"Ma, hari ini makanannya kok sama lagi?"
Ucapan Vasya--sang anak--mengagetkan Ariana. Sedari tadi, dia terus saja kepikiran dengan kejadian tadi siang. Deven bermain-main dengan preman pasar.Dengan sabar, Ariana pun berusaha menenangkan anaknya itu. "Vasya, kamu yang sabar ya, Nak. Kita makan tempe sama tahu dulu. Kapan-kapan, Mama pasti beliin kamu nuget, gimana?" tanya Ariana sembari membelai rambut sang anak."Halah, Mama sama Ayah tuh suka bohong! Pokoknya, Vasya nggak mau makan kecuali nuget!" bantah Vasya yang kemudian berjalan ke arah kamar sembari menangis.Devan yang melihat itu kemudian menghela nafas. "Ma, anakmu itu nggak tahu diri, ya?! Udah Bapaknya kerja capek-capek, dia tinggal duduk buat makan aja kok masih ngomel! Kamu bisa ngurus anakmu nggak, sih?" tanya Devan dengan nada ketus. Ia menyudahi acara makannya."Wajar, Mas. Vasya kan masih kecil," jawab Ariana dengan tenang.Devan terlihat menghembuskan nafas panjang, tetapi tak lama, dia pun berteriak pada anaknya."Vasya, kamu makan di depan tv aja, ya. Ayah mau ngomong sama Mama kamu."Mendengar itu, Vasya menganggukkan kepala dan segera pergi--sesuai perintah sang ayah.Setelah memastikan Vasya pergi, Devan tiba-tiba menatap Ariana tajam."Ma! Kamu itu bisa nggak, sih?! Nggak usah belain anak kamu terus! Dia aja yang kurang bersyukur! Kamu mau ndidik dia jadi anak manja?!" teriak Devan."Mas, kamu bisa bicara pelan-pelan nggak, sih? Kamu nggak malu, ya? Gimana nanti kalo tetangga denger? Lagian, kamu harusnya intropeksi diri! Tadi pagi, aku lihat kamu sama Jarot! Terus, kamu tadi ngeluarin uang dua ratus ribu buat dia! Dapet dari mana kamu duitnya?!" tantang Ariana tiba-tiba.Dia lelah disalahkan mulu oleh Devan. Padahal, suaminya itu juga memiliki banyak hal yang harus dijelaskan.Lama, Ariana menunggu jawaban Devan. Namun, suaminya itu hanya diam--seperti orang ketakutan.Ia sepertinya tak menyangka bahwa istrinya akan tahu soal itu."Mas, kamu kenapa diem aja sih, Mas?! Jawab pertanyaanku!" ucap Ariana dengan suara lirih.Merasa terpojokkan, ego Devan terluka. Dengan pongah, dia menatap Ariana merendahkan. "Udahlah, kamu itu kalo nggak tahu apa-apa mendingan diem aja! Daripada kamu nanyain yang nggak perlu, kenapa kamu nggak mau bantuin aku kerja juga?! Kan enak nanti kalo kamu cari kerja! Harusnya kamu tuh mikir, Ma!" teriak Devan dengan nada kencang sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah."Mas?!" teriak Ariana dengan lantang.Namun, Devan tak peduli.Melihat itu, Ariana lantas beranjak pergi dari ruang makan dan segera bergegas ke kamar. Di kamarnya, wanita itu menutup dan mengunci pintu pelan."Ya Tuhan, ujian apa yang sebenarnya kau berikan padaku? Kenapa hamba mempunyai suami seperti dia?" batin wanita itu. Dia membungkam mulutnya sendiri. Berusaha agar anaknya tak mendengar tangisannya.******"Tok tok tok!"Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Ariana bergegas menghapus tangisannya.Mengira bahwa yang datang menghampirinya adalah suaminya, ingin rasanya Ariana membuka pintu. Namun, dia mengurungkan niatnya."Kamu tidur di luar saja malam ini, Mas! Aku nggak mau bicara sama kamu sementara waktu!" pekik wanita itu dengan nada tinggi. Ariana menahan nafasnya yang sesak."Ma, ini Vasya. Bukan Ayah," ucap Vasya dengan suara ketakutan.Deg!Ariana yang mendengar hal itu terkejut. Ia langsung membuka pintu dan berlutut di hadapan sang anak."Vasya, maafin Mama, ya. Tadi, aku kira itu Ayah kamu, bukan kamu." Ariana mengelus kepala sang anak dan membelai rambutnya. Vasya yang mengetahuinya, menundukkan kepala."Mama sama Ayah tengkar, ya?" tanya gadis itu dengan wajah murung."Astaga, apa tadi suaraku sama Mas Devan kekencengan, ya?" batinnya pelan. Wanita itu tak bisa berkata-kata.Vasya menyipitkan kedua matanya. Ia bertanya kepada sang ibu. Namun, Ariana tetap diam. Untuk beberapa saat, dia melamun."Mama kenapa? Kok diem aja, sih?" tanya Vasya dengan suara lirih. Ia menepuk bahu sang ibu."Eh, Mama nggak papa kok, Sayang. Kamu belum tidur, ya?" Ariana mengelus kepala sang anak."Vasya tadi udah tidur. Tapi, Vasya denger Mama tengkar sama Ayah. Makanya, Vasya kebangun. Sekarang, Vasya nggak bisa tidur." Vasya tersenyum di hadapan sang ibu.Entah dari mana, tak lama kemudian, Devan muncul seolah tak terjadi apa-apa. "Loh, anak Ayah bangun. Kamu kenapa, Sayang?" Devan menekuk satu lututnya. Ia menundukkan kepala ke arah Vasya--seperti sosok penyayang.Anehnya, sang anak justru tampak ketakutan. Menyadari itu, Ariana lantas bergerak cepat."Vasya, kamu mau ke kamarmu? Ayo, Mama anter ke kamar."Salah satu tangan Vasya diraih oleh Ariana.Sang anak dengan cepat menganggukkan kepalanya pelan. Mereka pun segera ke kamar san anak. Setelah memastikan anaknya tidur, barulah Ariana kembali ke kamarnya.Di sana, Devan duduk bersandar dengan tenang.Namun, itu tak lama karena Devan tiba-tiba bersuara dengan nada tinggi, "Ariana, sini kamu!"Deg!Ariana segera menundukkan kepala. Ia juga memegang degup jantungnya dan mencoba membuat nafasnya kembali tenang.Lama, dia menunggu sampai akhirnya Devan melempar dua lembar uang 100 ribuan di depan muka Ariana."Tuh! Uang buat kamu!"Meski bingung, wanita itu buru-buru mengambil uang dan menggenggamnya dengan erat."Mas, kamu dapet dari mana uang sebanyak ini?" tanya Ariana akhirnya. Ia berjalan ke arah sang suami dengan langkah ragu."Ya dari temen-temenku, lah! Kamu aja yang nggak tau, kan?!" Devan menaikkan salah satu alisnya."Teman-temanmu? Masa sih, Mas? Terus, kamu nggak kerja, gitu?" Ariana merasa ragu dengan apa yang diucapkan oleh Devan.Hal itu terbukti dari gelagat Devan yang merasa gugup. Ia juga sering melempar pandangan ke segala arah."Mas, kok diem aja, sih? Jawab pertanyaanku, Mas.""Halah, gak usah banyak tanya kamu! Yang penting kan, udah aku kasih uang! Tidur aja sana!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menundukkan kepalanya pelan. Setelahnya, ia langsung berjalan ke samping Devan dan tidur di sebelahnya. "Ya, Tuhan! Ini uang dari mana?" batin Ariana bingung. Namun, tak lama dia terlelap. Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk ibu muda itu. Terlebih, menghadapi suami yang tak pernah ped
Hal itu membuat Ariana spontan menjerit. "Aw! Kenapa kamu nyubit lenganku, ha?!" tanya Ariana, ia sengaja melantangkan suaranya agar Jarot mendengarnya."Hssst, kamu jangan berisik, deh. Sini kopinya. Biar aku yang bawain buat temenku." Devan menjawabnya dengan ketus. Ia langsung membawakan kopi ke depan dan memberikannya untuk Jarot. Vasya nampak keheranan dengan apa yang terjadi."Ma, Mama kenapa tadi teriak?" tanya Vasya gemetar. Gadis itu merasa ketakutan. Melihat itu, Ariana segera meninggalkan pekerjaannya, ia berjalan ke arah sang anak dan mengelus kepalanya."Vasya, Mama nggak kenapa-napa, kok. Tadi itu, Ayah kamu nggak sengaja nyubit Mama. Makanya Mama teriak. Hehehe...""Oh, gitu ya. Ya udah, lain kali Mama hati-hati, ya." Vasya mengatakannya sembari tersenyum lebar. Wanita itu tersenyum dan segera menyiapkan bekal untuk anaknya. Meski dalam hati, dia ingin menangis. 'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' batin Ariana pedih. Diam-diam, Ariana pun mengikuti langka
Devan yang terjatuh dari motor, segera berdiri dan membenarkan sepeda motornya. Namun, ia sama sekali tak membantu sang anak. "Vasya, kamu ke sini cepetan," ucap Devan. Untungnya, Vasya hanya mengalami luka ringan. Jadi, Vasya akhirnya mencoba berdiri dan berjalan ke arah Devan. "Lihat, kan?! Gegara kamu, sih! Andaikan aja kalo kamu nggak nyuruh Ayah anterin kamu ke sekolah, pasti nggak kaya gini. Ayo, bantuin pedagang sayurnya beresin sayurannya," bentak Devan dengan wajah gelisah.Lelaki itu langsung berlari kecil ke arah pedagang. Ia membantu mengambil beberapa sayuran yang telah jatuh. Setelah itu, ia tak lupa meminta maaf atas perlakuannya. "Maaf ya, Pak. Dagangannya jadi kececeran di mana-mana. Tadi saya mau anterin anak saya ke sekolah. Tapi, saya buru-buru melakukannya karena ada tamu di rumah. Saya nggak mau tamunya nunggu terlalu lama," Devan mengatakannya sembari tersenyum malu. "Iya, ndak papa, Pak. Lain kali hati-hati ya, Nak kalo nyetir motor. Itu kasian sampek anakn
"Mas, sampai kapan kamu berpura-pura jadi suami dan ayah baik?" lirih Ariana pening.Selama menanti kehadiran anak dan suaminya pulang, suasana hatinya sangat buruk. Berulang kali, dia memijat kening. Namun, sepertinya ujian Ariana belum berhenti. Suara perempuan yang merupakan teman dari Ariana datang dengan panik. "Ariana! Cepat kemari!" Teriakan Sania itu membuat Ariana berlari dengan cepat membuka pintu.Di sana, Sania sudah berdiri dengan wajah cemas. "Ada apa, Sania?" tanya Ariana cepat. "Kamu udah tahu belum? Suami kamu kecelakaan, loh. Tadi dia ngendarain motornya ngebut banget, makanya dia nabrak mobil. Ayo!" ucap Sania dengan tatapan tegas."Astaghfirullah! Ayo, Sania," kata Ariana dengan wajah sedih. Mereka berdua bergegas ke jalanan. Di sana, Ariana melihat segerombolan orang yang tengah menolong suaminya. Ariana juga melihat sang pemilik mobil keluar dari mobil dan berjalan dengan tatapan sinis. "Anda punya mata nggak, sih?! Lain kali, kalo mau berkendara itu hati-
"Kamu ini ngomong apa, sih?! Kamu nggak malu?! Di sini ada Siana, Ma! Cepetan pulang sana!" pekik Devan tak kalah lantang. Siana yang melihatnya, seketika mencoba menenangkan keduanya. "Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua menyelesaikan permasalahan ini di rumah. Nggak baik kalo diselesaikan di jalan begini, nanti dilihat orang-orang," ucap Sania dengan suara lirih. "Ikut aku pulang, Mas! Jangan main sama temen kamu!" pekik Ariana dengan suara lantang. "Ok! Kalo itu maumu! Aku bakal turutin keinginanmu!" teriak Devan dengan suara lantang. Devan akhirnya berpamitan dengan Udin. Ia tersenyum dan berpelukan dengan sahabatnya itu. Setelah itu, dia berjalan ke motornya. Devan menyuruh Ariana menaiki motornya. "Ariana, kalo ada apa-apa, kamu hubungin aku aja, ya," ucap Siana sebelum mereka berpisah. Ariana menganggukkan kepala. Selama perjalanan, Devan mengendarai motornya dengan kencang. Degup jantung Ariana berdetak kencang."Mas, kamu jangan kenceng-kenceng dong kalo ngendarain m
Deg!"Mas, yang nabrak mobil orang itu kamu, kenapa aku yang disuruh balikin uangnya? Kamu nggak tahu terima kasih, ya?" tanya Ariana dengan suara lantang. Devan menoleh ke arah Ariana sembari menaikkan tangannya ke atas, ia telah siap menampar istrinya. "Apa, Mas? Kamu mau nampar aku lagi?! Asal kamu tahu, Mas! Aku itu gampang jantungan! Kamu mau aku mati muda gara-gara tingkahmu yang kejam, Mas?!" tanya Ariana, ia berusaha memberi tahu Devan. Berusaha agar suaminya mengerti keadaannya. Devan menurunkan tangannya dan meninggalkan Ariana tanpa melontarkan sebuah makian atau hal buruk lainnya. Sementara itu, Ariana masih memikirkan perkataan Devan."Aduh, gimana kalo Mas Devan beneran nggak bisa bayar utangnya ke Sania, ya?" batin Ariana. Wanita itu sama sekali tak tenang. Akhirnya, setelah dia membereskan pecahan gelas itu. Ariana berusaha mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya. Namun, ia sama sekali tak menemukan apa-apa."Haduh, ini kenapa lowongannya udah penuh, ya? Gimana
Devan melotot ke arah Ariana. Ia tak menyangka perempuan itu berani menyulut emosinya. Ia mencengkeram tangan istrinya dan berjalan membawanya masuk ke kamar. Tak akan ada ampunan untuk wanita itu hari ini, pikirnya. “Vasya, kamu tunggu sini dulu, ya. Ayah mau bicara sama Mama kamu!” bentak Devan dengan nada tinggi. Tidak masalah jika Ariana terkena serangan jantung atau hal lainnya sekarang. Wanita itu hanya ingin tahu di mana hati nurani suaminya. “Masuk kamu, Ma!” pekik Devan sambil membanting tubuh Ariana ke dinding kamar, tanpa peduli nanti istrinya terluka atau tidak.Setelahnya, ia menutup pintu dengan kencang dan menguncinya. Devan langsung menjambak rambut Ariana. “Puas kamu, Ma?! Kenapa kamu bersikap kurang ajar di hadapan temenku, Ma?!” tanya Devan. Ia sengaja berteriak di samping kanan telinga Ariana. Ia melepaskan diri dari suaminya dan menyadari bahwa telinganya memerah akibat perlakuan kejam suaminya.“Mas! Ngaku, deh! Kamu kan yang udah bikin anak kita jatuh dari
"Dasar Istri BEJAT!" pekik Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu memukul meja tongkrongan dengan gusar. "Sabar, Devan. Sabar," ucap Udin sembari mengelus punggung temannya. "Gimana aku bisa sabar, Din?! Istriku itu kayak setan! Dia gak pernah nurut sama aku! Bisanya cuman nyinyir di hadepanku! Gak pernah ngomong baik ke aku! Kurang ajar banget kan, Din?! Kenapa dulu aku mau menikah sama perempuan goblok kayak dia?! Nyesel aku!" pekik Devan, ia mengepalkan tinjunya. Habis sudah kesabaran Udin karena perilaku istri Devan. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh temannya itu."Sabar, Devan. Kamu bisa pulangin dia sementara ke orang tuanya. Toh itu juga rumah kamu, kamu bisa usir dia dari sana," Udin mengatakannya sambil tersenyum licik. Devan merenung, benar juga apa yang dikatakan Udin. "Iya, Din! Aku setuju sama kamu! Memangnya dia siapa?! Dia itu cuman numpang hidup di rumah pemberian orang tuaku! Untung aja aku sabar! Kali ini aku harus teges sama dia, Din! Biar dia tahu, siapa pemim