Brak!Devan mendobrak meja dengan kencang. Kedua tangannya terkepal, matanya melotot. Ia kehilangan kesabaran karena sikap kedua orang tuanya. "Van, sabar, Van! Kamu dari tadi marah-marah terus! Kasihan Bik Sarah itu, loh!" pekik Jarot dengan wajah kesal. Lelaki itu menepuk pundak Devan, ia tak habis pikir dengan tingkah laku lelaki di sampingnya. "Gimana aku nggak marah, Jarot?! Orang tuaku selama ini nyembunyikan identitasku! Aku nggak ngerti siapa orang tuaku! Aku ya nggak ngerti kalo selama ini di akte kelahiran aku ditulis sebagai anak kandung! Kepa***! Mereka berdua udah bohongin aku, Rot! Gak terima aku!" teriak Devan, lelaki itu menangis frustasi. Jarot dan Udin seketika melirik satu sama lain. Keduanya terkejut melihat hal itu. Mereka menyipitkan kedua mata. Udin seketika memiliki akal licik, dia hendak mengajak Devan melakukan hal-hal nakal. "Van, kamu masih ada uang, nggak?! Ayo ikut kita berdua nanti malem. Aku jamin, kamu nggak bakalan stress!" bisik Jarot tepat di te
"Eh, masa kopinya aneh, sih? Kamu aja yang mikir negatif. Kopinya nggak aneh, kok, Devan. Hahaha," ucap Udin sembari tersenyum. Lelaki itu berusaha meyakinkan Devan. Meski, sebenarnya dia juga takut bila lelaki itu mengetahui kebenarannya."Tapi, ini beneran kayak ada obatnya. Kalian nggak masukin apa-apa ke sini, kan?" tanya Devan, ia tidak ingin kehilangan akal sehatnya. Kedua temannya seketika menganggukkan kepala. "Iya, Van. Beneran nggak ada obat apapun, kok. Kamu bisa-bisanya ragu sama kita berdua, Van? Kami berdua ini udah lama jadi temen kamu, loh. Kamu kok bisa curiga sama kita?" tanya Udin dengan wajah kecewa, Jarot pun juga melakukan hal yang sama. "Eh, kalian kok drama, sih? Iya-iya, kopinya bakalan kuminum sampek habis, kok. Suer," ucap Devan sembari tertawa lirih. Udin dan Jarot merasa senang, mereka tidak habis pikir bahwa Devan akan semudah itu untuk dijebak. Tak lama kemudian, Devan mulai kehilangan kesadaran. Ia terlihat seperti orang linglung, nafasnya sangat bera
Devan seketika tersadar, ia menoleh ke arah Vasya dengan tubuh gemetar. "Aaaa!" Devan menjerit frustasi, lelaki itu menjambak rambutnya sendiri dan berjalan dengan lunglai. Tak jarang ia menabrak, terjatuh, dan setelah itu menengok Ariana, pandangannya mengabur. Ketika berada di depan pintu, ia mendobraknya dan langsung masuk ke kamar. "Ma! Kamu tidur sama Vasya aja, aku nggak mau diganggu!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ia berusaha mengancam perempuan yang ada di ruang keluarga. Namun, Ariana sama sekali tak memberikan respon. Justru sebaliknya, ia menoleh ke arah sang anak sembari menangis, tubuhnya gemetar, degup jantungnya berdetak cepat. Ia tak mengerti kenapa suaminya begitu tega kepada sang anak. Dilihatnya tubuh Vasya yang lemas di lantai. "Ma--Mama," panggil Vasya pelan, gadis itu memegangi punggungnya yang terasa sakit. Tubuhnya gemetar, lidahnya kelu. Kedua matanya menoleh ke sekitar. "Vasya!" teriak Ariana, wanita itu berlari ke arah sang anak dan memeluknya dengan
Setelah perdebatan itu, Devan segera berangkat kerja tanpa sarapan. Pikirannya sangat kacau, namun ia masih bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Sangat berbeda dengan Vasya. Pagi itu, ketika dia sampai di sekolah.Vasya segera memarkirkan sepeda. Tak lupa, ia menyapa satpam yang tengah berjaga. Gadis itu melewati lorong sekolah yang sepi. Tak ada satu pun orang di sana selain dia dan satpam itu. Vasya langsung bergegas ke kelas. Untuk sekilas, dia melirik jam dinding di kelasnya. "Jam lima lewat empat puluh pagi," batinnya pelan. Ia membanting tas, duduk, melipat kedua tangannya dan menenggelamkan wajahnya. Gadis itu menangis tak karuan. "Ayah! Kenapa Ayah kenapa jahat sama Vasya?" batinnya pelan. Untuk sekilas, dia mengelus punggungnya yang masih terasa sakit. Ruang kelas itu menjadi saksi bisu di mana dia menangis untuk meluapkan kekecewaannya. Sementara itu, Ariana bergegas ke pasar. Di perjalanan, dia tidak sengaja bertemu dengan teman Vasya, yakni Dinda. Ariana pun menger
"Vasya, Mama harus apa biar kamu seneng, Nak?" tanya sang ibu dengan penuh penyesalan. Vasya yang masih berada di dalam pelukan ibunya, seketika bersuara, "Aku mau kasih sayang dari Ayah, Ma. Tapi, Vasya tahu kalo itu nggak mungkin."Gadis itu menangis kencang di pelukan sang ibu. Betapa hancurnya hati Ariana karena anaknya menginginkan kasih sayang dari ayahnya. Ia sangat menyesal karena hal itu. "Kenapa Tuhan jahat banget sama Vasya, Ma?! Anak-anak lain di sekolah selalu minta ini-itu sama orang tuanya. Tapi Vasya nggak pernah ngelakuin itu, Ma. Vasya cuman mau dapet kasih sayang dari Ayah, itu aja udah bikin Vasya seneng. Vasya nggak minta lebih, Ma," ucap Vasya. Gadis itu menghabiskan sisa tangisannya. Di satu sisi, Ariana masih diam membisu. "Kamu doain Ayah supaya dia berubah ya, Sayang. Mama yakin sama keajaiban Tuhan, Nak. Kamu juga harus-""Nggak, Ma! Keajaiban itu nggak ada! Vasya nggak percaya sama kata-kata itu!" pekik Vasya, ia melepaskan diri dari pelukan sang ibu dan s
Vasya buru-buru membopong tubuh ibunya ke kamar. Di sana, ia langsung menutup pintu dan duduk di samping sang ibu. Pikirannya berkecamuk, dia tidak tahu apakah yang dia lakukan kepada ayahnya salah atau tidak. "Mama, bangun, Ma," ucapnya pelan sembari menepuk pundak sang ibu. Ia menoleh ke arah sang ibu dengan wajah cemas. Tak lama kemudian, sang ibu terbangun. "Vasya, di mana Ayah kamu, Vasya?" tanya sang ibu dengan wajah gelisah. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, ia juga tidak tahu di mana keberadaan ayahnya. "Ma, aku nggak nyangka Ayah bakalan dapet informasi kaya gitu dari keluarganya," balas Vasya dengan wajah sedih. Ia menangis di pelukan sang ibu. "Sama, Vasya. Mama juga nggak ngerti kalo Ayah kamu dapet informasi itu," balas sang ibu. Ia menanggapinya dengan wajah gelisah. Mereka menangis dan merenungkan sikapnya di hadapan sang ayah. Tak lama kemudian, Vasya beranjak pergi dari rumah."Ayah! Ayah di mana?!" tanya Vasya dengan wajah gelisah, remaja itu menangis kenc
"Kamu yang harusnya tahu diri, Ariana! Udahlah, ngapain aku ngeladenin orang kayak kamu?! Buang-buang waktu! Udin, ayo kita pergi!" pekik Jarot dengan nada tinggi. Keduanya mendorong Ariana hingga jatuh. "Kurang ajar kalian! Pergi kalian dari sini!" teriak Ariana, ia berlari kecil menyusul keduanya dari dalam rumah. Setelah itu, dia mengambil sandal dan melemparnya ke arah Udin dan Jarot. Kedua teman Jarot tersenyum licik, ia tidak mengindahkan peringatan Ariana. Justru sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai gurauan belaka. Ariana segera menutup pintu dan pergi ke ruang keluarga.Di sana, dia tidak bisa berpikir jernih. Vasya yang berada di dalam kamar, seketika terbangun. Dia segera pergi ke luar dan mengecek keadaan sang ibu. "Ma, Mama tadi tengkar sama siapa?" tanya Vasya dengan wajah cemas. Gadis itu mengelus punggung ibunya. "Temen Ayah kamu. Sumpah, ya, mereka itu bener-bener gak baik, Vasya. Tapi, Mama heran, kenapa Ayah kamu masih mau berteman sama mereka," jawab Ariana,
Devan melepaskan tangan kanan Fero, ia pergi dari sana dan meninggalkan Ariana seorang diri. Ariana yang melihatnya, segera mengejar suaminya. Namun, ia tak bisa menyusul suaminya."Pak, harusnya Bapak nggak perlu kayak gitu sama Mas Devan! Bagaimanapun, dia itu anak Bapak! Tapi, dia juga nggak salah kalo dia mau tahu orang tua kandungnya!""Diam kamu, Ariana! Pergi dari sini! Cepat!" Fero membentak Ariana dengan suara lantang. Ia mendorong tubuh Ariana hingga jatuh ke depan rumah. Setelah itu, Fero mengunci pintu rumahnya. Mau tak mau, Ariana harus pulang naik angkot. Jarak rumah mertua dengan rumahnya sangat jauh, sehingga, dia harus oper dua kali. Sementara itu, Vasya yang tinggal seorang di rumahnya, menonton tv. Tiba-tiba saja, ada tamu datang. Vasya pun memeriksanya. "Om Udin, Om Jarot? Ngapain kalian ke sini?" tanya Vasya, ia sangat risih melihat kehadiran kedua teman ayahnya. "Ayah kamu mana, Vasya?" Udin bertanya dengan suara lembut. "Buat apa aku ngasih tahu, itu bukan
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg