"Kamu yang harusnya tahu diri, Ariana! Udahlah, ngapain aku ngeladenin orang kayak kamu?! Buang-buang waktu! Udin, ayo kita pergi!" pekik Jarot dengan nada tinggi. Keduanya mendorong Ariana hingga jatuh. "Kurang ajar kalian! Pergi kalian dari sini!" teriak Ariana, ia berlari kecil menyusul keduanya dari dalam rumah. Setelah itu, dia mengambil sandal dan melemparnya ke arah Udin dan Jarot. Kedua teman Jarot tersenyum licik, ia tidak mengindahkan peringatan Ariana. Justru sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai gurauan belaka. Ariana segera menutup pintu dan pergi ke ruang keluarga.Di sana, dia tidak bisa berpikir jernih. Vasya yang berada di dalam kamar, seketika terbangun. Dia segera pergi ke luar dan mengecek keadaan sang ibu. "Ma, Mama tadi tengkar sama siapa?" tanya Vasya dengan wajah cemas. Gadis itu mengelus punggung ibunya. "Temen Ayah kamu. Sumpah, ya, mereka itu bener-bener gak baik, Vasya. Tapi, Mama heran, kenapa Ayah kamu masih mau berteman sama mereka," jawab Ariana,
Devan melepaskan tangan kanan Fero, ia pergi dari sana dan meninggalkan Ariana seorang diri. Ariana yang melihatnya, segera mengejar suaminya. Namun, ia tak bisa menyusul suaminya."Pak, harusnya Bapak nggak perlu kayak gitu sama Mas Devan! Bagaimanapun, dia itu anak Bapak! Tapi, dia juga nggak salah kalo dia mau tahu orang tua kandungnya!""Diam kamu, Ariana! Pergi dari sini! Cepat!" Fero membentak Ariana dengan suara lantang. Ia mendorong tubuh Ariana hingga jatuh ke depan rumah. Setelah itu, Fero mengunci pintu rumahnya. Mau tak mau, Ariana harus pulang naik angkot. Jarak rumah mertua dengan rumahnya sangat jauh, sehingga, dia harus oper dua kali. Sementara itu, Vasya yang tinggal seorang di rumahnya, menonton tv. Tiba-tiba saja, ada tamu datang. Vasya pun memeriksanya. "Om Udin, Om Jarot? Ngapain kalian ke sini?" tanya Vasya, ia sangat risih melihat kehadiran kedua teman ayahnya. "Ayah kamu mana, Vasya?" Udin bertanya dengan suara lembut. "Buat apa aku ngasih tahu, itu bukan
Ariana bergegas ke dalam, wajahnya dipenuhi dengan amarah. Brak!Ariana sengaja mendobrak pintu rumahnya. Wanita itu berubah menjadi sosok singa untuk anaknya. "Jarot, Udin! Di mana kalian?!" pekik Ariana dengan wajah gusar. Wanita itu bergegas ke dalam ruangan. Namun, Udin dan Jarot hanya diam, mereka tak bersuara."Jangan coba-coba sakitin anak saya, ya! Dasar Iblis! Pergi kalian ke neraka!" teriak wanita itu. Ia membanting pintu kamar, kamar mandi, gudang, dan sampailah dirinya di depan dapur. Di sana, ia menyaksikan bagaimana keduanya terluka. Ariana tersenyum licik. "Goblok kalian! Sini kalian!" pekik Ariana, wanita itu tak bisa mengendalikan amarah di kepalanya. Ia mengambil sapu dan bergegas memukul kedua orang itu. Tak hanya itu, ia mengangkat kursi kayu berukuran sedang dan melemparnya ke arah Udin dan Jarot. "Kalian ini laki-laki macam apa, ha?! Apa kalian nggak punya hati nurani sampek kalian berani nyakitin anak saya?! Dasar otak mesum! " pekik Ariana. Ia memukul laki-
"Ma, ada tamu, tuh. Gimana ini?" tanya Vasya sembari menaikkan salah satu alisnya. Ia buru-buru menghapus tangisannya. Ariana seketika memegangi dadanya, berusaha mengatur nafasnya. "Astaghfirullah, Nak. Mama lupa, gimana sama keadaan dapur? Bau amis, nggak? Terus, di mana mereka sekarang?" Ariana memberi pertanyaan sembari menatap sekitar dengan wajah cemas."Mereka semua udah pergi, Ma. Vasya udah kasih mereka pelajaran. Dapurnya juga udah Vasya bersihin, kok," ucap Vasya, gadis itu masih bisa tersenyum di hadapan sang ibu setelah apa yang dilaluinya. Yah, begitulah ciri khas Vasya. Dia bisa terlihat begitu tenang, sekalipun di dalam titik terendah dalam hidupnya. Tidak ada kata terlalu lama berlarut-larut dalam kesedihan di dalam kamus hidupnya. Entah apa yang menjadikannya begitu. Tapi, itulah hal spesial yang diberikan Tuhan kepadanya. Dia sangat berbeda dari anak-anak seusianya. "Vasya, kamu kenapa bisa senyum di hadapan Mama, Nak? Kamu nggak ketakutan setelah kejadian tadi?"
Vasya masih asyik membuat mi instan. Di tengah-tengah memasak, dia mengambil hp dan menyetel musik kesukaannya. Selang beberapa saat, mie itu pun jadi. Dia segera menyajikannya untuk ibu dan dirinya. "Ma, mie nya udah jadi, nih. Makan dulu, yuk," ucap Vasya. Gadis itu tersenyum seperti tak ada masalah. Ia duduk di samping ibunya dan makan bersamanya. "Makasih, Vasya," kata sang ibu dengan wajah sedih. Wanita itu masih mengingat kejadian yang tadi. Tak terasa, air mata mengalir di pelupuk matanya. "Ish, Mama kok nangis terus, sih? Jelek tahu. Udah dong, nangisnya," ucap Vasya sembari tersenyum. Gadis itu berhenti makan, ia menghapus tangisan sang ibu dan memeluknya. Ariana yang melihat tingkah sang anak, seketika tak bisa berhenti menangis. "Vasya, kamu kok bisa digituin sama mereka berdua gimana ceritanya, Vasya?" tanya sang ibu dengan wajah cemas. "Ish, Vasya nggak mau bahas itu. Udah, yuk, ayo makan. Yang penting, sekarang Mama sama Vasya udah nggak kenapa-napa. Itu lebih dari
Gadis itu sangat bersyukur karena dia bisa membuat ibunya kembali tersenyum setelah apa yang terjadi. Keesokan paginya, mereka berdua terbangun. "Ma, Vasya baru inget. Ayah dari kemarin nggak pulang, ya?" tanya Vasya dengan wajah bimbang. Sang ibu yang duduk di samping Vasya menganggukkan kepala. "Iya, Vasya. Kamu bener, Mama juga baru sadar kalo Ayah kamu nggak pulang semalam. Haduh, gimana ini, Nak? Ayah kamu di mana? Mama takut kalo dia bakalan minum-minum lagi sama temennya. Kamu tahu kalo orang sekali minum, pasti candu, kan?" Ariana menoleh ke arah sang anak dengan wajah gelisah. Gadis itu berusaha untuk tetap tenang. "Ma, Mama jangan mikir macem-macem dulu. Bisa aja dia pergi buat nenangin dirinya sendiri. Vasya habis ini mau bantu Mama masak sekalian mau siap-siap ke sekolah. Ayuk, Ma," ucap Vasya. Gadis itu segera berjalan ke dapur, memasak air, dan membuat teh untuk keduanya. Tak lupa, dia juga memasak nasi untuk makan pagi. Ariana tertegun melihat tingkah sang anak, hati
"Ariana, kamu nggak kenapa-napa kan, Nak?" tanya Bu Fira, ia memandangi wajah Ariana dengan rasa cemas. Wanita itu menelan ludahnya, ia tersadar dari lamunannya. "I--iya, Bu Fira. Saya nggak papa, kok. Terima kasih karena selama ini telah berjasa membantuku untuk mendapat pekerjaan. Semoga, Bu Fira bisa mendapat lingkungan yang baik di sana, ya. Aamiin," ucap Ariana sembari tersenyum. Wanita itu berusaha terlihat kuat di hadapannya."Baiklah, Nak. Terima kasih atas doa-doamu. Ibu berharap, kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi. Ini, saya ada pesangon untuk kamu. Mohon diterima, ya," Bu Fira memberikan amplop berisikan sejumlah uang. "Terima kasih banyak, Bu Fira," ucap wanita itu sembari mengambil amplop putih itu. Dia berusaha tersenyum di hadapannya. Meski dia tahu, bahwa di kepalanya menyimpan banyak pertanyaan. Bagaimana kehidupannya nanti? Apa yang harus dia berikan kepada keluarganya ketika Devan sendiri menghadapi masalah besar.**********"Mama!" teriak Vasya den
"Vasya, Mama itu nggak suka kalo Ayah kamu nggak ada tanggung jawabnya. Mama bener-bener kecewa sama dia," ucapnya dengan wajah gelisah. Vasya menganggukkan kepalanya, ia berusaha mengerti kegelisahan sang ibu. "Iya, Ma. Vasya ngerti. Udah, yuk, mendingan, Mama ke dalem dulu sama Vasya. Kalo nggak mau, mendingan kita duduk di kursi luar, ayo," ucap Vasya, gadis itu mengajak sang ibu duduk di kursi. Setelah itu, Vasya memberikan waktu bagi sang ibu untuk menenangkan dirinya. Ariana seketika menghembuskan nafas panjang, ia tak tega melihat Vasya. Pikirannya tak karuan hingga dia menangis. Vasya buru-buru menenangkannya. "Ma, jangan nangis terus, Vasya nggak mau lihat Mama sedih," pintanya pelan. Ariana menggelengkan kepalanya, ia duduk bertopang dagu. "Vasya, gimana Mama nggak sedih? Hari ini adalah hari terakhir Mama kerja. Ayah kamu juga udah bolos berapa hari, Vasya. Mama nggak tahu harus apa. Kalo kayak gini caranya, kita semua mau makan apa?!" tanya Ariana, wajah wanita itu terl