"Itu semua kembali ke kamu, Dio! Oh iya, bangunkan temanmu itu! Dasar!" teriak Bobi dengan suara lantang. Ia menaruh tangan kanannya ke atas pinggang. Deg!"Ferel! Ferel bangun!" Dio sesekali menendang kaki Ferel secara perlahan. Ferel seketika terbangun, pandangannya kabur. Tangan kanannya ia gunakan untuk memijit keningnya. "Kita di mana, Dio?!" tanya Ferel. Lelaki itu mencoba berdiri, namun, karena kondisinya yang lemah, dia terjatuh. Bug!"Hahaha! Bangun juga nih si tengil! Sekarang, Lo udah ada di sini, Ferel! Lo ngerti, kan?! Ini Gue! Bobi! Lo pasti masih inget masa lalu kita kan, Rel?!" tanya Bobi dengan suara lantang, ia menarik kerah baju lelaki itu. Kedua mata mereka saling bertatapan. "Bobi?! Wah! Seru juga ketemu Lo di sini, Bob!" jawab Ferel, ia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam, sekalipun dia masih terasa pusing. "Ck! Diem! Lo sekarang nggak aman, Rel! Lo harus ikut kata-kata Gue kalo mau selamat!" "Bang***! Kalo Lo ada urusan sama Gue! Lo harusnya selesai
“Di mana yang lainnya?” tanya Luteas, dia mengedarkan pandangan ke segala arah karena tak ada satupun orang di sana. “Tunggu, Jenderal Luteas. Aku rasa, aku tadi mendengar jeritan seseorang. Dan aku rasa, jeritan itu berasal dari ruangan yang ada di sana,” jawab salah satu polisi dengan senapan panjanganya. Dia menunjuk ke salah satu ruangan yang tertutup rapat. “Heum, apa kau yakin mereka ada di sana, Gilang?” Jenderal Luteas menaikkan salah satu alisnya. Ia menatap kedua mata Gilang dengan tatapan tajam. “Coba perhatikan ini, Jenderal Luteas. Lihat, di sini memang ada beberapa tanda berwarna merah yang menjadi salah satu indikasi keberadaan mereka,” Gilang memperlihatkan sebuah layar berwarna hitam yang menunjukkan sebuah titik merah. Jenderal Luteas menganggukkan kepala, tanda bahwa dia mengerti dengan jelas apa yang dimaksud oleh anak buahnya. “Ya sudah, tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana. Tapi, beberapa orang harus tetap berjaga dan mencari di ruangan yang berbeda. K
Vasya yang masih berada di pelukan sang ayah, seketika menoleh sebentar. Ia mengamati bagaimana jati dirinya dibuat menderita ketika melihat sosok Bobi. "Ayah, aku takut sama dia, Ayah. Jangan jauh-jauh dari aku ya, Yah." Vasya memeluk sang ayah dengan wajah ketakutan. Nalarnya tak sanggup menyuarakan kata nestapa. "Udah, Sayang. Kamu bakalan baik-baik aja, kok. Jangan takut, ya. Ada Ayah di sini," ucap Devan dengan wajah resah. Dia menggendong sang anak sambil membawanya keluar dari tempat itu. Ariana yang masih berada di sana, seketika ikut ke luar. Ia hendak memarahi sang suami karena dirinyalah yang menyebabkan semua ini terjadi."Ayah lihat, kan?! Apa yang udah Ayah lakukan, ha?! Jangan bertindak bodoh makanya! Punya temen itu dilihat-lihat dulu! Udah tahu aku ini orangnya gampang nderedeg! Kamu mau aku jantungan terus mati, Yah?!" Ariana memberontak kepada Devan. Ia merebut sang anak dari rangkulannya. Setelah itu, dia langsung pergi ke luar. Tersisa Devan seorang diri, dia h
"Ya, Ma?" tanya Vasya dengan suara lirih. "Kamu bisa keluar sebentar, Nak? Ayah sama Mama mau ngomong sesuatu sama kamu," balas Ariana. Ia membuka pintu dan melihat sosok Vasya. "Iya, Ma. Mama mau ngomong apa?" tanya Vasya. Ia segera pergi ke luar dan menyambut kedua orang tuanya. "Ayo, ikut Mama dulu," balas Ariana. Vasya menganggukkan kepala pelan, ia berjalan pergi ke sebuah ruangan lengang. Devan dan Ariana saling melempar pandangan satu sama lain. Keduanya bingung harus menjelaskan apa ke Vasya."Vasya, kamu di sekolah gimana, Nak?" tanya Ariana. "Hah? Mama kok nanya itu? Kenapa? Vasya di sekolah baik-baik aja kok, Ma. Ada apa?" tanya Vasya, sebagai sosok anak, dia termasuk tipikal anak yang mudah mengatakan semua hal dengan mudah. "Oh, Alhamdulillah kalo gitu. Oh iya, Mama sama Ayah mau kasih tahu kamu sesuatu. Sebenernya, Mama sama Ayah udah nyimpen ini dari lama. Heum, gini, Nak. Kamu nggak papa kalo kita bertiga pindah ke luar kota? Kamu tahu sendiri, kan? Gimana rasanya
"Mbak? Kamu kenapa, sih? Bukannya kamu sendiri yang mau pisah sama Mas Devan?! Apa masalahnya sekarang, ha?! Aku udah bela-belain tengkar sama Bapak sama Ibuk loh, Mbak!" pekik Tita dengan suara lantang. Ariana semakin mengerutkan dahi, ia menggigit jemarinya sendiri. Sementara itu, Devan yang duduk di sofa belakang, langsung berlari kecil ke arahnya. "Ariana?! Ada apa?" tanya Devan dengan suara lirih. Ariana yang terkejut, langsung mematikan telepon. Tangan kanannya ingin memasukkan hp itu ke dalam saku. Namun, hp itu malah terjatuh. "Astaghfirullah, Mas." Ariana membulatkan kedua matanya sendiri. Devan yang menjadi suami dari wanita itu, seketika menoleh ke arah Ariana. "Ariana, kamu kenapa, sih?" tanya Devan dengan suara lirih. Wanita itu menoleh ke arah Devan, dirinya bingung harus mengatakan apa di hadapan lelaki yang masih berstatus menjadi suaminya. "Ma--Mas, aku--aku bakalan ngomongin itu nanti. Aku nggak mau ngasih tahu kamu dulu," ucap Ariana dengan suara lirih. Deg!De
Deg!Ariana mencoba menenangkan diri. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh sang ibu memang tidak salah. Namun, mengingat semua perjuangan suaminya dari yang buruk lalu berubah menjadi sosok yang baik. Itu saja sudah membuat hatinya luluh. "Bu, mohon maaf sebelumnya. Ariana pikir, Mas Devan sudah mulai berubah menjadi orang yang baik. Jadi, aku rasa, kita tidak perlu bercerai," balas Ariana sembari tersenyum. Wanita itu mencoba membuat sang ibu mengerti. "Apa katamu tadi, Ariana?! Kamu sudah berani membohongi Ibu?! Dari mananya kamu hidup tenang, Ariana?! Udah dua kali kamu pulang ke rumah sambil ngemis-ngemis supaya kamu diceraikan sama Mas Devan! Sekarang?! Kok kamu berubah pikiran secepat itu?!" tanya sang ibu dengan suara lantang. Ariana langsung menundukkan kepala, dia tidak mengerti, kalimat apa yang harus dia lontarkan untuk menjawab pertanyaan sang ibu. Dirinya diliputi oleh rasa malu, bersalah, dan juga rasa kesal terhadap dirinya sendiri. "Bu, Ariana bener-bener minta maaf.
Ariana menghembuskan nafas panjang. Dia tidak ingin melihat sosok perempuan di hadapannya berlagak bak seseorang yang memiliki nyali besar untuk menantangnya. "Ariana, dengerin penjelasan Mbak dulu. Kamu nggak ngerti apa-apa soal Mas Devan, kan? Tolong, kamu harusnya ngerti gimana perasaan Mbak, Dek. Demi apapun, Mas Devan itu udah berubah jadi orang yang lebih baik," ucap Ariana dengan suara lirih. Ia berusaha membela sang suami.Tita menghela nafas panjang, ia ber-huh ria setelah mendengar jawaban dari sang kakak. "Fine, aku ngerti sekarang. Jadi, Kakak lebih milih buat ngeladenin Mas Devan, kan? Oke, Mbak! Kalo gitu! Jangan harap aku bakalan mau bantu kamu lagi setelah ini!" pekik Tita dengan suara lantang. Wanita itu merasa kesal, dia sama sekali tak menyangka bila sang kakak akan melakukan hal ini kepadanya. "Dek, kamu bisa berpikir dengan tenang nggak sih, Dek? Kakak yang lebih tahu gimana gimana perubahan Mas Devan, bukan kamu." Ariana mencoba membela sang suami."Terserah a
"Mas! Kenapa kamu diem aja?! Jawab aku, Mas! Kamu nggak serius, kan ngomong kayak gitu?" tanya Ariana, hendak meminta sebuah penjelasan. Devan menundukkan kepala, dia berusaha menahan tangisannya. "Ma, aku rasa, itu adalah jalan terbaik yang bisa kita ambil. Aku nggak mau kalo kamu digituin sama Mama. Apa kata dunia kalo aku yang misahin kamu dari keluarga, Ariana? Mas Devan nggak bisa lihat kamu digituin," balas Devan, berusaha menjelaskan opini yang menurutnya cukup masuk akal. Bagaimanapun, Ariana tetap mengelaknya. Dia tidak beranggapan bahwa cara itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. "Mas, udah ya, Mas. Cukup, aku nggak mau dengerin penjelasan kamu lagi. Aku mau kita hidup sama-sama, Mas. Aku nggak mau pisah sama kamu, Mas!" pekik Ariana dengan suara lantang. Wanita itu segera berlalu dari hadapan Devan. Namun, Devan langsung mengejarnya. Percuma saja Devan mencari keberadaan Ariana. Karena pada dasarnya, Ariana adalah sosok wanita yang lincah."Ya Allah! Ariana ke man