"Ferel! Kayaknya, kamu nggak perlu cari informasi lagi soal Adnan," ucap Devan sembari tersenyum. Ferel menoleh ke arah Devan dengan wajah keheranan. "Heum, kenapa?" tanya Ferel, dia penasaran dengan apa yang terjadi kepada Devan. "Aku udah baikan sama Istri dan anakku, Ferel. Jadi, kita berdua udah mulai dari awal lagi sekarang. Doain aja biar semuanya baik, ya. Soal Adnan, biarin aja udah," balas Devan sembari tersenyum. Lelaki itu menganggukkan kepalanya."Oalah, jadi gitu. Selamat ya, yang udah baikan. Aku ikut seneng dengernya," kata Ferel. "Heum, iya, Rel. Makasih banyak, ya. Ini semua nggak bakal terjadi kalo kamu nggak bantuin aku," balas Devan dengan sembari tersenyum. Ferel menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bantuanku? Nggak, dong, Van. Aku cuman buka jalannya aja, semua itu kan kembali ke kamunya sendiri, hahaha." "Iya, aku ngerti. Tapi, itu semua nggak bakalan terjadi kalo kamu nggak bantuin aku. Jadi, aku bener-bener berterima kasih banyak sama kamu," ucap Devan.
"Van! Kamu jangan gerak ke mana-mana dulu, ada temen aku yang bisa aku ajak kerja sama, jangan khawatir!"Devan membaca sebaris pesan yang membuatnya tenang. Di satu sisi, Ferel segera pergi dan berpamitan kepada sang bapak. Setelahnya, dia pergi ke jalanan, memberikan komando kepada teman-temannya. "Ya, Ferel?" "Kita harus ke daerah Cikarang, kamu ngerti, kan? Jangan lupa, bawa anak-anak yang lain! Pastikan kali ini kita berhasil!""Oh! Baguslah! Sasaran polisi yang hilang selama lima tahun itu! Mereka-"Percakapan itu semakin dalam, hingga pada akhirnya. Entah apa yang terjadi, sampai akhirnya, dia menghentikan motornya. Tangan kanannya mengambil sebuah foto yang selama ini dia simpan di dalam sakunya. "Mama tenang aja, aku di sini bakal usahain itu. I love you, Mom," ucap Ferel, ia mencium foto seorang perempuan paruh baya yang tengah menggendong seorang bocah berusia enam tahun."Malam ini!" batin Ferel. ******Ferel kembali fokus ke jalanan, lalu, tak lama kemudian, dua orang
Selamat malam, semuanya. Mohon maaf sebelumnya, ya. Sepertinya Author ingin libur dulu, soalnya kondisinya semakin memburuk. Terima kasih untuk semua orang yang masih membaca ini. Saya akan berusaha agar bab selanjutnya, saya buat besok. Untuk hari ini, saya ingin lebih fokus untuk kesehatan saya. Apabila ada kekurangan dalam kisah ini, saya mohon maaf, ya. Sekali lagi, terima kasih karena telah membaca dan mengikuti kisah ini hingga bab ini. Saya merasa senang karena ini. Terim kasih dan mohon maaf sekali lagi, semuanya. :)Saya berharap, kalian semua menjaga kondisi kalian, ya. Selamat malam, semoga kalian selalu diberi kesehatan, Aamiin. Selamat malamSalam hormatAuthor, Repetition
Suara langkah berderap, memenuhi segala penjuru ruangan. Sunyi, senyap, dan seolah tak ada tanda kehidupan. Semuanya membisu untuk sesaat. "Van, kamu jalan ke arah utara aja, aku bakalan ke selatan. Bawa temanmu satu sama aku," ucap Luteas dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Ferel dengan tatapan tajam. "Oke, Pak. Hati-hati, ya," balas Ferel dengan nada rendah. Mereka segera bergerak ke arah masing-masing. Ferel berjalan dengan tatapan ragu. Dio yang berjalan di belakang Ferel, mendapati sebuah peluru tergeletak di salah satu lorong panjang yang mereka lewati. "Stop, Rel. Lihat, di sini ada peluru," kata Dio, ia mengambil peluru di depannya dan memberikannya kepada Ferel. "Astaga, ini gila, Dio. Apa mereka berusaha menembak Vasya sama keluarganya?" tanya Ferel, ia menaikkan salah satu alisnya ke atas. Dio menggelengkan kepala, lalu menelan ludah, "Heum, bisa jadi. Ayo," balas Dio. Ferel dan Dio segera berangkat ke ruangan lain. Mereka merapalkan doa untuk menjaga diri. Tak lam
"Itu semua kembali ke kamu, Dio! Oh iya, bangunkan temanmu itu! Dasar!" teriak Bobi dengan suara lantang. Ia menaruh tangan kanannya ke atas pinggang. Deg!"Ferel! Ferel bangun!" Dio sesekali menendang kaki Ferel secara perlahan. Ferel seketika terbangun, pandangannya kabur. Tangan kanannya ia gunakan untuk memijit keningnya. "Kita di mana, Dio?!" tanya Ferel. Lelaki itu mencoba berdiri, namun, karena kondisinya yang lemah, dia terjatuh. Bug!"Hahaha! Bangun juga nih si tengil! Sekarang, Lo udah ada di sini, Ferel! Lo ngerti, kan?! Ini Gue! Bobi! Lo pasti masih inget masa lalu kita kan, Rel?!" tanya Bobi dengan suara lantang, ia menarik kerah baju lelaki itu. Kedua mata mereka saling bertatapan. "Bobi?! Wah! Seru juga ketemu Lo di sini, Bob!" jawab Ferel, ia menatap kedua matanya dengan tatapan tajam, sekalipun dia masih terasa pusing. "Ck! Diem! Lo sekarang nggak aman, Rel! Lo harus ikut kata-kata Gue kalo mau selamat!" "Bang***! Kalo Lo ada urusan sama Gue! Lo harusnya selesai
“Di mana yang lainnya?” tanya Luteas, dia mengedarkan pandangan ke segala arah karena tak ada satupun orang di sana. “Tunggu, Jenderal Luteas. Aku rasa, aku tadi mendengar jeritan seseorang. Dan aku rasa, jeritan itu berasal dari ruangan yang ada di sana,” jawab salah satu polisi dengan senapan panjanganya. Dia menunjuk ke salah satu ruangan yang tertutup rapat. “Heum, apa kau yakin mereka ada di sana, Gilang?” Jenderal Luteas menaikkan salah satu alisnya. Ia menatap kedua mata Gilang dengan tatapan tajam. “Coba perhatikan ini, Jenderal Luteas. Lihat, di sini memang ada beberapa tanda berwarna merah yang menjadi salah satu indikasi keberadaan mereka,” Gilang memperlihatkan sebuah layar berwarna hitam yang menunjukkan sebuah titik merah. Jenderal Luteas menganggukkan kepala, tanda bahwa dia mengerti dengan jelas apa yang dimaksud oleh anak buahnya. “Ya sudah, tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana. Tapi, beberapa orang harus tetap berjaga dan mencari di ruangan yang berbeda. K
Vasya yang masih berada di pelukan sang ayah, seketika menoleh sebentar. Ia mengamati bagaimana jati dirinya dibuat menderita ketika melihat sosok Bobi. "Ayah, aku takut sama dia, Ayah. Jangan jauh-jauh dari aku ya, Yah." Vasya memeluk sang ayah dengan wajah ketakutan. Nalarnya tak sanggup menyuarakan kata nestapa. "Udah, Sayang. Kamu bakalan baik-baik aja, kok. Jangan takut, ya. Ada Ayah di sini," ucap Devan dengan wajah resah. Dia menggendong sang anak sambil membawanya keluar dari tempat itu. Ariana yang masih berada di sana, seketika ikut ke luar. Ia hendak memarahi sang suami karena dirinyalah yang menyebabkan semua ini terjadi."Ayah lihat, kan?! Apa yang udah Ayah lakukan, ha?! Jangan bertindak bodoh makanya! Punya temen itu dilihat-lihat dulu! Udah tahu aku ini orangnya gampang nderedeg! Kamu mau aku jantungan terus mati, Yah?!" Ariana memberontak kepada Devan. Ia merebut sang anak dari rangkulannya. Setelah itu, dia langsung pergi ke luar. Tersisa Devan seorang diri, dia h
"Ya, Ma?" tanya Vasya dengan suara lirih. "Kamu bisa keluar sebentar, Nak? Ayah sama Mama mau ngomong sesuatu sama kamu," balas Ariana. Ia membuka pintu dan melihat sosok Vasya. "Iya, Ma. Mama mau ngomong apa?" tanya Vasya. Ia segera pergi ke luar dan menyambut kedua orang tuanya. "Ayo, ikut Mama dulu," balas Ariana. Vasya menganggukkan kepala pelan, ia berjalan pergi ke sebuah ruangan lengang. Devan dan Ariana saling melempar pandangan satu sama lain. Keduanya bingung harus menjelaskan apa ke Vasya."Vasya, kamu di sekolah gimana, Nak?" tanya Ariana. "Hah? Mama kok nanya itu? Kenapa? Vasya di sekolah baik-baik aja kok, Ma. Ada apa?" tanya Vasya, sebagai sosok anak, dia termasuk tipikal anak yang mudah mengatakan semua hal dengan mudah. "Oh, Alhamdulillah kalo gitu. Oh iya, Mama sama Ayah mau kasih tahu kamu sesuatu. Sebenernya, Mama sama Ayah udah nyimpen ini dari lama. Heum, gini, Nak. Kamu nggak papa kalo kita bertiga pindah ke luar kota? Kamu tahu sendiri, kan? Gimana rasanya