Ariana dengan nada sopan. Meski kesal, Ariana tidak ingin terlalu meluapkan amarah di hadapan Devan. "Masih mending kamu kukasih uang, Ma! Aku tadi udah cari kerja! Seharian jalan nggak dapet apa-apa! Aku aja hampir mati kelaparan di jalan, Ma! Kalo tadi aku nggak ketemu Kakek-kakek di jalan, dia nggak bakal kasih kerjaan aku buat
"Ma, hari ini makanannya kok sama lagi?" Ucapan Vasya--sang anak--mengagetkan Ariana. Sedari tadi, dia terus saja kepikiran dengan kejadian tadi siang. Deven bermain-main dengan preman pasar. Dengan sabar, Ariana pun berusaha menenangkan anaknya itu. "Vasya, kamu yang sabar ya, Nak. Kita makan tempe sama tahu dulu. Kapan-kapan, Mama pasti beliin kamu nuget, gimana?" tanya Ariana sembari membelai rambut sang anak."Halah, Mama sama Ayah tuh suka bohong! Pokoknya, Vasya nggak mau makan kecuali nuget!" bantah Vasya yang kemudian berjalan ke arah kamar sembari menangis. Devan yang melihat itu kemudian menghela nafas. "Ma, anakmu itu nggak tahu diri, ya?! Udah Bapaknya kerja capek-capek, dia tinggal duduk buat makan aja kok masih ngomel! Kamu bisa ngurus anakmu nggak, sih?" tanya Devan dengan nada ketus. Ia menyudahi acara makannya."Wajar, Mas. Vasya kan masih kecil," jawab Ariana dengan tenang. Devan terlihat menghembuskan nafas panjang, tetapi tak lama, dia pun berteriak pada anaknya
Meski bingung, wanita itu buru-buru mengambil uang dan menggenggamnya dengan erat."Mas, kamu dapet dari mana uang sebanyak ini?" tanya Ariana akhirnya. Ia berjalan ke arah sang suami dengan langkah ragu."Ya dari temen-temenku, lah! Kamu aja yang nggak tau, kan?!" Devan menaikkan salah satu alisnya."Teman-temanmu? Masa sih, Mas? Terus, kamu nggak kerja, gitu?" Ariana merasa ragu dengan apa yang diucapkan oleh Devan.Hal itu terbukti dari gelagat Devan yang merasa gugup. Ia juga sering melempar pandangan ke segala arah."Mas, kok diem aja, sih? Jawab pertanyaanku, Mas.""Halah, gak usah banyak tanya kamu! Yang penting kan, udah aku kasih uang! Tidur aja sana!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menundukkan kepalanya pelan. Setelahnya, ia langsung berjalan ke samping Devan dan tidur di sebelahnya. "Ya, Tuhan! Ini uang dari mana?" batin Ariana bingung. Namun, tak lama dia terlelap. Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk ibu muda itu. Terlebih, menghadapi suami yang tak pernah ped
Hal itu membuat Ariana spontan menjerit. "Aw! Kenapa kamu nyubit lenganku, ha?!" tanya Ariana, ia sengaja melantangkan suaranya agar Jarot mendengarnya."Hssst, kamu jangan berisik, deh. Sini kopinya. Biar aku yang bawain buat temenku." Devan menjawabnya dengan ketus. Ia langsung membawakan kopi ke depan dan memberikannya untuk Jarot. Vasya nampak keheranan dengan apa yang terjadi."Ma, Mama kenapa tadi teriak?" tanya Vasya gemetar. Gadis itu merasa ketakutan. Melihat itu, Ariana segera meninggalkan pekerjaannya, ia berjalan ke arah sang anak dan mengelus kepalanya."Vasya, Mama nggak kenapa-napa, kok. Tadi itu, Ayah kamu nggak sengaja nyubit Mama. Makanya Mama teriak. Hehehe...""Oh, gitu ya. Ya udah, lain kali Mama hati-hati, ya." Vasya mengatakannya sembari tersenyum lebar. Wanita itu tersenyum dan segera menyiapkan bekal untuk anaknya. Meski dalam hati, dia ingin menangis. 'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' batin Ariana pedih. Diam-diam, Ariana pun mengikuti langka