Meski bingung, wanita itu buru-buru mengambil uang dan menggenggamnya dengan erat.
"Mas, kamu dapet dari mana uang sebanyak ini?" tanya Ariana akhirnya. Ia berjalan ke arah sang suami dengan langkah ragu."Ya dari temen-temenku, lah! Kamu aja yang nggak tau, kan?!" Devan menaikkan salah satu alisnya."Teman-temanmu? Masa sih, Mas? Terus, kamu nggak kerja, gitu?" Ariana merasa ragu dengan apa yang diucapkan oleh Devan.Hal itu terbukti dari gelagat Devan yang merasa gugup. Ia juga sering melempar pandangan ke segala arah."Mas, kok diem aja, sih? Jawab pertanyaanku, Mas.""Halah, gak usah banyak tanya kamu! Yang penting kan, udah aku kasih uang! Tidur aja sana!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menundukkan kepalanya pelan. Setelahnya, ia langsung berjalan ke samping Devan dan tidur di sebelahnya."Ya, Tuhan! Ini uang dari mana?" batin Ariana bingung. Namun, tak lama dia terlelap.Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk ibu muda itu. Terlebih, menghadapi suami yang tak pernah peduli padanya.****"Ariana, bangun kamu!"Devan menepuk pundak Ariana dengan kasar. Ariana yang masih berada dalam keadaan setengah sadar, seketika bangun.Sungguh aneh, Devan tiba-tiba bangun lebih pagi dari biasanya."Ada apa, Mas?" tanya Ariana."Ini udah pagi, cepetan berangkat ke pasar buat belanja. Masakin soto ayam, ya. Vasya pasti suka," jawab Devan dengan suara lirih.Ariana yang mendengarnya, seketika merasa aneh dengan pernyataan suaminya. Tumben sekali suaminya peduli dan memperhatikan kesukaan Vasya? Itulah yang dipikirkan."Mas, kamu mau aku berangkat sekarang?" tanya Ariana dengan suara lirih. Devan menganggukkan kepalanya pelan. Ariana pun bangkit dari tempat tidurnya. Ia segera ganti baju dan bergegas ke pasar.Setelah kembali ke rumah, ia mulai ke dapur dan memotong ayamnya. Tak lama kemudian, Devan berjalan ke dapur."Ma, nanti kalo ayamnya udah jadi. Tolong siapin lima piring buat temen-temenku, ya." Devan mengatakannya dengan ketus."Hah?! Yang bener aja, Mas?! Lima piring?" Ariana bertanya dengan wajah keheranan."Iya, kenapa kamu kaget gitu?!""Mas! Aku kira Mas Devan itu tadi bilang gitu karena peduli sama Vasya, loh! Tapi, ternyata Mas nyuruh aku buru-buru ke pasar buat nyiapin makanan temen-temen Mas Devan?!" Ariana bertanya dengan suara lantang. Ia menepuk jidatnya sendiri."Loh, aku emang peduli sama Vasya. Tapi, kalo kita punya rejeki tuh nggak boleh lupa berbagi sama sekitar, Ma. Jadi orang tuh nggak boleh pelit," ucap Devan dengan suara lantang."Berbagi itu juga liat-liat, Mas! Kalo aku disuruh berbagi sama temen kamu yang modelan preman gitu, itu namanya bukan berbagi! Tapi sama aja kaya ngasih makan setan! Berbagi tuh ke orang-orang yang bener-bener membutuhkan, Mas! Mas punya pikiran nggak, sih?" tanya Ariana, ia tak mau kalah dengan Devan.Mendengar itu, muka Devan tampak memerah."Kamu kalo ngomong dijaga ya, Ma! Udah, cepetan bikin! Nggak usah pake ngomel! Temen-temenku juga belum tentu bisa hidup enak kaya kita, Ma! Kamu nggak boleh pilih-pilih!" teriak Devan. Ia mendobrak pintu dapur dan segera pergi dari sana."Astaga, Mas! Kamu tuh kok bisa segitunya sih sama temen-temen kamu?" pekik Ariana tak percaya.Namun, Devan sama sekali tak menggubrisnya. Pria itu justru meninggalkan Ariana dan bergegas mandi.Ditinggalkan seperti itu, Ariana lantas menatap Devan dengan rasa kesal. Namun, tetap saja perkataan sang suami diturutinya.Selang beberapa saat kemudian, Ariana telah selesai menyiapkan masakannya.Ia pun langsung membungkus nasi untuk kelima teman Devan. Pada saat itu, ia kesulitan untuk menemukan plastik."Aduh, plastiknya di mana, sih? Masa iya udah habis? Perasaan, baru kemarin beli plastiknya," batin wanita itu pelan. Dia merasa kesal dengan hal itu. Di saat bersamaan, Devan datang menghampiri Ariana."Ma, gimana? Udah jadi belum, masakannya?" tanya Devan dengan tatapan sinis.Ariana mendengus kesal. "Udah jadi.""Oh, bagus, deh. Nanti Mama sekalian nyiapin piring sama nasinya juga, ya. Mau makan rame-rame di rumah," ucap Devan sambil tersenyum lebar."Apa, Mas? Kenapa tiba-tiba malah mau ngajak temen Mas makan di sini?! Mas pikir ini hari libur apa?! Apa kata orang-orang nanti kalo sampek tahu Mas kerjaannya cuman nongkrong di rumah sama temen-temen Mas yang nggak jelas itu, ha?!" Ariana membentak Devan dengan tatapan kesal."Kamu itu kalo ngomong bisa pelan-pelan, nggak?! Ya udah, bungkusin aja. Biar aku yang bawain nanti buat temen-temenku," jawab Devan dengan nada kesal.Selang beberapa saat kemudian, Devan telah siap dengan setelan baju berwarna hitam dan jeans sobek-sobek. Ariana yang melihat itu merasa risih. Namun, dia diam saja, Ariana tidak ingin ribut lagi.Sayangnya, itu tak berlangsung lama.Devan lagi-lagi mencari masalah."Oh iya, aku juga mau minta uang lima puluh ribu sama kamu! Sisa uangnya masih ada, kan?!" tanya Devan dengan suara lantang.Deg!"Lima puluh ribu, Mas?" Wanita itu menaikkan salah satu alisnya. Ia tak menyangka bahwa suaminya bisa melakukan hal itu. Uang yang diberi itu jelas untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Bahkan, sudah dipotong untuk membuat soto teman-teman Devan. Tidak satu atau dua orang, tapi lima!"Kok nanya?! Sisa uangnya masih ada, kan?! Berikan ke aku! Nanti, kalau aku dapet lagi, pasti aku kasih ke kamu, kok! Gitu aja kok repot si, Ma?!" tanya Devan dengan suara lantang."Bukan itu masalahnya, Mas! Sisa uang yang kamu kasih ke aku kan bisa dipakai buat yang lainnya, Mas! Nggak cuman buat hari ini aja! Kamu aja kadang nggak ngasih uang ke aku loh, Mas!"Ariana mulai melawan Devan. Suaminya ini benar-benar harus diingatkan bahwa keperluan mereka dan anak-anak banyak. Mereka butuh uang untuk disimpan sebagai dana darurat.Plak!Bukannya menjawab, Devan justru menampar pipi istrinya.Ariana mengelus pipinya pelan. Ia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suaminya sendiri.Di saat bersamaan, seseorang datang dan berada di depan rumah Ariana. Orang yang membuat mereka bertengkar sedari kemarin--Jarot."Devan! Buka pintunya!"Hal itu tentu saja membuat Devan langsung terkejut. Dengan wajah kesal, dia menatap Ariana tajam untuk memperingatkan sang istri."Awas kamu, ya! Jangan ngomong aneh-aneh di hadepan temenku! Paham kamu?!"Sayangnya, Ariana memilih diam.Dia ingin menunjukkan protes pada sang suami tanpa suara. Melihat itu, Devan semakin geram. Pria itu mendadak memicingkan kedua matanya semakin tajam."Sekarang, kamu ke dapur dan siapin semuanya sekarang! Paham kamu?! Sekalian bikinin kopi! Nggak usah protes!"Setelah itu, Devan pergi dari dapur dan segera bergegas ke depan rumah--meninggalkan Ariana yang menahan kesal di dada.****"Jarot, ayo masuk dulu. Istriku udah buatin kopi buat kita berdua," ucap Devan sembari tersenyum ke arah Jarot.Keduanya pun masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi.Namun, Jarot tiba-tiba menaikkan salah satu alisnya. "Kenapa nggak langsung berangkat, Van?" tanya pria itu, bingung."Nggak papa, Rot. Aku mau ngasih sesuatu buat kamu sama temen-temen kita.""Wah, apa, tuh?""Habis ini kamu tahu, aku ke dalem dulu, ya. Mau ngecek Istriku," ucap Devan sembari tersenyum.Jarot lantas menganggukkan kepala melihat Devan bergegas ke dapur. Menanti sesuatu yang dimaksud Devan.Sementara itu, Devan masuk dan ingin menemui Ariana. Namun, tak sengaja dia melihat sang anak yang sedang bersiap-siap ke sekolah."Vasya, kamu udah selesai belum?"Vasya yang sudah siap dengan pakaiannya itu, segera bergegas menemui sang ayah. "Udah, Yah. Habis ini Vasya mau makan. Nanti, Ayah bisa anterin Vasya, kan?""Oke, Sayang. Kamu mendingan makan dulu sama Mama."Devan pun mengajak Vasya ke dapur. Langkah Devan ringan sekali--seolah tak ada perang apa pun yang terjadi tadi pagi."Mama masak apa hari ini?" tanya Vasya begitu melihat ibunya.Ia berdiri di samping sang ibu yang tengah menuangkan nasi ke piring untuk sarapan Vasya."Eh, anak Mama udah bangun, ya. Mama hari ini masak soto buat Vasya. Gimana? Seneng, nggak?" tanya wanita itu sembari tersenyum lebar. Tentu saja Vasya kegirangan."Yey, Mama bikin makanan kesukaan Vasya," ucap Vasya sembari tersenyum lebar."Iya, dong, Vasya. Udah, yuk. Kamu mendingan makan dulu. Mama nanti siapin makanan buat bekal kamu juga," kata sang ibu sembari tersenyum lebar.Vasya menganggukkan kepala. Ia segera duduk di meja makan dan mulai memakan makanannya.Di satu sisi, Devan perlahan mendekati Ariana sembari bertanya pelan. "Gimana? Kopinya udah jadi, belum? Terus, masakan sotonya juga udah kamu bungkusin, belum?" tanya Devan."Kopinya udah jadi," balas Ariana datar.Mendapati respons tak bersemangat itu, Devan sontak kesal.Lantas, ia pun mencubit lengan Ariana sampai perempuan itu meringis kesakitan. "Aw!"Hal itu membuat Ariana spontan menjerit. "Aw! Kenapa kamu nyubit lenganku, ha?!" tanya Ariana, ia sengaja melantangkan suaranya agar Jarot mendengarnya."Hssst, kamu jangan berisik, deh. Sini kopinya. Biar aku yang bawain buat temenku." Devan menjawabnya dengan ketus. Ia langsung membawakan kopi ke depan dan memberikannya untuk Jarot. Vasya nampak keheranan dengan apa yang terjadi."Ma, Mama kenapa tadi teriak?" tanya Vasya gemetar. Gadis itu merasa ketakutan. Melihat itu, Ariana segera meninggalkan pekerjaannya, ia berjalan ke arah sang anak dan mengelus kepalanya."Vasya, Mama nggak kenapa-napa, kok. Tadi itu, Ayah kamu nggak sengaja nyubit Mama. Makanya Mama teriak. Hehehe...""Oh, gitu ya. Ya udah, lain kali Mama hati-hati, ya." Vasya mengatakannya sembari tersenyum lebar. Wanita itu tersenyum dan segera menyiapkan bekal untuk anaknya. Meski dalam hati, dia ingin menangis. 'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' batin Ariana pedih. Diam-diam, Ariana pun mengikuti langka
Devan yang terjatuh dari motor, segera berdiri dan membenarkan sepeda motornya. Namun, ia sama sekali tak membantu sang anak. "Vasya, kamu ke sini cepetan," ucap Devan. Untungnya, Vasya hanya mengalami luka ringan. Jadi, Vasya akhirnya mencoba berdiri dan berjalan ke arah Devan. "Lihat, kan?! Gegara kamu, sih! Andaikan aja kalo kamu nggak nyuruh Ayah anterin kamu ke sekolah, pasti nggak kaya gini. Ayo, bantuin pedagang sayurnya beresin sayurannya," bentak Devan dengan wajah gelisah.Lelaki itu langsung berlari kecil ke arah pedagang. Ia membantu mengambil beberapa sayuran yang telah jatuh. Setelah itu, ia tak lupa meminta maaf atas perlakuannya. "Maaf ya, Pak. Dagangannya jadi kececeran di mana-mana. Tadi saya mau anterin anak saya ke sekolah. Tapi, saya buru-buru melakukannya karena ada tamu di rumah. Saya nggak mau tamunya nunggu terlalu lama," Devan mengatakannya sembari tersenyum malu. "Iya, ndak papa, Pak. Lain kali hati-hati ya, Nak kalo nyetir motor. Itu kasian sampek anakn
"Mas, sampai kapan kamu berpura-pura jadi suami dan ayah baik?" lirih Ariana pening.Selama menanti kehadiran anak dan suaminya pulang, suasana hatinya sangat buruk. Berulang kali, dia memijat kening. Namun, sepertinya ujian Ariana belum berhenti. Suara perempuan yang merupakan teman dari Ariana datang dengan panik. "Ariana! Cepat kemari!" Teriakan Sania itu membuat Ariana berlari dengan cepat membuka pintu.Di sana, Sania sudah berdiri dengan wajah cemas. "Ada apa, Sania?" tanya Ariana cepat. "Kamu udah tahu belum? Suami kamu kecelakaan, loh. Tadi dia ngendarain motornya ngebut banget, makanya dia nabrak mobil. Ayo!" ucap Sania dengan tatapan tegas."Astaghfirullah! Ayo, Sania," kata Ariana dengan wajah sedih. Mereka berdua bergegas ke jalanan. Di sana, Ariana melihat segerombolan orang yang tengah menolong suaminya. Ariana juga melihat sang pemilik mobil keluar dari mobil dan berjalan dengan tatapan sinis. "Anda punya mata nggak, sih?! Lain kali, kalo mau berkendara itu hati-
"Kamu ini ngomong apa, sih?! Kamu nggak malu?! Di sini ada Siana, Ma! Cepetan pulang sana!" pekik Devan tak kalah lantang. Siana yang melihatnya, seketika mencoba menenangkan keduanya. "Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua menyelesaikan permasalahan ini di rumah. Nggak baik kalo diselesaikan di jalan begini, nanti dilihat orang-orang," ucap Sania dengan suara lirih. "Ikut aku pulang, Mas! Jangan main sama temen kamu!" pekik Ariana dengan suara lantang. "Ok! Kalo itu maumu! Aku bakal turutin keinginanmu!" teriak Devan dengan suara lantang. Devan akhirnya berpamitan dengan Udin. Ia tersenyum dan berpelukan dengan sahabatnya itu. Setelah itu, dia berjalan ke motornya. Devan menyuruh Ariana menaiki motornya. "Ariana, kalo ada apa-apa, kamu hubungin aku aja, ya," ucap Siana sebelum mereka berpisah. Ariana menganggukkan kepala. Selama perjalanan, Devan mengendarai motornya dengan kencang. Degup jantung Ariana berdetak kencang."Mas, kamu jangan kenceng-kenceng dong kalo ngendarain m
Deg!"Mas, yang nabrak mobil orang itu kamu, kenapa aku yang disuruh balikin uangnya? Kamu nggak tahu terima kasih, ya?" tanya Ariana dengan suara lantang. Devan menoleh ke arah Ariana sembari menaikkan tangannya ke atas, ia telah siap menampar istrinya. "Apa, Mas? Kamu mau nampar aku lagi?! Asal kamu tahu, Mas! Aku itu gampang jantungan! Kamu mau aku mati muda gara-gara tingkahmu yang kejam, Mas?!" tanya Ariana, ia berusaha memberi tahu Devan. Berusaha agar suaminya mengerti keadaannya. Devan menurunkan tangannya dan meninggalkan Ariana tanpa melontarkan sebuah makian atau hal buruk lainnya. Sementara itu, Ariana masih memikirkan perkataan Devan."Aduh, gimana kalo Mas Devan beneran nggak bisa bayar utangnya ke Sania, ya?" batin Ariana. Wanita itu sama sekali tak tenang. Akhirnya, setelah dia membereskan pecahan gelas itu. Ariana berusaha mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya. Namun, ia sama sekali tak menemukan apa-apa."Haduh, ini kenapa lowongannya udah penuh, ya? Gimana
Devan melotot ke arah Ariana. Ia tak menyangka perempuan itu berani menyulut emosinya. Ia mencengkeram tangan istrinya dan berjalan membawanya masuk ke kamar. Tak akan ada ampunan untuk wanita itu hari ini, pikirnya. “Vasya, kamu tunggu sini dulu, ya. Ayah mau bicara sama Mama kamu!” bentak Devan dengan nada tinggi. Tidak masalah jika Ariana terkena serangan jantung atau hal lainnya sekarang. Wanita itu hanya ingin tahu di mana hati nurani suaminya. “Masuk kamu, Ma!” pekik Devan sambil membanting tubuh Ariana ke dinding kamar, tanpa peduli nanti istrinya terluka atau tidak.Setelahnya, ia menutup pintu dengan kencang dan menguncinya. Devan langsung menjambak rambut Ariana. “Puas kamu, Ma?! Kenapa kamu bersikap kurang ajar di hadapan temenku, Ma?!” tanya Devan. Ia sengaja berteriak di samping kanan telinga Ariana. Ia melepaskan diri dari suaminya dan menyadari bahwa telinganya memerah akibat perlakuan kejam suaminya.“Mas! Ngaku, deh! Kamu kan yang udah bikin anak kita jatuh dari
"Dasar Istri BEJAT!" pekik Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu memukul meja tongkrongan dengan gusar. "Sabar, Devan. Sabar," ucap Udin sembari mengelus punggung temannya. "Gimana aku bisa sabar, Din?! Istriku itu kayak setan! Dia gak pernah nurut sama aku! Bisanya cuman nyinyir di hadepanku! Gak pernah ngomong baik ke aku! Kurang ajar banget kan, Din?! Kenapa dulu aku mau menikah sama perempuan goblok kayak dia?! Nyesel aku!" pekik Devan, ia mengepalkan tinjunya. Habis sudah kesabaran Udin karena perilaku istri Devan. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh temannya itu."Sabar, Devan. Kamu bisa pulangin dia sementara ke orang tuanya. Toh itu juga rumah kamu, kamu bisa usir dia dari sana," Udin mengatakannya sambil tersenyum licik. Devan merenung, benar juga apa yang dikatakan Udin. "Iya, Din! Aku setuju sama kamu! Memangnya dia siapa?! Dia itu cuman numpang hidup di rumah pemberian orang tuaku! Untung aja aku sabar! Kali ini aku harus teges sama dia, Din! Biar dia tahu, siapa pemim
"Devan! Ini Pak Robi! Buka pintunya, Devan!" Robi mengetuk pintu berkali-kali. Deg!Devan yang hampir saja berada di alam mimpi, seketika terbangun. "Aduh, kenapa Pak Rt bisa ke sini, sih?" tanyanya dalam hati. Dengan berat hati, dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintunya. "Iya, Pak Rt?" Devan tersenyum kikuk. Ini pasti kerjaan Ariana, kan? pikirnya lagi. "Jangan senyam-senyum di hadapan saya, Devan! Saya dengar, kamu-""Loh, Ariana, kenapa kamu nangis, Sayang?" tanya Devan, lelaki itu menggenggam kedua tangan sang istri dengan wajah cemas. Ariana berusaha melepaskan tangannya, namun Devan semakin mengencangkan genggamannya. Ia merasa jijik ketika suaminya berpura-pura baik di hadapan orang lain. "Mas, lepasin tangan aku. Aku mau masuk," ucap Ariana dengan tatapan sinis. Devan menempelkan tangan kanannya ke kening Ariana. "Sayang, kamu ngapain di luar, sih? Lihat, badan kamu jadi panas, ayo ke dalam," Devan langsung memegang pundak Ariana. Meski risih, Ariana memilih untuk
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg