Dewi mengguncang bahu Aliyah kuat.
“Mbak ... sadar mbak!” Saking kuatnya, membuat Aliyah menjadi pusing dan memegang kepalanya. “Dewi stop!” “Maaf Mbak, tapi ini harus Dewi lakuin supaya Mbak sadar.” Dengan serius mengarahkan Aliyah untuk menatap matanya, “Mbak Aliyah, dengar ya ... Suami mbak itu incaran banyak wanita!” Dewi mengucapkannya dengan tegas dan penuh penekanan. Melihat dengan sangat prihatin pada Aliyah. “Mbak harus pegang erat-erat, kalau sampai lepas dikit aja ...” Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya. Aliyah tertawa lucu, balas menatap Dewi dengan serius, memberikan pengertian kepada asistennya itu. “Dewi, kamu gak tau dibalik kehebatan pria itu, dia punya banyak banget banget banget ...! Kekurangan!” Melihat kembali pada cermin besar didepannya, Aliyah merentangkan jari tangan kanannya. Jari-Jari lentik wanita itu terlihat indah dengan warna merah muda yang lembut. Kukunya terpotong dengan rapi, dihiasi dengan nail art yang cantik. “Dewi ... kamu dengerin baik-baik ya ...” Aliyah mulai menarik napas panjang. “Satu, Mas Bram itu udah tua! 30 tahun! Sedangkan aku? Aku masih 23 tahun, disini aja aku udah rugi besar. Aku udah gak ketemu dia 3 tahun, siapa tau, rambutnya sekarang udah penuh uban kan?” Aliyah melihat dengan seksama pada wajah Dewi yang terpantul di cermin depannya. Hai, ada apa dengan reaksi tercengang itu? Dengan bersemangat, Aliyah mulai mengucapkan segala kekurangan suami crazy rich nya itu. “Dua, Mas Bram gak tergoda dengan wanita muda dan secantik aku. Kamu tau gak, malam pernikahan tiga tahun lalu, dia cuma lihat aku dengan dingin, lalu pergi gitu aja.” “Tiga, Mas Bram itu punya keluarga yang toxic, dia aja lari ke Amerika!” “Empat, Mas Bram itu punya sindrom yang aku gak tau namanya, yang jelas otot-otot wajahnya kaku. Gak pernah senyum sedikitpun.” “Lima, bentar ... aku minum dulu.” Aliyah menarik napas panjang sejenak, meneguk air mineral yang tersedia di meja rias itu. “Lima, Mas Bram itu warkaholic! Dan menurut penelitian, aku gak ingat penelitian siapa, orang yang over kerja itu cepat matinya. Ngeri gak tuh, apalagi dia jauh lebih tua dari aku, kalau sampai aku ngejanda di umur 30 an itu bahaya banget, nanti gak ada yang mau sama janda kayak aku ... mending dari sekarangkan?” “Terakhir! Ini yang paling urgent! Dicurigai besar dia itu seorang GAY!” ucap Aliyah dengan membara. Rahang Dewi terjatuh mendengar semua penjabaran majikannya itu. Melihat pada Aliyah dengan tercengang, sirkuit otak sang model legendaris itu tampaknya berbeda dengan spesies normal. “Ayo kita makan, kamu harus butuh asupan yang besar, setelah menerima fakta yang mengejutkan ini.” Dengan cepat Aliyah menggandeng tangan Dewi, menariknya menuju lift, lalu menekan lantai bawah. Mereka sampai di parkiran mobil yang ada depan lobi apartemen itu. “Aliyah ...” Suara seorang lelaki terdengar dari belakang mereka. Mereka sontak melihat ke belakang. Terlihat Jery, aktor yang menjadi lawan main Aliyah sebelumnya tengah berdiri disana, didepan pintu utama villa lokasi syuting kali ini. Aliyah bertanya segera, “Iya, ada apa?” Jery mendekati wanita itu, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan sedikit gugup. “Hmm ... boleh minta nomor hp kamu?” tanya Jery dengan sedikit gugup. Wajah Dewi berubah seketika, melihat dengan kesal pada Jery. Berpikir, sepertinya akan ada bibit pebinor yang lainnya. “Pak Bram ... Istrimu itu wanita idaman cowok-cowok, kenapa kamu anggurin sampai sekarang?” pikir Dewi dengan prihatin. Aliyah berpikir sebentar, apakah akan memberikannya atau tidak. Selama ini, banyak yang mengganggunya lewat pesan chat. Melihat keraguan pada Aliyah, Jery berkata segera, “Ada yang mau aku tanyain tentang adegan antara kita berikutnya, jadi ... biar aku lebih mudah hubungi kamu. Tapi kalau kamu keberatan juga gak papa.” Mendengar alasan yang masuk akal, Aliyah menyetujui. “Oke.” Wanita itu membuka ponselnya, dan memberikan kode QR kontaknya kepada Jery. Jery tersenyum senang, dengan cepat menscan kode itu segera. “Makasih ya ...” ucap pria itu kemudian. “Sama-sama, kalau gitu aku pergi dulu.” balas Aliyah lalu menarik tangan Dewi. “Kebetulan aku bawa mobil, aku bisa anterin kalian? Kalian mau kemana?” tanya Jery segera. Dewi yang sebelumnya menahan sikap, dan berusaha abai, sekarang mengerutkan kening secara terang-terangan. “Maaf ya, Kak Jery. Kalau misalnya kami nebeng, siapa yang tanggung jawab kalau sampai paparazi tau?” Aliyah menarik tangan Dewi yang terlihat marah, “Makasih Kak, Aliyah Kebetulan dijemput supir juga. Kalau gitu kami duluan ya.” Aliyah segera menarik Dewi, yang masih ingin mengatakan sesuatu kepada pria itu. “Udah, udah. Dia itu rekan kerja aku, kalau dia tersinggung nanti kerja kami jadi gak profesional lagi,” bisik Aliyah pada Dewi sambil berjalan. Ia khawatir dengan kebiasaan Dewi yang menghalau para laki-laki darinya. Aliyah kadang mencurigai ia sebagai mata-mata dari suaminya. Tapi itu gak mungkin! Sangat mustahil! Dewi cemberut kesal, “Mbak, jelas aja dia suka sama Mbak.” Dewi bukannya iri, tapi ia hanya ingin menyelamatkan Aliyah dari godaan para lelaki yang penuh tipuan. Apalagi artisnya itu saat ini tengah rentan dengan suaminya. Masih juga belum sadar bahwa ia telah beruntung memiliki suami yang merupakan impian semua gadis- Bramie Atmaja, seorang pengusaha paling kaya saat ini. Mereka masuk ke sebuah mobil hitam yang terpakir tidak jauh disana. “Wah ... Mbak, mobil baru lagi?” Dewi terpana dengan mobil mewah yang memiliki desain futuristik dan kilau metalik yang begitu menggoda itu. Lampu LED-nya berkilau seperti bintang, dan interior kulitnya yang mewah membuatnya terasa seperti ruang pribadi di dalam istana. Orang-orang melihatnya seolah-olah seperti sebuah karya seni bergerak, sebuah simbol kemewahan yang menyilaukan. “Hmm ... Mas Bram yang kirim.” Wanita itu mengedarkan pandangan ke seluruh interior mobil. Patut menjadi mobil mahal dengan edisi terbatas. Aliyah mulai meraba pada jok kulit halus yang berkualitas tinggi, disekat dengan panel kayu mahoni sukses menciptakan suasana yang istimewa. Sementara itu, layar sentuh canggih memberikan kendali atas berbagai fitur tersedia di setiap sudut limusin itu. Dengan kaca privasi elektronik yang dapat disesuaikan, penumpang dapat menikmati pemandangan atau menjaga privasi, sementara ruang kaki yang lega dan fasilitas makan yang mewah memberikan kenyamanan terbaik. Selalu seperti itu, tidak ada kabar, tidak ada pembicaraan antara mereka, tapi Bram tidak pernah lupa memberikan uang dan materi yang berlimpah. “Pak, kapan mobilnya datang?” tanya Aliyah pada pak Tomo- supir pribadinya. Pak Tomo tersenyum bahagia, walaupun bukan miliknya, tapi kan mobil itu akan dikendarai olehnya. “Kayaknya 2 jam yang lalu, Non. Ini tadi mas Arka yang suruh saya jemput Nona pakai mobil ini,” jawab Pak Tomo dari kaca spion. Arka adalah asisten pribadi yang menjadi tangan kanan Bram di Indonesia. Aliyah tersenyum senang, bukan karena bahagia mendapat mobil mahal itu. Tapi karena salah satu rencananya sukses dijalankan. Menjadi wanita penghisap kekayaan dari Bramie Atmaja! “Rasain! Siapa suruh gak ceraiin aku! Mwehehe ...” bisik Aliyah yang masih terdengar oleh Dewi. Dewi menggelengkan kepala frustasi. “Dewi, saran dong aku harus minta apa lagi sama Mas Bram?” Dewi berkedip beberapa kali, “Mbak ... Otak Dewi gak nyampe sama semua kemewahan ini.” “Kalau aku minta dia buatin Disneyland untuk aku gimana?”Sesampainya di sebuah restoran terkenal, pak Tomo segera membukakan pintu belakang dengan hormat.“Aliyah bisa sendiri kok, Pak.” Ucap Aliyah lembut pada Pak Tomo.“Gak papa, Non. Ini kan tugas bapak.”Masuk ke restoran itu, seorang pelayan telah menunggu disana.“Selamat datang nyonya Atmaja, meja reservasi anda ada di lantai 27, kami telah menyiapkan makan malam mewah untuk anda.”Aliyah menganggukkan kepala tanpa ekspresi. Kali ini ia dengan sengaja memesan makan malam khusus di Bianca Restorant. Restoran kelas atas itu hanya menerima lima reservasi setiap harinya. Jika ada anggota VVIP yang membooking khusus, mereka hanya menerima satu pada hari itu.“Silahkan dinikmati Nyonya,” ucap seorang pelayan dengan sopan.Sebagai seorang nyonya Atmaja, sudah menjadi kewajiban Aliyah untuk menghabiskan uang seperti air mengalir.Dewi yang sudah lama di hantam dengan berbagai kemewahan, sejak bekerja sebagai asisten artis dari Aliyah, kini dapat dengan lancar memasang wajah datar.
“AH …” pekik Aliyah keras, tubuhnya terpaku karena kejutan yang tiba-tiba ini.Kontak gaib itu tiba-tiba mengirimkan pesan. Dugaannya yang selama ini mengira bahwa kontaknya telah diblokir ternyata salah.Bola mata bewarna hazelnya yang indah melebar, mulutnya ternganga cantik, dan dengan syok tanpa sengaja ponsel barunya itu terlepas dari genggamannya.Dengan kalang kabut Aliyah menjulurkan tangan, tapi sayangnya ia gagal menjangkau, wanita itu sontak menarik napas tertahan saat akhirnya mendengar suara renyah dari pantulan ponsel yang mencium lantai.Untuk sesaat dunia hening sejenak. Dan ia pun tersadar dari lamunanya, “Astaga …” seru Aliyah panik, berlutut di depan ponsel itu dan segera mengambilnya. Napasnya memburu karena syok. Bagaimana tidak!Ini pertama kalinya setelah 3 tahun mereka menikah, Bram mengirimkan pesan secara pribadi. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, jangankan pesan! Aliyah sendiri bisa menghitung dengan jarinya berapa banyak kata yang pernah ia
Bram mengangkat wajahnya dari ipad di pangkuannya. Melihat pada wanita yang sudah tiga tahun tak dilihatnya. Wanita itu sepertinya telah banyak berubah.Gadis pendiam berumur 20 tahun yang dinikahinya dulu, kini terlihat semakin menarik dan cantik. Wajah lembutnya bak malaikat yang membawa penenangan, bibir tipis bewarna pink merah itu terlihat basah dan lembut, bagai embun di pagi hari yang membawa kelembapan.Mata yang membulat karena terkejut itu, terlihat jernih mencerminkan dunia yang indah.Tanpa ekspresi berarti di wajahnya, Bram mengalihkan pandangan.Aliyah masih terpaku melihat pada sosok pria yang terlihat sangat, sangat, sangat jauh dari perkiraannya.Dimana kepala putih yang penuh dengan uban itu? Apakah ini masih Bramie Atmaja, suaminya yang menghilang selama tiga tahun dengan alasan membangun pasar di Amerika?Kenapa ia masih terlihat sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu? “Mas Bram … Aliyah gak nyangka! Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, mas Bram pula
Tubuh Aliyah kaku dan matanya membelalak terkejut.Ini bukan reaksi yang seharusnya!Tanpa Aliyah sadari, sudut bibir Bram naik ke atas saat merasakan tubuh lembut yang bersandar disampingnya, kini terasa kaku dan tegang.Hampir 15 menit lamanya perjalanan, dan Aliyah bisa merasakan bahwa Bram tertidur disampingnya. "Mas Bram?!" "Mas?"Aliyah memanggil berulang kali, tapi tak juga mendapatkan jawaban. Melihat itu, dengan lembut ia menarik tangannya keluar dari cengkeraman jemari pria itu.Aliyah mengusap pada posisi jantung yang berdetak tak karuan."Jantung ... plis calm down!" lirihnya kecil."Ekhm ..." deheman Bram terdengar tak lama setelah itu.Aliyah terkejut dan dengan spontan berkata, "Mas Bram kayaknya kelelahan deh, kalau Mas mau kita pulang aja, nanti Aliyah bantu pijitin Mas. Gimana?"Suasana hening seketika. Aliyah terpaku dan dalam sepersekian detik ia memejamkan matanya dengan kesal, merasa menyesal setelah mengatakan itu.Bagaimana mungkin mulutnya dengan spontan me
Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu. Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumah
Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe