Deg!"I--itu, dia memang temenku, Bu, Pak. Tapi, dia baik, kok," balas Devan. Lelaki itu menjawabnya dengan perasaan cemas. Sesekali, ia melirik Ariana dengan tatapan sinis. "Mampus kamu, Mas!" batin Ariana, wanita itu tersenyum licik di hadapan Devan. Rian dan Lila saling menoleh satu sama lain. Mereka berdua tidak habis pikir dengan perlakuan Devan. "Masa, sih? Kamu sebaiknya nggak usah main lagi sama temen kamu. Mereka itu orangnya nggak baik. Bapak bisa nilai dari penampilannya," tegur Rian dengan nada tegas. Ariana melirik ke arah Devan. Jelas sekali bahwa Devan terlihat ketakutan."I--iya, Pak," jawab Devan dengan terbata-bata. Lelaki itu terpaksa berbohong agar semuanya cepat selesai. Ingin sekali dia menampar pipi Ariana. Namun, dia harus menahannya. "Jangan iya-iya aja, Devan. Ingat, Bapak ini orangnya nggak bisa kamu bohongin, lo. Selama ini kamu kerja apa?! Kenapa di jam siang kamu malah tidur?! Temenmu juga kamu biarin nginep di rumah kamu! Kamu nggak mikirin Istri sama
"Terus, uang itu asalnya dari mana, Mas?!" tanya Ariana dengan nada ketus. Devan menoleh ke arah Udin dan Jarot. "Mbak, mohon maaf, ya. Uang itu kemarin kita dapetin bertiga setelah bantuin orang buat angkut barang. Jangan asal fitnah ya, Mbak," ucap Udin dengan suara lembut. Ariana seketika membuang mukanya. Dia terkejut dengan perkataan Devan. Namun, dia merasa lega karena uang yang dihasilkan oleh Devan memang berasal dari cara yang halal. "Oh, bagus, deh. Oh, iya. Aku mau tanya lagi. Aku pernah denger kalo kalian berdua itu preman. Aku bisa ngomong kaya gini soalnya dikasih tahu sama orang-orang di sini. Apa itu bener?" tanya Ariana dengan nada ketus. Devan, Jarot dan Udin seketika terdiam untuk beberapa saat. Yah, memang benar bahwa Jarot dan Udin adalah preman pasar yang suka membuat onar. Biasanya, mereka menghajar siapa pun yang akan melaporkan mereka ke RT atau RW. Devan yang melihatnya seketika mencari cara untuk menghentikan perbincangan itu. "Udah, Ma. Mama tadi tuh ud
Setelah kejadian itu, Ariana kembali memikirkan perkataan ibu dan ayahnya. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kedua orang tua Ariana tinggal di rumah Ariana selama tiga hari. Dan selama kedua orang tua Ariana berada di rumah. Devan bertindak layaknya suami terajin di dunia. Ia lebih sering bangun pagi, mandi, dan berangkat kerja tepat pukul tujuh pagi. Ia juga membantu Ariana membersihkan rumah dan mengantar anak mereka ke sekolah. Tapi, Ariana dan Devan tidak banyak berbicara selama kedua orang tua mereka ada di rumah. Sampai tiba di mana kedua orang tua Ariana kembali pulang. Di situlah Devan sedikit lega. Sebelum pulang, kedua orang tua Ariana memberikan uang lima juta kepada wanita itu. Devan membantu kedua orang tua Ariana untuk mengangkat barang dan mengantar mereka hingga ke terminal. Sesampainya di terminal, Rian memberikan pesan kepada Devan. "Devan, aku harap, setelah ini kamu bisa berubah menjadi suami yang baik. Ariana itu dari kecil sudah jarang menghabiskan waktu sa
Setelah makan, dia mengantar anaknya ke sekolah dan bekerja. Ketika dia sampai di rumah Bu Fira, Ariana mengetuk pintu. "Assalamu'alaikum," ucap Ariana. Dari dalam, seorang wanita paruh baya keluar dan menghampirinya. "Wa'alaikumussalam. Loh, ini Ariana?" tanya Bu Fira. Wanita itu sungguh terkejut dengan perempuan yang dilihatnya. "Iya, Bu. Ini saya, saya udah pulang dari rumah orang tua saya. Dan sekarang, saya mau kerja lagi," jawab wanita itu sembari tersenyum. Bu Fira spontan mengerutkan dahi. "Ya udah, ayo masuk dulu, Nak. Ibu mau ngobrol sama kamu sebelum mulai kerja," ajak Bu Fira. Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam.Bu Fira memberikan teh hangat kepada Fira. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu. "Nak, gimana sama kasusmu itu? Kamu udah bicara sama kedua orang tua kamu?" tanya Bu Fira dengan wajah gelisah. "Su--sudah, Bu," jawabnya singkat. "Terus, hasilnya gimana? Kedua orang tua kamu setuju nggak, kalo misalkan kamu cerai?" Bu Fira membuat perasaan perempuan itu ta
Setelah selesai mengantar Vasya, Devan kembali ke rumah dan mengantar sang istri. Ariana tak henti-hentinya tersenyum. Ia tidak bisa membohongi perasaannya. Ketika di tempat kerja, Ariana berbincang-bincang dengan Bu Fira."Ariana, kenapa kamu senyam-senyum terus, hayo? Ibu curiga nih, sama kamu," ucap Bu Fira sembari tersenyum ke arah wanita itu. "Kayanya, sejak kejadian itu. Suamiku mulai berubah, Bu Fira. Alhamdulillah, suamiku udah punya pekerjaan tetap sekarang. Meski cuman jadi penjaga kolam dan antar-jemput anak sekolah. Bagi saya, itu udah cukup," kata Ariana, wanita itu tak bisa menahan senyumannya di hadapan Bu Fira. "Wah, kalo gitu, saya ikut seneng mendengarnya, Nak. Bu Fira doain, semoga kerjaan suami kamu lancar, ya," kata Bu Fira. Ia menyemangati perempuan yang berada di sampingnya. "Aamiin, terima kasih, Bu Fira," jawabnya dengan antusias. Sejak kejadian itu, kehidupan Ariana pun berubah sedikit demi sedikit. Dia dan keluarga akhirnya dapat menjalani kehidupan deng
"Jadi itu, alasan kenapa dari kecil aku nggak pernah Mama beliin sepeda kayak sodaraku yang lain?! Dan itu juga, yang jadi alasan kenapa aku nggak pernah dibeliin barang baru?! Aku selalu dikasih barang bekas Kakak-kakak aku! Dan aku selalu disuruh habisin sisa makanan Kakak-kakak aku! Orang tua macam apa kalian, ha?!" Devan mengerutkan dahi. Tapi, apa yang dikatakan Devan itu memang benar. Ketika kecil, dia sering mendapat perlakuan tidak adil. Devan tidak boleh duduk dan makan satu meja dengan keluarganya. Dia harus menunggu hingga semuanya selesai makan. Devan juga hanya boleh memakan makanan sisa mereka. Ketika kakak-kakaknya memiliki kendaraan untuk ke sekolah. Maka, Devan hanya diberi uang sangu pas-pasan dan disuruh untuk jalan kaki. Ketika beranjak dewasa pun sama. Parahnya, ketika Devan berhasil membeli rumah dengan uang hasil kerja kerasnya. Sertifikat rumah itu dipegang oleh kedua orang tua Devan dengan alasan agar sertifikat tersebut aman dan tidak hilang. Padahal, rumah
Brak!Devan mendobrak meja dengan kencang. Kedua tangannya terkepal, matanya melotot. Ia kehilangan kesabaran karena sikap kedua orang tuanya. "Van, sabar, Van! Kamu dari tadi marah-marah terus! Kasihan Bik Sarah itu, loh!" pekik Jarot dengan wajah kesal. Lelaki itu menepuk pundak Devan, ia tak habis pikir dengan tingkah laku lelaki di sampingnya. "Gimana aku nggak marah, Jarot?! Orang tuaku selama ini nyembunyikan identitasku! Aku nggak ngerti siapa orang tuaku! Aku ya nggak ngerti kalo selama ini di akte kelahiran aku ditulis sebagai anak kandung! Kepa***! Mereka berdua udah bohongin aku, Rot! Gak terima aku!" teriak Devan, lelaki itu menangis frustasi. Jarot dan Udin seketika melirik satu sama lain. Keduanya terkejut melihat hal itu. Mereka menyipitkan kedua mata. Udin seketika memiliki akal licik, dia hendak mengajak Devan melakukan hal-hal nakal. "Van, kamu masih ada uang, nggak?! Ayo ikut kita berdua nanti malem. Aku jamin, kamu nggak bakalan stress!" bisik Jarot tepat di te
"Eh, masa kopinya aneh, sih? Kamu aja yang mikir negatif. Kopinya nggak aneh, kok, Devan. Hahaha," ucap Udin sembari tersenyum. Lelaki itu berusaha meyakinkan Devan. Meski, sebenarnya dia juga takut bila lelaki itu mengetahui kebenarannya."Tapi, ini beneran kayak ada obatnya. Kalian nggak masukin apa-apa ke sini, kan?" tanya Devan, ia tidak ingin kehilangan akal sehatnya. Kedua temannya seketika menganggukkan kepala. "Iya, Van. Beneran nggak ada obat apapun, kok. Kamu bisa-bisanya ragu sama kita berdua, Van? Kami berdua ini udah lama jadi temen kamu, loh. Kamu kok bisa curiga sama kita?" tanya Udin dengan wajah kecewa, Jarot pun juga melakukan hal yang sama. "Eh, kalian kok drama, sih? Iya-iya, kopinya bakalan kuminum sampek habis, kok. Suer," ucap Devan sembari tertawa lirih. Udin dan Jarot merasa senang, mereka tidak habis pikir bahwa Devan akan semudah itu untuk dijebak. Tak lama kemudian, Devan mulai kehilangan kesadaran. Ia terlihat seperti orang linglung, nafasnya sangat bera