Devan yang terjatuh dari motor, segera berdiri dan membenarkan sepeda motornya. Namun, ia sama sekali tak membantu sang anak.
"Vasya, kamu ke sini cepetan," ucap Devan.Untungnya, Vasya hanya mengalami luka ringan. Jadi, Vasya akhirnya mencoba berdiri dan berjalan ke arah Devan."Lihat, kan?! Gegara kamu, sih! Andaikan aja kalo kamu nggak nyuruh Ayah anterin kamu ke sekolah, pasti nggak kaya gini. Ayo, bantuin pedagang sayurnya beresin sayurannya," bentak Devan dengan wajah gelisah.Lelaki itu langsung berlari kecil ke arah pedagang. Ia membantu mengambil beberapa sayuran yang telah jatuh. Setelah itu, ia tak lupa meminta maaf atas perlakuannya."Maaf ya, Pak. Dagangannya jadi kececeran di mana-mana. Tadi saya mau anterin anak saya ke sekolah. Tapi, saya buru-buru melakukannya karena ada tamu di rumah. Saya nggak mau tamunya nunggu terlalu lama," Devan mengatakannya sembari tersenyum malu."Iya, ndak papa, Pak. Lain kali hati-hati ya, Nak kalo nyetir motor. Itu kasian sampek anaknya jatuh. Kamu nggak papa, Dek?" tanya sang pedagang dengan wajah khawatir.Pedagang itu tersenyum mengira Devan adalah pria yang bertanggung-jawab. Bahkan, Devan dengan mudahnya memberikan uang lima puluh ribu dari dalam sakunya kepada sang pedagang. Tak lama percakapan itu terjadi dan sang pedagang menyuruh Devan pergi.Di tengah-tengah perjalanan, Devan kembali memberikan peringatan kepada Vasya."Awas, ya! Kamu jangan cerita kalo kita berdua habis jatuh ke Mama kamu! Bilang aja kamu habis mainan terus kamu jatuh! Paham, kamu?!"Vasya yang mendengar itu semakin gemetar. Dengan lirih, gadis kecil itu pun menjawab, "I... iya, Yah." Vasya akhirnya mengalah di hadapan sang ayah.Selang beberapa saat kemudian, keduanya berada di depan sekolah. Vasya tak segera masuk ke dalam. Ia menunggu sang ayah di depan."Ayah.""Apa lagi?! Kenapa kamu nggak masuk ke sekolah?!" tanya Devan dengan nada ketus."Uang sakunya mana?" Vasya bertanya dengan suara lirih."Hah?! Kamu nggak dikasih sama Mama kamu, ta?!" Devan melototkan kedua matanya."Loh, biasanya kan, Ayah yang kasih buat Vasya sendiri?" tanya Vasya bingung. Gadis itu menjawabnya dengan sisa keberanian yang dia punya."Kamu itu gimana, sih? Ayah ga punya uang buat ngasih sangu kamu! Kamu ada bekal, kan?!" tanya Devan dengan tatapan sinis.Vasya menganggukkan kepalanya pelan."Ya udah, bekal itu aja buat makan kamu. Besok kalo ada uang, Ayah kasiin ke kamu buat jajan, ngerti?!" tanya Devan."Terus, Ayah tadi bisa kasih uang ke pedagangnya, pake uang siapa?" tanya Vasya dengan suara lirih. Rupanya, gadis cilik itu memiliki pemikiran kritis."Dih, kamu itu. Itu uang temen Ayah, nggak mungkin Ayah buat yang aneh-aneh. Ngerti kamu?!" tanya Devan.Seorang perempuan yang merupakan tetangga Devan mendengar itu semua. Lantas, dia pun mencibir Devan."Pak, mohon maaf, ya. Kamu tu kalo misalnya ngomong sama anak kecil yang lembut dikit, masa iya sama anak sendiri ketus banget. Udah, sini. Saya aja yang ngasih kamu uang jajan ya, Sayang."Lila pun berjalan ke arah Vasya dan memberikannya uang. Sebagai ibu beranak satu, hatinya iba melihat perlakuan Devan pada anak sekecil Vasya."Loh, siapa yang marahin anak saya? Saya kan cuman tanya. Ya kan, Vasya?" tanya Devan sembari tertawa lirih."Halah, orang tadi jelas-jelas Bapak bicaranya ketus gitu, jangan ngeles," jawab Lila tak kalah ketus. Devan akhirnya turun dari sepeda motor dan memberikan uang enam ribu kepada Vasya."Udah, Buk. Biar saya aja yang kasih uang ke Vasya. Saya masih punya sisa uang di saku saya, kok." Devan mengatakannya dengan ketus. Ia mengambil uang enam ribu dan memberikannya kepada Vasya."Ini uang buat kamu, Vasya. Ambil aja, cepetan masuk," ucap Devan. Lila yang melihat hal itu diam saja. Ia masih memperhatikan perlakuan Devan kepada Vasya."Tante, saya masuk dulu, ya." Vasya memberikan salam terakhirnya kepada Lila sebelum dia masuk ke sekolah. Setelah itu, Lila memberikan sebuah pernyataan kepada Devan."Mas, lain kali kalo kamu sama anakmu tuh yang baik. Jangan jahat-jahat," ucap Lila."Siapa yang jahat? Dasar tetangga, suka banget julidin orang lain, saya males ketemu sama Bu Lila," Devan menjawabnya dengan suara lirih. Setelah itu, ia langsung berbalik arah dan pergi dari sana.Lila yang melihatnya menghembuskan nafas panjang. Ia tak menyangka bahwa Devan memperlakukan anaknya sendiri dengan sikap ketus."Kasihan sekali, Ariana dan Vasya," gumam Lila lirih.****"Maaf ya, Rot. Gara-gara anakku, kamu jadi nunggu lama. Aku nggak enak sama kamu," ucap Devan dengan wajah bersalah begitu sampai di rumahnya.Jarot yang menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak apa-apa, Van. Santai aja."Devan dan Jarot pun kembali mengobrol santai--tak peduli dengan apa pun."Begitulah, Jarot! Kamu tahu kan, sekarang?! Ya gini ini Istriku, nggak bisa menghargai orang lain!""Yang sabar kamu, ya. Kadang perempuan tuh begitu, Gak bisa menghargai kita!" balas Jarot."Bener! Padahal, aku susah payah cari uang buat keluarga. Dia mah enak nuntut uang aja. Dikasih 200 ribu, cepat habis," ucap Devan kembali menjelekkan Ariana.Keduanya tak menyadari bahwa Ariana mendengar itu semua.Dengan langkah cepat, perempuan yang sedang menyapu itu--menghampiri keduanya."Apa maksud, kalian?" tanya Ariana menahan marah.Keduanya sontak kaget mendengar suara itu. Namun, itu tak lama. Dengan pandangan merendahkan, Devan menatap istrinya itu."Pikir aja sendiri!" balas Devan angkuh."Mas?!"Mendengar pertengkaran itu, Jarot mulai panik. Biar bagaimanapun, dia juga yang memanas-manasi temannya itu. Jangan sampai, keduanya bertengkar di hadapannya. Meski kesal dengan istri sang teman. Ia tak mau terlibat masalah rumah tangga mereka."Udah-udah, mendingan kita pergi aja dari sini. Daripada didengerin tetangga."Mendengar itu, Devan pun tampak setuju. Gegas, keduanya langsung pergi dari sana.Hanya saja ... sebelum pergi, Ariana sempat melihat keadaan motor Devan yang agak penyok di bagian depan.Wanita itu menaikkan salah satu alisnya ke atas.Pikirannya pun dipenuhi pertanyaan."Kenapa motor Mas Devan bisa penyok gitu?! Vasya nggak kenapa-napa, kan?!""Mas, sampai kapan kamu berpura-pura jadi suami dan ayah baik?" lirih Ariana pening.Selama menanti kehadiran anak dan suaminya pulang, suasana hatinya sangat buruk. Berulang kali, dia memijat kening. Namun, sepertinya ujian Ariana belum berhenti. Suara perempuan yang merupakan teman dari Ariana datang dengan panik. "Ariana! Cepat kemari!" Teriakan Sania itu membuat Ariana berlari dengan cepat membuka pintu.Di sana, Sania sudah berdiri dengan wajah cemas. "Ada apa, Sania?" tanya Ariana cepat. "Kamu udah tahu belum? Suami kamu kecelakaan, loh. Tadi dia ngendarain motornya ngebut banget, makanya dia nabrak mobil. Ayo!" ucap Sania dengan tatapan tegas."Astaghfirullah! Ayo, Sania," kata Ariana dengan wajah sedih. Mereka berdua bergegas ke jalanan. Di sana, Ariana melihat segerombolan orang yang tengah menolong suaminya. Ariana juga melihat sang pemilik mobil keluar dari mobil dan berjalan dengan tatapan sinis. "Anda punya mata nggak, sih?! Lain kali, kalo mau berkendara itu hati-
"Kamu ini ngomong apa, sih?! Kamu nggak malu?! Di sini ada Siana, Ma! Cepetan pulang sana!" pekik Devan tak kalah lantang. Siana yang melihatnya, seketika mencoba menenangkan keduanya. "Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua menyelesaikan permasalahan ini di rumah. Nggak baik kalo diselesaikan di jalan begini, nanti dilihat orang-orang," ucap Sania dengan suara lirih. "Ikut aku pulang, Mas! Jangan main sama temen kamu!" pekik Ariana dengan suara lantang. "Ok! Kalo itu maumu! Aku bakal turutin keinginanmu!" teriak Devan dengan suara lantang. Devan akhirnya berpamitan dengan Udin. Ia tersenyum dan berpelukan dengan sahabatnya itu. Setelah itu, dia berjalan ke motornya. Devan menyuruh Ariana menaiki motornya. "Ariana, kalo ada apa-apa, kamu hubungin aku aja, ya," ucap Siana sebelum mereka berpisah. Ariana menganggukkan kepala. Selama perjalanan, Devan mengendarai motornya dengan kencang. Degup jantung Ariana berdetak kencang."Mas, kamu jangan kenceng-kenceng dong kalo ngendarain m
Deg!"Mas, yang nabrak mobil orang itu kamu, kenapa aku yang disuruh balikin uangnya? Kamu nggak tahu terima kasih, ya?" tanya Ariana dengan suara lantang. Devan menoleh ke arah Ariana sembari menaikkan tangannya ke atas, ia telah siap menampar istrinya. "Apa, Mas? Kamu mau nampar aku lagi?! Asal kamu tahu, Mas! Aku itu gampang jantungan! Kamu mau aku mati muda gara-gara tingkahmu yang kejam, Mas?!" tanya Ariana, ia berusaha memberi tahu Devan. Berusaha agar suaminya mengerti keadaannya. Devan menurunkan tangannya dan meninggalkan Ariana tanpa melontarkan sebuah makian atau hal buruk lainnya. Sementara itu, Ariana masih memikirkan perkataan Devan."Aduh, gimana kalo Mas Devan beneran nggak bisa bayar utangnya ke Sania, ya?" batin Ariana. Wanita itu sama sekali tak tenang. Akhirnya, setelah dia membereskan pecahan gelas itu. Ariana berusaha mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya. Namun, ia sama sekali tak menemukan apa-apa."Haduh, ini kenapa lowongannya udah penuh, ya? Gimana
Devan melotot ke arah Ariana. Ia tak menyangka perempuan itu berani menyulut emosinya. Ia mencengkeram tangan istrinya dan berjalan membawanya masuk ke kamar. Tak akan ada ampunan untuk wanita itu hari ini, pikirnya. “Vasya, kamu tunggu sini dulu, ya. Ayah mau bicara sama Mama kamu!” bentak Devan dengan nada tinggi. Tidak masalah jika Ariana terkena serangan jantung atau hal lainnya sekarang. Wanita itu hanya ingin tahu di mana hati nurani suaminya. “Masuk kamu, Ma!” pekik Devan sambil membanting tubuh Ariana ke dinding kamar, tanpa peduli nanti istrinya terluka atau tidak.Setelahnya, ia menutup pintu dengan kencang dan menguncinya. Devan langsung menjambak rambut Ariana. “Puas kamu, Ma?! Kenapa kamu bersikap kurang ajar di hadapan temenku, Ma?!” tanya Devan. Ia sengaja berteriak di samping kanan telinga Ariana. Ia melepaskan diri dari suaminya dan menyadari bahwa telinganya memerah akibat perlakuan kejam suaminya.“Mas! Ngaku, deh! Kamu kan yang udah bikin anak kita jatuh dari
"Dasar Istri BEJAT!" pekik Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu memukul meja tongkrongan dengan gusar. "Sabar, Devan. Sabar," ucap Udin sembari mengelus punggung temannya. "Gimana aku bisa sabar, Din?! Istriku itu kayak setan! Dia gak pernah nurut sama aku! Bisanya cuman nyinyir di hadepanku! Gak pernah ngomong baik ke aku! Kurang ajar banget kan, Din?! Kenapa dulu aku mau menikah sama perempuan goblok kayak dia?! Nyesel aku!" pekik Devan, ia mengepalkan tinjunya. Habis sudah kesabaran Udin karena perilaku istri Devan. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh temannya itu."Sabar, Devan. Kamu bisa pulangin dia sementara ke orang tuanya. Toh itu juga rumah kamu, kamu bisa usir dia dari sana," Udin mengatakannya sambil tersenyum licik. Devan merenung, benar juga apa yang dikatakan Udin. "Iya, Din! Aku setuju sama kamu! Memangnya dia siapa?! Dia itu cuman numpang hidup di rumah pemberian orang tuaku! Untung aja aku sabar! Kali ini aku harus teges sama dia, Din! Biar dia tahu, siapa pemim
"Devan! Ini Pak Robi! Buka pintunya, Devan!" Robi mengetuk pintu berkali-kali. Deg!Devan yang hampir saja berada di alam mimpi, seketika terbangun. "Aduh, kenapa Pak Rt bisa ke sini, sih?" tanyanya dalam hati. Dengan berat hati, dia berjalan ke arah pintu dan membuka pintunya. "Iya, Pak Rt?" Devan tersenyum kikuk. Ini pasti kerjaan Ariana, kan? pikirnya lagi. "Jangan senyam-senyum di hadapan saya, Devan! Saya dengar, kamu-""Loh, Ariana, kenapa kamu nangis, Sayang?" tanya Devan, lelaki itu menggenggam kedua tangan sang istri dengan wajah cemas. Ariana berusaha melepaskan tangannya, namun Devan semakin mengencangkan genggamannya. Ia merasa jijik ketika suaminya berpura-pura baik di hadapan orang lain. "Mas, lepasin tangan aku. Aku mau masuk," ucap Ariana dengan tatapan sinis. Devan menempelkan tangan kanannya ke kening Ariana. "Sayang, kamu ngapain di luar, sih? Lihat, badan kamu jadi panas, ayo ke dalam," Devan langsung memegang pundak Ariana. Meski risih, Ariana memilih untuk
"Jaga omongan kamu ya, Mas! Aku nggak terima kalo Vasya kamu jelek-jelekkin! Dia itu anak baik," wanita itu menekankan perkataannya dengan tegas. "Terserah apa katamu, lah! Ini kuncinya! Mendingan, kamu bawa dia ke kamar! Sekalian ajarin sopan santun tuh anak kamu! Biar nggak ngelawan sama orang tua!" teriak Devan dengan nada mengancam. Ia melemparkan kunci ke Ariana. Wanita itu menggenggam kunci dan berlari ke gudang bagian belakang. "Vasya, tunggu Mama, ya. Mama bakalan buka pintu ini," ucap Ariana, hati wanita itu tersentuh ketika berhadapan dengan sang anak. "Mama! Vasya takut, Ma!" teriak Vasya dari dalam ruangan. Gadis mungil itu mulai menangis. Dia tidak tahan berada di dalam gudang sendirian.Setelah pintu terbuka, Ariana berlari kecil ke gudang. Brak!Seketika, pintu tertutup dengan keras. "Ma--Mas?" Ariana berteriak kencang dari dalam pintu. Devan melotot ke arah Ariana dan Vasya sambil tertawa puas. "Rasain kalian berdua! Main sana sama tikus! Hahaha!" pekik Devan sa
"Mbak Ariana, akhirnya kamu dateng. Aduh, maaf banget, ya. Ini rumah saya berantakan, jadi nggak enak saya," ucap Bu Fira dengan wajah kikuk. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. Ia bisa melihat tumpukan karung berisi camilan kering dan beberapa karung lainnya di sepanjang ruangan. "Nggak papa kok, Bu Fira. Saya paham," ucap perempuan itu sembari tertawa lirih. Ariana bergegas ke dalam dan mengerjakan pekerjaannya. Di sela-sela pekerjaannya, Bu Fira berbincang-bincang dengan Ariana. "Eh, Ariana. Apa benar kemarin malam kamu diusir sama suami kamu?" tanya Bu Fira dengan wajah gelisah. Ia menelan ludahnya sendiri karena tak enak menanyakan hal itu. "Hah? I.. Ibu tau dari mana?" Ariana mengerutkan dahi. Wanita itu tak menyangka bila aibnya diketahui oleh Bu Fira. "Ya ampun, masa kamu nggak tahu, sih? Berita soal kamu itu udah nyebar loh, Ariana. Kemarin malam, Siana yang nyebarin video itu. Dia diem-diem ngambil video kamu dan nyebarin ke grup paguyuban warga kampung ini," ucap Bu
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg