"Ini uangnya. Jangan protes lagi kayak kemarin malam, ya! Mau nggak mau, kamu harus terima!" Ariana kemudian menerima selembar uang lima ribu yang diberikan sang suami dengan rasa gusar. Tangannya mengepal. Suaminya seringkali memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, dua ribu rupiah, bahkan lima ratus rupiah tanpa rasa bersalah. Namun, pria itu menuntut semua pekerjaan rumah beres. Anak harus sekolah dan dirinya harus kenyang. Mau berutang di mana lagi? Semua warung bahkan nyaris mem-blacklist keluarga mereka. Kali ini, Ariana bertekad harus memberanikan diri untuk angkat bicara!"Lima ribu lagi, Mas? Apa gak bisa lebih Mas untuk makan anak-anak?" tanya Ariana dengan nada sopan. Meski kesal, Ariana tidak ingin terlalu meluapkan amarah di hadapan Devan. "Masih mending kamu kukasih uang, Ma! Aku tadi udah cari kerja! Seharian jalan nggak dapet apa-apa! Aku aja hampir mati kelaparan di jalan, Ma! Kalo tadi aku nggak ketemu Kakek-kakek di jalan, dia nggak bakal kasih kerjaan aku buat
"Ma, hari ini makanannya kok sama lagi?" Ucapan Vasya--sang anak--mengagetkan Ariana. Sedari tadi, dia terus saja kepikiran dengan kejadian tadi siang. Deven bermain-main dengan preman pasar. Dengan sabar, Ariana pun berusaha menenangkan anaknya itu. "Vasya, kamu yang sabar ya, Nak. Kita makan tempe sama tahu dulu. Kapan-kapan, Mama pasti beliin kamu nuget, gimana?" tanya Ariana sembari membelai rambut sang anak."Halah, Mama sama Ayah tuh suka bohong! Pokoknya, Vasya nggak mau makan kecuali nuget!" bantah Vasya yang kemudian berjalan ke arah kamar sembari menangis. Devan yang melihat itu kemudian menghela nafas. "Ma, anakmu itu nggak tahu diri, ya?! Udah Bapaknya kerja capek-capek, dia tinggal duduk buat makan aja kok masih ngomel! Kamu bisa ngurus anakmu nggak, sih?" tanya Devan dengan nada ketus. Ia menyudahi acara makannya."Wajar, Mas. Vasya kan masih kecil," jawab Ariana dengan tenang. Devan terlihat menghembuskan nafas panjang, tetapi tak lama, dia pun berteriak pada anaknya
Meski bingung, wanita itu buru-buru mengambil uang dan menggenggamnya dengan erat."Mas, kamu dapet dari mana uang sebanyak ini?" tanya Ariana akhirnya. Ia berjalan ke arah sang suami dengan langkah ragu."Ya dari temen-temenku, lah! Kamu aja yang nggak tau, kan?!" Devan menaikkan salah satu alisnya."Teman-temanmu? Masa sih, Mas? Terus, kamu nggak kerja, gitu?" Ariana merasa ragu dengan apa yang diucapkan oleh Devan.Hal itu terbukti dari gelagat Devan yang merasa gugup. Ia juga sering melempar pandangan ke segala arah."Mas, kok diem aja, sih? Jawab pertanyaanku, Mas.""Halah, gak usah banyak tanya kamu! Yang penting kan, udah aku kasih uang! Tidur aja sana!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menundukkan kepalanya pelan. Setelahnya, ia langsung berjalan ke samping Devan dan tidur di sebelahnya. "Ya, Tuhan! Ini uang dari mana?" batin Ariana bingung. Namun, tak lama dia terlelap. Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk ibu muda itu. Terlebih, menghadapi suami yang tak pernah ped
Hal itu membuat Ariana spontan menjerit. "Aw! Kenapa kamu nyubit lenganku, ha?!" tanya Ariana, ia sengaja melantangkan suaranya agar Jarot mendengarnya."Hssst, kamu jangan berisik, deh. Sini kopinya. Biar aku yang bawain buat temenku." Devan menjawabnya dengan ketus. Ia langsung membawakan kopi ke depan dan memberikannya untuk Jarot. Vasya nampak keheranan dengan apa yang terjadi."Ma, Mama kenapa tadi teriak?" tanya Vasya gemetar. Gadis itu merasa ketakutan. Melihat itu, Ariana segera meninggalkan pekerjaannya, ia berjalan ke arah sang anak dan mengelus kepalanya."Vasya, Mama nggak kenapa-napa, kok. Tadi itu, Ayah kamu nggak sengaja nyubit Mama. Makanya Mama teriak. Hehehe...""Oh, gitu ya. Ya udah, lain kali Mama hati-hati, ya." Vasya mengatakannya sembari tersenyum lebar. Wanita itu tersenyum dan segera menyiapkan bekal untuk anaknya. Meski dalam hati, dia ingin menangis. 'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' batin Ariana pedih. Diam-diam, Ariana pun mengikuti langka
Devan yang terjatuh dari motor, segera berdiri dan membenarkan sepeda motornya. Namun, ia sama sekali tak membantu sang anak. "Vasya, kamu ke sini cepetan," ucap Devan. Untungnya, Vasya hanya mengalami luka ringan. Jadi, Vasya akhirnya mencoba berdiri dan berjalan ke arah Devan. "Lihat, kan?! Gegara kamu, sih! Andaikan aja kalo kamu nggak nyuruh Ayah anterin kamu ke sekolah, pasti nggak kaya gini. Ayo, bantuin pedagang sayurnya beresin sayurannya," bentak Devan dengan wajah gelisah.Lelaki itu langsung berlari kecil ke arah pedagang. Ia membantu mengambil beberapa sayuran yang telah jatuh. Setelah itu, ia tak lupa meminta maaf atas perlakuannya. "Maaf ya, Pak. Dagangannya jadi kececeran di mana-mana. Tadi saya mau anterin anak saya ke sekolah. Tapi, saya buru-buru melakukannya karena ada tamu di rumah. Saya nggak mau tamunya nunggu terlalu lama," Devan mengatakannya sembari tersenyum malu. "Iya, ndak papa, Pak. Lain kali hati-hati ya, Nak kalo nyetir motor. Itu kasian sampek anakn
"Mas, sampai kapan kamu berpura-pura jadi suami dan ayah baik?" lirih Ariana pening.Selama menanti kehadiran anak dan suaminya pulang, suasana hatinya sangat buruk. Berulang kali, dia memijat kening. Namun, sepertinya ujian Ariana belum berhenti. Suara perempuan yang merupakan teman dari Ariana datang dengan panik. "Ariana! Cepat kemari!" Teriakan Sania itu membuat Ariana berlari dengan cepat membuka pintu.Di sana, Sania sudah berdiri dengan wajah cemas. "Ada apa, Sania?" tanya Ariana cepat. "Kamu udah tahu belum? Suami kamu kecelakaan, loh. Tadi dia ngendarain motornya ngebut banget, makanya dia nabrak mobil. Ayo!" ucap Sania dengan tatapan tegas."Astaghfirullah! Ayo, Sania," kata Ariana dengan wajah sedih. Mereka berdua bergegas ke jalanan. Di sana, Ariana melihat segerombolan orang yang tengah menolong suaminya. Ariana juga melihat sang pemilik mobil keluar dari mobil dan berjalan dengan tatapan sinis. "Anda punya mata nggak, sih?! Lain kali, kalo mau berkendara itu hati-
"Kamu ini ngomong apa, sih?! Kamu nggak malu?! Di sini ada Siana, Ma! Cepetan pulang sana!" pekik Devan tak kalah lantang. Siana yang melihatnya, seketika mencoba menenangkan keduanya. "Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua menyelesaikan permasalahan ini di rumah. Nggak baik kalo diselesaikan di jalan begini, nanti dilihat orang-orang," ucap Sania dengan suara lirih. "Ikut aku pulang, Mas! Jangan main sama temen kamu!" pekik Ariana dengan suara lantang. "Ok! Kalo itu maumu! Aku bakal turutin keinginanmu!" teriak Devan dengan suara lantang. Devan akhirnya berpamitan dengan Udin. Ia tersenyum dan berpelukan dengan sahabatnya itu. Setelah itu, dia berjalan ke motornya. Devan menyuruh Ariana menaiki motornya. "Ariana, kalo ada apa-apa, kamu hubungin aku aja, ya," ucap Siana sebelum mereka berpisah. Ariana menganggukkan kepala. Selama perjalanan, Devan mengendarai motornya dengan kencang. Degup jantung Ariana berdetak kencang."Mas, kamu jangan kenceng-kenceng dong kalo ngendarain m
Deg!"Mas, yang nabrak mobil orang itu kamu, kenapa aku yang disuruh balikin uangnya? Kamu nggak tahu terima kasih, ya?" tanya Ariana dengan suara lantang. Devan menoleh ke arah Ariana sembari menaikkan tangannya ke atas, ia telah siap menampar istrinya. "Apa, Mas? Kamu mau nampar aku lagi?! Asal kamu tahu, Mas! Aku itu gampang jantungan! Kamu mau aku mati muda gara-gara tingkahmu yang kejam, Mas?!" tanya Ariana, ia berusaha memberi tahu Devan. Berusaha agar suaminya mengerti keadaannya. Devan menurunkan tangannya dan meninggalkan Ariana tanpa melontarkan sebuah makian atau hal buruk lainnya. Sementara itu, Ariana masih memikirkan perkataan Devan."Aduh, gimana kalo Mas Devan beneran nggak bisa bayar utangnya ke Sania, ya?" batin Ariana. Wanita itu sama sekali tak tenang. Akhirnya, setelah dia membereskan pecahan gelas itu. Ariana berusaha mencari lowongan pekerjaan melalui ponselnya. Namun, ia sama sekali tak menemukan apa-apa."Haduh, ini kenapa lowongannya udah penuh, ya? Gimana