"Mas! Kenapa kamu diem aja?! Jawab aku, Mas! Kamu nggak serius, kan ngomong kayak gitu?" tanya Ariana, hendak meminta sebuah penjelasan. Devan menundukkan kepala, dia berusaha menahan tangisannya. "Ma, aku rasa, itu adalah jalan terbaik yang bisa kita ambil. Aku nggak mau kalo kamu digituin sama Mama. Apa kata dunia kalo aku yang misahin kamu dari keluarga, Ariana? Mas Devan nggak bisa lihat kamu digituin," balas Devan, berusaha menjelaskan opini yang menurutnya cukup masuk akal. Bagaimanapun, Ariana tetap mengelaknya. Dia tidak beranggapan bahwa cara itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. "Mas, udah ya, Mas. Cukup, aku nggak mau dengerin penjelasan kamu lagi. Aku mau kita hidup sama-sama, Mas. Aku nggak mau pisah sama kamu, Mas!" pekik Ariana dengan suara lantang. Wanita itu segera berlalu dari hadapan Devan. Namun, Devan langsung mengejarnya. Percuma saja Devan mencari keberadaan Ariana. Karena pada dasarnya, Ariana adalah sosok wanita yang lincah."Ya Allah! Ariana ke man
"Kamu di sini ternyata," balas Devan dengan suara lembut. Ariana hanya menundukkan kepala, dia hendak menarik tangan Devan sambil tersenyum. "Mas, kamu ngapain ke sini? Kamu mau kita baikan dan nggak cerai, kah? Kalo iya, aku bakal seneng banget," ucap Ariana, ia menaruh sebuah harapan kepada lelaki yang dia cintai. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Selama ini, dirinya tidak ingin mengira bila Ariana benar-bener mempercayai dirinya. Alhasil, Devan malah menitikkan air mata. Dia duduk di samping Ariana sambil menangis."Ariana, makasih karena kamu udah percaya sama aku sepenuhnya. Tapi, aku rasa ini nggak baik. Aku selama ini udah banyak membuat kamu susah. Aku juga belum tentu bisa membuat kamu bahagia, Ariana. Tolong, jangan kamu tolak buat cerai sama aku. Daripada kamu nanti kenapa-napa, Ariana," balas Devan dengan suara lirih. "Mas! Kamu itu kenapa, sih?! Kenapa harus bahas hal yang sama?! Aku cuman aku kita berjuang sama-sama! Nggak kayak gini caranya, Mas!" pekik Ariana
Devan menghembuskan nafas panjang, hendak menenangkan pikiran. Setidaknya, dia sudah lega karena satu permasalahan selesai. "Gimana, Van? Kamu siap kerja kan, sekarang? Ayo pergi," ajak Ferel sembari tersenyum. Lelaki itu langsung mengajak Devan tanpa aba-aba. Namun, ketika dirinya pergi ke gudang milik ayahnya. Mereka berdua dikejutkan dengan satu hal tak terduga. "Astaghfirullah, Bapak!" teriak Ferel, ia segera pergi dan menolong ayahnya yang terjatuh ke tanah. Dilihatnya seorang lelaki paruh baya yang tengah terbujur lemah dan bersimbah darah di bagian kaki dan juga tangan. "Nak ..." panggil ayah Ferel, kedua matanya yang lesu ditambah dengan darah yang bersimbah di tangannya, membuat Devan bergidik ngeri. "Bertahanlah, Pak! Bertahan!" pekik Ferel, agaknya lelaki itu terlalu takut dengan apa yang terjadi dengan ayahnya sendiri. Ia buru-buru menoleh ke arah Devan. "Van, tolong panggilin ambulans, ya! Aku mau anterin Bapak ke rumah sakit! SEKARANG!" tegasnya dengan tatapan tajam
Ferel menghembuskan nafas panjang. Ia menoleh ke arah sang ayah yang masih berada di ranjang. "Ferel, apa yang Ayah katakan sama kamu itu benar. Orang yang nabrak Ayah itu bukan orang jahat. Ayah bisa bedain mana yang jahat dan yang enggak. Ayah nggak mikirin itu semua sekarang," ucap ayah Ferel. Ferel menaikkan salah satu alisnya, hendak bertanya, "Terus, Ayah lagi mikirin apa?" tanya lelaki itu dengan wajah kebingungan. "Heum, ini lebih rumit dari yang kamu pikirkan, Ferel. Ayah takut kalo Devan kenapa-napa," ucap sang ayah. "Devan? Memangnya, dia kenapa, Ayah?" "Teman kamu itu, Ayah nggak sengaja pernah mendengarkan pertengkaran dia dengan Istrinya, apa dia baik-baik saja, Ferel? Ayah mohon, kamu harus mencari tahu soal ini," balas sang ayah sembari tersenyum penuh arti. "Oh, iya, aku sudah tahu soal itu. Aku rasa, mereka akan baik-baik saja, Ayah. Selama mereka bertahan dan percaya satu sama lain, aku yakin keadaan mereka akan membaik. Dan perihal kos yang mereka tempati, ak
Devan masih menundukkan kepala, dia tidak mengerti kata apa lagi yang harus dia lontarkan di depan Ariana. "Mas, kamu kok bengong aja, sih?" tanya Ariana, menoleh ke arah Devan dengan wajah curiga. Wanita itu menelan ludah. Apakah perkataanku menyakiti Mas Devan? Hanya pertanyaan itu yang terngiang-ngiang di kepalanya. Detik selanjutnya, Devan menoleh ke Ariana, berusaha memberi pengertian. "Ma, Mama tenang aja, ya. Insya Allah nanti ada jalan keluarnya. Mama istirahat aja dulu, Ayah udah bawa makanan buat Mama sama Vasya," ucap Devan dengan suara lembut. Lelaki itu memberikan kresek hitam berisi makanan yang telah dia beli. Detik selanjutnya, Ariana buru-buru mengambilnya, bukan karena dia ingin segera memakannya. Namun, dia tahu bila suaminya mengalihkan perbincangan. "Mas, kamu nggak kenapa-napa, kan?" tanya wanita itu dengan suara lirih. Devan menggelengkan kepala, bermaksud memberikan ketenangan. "Nggak papa, kok. Kamu tenang aja ya, Sayang," balasnya dengan suara lirih. Ari
Ariana menundukkan kepala, dia berdiam diri di kamarnya dengan perasaan gelisah. Di satu sisi, Devan juga begitu. Lelaki itu mencoba untuk memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Sampai akhirnya, dia melajukan motor ke jalanan, pergi ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, dia mengobrol dengan orang tuanya. "Pak, aku boleh minta tolong sama Bapak?" tanya Devan dengan suara lirih, Fero ber-huh ria, seolah meremehkan lelaki itu. "Mau ngapain kamu ke sini, huh?! Dasar anak gak tahu diri! Dulu udah berani sama aku! Sekarang ke sini malah mau minta bantuan! Dasar anak kurang ajar!" balasnya dengan nada ketus. Deg!Devan merasakan amarahnya memuncak. Kedua tangannya terkepal. "Bentar, Pak! Setalah semua yang Bapak lakuin ke Devan! Bapak nggak pernah merasa bersalah sedikit pun sama Devan, kah?!" bentak lelaki itu dengan suara lantang. "Merasa bersalah?! Buat apa?! Udah kubilang, kan?! Kamu itu anak pungut, Van! Dari kecil sampek besar, kamu itu udah aku rawat! Ngapain aku merasa b
Lili menghembuskan nafas kasar, bagi dirinya, segala ketidak adilan yang terjadi pada Devan harus berakhir."Oke, Buk, Pak! Kalo kalian berdua nggak mau ngasih uang ke Devan! Biar aku aja yang ngasih! Lili nggak butuh orang tua egois dan seenaknya sendiri sama anak-anak mereka!" pekik Lili dengan suara lantang. Ia berjalan ke arah Devan, lalu ia menarik tangan kanan dan menggenggamnya. "Ayo, Devan! Kamu nggak perlu berhubungan sama mereka!" teriak Devan. Lelaki itu merasa bersalah, sekaligus merasa teremehkan. Di hari itu, dia sama sekali tak mengerti bagaimana cara untuk menyelesaikan ini. Namun, dia tak ingin bila permasalahan itu terlalu panjang. Terlebih ini menyangkut hubungan kakak sekaligus kedua orang tua kandungnya. "Mbak, Mbak nggak usah pergi. Aku biar cari sendiri aja," ucap Devan dengan wajah tenang. Lelaki itu menatap sang kakak tanpa keraguan. Deg!"Kamu?! Dengerin Mbak, Devan! Mbak-""Enggak, Mbak. Aku udah memutuskan! Biar aku aja yang cari uangnya sendiri, Mbak ng
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg