Halo semuanya, makasih banyak sudah mampir di novel ini. Alhamdulillah, setelah saya bertarung dengan penyakit saya. Akhirnya saya kembali sehat seperti sedia kala. Terima kasih sekali lagi ☺️
Deg!Ariana mencoba menenangkan diri. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh sang ibu memang tidak salah. Namun, mengingat semua perjuangan suaminya dari yang buruk lalu berubah menjadi sosok yang baik. Itu saja sudah membuat hatinya luluh. "Bu, mohon maaf sebelumnya. Ariana pikir, Mas Devan sudah mulai berubah menjadi orang yang baik. Jadi, aku rasa, kita tidak perlu bercerai," balas Ariana sembari tersenyum. Wanita itu mencoba membuat sang ibu mengerti. "Apa katamu tadi, Ariana?! Kamu sudah berani membohongi Ibu?! Dari mananya kamu hidup tenang, Ariana?! Udah dua kali kamu pulang ke rumah sambil ngemis-ngemis supaya kamu diceraikan sama Mas Devan! Sekarang?! Kok kamu berubah pikiran secepat itu?!" tanya sang ibu dengan suara lantang. Ariana langsung menundukkan kepala, dia tidak mengerti, kalimat apa yang harus dia lontarkan untuk menjawab pertanyaan sang ibu. Dirinya diliputi oleh rasa malu, bersalah, dan juga rasa kesal terhadap dirinya sendiri. "Bu, Ariana bener-bener minta maaf.
Ariana menghembuskan nafas panjang. Dia tidak ingin melihat sosok perempuan di hadapannya berlagak bak seseorang yang memiliki nyali besar untuk menantangnya. "Ariana, dengerin penjelasan Mbak dulu. Kamu nggak ngerti apa-apa soal Mas Devan, kan? Tolong, kamu harusnya ngerti gimana perasaan Mbak, Dek. Demi apapun, Mas Devan itu udah berubah jadi orang yang lebih baik," ucap Ariana dengan suara lirih. Ia berusaha membela sang suami.Tita menghela nafas panjang, ia ber-huh ria setelah mendengar jawaban dari sang kakak. "Fine, aku ngerti sekarang. Jadi, Kakak lebih milih buat ngeladenin Mas Devan, kan? Oke, Mbak! Kalo gitu! Jangan harap aku bakalan mau bantu kamu lagi setelah ini!" pekik Tita dengan suara lantang. Wanita itu merasa kesal, dia sama sekali tak menyangka bila sang kakak akan melakukan hal ini kepadanya. "Dek, kamu bisa berpikir dengan tenang nggak sih, Dek? Kakak yang lebih tahu gimana gimana perubahan Mas Devan, bukan kamu." Ariana mencoba membela sang suami."Terserah a
"Mas! Kenapa kamu diem aja?! Jawab aku, Mas! Kamu nggak serius, kan ngomong kayak gitu?" tanya Ariana, hendak meminta sebuah penjelasan. Devan menundukkan kepala, dia berusaha menahan tangisannya. "Ma, aku rasa, itu adalah jalan terbaik yang bisa kita ambil. Aku nggak mau kalo kamu digituin sama Mama. Apa kata dunia kalo aku yang misahin kamu dari keluarga, Ariana? Mas Devan nggak bisa lihat kamu digituin," balas Devan, berusaha menjelaskan opini yang menurutnya cukup masuk akal. Bagaimanapun, Ariana tetap mengelaknya. Dia tidak beranggapan bahwa cara itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. "Mas, udah ya, Mas. Cukup, aku nggak mau dengerin penjelasan kamu lagi. Aku mau kita hidup sama-sama, Mas. Aku nggak mau pisah sama kamu, Mas!" pekik Ariana dengan suara lantang. Wanita itu segera berlalu dari hadapan Devan. Namun, Devan langsung mengejarnya. Percuma saja Devan mencari keberadaan Ariana. Karena pada dasarnya, Ariana adalah sosok wanita yang lincah."Ya Allah! Ariana ke man
"Kamu di sini ternyata," balas Devan dengan suara lembut. Ariana hanya menundukkan kepala, dia hendak menarik tangan Devan sambil tersenyum. "Mas, kamu ngapain ke sini? Kamu mau kita baikan dan nggak cerai, kah? Kalo iya, aku bakal seneng banget," ucap Ariana, ia menaruh sebuah harapan kepada lelaki yang dia cintai. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Selama ini, dirinya tidak ingin mengira bila Ariana benar-bener mempercayai dirinya. Alhasil, Devan malah menitikkan air mata. Dia duduk di samping Ariana sambil menangis."Ariana, makasih karena kamu udah percaya sama aku sepenuhnya. Tapi, aku rasa ini nggak baik. Aku selama ini udah banyak membuat kamu susah. Aku juga belum tentu bisa membuat kamu bahagia, Ariana. Tolong, jangan kamu tolak buat cerai sama aku. Daripada kamu nanti kenapa-napa, Ariana," balas Devan dengan suara lirih. "Mas! Kamu itu kenapa, sih?! Kenapa harus bahas hal yang sama?! Aku cuman aku kita berjuang sama-sama! Nggak kayak gini caranya, Mas!" pekik Ariana
Devan menghembuskan nafas panjang, hendak menenangkan pikiran. Setidaknya, dia sudah lega karena satu permasalahan selesai. "Gimana, Van? Kamu siap kerja kan, sekarang? Ayo pergi," ajak Ferel sembari tersenyum. Lelaki itu langsung mengajak Devan tanpa aba-aba. Namun, ketika dirinya pergi ke gudang milik ayahnya. Mereka berdua dikejutkan dengan satu hal tak terduga. "Astaghfirullah, Bapak!" teriak Ferel, ia segera pergi dan menolong ayahnya yang terjatuh ke tanah. Dilihatnya seorang lelaki paruh baya yang tengah terbujur lemah dan bersimbah darah di bagian kaki dan juga tangan. "Nak ..." panggil ayah Ferel, kedua matanya yang lesu ditambah dengan darah yang bersimbah di tangannya, membuat Devan bergidik ngeri. "Bertahanlah, Pak! Bertahan!" pekik Ferel, agaknya lelaki itu terlalu takut dengan apa yang terjadi dengan ayahnya sendiri. Ia buru-buru menoleh ke arah Devan. "Van, tolong panggilin ambulans, ya! Aku mau anterin Bapak ke rumah sakit! SEKARANG!" tegasnya dengan tatapan tajam
Ferel menghembuskan nafas panjang. Ia menoleh ke arah sang ayah yang masih berada di ranjang. "Ferel, apa yang Ayah katakan sama kamu itu benar. Orang yang nabrak Ayah itu bukan orang jahat. Ayah bisa bedain mana yang jahat dan yang enggak. Ayah nggak mikirin itu semua sekarang," ucap ayah Ferel. Ferel menaikkan salah satu alisnya, hendak bertanya, "Terus, Ayah lagi mikirin apa?" tanya lelaki itu dengan wajah kebingungan. "Heum, ini lebih rumit dari yang kamu pikirkan, Ferel. Ayah takut kalo Devan kenapa-napa," ucap sang ayah. "Devan? Memangnya, dia kenapa, Ayah?" "Teman kamu itu, Ayah nggak sengaja pernah mendengarkan pertengkaran dia dengan Istrinya, apa dia baik-baik saja, Ferel? Ayah mohon, kamu harus mencari tahu soal ini," balas sang ayah sembari tersenyum penuh arti. "Oh, iya, aku sudah tahu soal itu. Aku rasa, mereka akan baik-baik saja, Ayah. Selama mereka bertahan dan percaya satu sama lain, aku yakin keadaan mereka akan membaik. Dan perihal kos yang mereka tempati, ak
Devan masih menundukkan kepala, dia tidak mengerti kata apa lagi yang harus dia lontarkan di depan Ariana. "Mas, kamu kok bengong aja, sih?" tanya Ariana, menoleh ke arah Devan dengan wajah curiga. Wanita itu menelan ludah. Apakah perkataanku menyakiti Mas Devan? Hanya pertanyaan itu yang terngiang-ngiang di kepalanya. Detik selanjutnya, Devan menoleh ke Ariana, berusaha memberi pengertian. "Ma, Mama tenang aja, ya. Insya Allah nanti ada jalan keluarnya. Mama istirahat aja dulu, Ayah udah bawa makanan buat Mama sama Vasya," ucap Devan dengan suara lembut. Lelaki itu memberikan kresek hitam berisi makanan yang telah dia beli. Detik selanjutnya, Ariana buru-buru mengambilnya, bukan karena dia ingin segera memakannya. Namun, dia tahu bila suaminya mengalihkan perbincangan. "Mas, kamu nggak kenapa-napa, kan?" tanya wanita itu dengan suara lirih. Devan menggelengkan kepala, bermaksud memberikan ketenangan. "Nggak papa, kok. Kamu tenang aja ya, Sayang," balasnya dengan suara lirih. Ari
Ariana menundukkan kepala, dia berdiam diri di kamarnya dengan perasaan gelisah. Di satu sisi, Devan juga begitu. Lelaki itu mencoba untuk memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Sampai akhirnya, dia melajukan motor ke jalanan, pergi ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana, dia mengobrol dengan orang tuanya. "Pak, aku boleh minta tolong sama Bapak?" tanya Devan dengan suara lirih, Fero ber-huh ria, seolah meremehkan lelaki itu. "Mau ngapain kamu ke sini, huh?! Dasar anak gak tahu diri! Dulu udah berani sama aku! Sekarang ke sini malah mau minta bantuan! Dasar anak kurang ajar!" balasnya dengan nada ketus. Deg!Devan merasakan amarahnya memuncak. Kedua tangannya terkepal. "Bentar, Pak! Setalah semua yang Bapak lakuin ke Devan! Bapak nggak pernah merasa bersalah sedikit pun sama Devan, kah?!" bentak lelaki itu dengan suara lantang. "Merasa bersalah?! Buat apa?! Udah kubilang, kan?! Kamu itu anak pungut, Van! Dari kecil sampek besar, kamu itu udah aku rawat! Ngapain aku merasa b