Ferel menghembuskan nafas panjang. Ia menoleh ke arah sang ayah yang masih berada di ranjang. "Ferel, apa yang Ayah katakan sama kamu itu benar. Orang yang nabrak Ayah itu bukan orang jahat. Ayah bisa bedain mana yang jahat dan yang enggak. Ayah nggak mikirin itu semua sekarang," ucap ayah Ferel. Ferel menaikkan salah satu alisnya, hendak bertanya, "Terus, Ayah lagi mikirin apa?" tanya lelaki itu dengan wajah kebingungan. "Heum, ini lebih rumit dari yang kamu pikirkan, Ferel. Ayah takut kalo Devan kenapa-napa," ucap sang ayah. "Devan? Memangnya, dia kenapa, Ayah?" "Teman kamu itu, Ayah nggak sengaja pernah mendengarkan pertengkaran dia dengan Istrinya, apa dia baik-baik saja, Ferel? Ayah mohon, kamu harus mencari tahu soal ini," balas sang ayah sembari tersenyum penuh arti. "Oh, iya, aku sudah tahu soal itu. Aku rasa, mereka akan baik-baik saja, Ayah. Selama mereka bertahan dan percaya satu sama lain, aku yakin keadaan mereka akan membaik. Dan perihal kos yang mereka tempati, ak
Devan masih menundukkan kepala, dia tidak mengerti kata apa lagi yang harus dia lontarkan di depan Ariana. "Mas, kamu kok bengong aja, sih?" tanya Ariana, menoleh ke arah Devan dengan wajah curiga. Wanita itu menelan ludah. Apakah perkataanku menyakiti Mas Devan? Hanya pertanyaan itu yang terngiang-ngiang di kepalanya. Detik selanjutnya, Devan menoleh ke Ariana, berusaha memberi pengertian. "Ma, Mama tenang aja, ya. Insya Allah nanti ada jalan keluarnya. Mama istirahat aja dulu, Ayah udah bawa makanan buat Mama sama Vasya," ucap Devan dengan suara lembut. Lelaki itu memberikan kresek hitam berisi makanan yang telah dia beli. Detik selanjutnya, Ariana buru-buru mengambilnya, bukan karena dia ingin segera memakannya. Namun, dia tahu bila suaminya mengalihkan perbincangan. "Mas, kamu nggak kenapa-napa, kan?" tanya wanita itu dengan suara lirih. Devan menggelengkan kepala, bermaksud memberikan ketenangan. "Nggak papa, kok. Kamu tenang aja ya, Sayang," balasnya dengan suara lirih. Ari
Ariana menundukkan kepala, dia berdiam diri di kamarnya dengan perasaan gelisah. Di satu sisi, Devan juga begitu. Lelaki itu mencoba untuk memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Sampai akhirnya, dia melajukan motor ke jalanan, pergi ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, dia mengobrol dengan orang tuanya. "Pak, aku boleh minta tolong sama Bapak?" tanya Devan dengan suara lirih, Fero ber-huh ria, seolah meremehkan lelaki itu. "Mau ngapain kamu ke sini, huh?! Dasar anak gak tahu diri! Dulu udah berani sama aku! Sekarang ke sini malah mau minta bantuan! Dasar anak kurang ajar!" balasnya dengan nada ketus. Deg!Devan merasakan amarahnya memuncak. Kedua tangannya terkepal. "Bentar, Pak! Setalah semua yang Bapak lakuin ke Devan! Bapak nggak pernah merasa bersalah sedikit pun sama Devan, kah?!" bentak lelaki itu dengan suara lantang. "Merasa bersalah?! Buat apa?! Udah kubilang, kan?! Kamu itu anak pungut, Van! Dari kecil sampek besar, kamu itu udah aku rawat! Ngapain aku merasa b
Lili menghembuskan nafas kasar, bagi dirinya, segala ketidak adilan yang terjadi pada Devan harus berakhir."Oke, Buk, Pak! Kalo kalian berdua nggak mau ngasih uang ke Devan! Biar aku aja yang ngasih! Lili nggak butuh orang tua egois dan seenaknya sendiri sama anak-anak mereka!" pekik Lili dengan suara lantang. Ia berjalan ke arah Devan, lalu ia menarik tangan kanan dan menggenggamnya. "Ayo, Devan! Kamu nggak perlu berhubungan sama mereka!" teriak Devan. Lelaki itu merasa bersalah, sekaligus merasa teremehkan. Di hari itu, dia sama sekali tak mengerti bagaimana cara untuk menyelesaikan ini. Namun, dia tak ingin bila permasalahan itu terlalu panjang. Terlebih ini menyangkut hubungan kakak sekaligus kedua orang tua kandungnya. "Mbak, Mbak nggak usah pergi. Aku biar cari sendiri aja," ucap Devan dengan wajah tenang. Lelaki itu menatap sang kakak tanpa keraguan. Deg!"Kamu?! Dengerin Mbak, Devan! Mbak-""Enggak, Mbak. Aku udah memutuskan! Biar aku aja yang cari uangnya sendiri, Mbak ng
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a