Devan seketika tersadar, ia menoleh ke arah Vasya dengan tubuh gemetar. "Aaaa!" Devan menjerit frustasi, lelaki itu menjambak rambutnya sendiri dan berjalan dengan lunglai. Tak jarang ia menabrak, terjatuh, dan setelah itu menengok Ariana, pandangannya mengabur. Ketika berada di depan pintu, ia mendobraknya dan langsung masuk ke kamar. "Ma! Kamu tidur sama Vasya aja, aku nggak mau diganggu!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ia berusaha mengancam perempuan yang ada di ruang keluarga. Namun, Ariana sama sekali tak memberikan respon. Justru sebaliknya, ia menoleh ke arah sang anak sembari menangis, tubuhnya gemetar, degup jantungnya berdetak cepat. Ia tak mengerti kenapa suaminya begitu tega kepada sang anak. Dilihatnya tubuh Vasya yang lemas di lantai. "Ma--Mama," panggil Vasya pelan, gadis itu memegangi punggungnya yang terasa sakit. Tubuhnya gemetar, lidahnya kelu. Kedua matanya menoleh ke sekitar. "Vasya!" teriak Ariana, wanita itu berlari ke arah sang anak dan memeluknya dengan
Setelah perdebatan itu, Devan segera berangkat kerja tanpa sarapan. Pikirannya sangat kacau, namun ia masih bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Sangat berbeda dengan Vasya. Pagi itu, ketika dia sampai di sekolah.Vasya segera memarkirkan sepeda. Tak lupa, ia menyapa satpam yang tengah berjaga. Gadis itu melewati lorong sekolah yang sepi. Tak ada satu pun orang di sana selain dia dan satpam itu. Vasya langsung bergegas ke kelas. Untuk sekilas, dia melirik jam dinding di kelasnya. "Jam lima lewat empat puluh pagi," batinnya pelan. Ia membanting tas, duduk, melipat kedua tangannya dan menenggelamkan wajahnya. Gadis itu menangis tak karuan. "Ayah! Kenapa Ayah kenapa jahat sama Vasya?" batinnya pelan. Untuk sekilas, dia mengelus punggungnya yang masih terasa sakit. Ruang kelas itu menjadi saksi bisu di mana dia menangis untuk meluapkan kekecewaannya. Sementara itu, Ariana bergegas ke pasar. Di perjalanan, dia tidak sengaja bertemu dengan teman Vasya, yakni Dinda. Ariana pun menger
"Vasya, Mama harus apa biar kamu seneng, Nak?" tanya sang ibu dengan penuh penyesalan. Vasya yang masih berada di dalam pelukan ibunya, seketika bersuara, "Aku mau kasih sayang dari Ayah, Ma. Tapi, Vasya tahu kalo itu nggak mungkin."Gadis itu menangis kencang di pelukan sang ibu. Betapa hancurnya hati Ariana karena anaknya menginginkan kasih sayang dari ayahnya. Ia sangat menyesal karena hal itu. "Kenapa Tuhan jahat banget sama Vasya, Ma?! Anak-anak lain di sekolah selalu minta ini-itu sama orang tuanya. Tapi Vasya nggak pernah ngelakuin itu, Ma. Vasya cuman mau dapet kasih sayang dari Ayah, itu aja udah bikin Vasya seneng. Vasya nggak minta lebih, Ma," ucap Vasya. Gadis itu menghabiskan sisa tangisannya. Di satu sisi, Ariana masih diam membisu. "Kamu doain Ayah supaya dia berubah ya, Sayang. Mama yakin sama keajaiban Tuhan, Nak. Kamu juga harus-""Nggak, Ma! Keajaiban itu nggak ada! Vasya nggak percaya sama kata-kata itu!" pekik Vasya, ia melepaskan diri dari pelukan sang ibu dan s
Vasya buru-buru membopong tubuh ibunya ke kamar. Di sana, ia langsung menutup pintu dan duduk di samping sang ibu. Pikirannya berkecamuk, dia tidak tahu apakah yang dia lakukan kepada ayahnya salah atau tidak. "Mama, bangun, Ma," ucapnya pelan sembari menepuk pundak sang ibu. Ia menoleh ke arah sang ibu dengan wajah cemas. Tak lama kemudian, sang ibu terbangun. "Vasya, di mana Ayah kamu, Vasya?" tanya sang ibu dengan wajah gelisah. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, ia juga tidak tahu di mana keberadaan ayahnya. "Ma, aku nggak nyangka Ayah bakalan dapet informasi kaya gitu dari keluarganya," balas Vasya dengan wajah sedih. Ia menangis di pelukan sang ibu. "Sama, Vasya. Mama juga nggak ngerti kalo Ayah kamu dapet informasi itu," balas sang ibu. Ia menanggapinya dengan wajah gelisah. Mereka menangis dan merenungkan sikapnya di hadapan sang ayah. Tak lama kemudian, Vasya beranjak pergi dari rumah."Ayah! Ayah di mana?!" tanya Vasya dengan wajah gelisah, remaja itu menangis kenc
"Kamu yang harusnya tahu diri, Ariana! Udahlah, ngapain aku ngeladenin orang kayak kamu?! Buang-buang waktu! Udin, ayo kita pergi!" pekik Jarot dengan nada tinggi. Keduanya mendorong Ariana hingga jatuh. "Kurang ajar kalian! Pergi kalian dari sini!" teriak Ariana, ia berlari kecil menyusul keduanya dari dalam rumah. Setelah itu, dia mengambil sandal dan melemparnya ke arah Udin dan Jarot. Kedua teman Jarot tersenyum licik, ia tidak mengindahkan peringatan Ariana. Justru sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai gurauan belaka. Ariana segera menutup pintu dan pergi ke ruang keluarga.Di sana, dia tidak bisa berpikir jernih. Vasya yang berada di dalam kamar, seketika terbangun. Dia segera pergi ke luar dan mengecek keadaan sang ibu. "Ma, Mama tadi tengkar sama siapa?" tanya Vasya dengan wajah cemas. Gadis itu mengelus punggung ibunya. "Temen Ayah kamu. Sumpah, ya, mereka itu bener-bener gak baik, Vasya. Tapi, Mama heran, kenapa Ayah kamu masih mau berteman sama mereka," jawab Ariana,
Devan melepaskan tangan kanan Fero, ia pergi dari sana dan meninggalkan Ariana seorang diri. Ariana yang melihatnya, segera mengejar suaminya. Namun, ia tak bisa menyusul suaminya."Pak, harusnya Bapak nggak perlu kayak gitu sama Mas Devan! Bagaimanapun, dia itu anak Bapak! Tapi, dia juga nggak salah kalo dia mau tahu orang tua kandungnya!""Diam kamu, Ariana! Pergi dari sini! Cepat!" Fero membentak Ariana dengan suara lantang. Ia mendorong tubuh Ariana hingga jatuh ke depan rumah. Setelah itu, Fero mengunci pintu rumahnya. Mau tak mau, Ariana harus pulang naik angkot. Jarak rumah mertua dengan rumahnya sangat jauh, sehingga, dia harus oper dua kali. Sementara itu, Vasya yang tinggal seorang di rumahnya, menonton tv. Tiba-tiba saja, ada tamu datang. Vasya pun memeriksanya. "Om Udin, Om Jarot? Ngapain kalian ke sini?" tanya Vasya, ia sangat risih melihat kehadiran kedua teman ayahnya. "Ayah kamu mana, Vasya?" Udin bertanya dengan suara lembut. "Buat apa aku ngasih tahu, itu bukan
Ariana bergegas ke dalam, wajahnya dipenuhi dengan amarah. Brak!Ariana sengaja mendobrak pintu rumahnya. Wanita itu berubah menjadi sosok singa untuk anaknya. "Jarot, Udin! Di mana kalian?!" pekik Ariana dengan wajah gusar. Wanita itu bergegas ke dalam ruangan. Namun, Udin dan Jarot hanya diam, mereka tak bersuara."Jangan coba-coba sakitin anak saya, ya! Dasar Iblis! Pergi kalian ke neraka!" teriak wanita itu. Ia membanting pintu kamar, kamar mandi, gudang, dan sampailah dirinya di depan dapur. Di sana, ia menyaksikan bagaimana keduanya terluka. Ariana tersenyum licik. "Goblok kalian! Sini kalian!" pekik Ariana, wanita itu tak bisa mengendalikan amarah di kepalanya. Ia mengambil sapu dan bergegas memukul kedua orang itu. Tak hanya itu, ia mengangkat kursi kayu berukuran sedang dan melemparnya ke arah Udin dan Jarot. "Kalian ini laki-laki macam apa, ha?! Apa kalian nggak punya hati nurani sampek kalian berani nyakitin anak saya?! Dasar otak mesum! " pekik Ariana. Ia memukul laki-
"Ma, ada tamu, tuh. Gimana ini?" tanya Vasya sembari menaikkan salah satu alisnya. Ia buru-buru menghapus tangisannya. Ariana seketika memegangi dadanya, berusaha mengatur nafasnya. "Astaghfirullah, Nak. Mama lupa, gimana sama keadaan dapur? Bau amis, nggak? Terus, di mana mereka sekarang?" Ariana memberi pertanyaan sembari menatap sekitar dengan wajah cemas."Mereka semua udah pergi, Ma. Vasya udah kasih mereka pelajaran. Dapurnya juga udah Vasya bersihin, kok," ucap Vasya, gadis itu masih bisa tersenyum di hadapan sang ibu setelah apa yang dilaluinya. Yah, begitulah ciri khas Vasya. Dia bisa terlihat begitu tenang, sekalipun di dalam titik terendah dalam hidupnya. Tidak ada kata terlalu lama berlarut-larut dalam kesedihan di dalam kamus hidupnya. Entah apa yang menjadikannya begitu. Tapi, itulah hal spesial yang diberikan Tuhan kepadanya. Dia sangat berbeda dari anak-anak seusianya. "Vasya, kamu kenapa bisa senyum di hadapan Mama, Nak? Kamu nggak ketakutan setelah kejadian tadi?"