"Kamu mau kita cerai?!" tanya Devan dengan nada tinggi, lelaki itu mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan istrinya. Plak!Devan menampar pipi Ariana dengan suara lantang. Tamparan yang ia lakukan, kali ini lebih keras dari biasanya. "Berani kamu, ya! Ngomong kita bakalan cerai di hadapanku! Enak aja kamu ninggalin aku seenaknya! Baji****!" teriak Devan. Jantung Ariana seketika berdegup kencang. "M--Mas, tolong lepasin aku, Mas! Sakit!" Ariana merintih kesakitan, ia tidak tahan dengan sikap suaminya. "Enak aja! Kamu nggak akan aku biarin bertahan hidup-hidup, Ma!" Devan berteriak kencang. Ia bergegas pergi ke luar ruangan dan membanting tubuhnya ke lantai. Setelah itu, Devan berjalan ke kamar sang anak. Peduli setan dengan anaknya yang sedang tidur, lelaki itu dengan kejam menggendong sang anak dan menuju ke luar ruangan. "A--Ayah, Ayah kenapa?" tanya Vasya yang masih dalam keadaan setengah sadar. Ia mengucek kedua matanya sambil menoleh ke arah sang ayah.
"Akh! Ariana sialan! Goblok!" pekik Devan dengan nada tinggi. Pandangannya terfokus pada jalanan yang ada di hadapannya.Lelaki itu sadar jika motornya hampir berdekatan dengan truk tangki minyak itu. Devan langsung membanting setir ke kanan. Sang supir truk yang mengetahuinya, langsung membunyikan bel mobilnya. Truk itu membanting setir ke arah kiri. Keduanya tidak bertabrakan. Devan jatuh tersungkur dari motornya. Ia menabrak beberapa pengendara dan mengalami luka di bagian kaki dan juga tangannya. Tapi, luka yang dia dapat tidak parah. "Sialan! Siapa yang tadi ngendarain motor?! Untung aja aku sadar?! Lek nggak?! Waduh, minyaknya bisa tumpah iki!" pekik supir truk itu. Ia mengedarkan pandangan ke arah sekitar sambil meninju setir mobilnya. Sementara itu, Devan merasa kesal. "Kurang ajar Ariana!" pekik Devan, lelaki itu menatap tajam ke arah Ariana yang tengah digotong oleh warga menuju ke tepian. Laki-laki itu bersumpah akan membunuh istrinya jika sang istri berkata macam-macam t
"Apa katamu?! Kamu mau pulang?! Oh-" "Assalamu'alaikum, Ariana. Ibu udah dateng, nih. Ayo, Nak. Ibu anterin ke terminal," ucap Bu Fira dari luar pintu. Ariana dan Devan spontan menoleh ke arah Bu Fira. Deg!"Sialan, jadi gini kamu mainnya. Suka banget cari gara-gara!" batin Devan dengan wajah kesal. Ia mengepalkan kedua tangan sembari membuang muka. Untuk sekilas, Bu Fira melihat ke arah Devan dengan tatapan kebencian. "Oh, jadi ini, orang yang udah main kekerasan sama Ariana?! Mukanya dekil aja sok nyakitin perempuan kaya Ariana. Gak berkelas banget," batin Bu Fira. Ariana tersenyum dan merasa lega setelah kehadiran Bu Fira. Ia segera menggandeng tangan kanan Vasya dan berjalan ke arahnya. Sebelum pergi, dia berkata lirih kepada sang suami. "Mas, aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ariana berjalan melewati Devan tanpa mau tahu apa yang akan terjadi dengan lelaki itu. Mereka berdua bergegas meninggalkan rumah. Di tengah perjalanan, Bu Fira mencoba mengajak ngobrol perempuan itu.
"Loh, Mbak kok marah, sih?! Apa yang salah dari kita? Nggak ada kan, Mbak! Makanya, kalo mau apa-apa itu harusnya dipikir dulu! Jangan malah pulang seenaknya sendiri sambil bawa berita gak enak gitu! Jadi males makan aku!" pekik Dinda dengan wajah kesal. Ia mendobrak meja dan meninggalkan ruangan makan diikuti oleh saudaranya yang lain. Rian dan Lila saling melempar pandangan. "Ariana, nanti kita bicarakan lagi masalah kamu. Makan aja udah, jangan dengerin saudara kamu dulu. Mereka lagi marah, percuma," ucap Lila dengan wajah gelisah. Di malam itu, suasana menjadi kacau. Rian tiba-tiba meremas jantungnya. "Arrgh" rintih Rian sambil menahan kesakitan. Ariana dan Lila seketika panik. "Pak, Bapak kenapa, Pak?" tanya Ariana dengan suara lirih. Ia menghentikan makannya dan segera bergegas ke arah sang bapak. Rian tidak bisa menjawab pertanyaan Ariana. Ia masih memegangi dadanya dan mengatur nafasnya."Ariana, bawa Bapakmu ke kamar, Nak," titah Lila. Wanita itu segera membantu sang ayah
Ariana menelan ludahnya sendiri, dia berkali-kali tersakiti dengan ucapan kedua adiknya. Ariana sesegera mungkin mengambil obat dan berjalan ke arah sang bapak. Tak lupa, dia mengambil air minum. "Pak, Ariana izin masuk, ya," ucap wanita itu dengan tatapan lesu. Rian menganggukkan kepala sembari mengelus dadanya. Ariana meletakkan obat beserta air putih di meja. "Pak, ini obatnya. Bapak bisa duduk sebentar? Ayo diminum dulu obatnya," kata Ariana sembari tersenyum tipis. Wanita itu memaksakan senyumannya. "I--iya, Nak," Rian seketika duduk dan meminum obatnya. Sesekali, ia menatap kedua mata Ariana dengan perasaan cemas. "Ariana, soal suamimu itu. Bapak-""Hssst, nggak usah dibahas sekarang, Pak. Ariana nggak mau buat Bapak kepikiran," Ariana segera memotong ucapannya. Dia tidak ingin membahas hal yang bisa membuat penyakit lelaki itu kambuh. Namun, Rian sama sekali tidak tenang. Alhasil, dia kembali membicarakannya. "Nggak bisa gitu, Ariana. Kamu harus nyelesaiin masalahnya. Seb
Ariana bisa mendengar perkataan adiknya dengan jelas. Namun, dia tak menggubrisnya sama sekali. Ariana lebih memilih untuk mendapatkan ketenangannya sendiri. "Ariana, sebelum kamu masuk ke kamar. Jangan lupa bawa rantangnya ke dapur, ya," ucap sang ibu sembari tersenyum. Ia mengangguk dan segera membawa rantang itu ke dapur. Sesampainya di dapur, Ariana bertemu dengan Dinda dan Tita. Salah satu dari mereka hendak membawa senter untuk mengecek ayam mereka. Ariana hanya melihat mereka sekilas, sebelum akhirnya pergi ke kamar dan kembali tidur.Di dalam kamarnya, Ariana menangis sambil memeluk sang anak yang tengah tertidur pulas."Nak, maafin Mama, ya," batinnya. Ia merasa tersiksa dengan perkataan adik-adiknya dan kondisi ayahnya. Keesokan harinya, Ariana bangun pagi untuk membantu kedua orang tuanya menyiapkan sarapan. "Ariana, duduk sini sama Ibu," kata Lila dengan wajah cemas. Ariana menurut, ia duduk berdampingan dengan sang ibu. "Iya, Buk? Ada apa?" tanya Ariana dengan wajah k
Deg!"I--itu, dia memang temenku, Bu, Pak. Tapi, dia baik, kok," balas Devan. Lelaki itu menjawabnya dengan perasaan cemas. Sesekali, ia melirik Ariana dengan tatapan sinis. "Mampus kamu, Mas!" batin Ariana, wanita itu tersenyum licik di hadapan Devan. Rian dan Lila saling menoleh satu sama lain. Mereka berdua tidak habis pikir dengan perlakuan Devan. "Masa, sih? Kamu sebaiknya nggak usah main lagi sama temen kamu. Mereka itu orangnya nggak baik. Bapak bisa nilai dari penampilannya," tegur Rian dengan nada tegas. Ariana melirik ke arah Devan. Jelas sekali bahwa Devan terlihat ketakutan."I--iya, Pak," jawab Devan dengan terbata-bata. Lelaki itu terpaksa berbohong agar semuanya cepat selesai. Ingin sekali dia menampar pipi Ariana. Namun, dia harus menahannya. "Jangan iya-iya aja, Devan. Ingat, Bapak ini orangnya nggak bisa kamu bohongin, lo. Selama ini kamu kerja apa?! Kenapa di jam siang kamu malah tidur?! Temenmu juga kamu biarin nginep di rumah kamu! Kamu nggak mikirin Istri sama
"Terus, uang itu asalnya dari mana, Mas?!" tanya Ariana dengan nada ketus. Devan menoleh ke arah Udin dan Jarot. "Mbak, mohon maaf, ya. Uang itu kemarin kita dapetin bertiga setelah bantuin orang buat angkut barang. Jangan asal fitnah ya, Mbak," ucap Udin dengan suara lembut. Ariana seketika membuang mukanya. Dia terkejut dengan perkataan Devan. Namun, dia merasa lega karena uang yang dihasilkan oleh Devan memang berasal dari cara yang halal. "Oh, bagus, deh. Oh, iya. Aku mau tanya lagi. Aku pernah denger kalo kalian berdua itu preman. Aku bisa ngomong kaya gini soalnya dikasih tahu sama orang-orang di sini. Apa itu bener?" tanya Ariana dengan nada ketus. Devan, Jarot dan Udin seketika terdiam untuk beberapa saat. Yah, memang benar bahwa Jarot dan Udin adalah preman pasar yang suka membuat onar. Biasanya, mereka menghajar siapa pun yang akan melaporkan mereka ke RT atau RW. Devan yang melihatnya seketika mencari cara untuk menghentikan perbincangan itu. "Udah, Ma. Mama tadi tuh ud