Sesampainya di rumah, Ariana dihadang oleh Devan dan beberapa temannya. Wanita itu sudah cukup geram dengan suaminya yang berlebihan. Dan sekarang? Dia dibuat marah karena kehadiran teman-teman Devan. "Ma, kamu dari mana?" tanya Devan dengan suara lirih sembari menghisap putung rokok. Ariana dengan santai menjawab."Aku, Mas? Aku habis selingkuh sama orang lain!" jawab Ariana sembari tersenyum sinis. Ia memancing emosi suaminya. "Tuh, kan?! Bener apa kataku! Lihat?! Siapa orang yang mau punya Istri tukang selingkuh, hah?!" pekik Devan, ia berdiri di hadapan teman-temannya sambil tersenyum sinis. Tak lupa dengan kebanggan besar yang dia miliki. "Kamu kok bisa sih Ma, ngelakuin itu semua?!" tanya Devan. Ariana tertawa, ia memang sengaja membuat suaminya merasa bangga, sebelum dia menghancurkan suaminya dengan sebuah realita. "Mas, aku belum selesai ngomong tadi!" ucap Ariana dengan santai, ia melempar pandangan ke sekitar dengan tatapan tajam. Ia mengingat semua hal yang terjadi di
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Pikiran Ariana tertuju kepada Devan yang belum pulang. "Aduh, ini orang ke mana, sih?! Apa perkiraan aku bener, ya? Jangan-jangan, dia tambah nakal gara-gara tadi?" Ariana mengerutkan dahi. Brak!Tak lama kemudian, pintu terbanting. Vasya yang tadinya tidur tiba-tiba terbangun di kamarnya. Namun, gadis itu hanya diam dan membisu. "Ma! Sini kamu!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menoleh ke belakang. Ia mendapati suaminya yang berjalan ke arahnya dengan tatapan gusar. "Apa?" tanya Ariana dengan ketus. "Gara-gara kamu! Aku dapet title buruk di gengku! Awas aja kamu! Gara-gara kamu udah punya kerja aja sekarang jadi sok-sok an ngaduin ke temen-temenku!" pekik Devan dengan suara lantang. Ariana menepuk dahi, dia tidak percaya bahwa suaminya memiliki pemikiran dangkal. "Mas! Emang salah kalo aku bilang sebuah kejujuran di hadapan kamu sama temen-temen kamu?! Lagian, Mas! Yang cari gara-gara itu kamu, bukan aku! Kamu yang udah nuduh aku dulu
Ariana terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Bu Fira sepanjang hari. Ketika kembali ke rumah, dia menyaksikan bagaimana Devan sedang tidur. "Astaghfirullah, Mas Devan kok bisa tidur sepanjang hari, sih?" tanya Ariana dari dalam hati.Devan yang merasa dilihat oleh Ariana, seketika terbangun. Dia hanya berpura-pura di hadapan suaminya itu. "Wah, ini dia. Istri tercinta aku udah pulang! Habis balik dari kerjaan, ya?! Siapin makanan aku! Gara-gara kamu! Aku dari pagi nggak makan! Kamu sengaja, kan?! Pagi ini kamu nggak masak karena mau bikin aku kelaparan dan mati, ya?! Aku kan sekarang cuman jadi beban buat kamu!" pekik Devan dengan suara lantang. Ia menyilangkan kedua tangannya dan menaruhnya di belakang sembari memejamkan kedua mata. "Kamu itu ngomong apa, sih?! Bisa-bisanya kamu punya pemikiran licik gitu sama aku, Mas! Aku nggak sejahat kamu, ya!" pekik Ariana."Halah, alasan! Ngomong aja kamu pengen kasih pelajaran ke aku biar aku bisa tunduk dan ngertiin kamu! Jangan harap,
"Kamu mau kita cerai?!" tanya Devan dengan nada tinggi, lelaki itu mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan istrinya. Plak!Devan menampar pipi Ariana dengan suara lantang. Tamparan yang ia lakukan, kali ini lebih keras dari biasanya. "Berani kamu, ya! Ngomong kita bakalan cerai di hadapanku! Enak aja kamu ninggalin aku seenaknya! Baji****!" teriak Devan. Jantung Ariana seketika berdegup kencang. "M--Mas, tolong lepasin aku, Mas! Sakit!" Ariana merintih kesakitan, ia tidak tahan dengan sikap suaminya. "Enak aja! Kamu nggak akan aku biarin bertahan hidup-hidup, Ma!" Devan berteriak kencang. Ia bergegas pergi ke luar ruangan dan membanting tubuhnya ke lantai. Setelah itu, Devan berjalan ke kamar sang anak. Peduli setan dengan anaknya yang sedang tidur, lelaki itu dengan kejam menggendong sang anak dan menuju ke luar ruangan. "A--Ayah, Ayah kenapa?" tanya Vasya yang masih dalam keadaan setengah sadar. Ia mengucek kedua matanya sambil menoleh ke arah sang ayah.
"Akh! Ariana sialan! Goblok!" pekik Devan dengan nada tinggi. Pandangannya terfokus pada jalanan yang ada di hadapannya.Lelaki itu sadar jika motornya hampir berdekatan dengan truk tangki minyak itu. Devan langsung membanting setir ke kanan. Sang supir truk yang mengetahuinya, langsung membunyikan bel mobilnya. Truk itu membanting setir ke arah kiri. Keduanya tidak bertabrakan. Devan jatuh tersungkur dari motornya. Ia menabrak beberapa pengendara dan mengalami luka di bagian kaki dan juga tangannya. Tapi, luka yang dia dapat tidak parah. "Sialan! Siapa yang tadi ngendarain motor?! Untung aja aku sadar?! Lek nggak?! Waduh, minyaknya bisa tumpah iki!" pekik supir truk itu. Ia mengedarkan pandangan ke arah sekitar sambil meninju setir mobilnya. Sementara itu, Devan merasa kesal. "Kurang ajar Ariana!" pekik Devan, lelaki itu menatap tajam ke arah Ariana yang tengah digotong oleh warga menuju ke tepian. Laki-laki itu bersumpah akan membunuh istrinya jika sang istri berkata macam-macam t
"Apa katamu?! Kamu mau pulang?! Oh-" "Assalamu'alaikum, Ariana. Ibu udah dateng, nih. Ayo, Nak. Ibu anterin ke terminal," ucap Bu Fira dari luar pintu. Ariana dan Devan spontan menoleh ke arah Bu Fira. Deg!"Sialan, jadi gini kamu mainnya. Suka banget cari gara-gara!" batin Devan dengan wajah kesal. Ia mengepalkan kedua tangan sembari membuang muka. Untuk sekilas, Bu Fira melihat ke arah Devan dengan tatapan kebencian. "Oh, jadi ini, orang yang udah main kekerasan sama Ariana?! Mukanya dekil aja sok nyakitin perempuan kaya Ariana. Gak berkelas banget," batin Bu Fira. Ariana tersenyum dan merasa lega setelah kehadiran Bu Fira. Ia segera menggandeng tangan kanan Vasya dan berjalan ke arahnya. Sebelum pergi, dia berkata lirih kepada sang suami. "Mas, aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ariana berjalan melewati Devan tanpa mau tahu apa yang akan terjadi dengan lelaki itu. Mereka berdua bergegas meninggalkan rumah. Di tengah perjalanan, Bu Fira mencoba mengajak ngobrol perempuan itu.
"Loh, Mbak kok marah, sih?! Apa yang salah dari kita? Nggak ada kan, Mbak! Makanya, kalo mau apa-apa itu harusnya dipikir dulu! Jangan malah pulang seenaknya sendiri sambil bawa berita gak enak gitu! Jadi males makan aku!" pekik Dinda dengan wajah kesal. Ia mendobrak meja dan meninggalkan ruangan makan diikuti oleh saudaranya yang lain. Rian dan Lila saling melempar pandangan. "Ariana, nanti kita bicarakan lagi masalah kamu. Makan aja udah, jangan dengerin saudara kamu dulu. Mereka lagi marah, percuma," ucap Lila dengan wajah gelisah. Di malam itu, suasana menjadi kacau. Rian tiba-tiba meremas jantungnya. "Arrgh" rintih Rian sambil menahan kesakitan. Ariana dan Lila seketika panik. "Pak, Bapak kenapa, Pak?" tanya Ariana dengan suara lirih. Ia menghentikan makannya dan segera bergegas ke arah sang bapak. Rian tidak bisa menjawab pertanyaan Ariana. Ia masih memegangi dadanya dan mengatur nafasnya."Ariana, bawa Bapakmu ke kamar, Nak," titah Lila. Wanita itu segera membantu sang ayah
Ariana menelan ludahnya sendiri, dia berkali-kali tersakiti dengan ucapan kedua adiknya. Ariana sesegera mungkin mengambil obat dan berjalan ke arah sang bapak. Tak lupa, dia mengambil air minum. "Pak, Ariana izin masuk, ya," ucap wanita itu dengan tatapan lesu. Rian menganggukkan kepala sembari mengelus dadanya. Ariana meletakkan obat beserta air putih di meja. "Pak, ini obatnya. Bapak bisa duduk sebentar? Ayo diminum dulu obatnya," kata Ariana sembari tersenyum tipis. Wanita itu memaksakan senyumannya. "I--iya, Nak," Rian seketika duduk dan meminum obatnya. Sesekali, ia menatap kedua mata Ariana dengan perasaan cemas. "Ariana, soal suamimu itu. Bapak-""Hssst, nggak usah dibahas sekarang, Pak. Ariana nggak mau buat Bapak kepikiran," Ariana segera memotong ucapannya. Dia tidak ingin membahas hal yang bisa membuat penyakit lelaki itu kambuh. Namun, Rian sama sekali tidak tenang. Alhasil, dia kembali membicarakannya. "Nggak bisa gitu, Ariana. Kamu harus nyelesaiin masalahnya. Seb