Setelah selesai mengantar Vasya, Devan kembali ke rumah dan mengantar sang istri. Ariana tak henti-hentinya tersenyum. Ia tidak bisa membohongi perasaannya. Ketika di tempat kerja, Ariana berbincang-bincang dengan Bu Fira."Ariana, kenapa kamu senyam-senyum terus, hayo? Ibu curiga nih, sama kamu," ucap Bu Fira sembari tersenyum ke arah wanita itu. "Kayanya, sejak kejadian itu. Suamiku mulai berubah, Bu Fira. Alhamdulillah, suamiku udah punya pekerjaan tetap sekarang. Meski cuman jadi penjaga kolam dan antar-jemput anak sekolah. Bagi saya, itu udah cukup," kata Ariana, wanita itu tak bisa menahan senyumannya di hadapan Bu Fira. "Wah, kalo gitu, saya ikut seneng mendengarnya, Nak. Bu Fira doain, semoga kerjaan suami kamu lancar, ya," kata Bu Fira. Ia menyemangati perempuan yang berada di sampingnya. "Aamiin, terima kasih, Bu Fira," jawabnya dengan antusias. Sejak kejadian itu, kehidupan Ariana pun berubah sedikit demi sedikit. Dia dan keluarga akhirnya dapat menjalani kehidupan deng
"Jadi itu, alasan kenapa dari kecil aku nggak pernah Mama beliin sepeda kayak sodaraku yang lain?! Dan itu juga, yang jadi alasan kenapa aku nggak pernah dibeliin barang baru?! Aku selalu dikasih barang bekas Kakak-kakak aku! Dan aku selalu disuruh habisin sisa makanan Kakak-kakak aku! Orang tua macam apa kalian, ha?!" Devan mengerutkan dahi. Tapi, apa yang dikatakan Devan itu memang benar. Ketika kecil, dia sering mendapat perlakuan tidak adil. Devan tidak boleh duduk dan makan satu meja dengan keluarganya. Dia harus menunggu hingga semuanya selesai makan. Devan juga hanya boleh memakan makanan sisa mereka. Ketika kakak-kakaknya memiliki kendaraan untuk ke sekolah. Maka, Devan hanya diberi uang sangu pas-pasan dan disuruh untuk jalan kaki. Ketika beranjak dewasa pun sama. Parahnya, ketika Devan berhasil membeli rumah dengan uang hasil kerja kerasnya. Sertifikat rumah itu dipegang oleh kedua orang tua Devan dengan alasan agar sertifikat tersebut aman dan tidak hilang. Padahal, rumah
Brak!Devan mendobrak meja dengan kencang. Kedua tangannya terkepal, matanya melotot. Ia kehilangan kesabaran karena sikap kedua orang tuanya. "Van, sabar, Van! Kamu dari tadi marah-marah terus! Kasihan Bik Sarah itu, loh!" pekik Jarot dengan wajah kesal. Lelaki itu menepuk pundak Devan, ia tak habis pikir dengan tingkah laku lelaki di sampingnya. "Gimana aku nggak marah, Jarot?! Orang tuaku selama ini nyembunyikan identitasku! Aku nggak ngerti siapa orang tuaku! Aku ya nggak ngerti kalo selama ini di akte kelahiran aku ditulis sebagai anak kandung! Kepa***! Mereka berdua udah bohongin aku, Rot! Gak terima aku!" teriak Devan, lelaki itu menangis frustasi. Jarot dan Udin seketika melirik satu sama lain. Keduanya terkejut melihat hal itu. Mereka menyipitkan kedua mata. Udin seketika memiliki akal licik, dia hendak mengajak Devan melakukan hal-hal nakal. "Van, kamu masih ada uang, nggak?! Ayo ikut kita berdua nanti malem. Aku jamin, kamu nggak bakalan stress!" bisik Jarot tepat di te
"Eh, masa kopinya aneh, sih? Kamu aja yang mikir negatif. Kopinya nggak aneh, kok, Devan. Hahaha," ucap Udin sembari tersenyum. Lelaki itu berusaha meyakinkan Devan. Meski, sebenarnya dia juga takut bila lelaki itu mengetahui kebenarannya."Tapi, ini beneran kayak ada obatnya. Kalian nggak masukin apa-apa ke sini, kan?" tanya Devan, ia tidak ingin kehilangan akal sehatnya. Kedua temannya seketika menganggukkan kepala. "Iya, Van. Beneran nggak ada obat apapun, kok. Kamu bisa-bisanya ragu sama kita berdua, Van? Kami berdua ini udah lama jadi temen kamu, loh. Kamu kok bisa curiga sama kita?" tanya Udin dengan wajah kecewa, Jarot pun juga melakukan hal yang sama. "Eh, kalian kok drama, sih? Iya-iya, kopinya bakalan kuminum sampek habis, kok. Suer," ucap Devan sembari tertawa lirih. Udin dan Jarot merasa senang, mereka tidak habis pikir bahwa Devan akan semudah itu untuk dijebak. Tak lama kemudian, Devan mulai kehilangan kesadaran. Ia terlihat seperti orang linglung, nafasnya sangat bera
Devan seketika tersadar, ia menoleh ke arah Vasya dengan tubuh gemetar. "Aaaa!" Devan menjerit frustasi, lelaki itu menjambak rambutnya sendiri dan berjalan dengan lunglai. Tak jarang ia menabrak, terjatuh, dan setelah itu menengok Ariana, pandangannya mengabur. Ketika berada di depan pintu, ia mendobraknya dan langsung masuk ke kamar. "Ma! Kamu tidur sama Vasya aja, aku nggak mau diganggu!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ia berusaha mengancam perempuan yang ada di ruang keluarga. Namun, Ariana sama sekali tak memberikan respon. Justru sebaliknya, ia menoleh ke arah sang anak sembari menangis, tubuhnya gemetar, degup jantungnya berdetak cepat. Ia tak mengerti kenapa suaminya begitu tega kepada sang anak. Dilihatnya tubuh Vasya yang lemas di lantai. "Ma--Mama," panggil Vasya pelan, gadis itu memegangi punggungnya yang terasa sakit. Tubuhnya gemetar, lidahnya kelu. Kedua matanya menoleh ke sekitar. "Vasya!" teriak Ariana, wanita itu berlari ke arah sang anak dan memeluknya dengan
Setelah perdebatan itu, Devan segera berangkat kerja tanpa sarapan. Pikirannya sangat kacau, namun ia masih bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Sangat berbeda dengan Vasya. Pagi itu, ketika dia sampai di sekolah.Vasya segera memarkirkan sepeda. Tak lupa, ia menyapa satpam yang tengah berjaga. Gadis itu melewati lorong sekolah yang sepi. Tak ada satu pun orang di sana selain dia dan satpam itu. Vasya langsung bergegas ke kelas. Untuk sekilas, dia melirik jam dinding di kelasnya. "Jam lima lewat empat puluh pagi," batinnya pelan. Ia membanting tas, duduk, melipat kedua tangannya dan menenggelamkan wajahnya. Gadis itu menangis tak karuan. "Ayah! Kenapa Ayah kenapa jahat sama Vasya?" batinnya pelan. Untuk sekilas, dia mengelus punggungnya yang masih terasa sakit. Ruang kelas itu menjadi saksi bisu di mana dia menangis untuk meluapkan kekecewaannya. Sementara itu, Ariana bergegas ke pasar. Di perjalanan, dia tidak sengaja bertemu dengan teman Vasya, yakni Dinda. Ariana pun menger
"Vasya, Mama harus apa biar kamu seneng, Nak?" tanya sang ibu dengan penuh penyesalan. Vasya yang masih berada di dalam pelukan ibunya, seketika bersuara, "Aku mau kasih sayang dari Ayah, Ma. Tapi, Vasya tahu kalo itu nggak mungkin."Gadis itu menangis kencang di pelukan sang ibu. Betapa hancurnya hati Ariana karena anaknya menginginkan kasih sayang dari ayahnya. Ia sangat menyesal karena hal itu. "Kenapa Tuhan jahat banget sama Vasya, Ma?! Anak-anak lain di sekolah selalu minta ini-itu sama orang tuanya. Tapi Vasya nggak pernah ngelakuin itu, Ma. Vasya cuman mau dapet kasih sayang dari Ayah, itu aja udah bikin Vasya seneng. Vasya nggak minta lebih, Ma," ucap Vasya. Gadis itu menghabiskan sisa tangisannya. Di satu sisi, Ariana masih diam membisu. "Kamu doain Ayah supaya dia berubah ya, Sayang. Mama yakin sama keajaiban Tuhan, Nak. Kamu juga harus-""Nggak, Ma! Keajaiban itu nggak ada! Vasya nggak percaya sama kata-kata itu!" pekik Vasya, ia melepaskan diri dari pelukan sang ibu dan s
Vasya buru-buru membopong tubuh ibunya ke kamar. Di sana, ia langsung menutup pintu dan duduk di samping sang ibu. Pikirannya berkecamuk, dia tidak tahu apakah yang dia lakukan kepada ayahnya salah atau tidak. "Mama, bangun, Ma," ucapnya pelan sembari menepuk pundak sang ibu. Ia menoleh ke arah sang ibu dengan wajah cemas. Tak lama kemudian, sang ibu terbangun. "Vasya, di mana Ayah kamu, Vasya?" tanya sang ibu dengan wajah gelisah. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, ia juga tidak tahu di mana keberadaan ayahnya. "Ma, aku nggak nyangka Ayah bakalan dapet informasi kaya gitu dari keluarganya," balas Vasya dengan wajah sedih. Ia menangis di pelukan sang ibu. "Sama, Vasya. Mama juga nggak ngerti kalo Ayah kamu dapet informasi itu," balas sang ibu. Ia menanggapinya dengan wajah gelisah. Mereka menangis dan merenungkan sikapnya di hadapan sang ayah. Tak lama kemudian, Vasya beranjak pergi dari rumah."Ayah! Ayah di mana?!" tanya Vasya dengan wajah gelisah, remaja itu menangis kenc