Beranda / Romansa / Aku Mau Cerai, Mas! / Bab 3 Pesan Pertama Setalah Tiga Tahun

Share

Bab 3 Pesan Pertama Setalah Tiga Tahun

Sesampainya di sebuah restoran terkenal, pak Tomo segera membukakan pintu belakang dengan hormat.

“Aliyah bisa sendiri kok, Pak.” Ucap Aliyah lembut pada Pak Tomo.

“Gak papa, Non. Ini kan tugas bapak.”

Masuk ke restoran itu, seorang pelayan telah menunggu disana.

“Selamat datang nyonya Atmaja, meja reservasi anda ada di lantai 27, kami telah menyiapkan makan malam mewah untuk anda.”

Aliyah menganggukkan kepala tanpa ekspresi. Kali ini ia dengan sengaja memesan makan malam khusus di Bianca Restorant.

Restoran kelas atas itu hanya menerima lima reservasi setiap harinya. Jika ada anggota VVIP yang membooking khusus, mereka hanya menerima satu pada hari itu.

“Silahkan dinikmati Nyonya,” ucap seorang pelayan dengan sopan.

Sebagai seorang nyonya Atmaja, sudah menjadi kewajiban Aliyah untuk menghabiskan uang seperti air mengalir.

Dewi yang sudah lama di hantam dengan berbagai kemewahan, sejak bekerja sebagai asisten artis dari Aliyah, kini dapat dengan lancar memasang wajah datar.

Mengikuti teladan Aliyah, ia bisa menyesuaikan diri, melihat dengan datar terhadap semua pelayanan kelas atas.

Musik mulai mengalun dengan lembut, instrumen biola klasik yang sangat disukai Aliyah terdengar menenangkan malam itu.

Di ketinggian lantai 27, restoran mewah itu adalah oase kemewahan yang menyentuh langit.

Langit-langit kaca mengundang cahaya bulan dan lampu-lampu kota yang memancarkan pesona dalam gemerlap malam. Meja-meja elegan dilapisi dengan linen putih yang menggambarkan kemewahan.

“Nyonya, apakah anda butuh yang lainnya?”

Seorang pelayan dengan sigap menyerahkan sapu tangan sutra, saat dilihatnya pelanggan besar itu telah selesai menikmati hidangan.

“Tidak, terimakasih.”

Hanya dua jam reservasi tapi menghabiskan hampir satu bulan pendapatan yang dihasilkan Aliyah sebagai seorang model.

Untung saja semua ini dibayarkan oleh suaminya itu.

---

Limusin edisi terbatas itu berkelok menuju barat kota. Semakin menjauh dari hiruk pikuk keramaian ibu kota.

Kaca jendela mentransmisikan jalanan yang semakin terlihat sepi. Tak lama kemudian, gerbang hitam besar terlihat, dan mobil melewatinya segera.

Gerbang besar itu bukan hanya sekedar pembatas, melainkan karya seni yang menonjol dengan ornamen emas dan ukiran halus yang memperlihatkan kemewahan.

Butuh waktu satu menit untuk melaju menuju pintu utama. Turun dari mobilnya Aliyah menguap panjang.

Dewi sudah diantarkan ke rumahnya sebelumnya. Jadi Aliyah bisa menenangkan pikirannya sekarang dari nyinyiran gadis itu. Dan menikmati waktu istirahatnya.

“Nyonya, anda sudah pulang?” pertanyaan retoris itu datang dari kepala pelayan mansion- pak Rusdi.

Sejak limusin itu melewati gerbang utama, pesan otomatis muncul di layar ponsel pak Rusdi.

Pintu utama mansion telah terbuka. Beberapa orang pelayan menanti bersama kepala pelayan itu.

“Pak besok-besok gak perlu sambut Aliyah begini.”

Dengan langkah yang sedikit sempoyongan karena mengantuk, Aliyah berjalan masuk ke mansion itu.

Jarang ia menginap di mansion, kebanyakan ia menginap di hotel-hotel yang ada di berbagai belahan dunia.

Menjadi seorang model besar membuat Aliyah sibuk, minggu ini ia akan ada pemotretan di negara A, minggu besok di negara B, minggu satunya lagi di negara C.

Ia sendiri lelah dengan semua kesibukan ini.

Tapi apa daya tujuannya belum juga tercapai.

“Nyonya Pak Bram akan—“

“Pak, Aliyah ngantuk banget sekarang, besok aja ya.”

Pak Rusdi hanya bisa menghentikan perkataannya, besok pagi-pagi sekali ia akan menyampaikan berita ini pada nyonya.

Berjalan selangkah demi selangkah melewati tangga bundaran yang terlihat besar dan megah, Aliyah benar-benar tak bisa menahan kantuknya.

Berkali-kali ia menguap panjang. Untungnya kamar utama ada di lantai 2, tak jauh dari ujung tangga.

Aliyah membuka pintu kamarnya, lampu hidup secara otomatis memperlihatkan lantai marmer dengan perapian geometris yang rumit, melintasi seluruh kamar.

Dengan indah mencerminkan cahaya dari lampu gantung kristal yang menjuntai rendah. Furnitur modern dengan desain minimalis dan aksen emas menciptakan harmoni yang indah dalam ruangan yang lapang.

Dinding kaca meluas dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan yang menakjubkan dari kota yang berkelap-kelip di malam hari.

Ini semua adalah pemandangan yang sudah biasa dilihat Aliyah semenjak menjadi istri dari seorang Bramie Atmaja.

Aliyah merogoh ponsel di tasnya. Bahkan dalam kantuk yang mendesaknya ia tak pernah lupa mengabsenkan dirinya pada suaminya itu.

“Mas Bram ... Selamat malam.” ucapnya lembut lalu tertidur masih dalam balutan gaun kuning mudanya.

Hingga tengah malam ia terbangun karena getaran ponsel yang tak henti-hentinya.

Tanpa melihat siapa yang menelepon, Aliyah menarik tombol hijau menjadi terima.

“Dasar anak tidak tau diuntung! Kamu bikin malu saya saja!”

Cercaan ayahnya datang segera. Mengisi keheningan malam itu dengan makian yang tak berujung.

“Hn ...” Aliyah berdehem singkat.

Ayahnya-Ramli, kembali memarahinya, berteriak keras di telepon itu, “Baru bulan kemaren kamu makan di Queens Hotel, dan sekarang kamu reservasi disana lagi, Aliyah! Kalau sampai Bram muak dengan tingkah kamu dan menceraikan kamu, lihat saja!”

Napas ayahnya itu bahkan terdengar sesak dari speaker ponsel, terlihat sekali pria paruh baya itu sangat marah.

Dan Aliyah sudah biasa dengan semua ini.

“Adiwijaya gak bisa tanpa pendanaan dari dia! Saya sudah bilang kan, kamu harus bisa bujuk dia pulang, kalau bisa ikut di ke Amerika. Kamu harus punya anak secepatnya dengan Bram!”

Wanita itu mengusap dahinya yang berdenyut. Berdiri dari tidurnya dan tak menghiraukan ayahnya yang sibuk memberikan wejangan.

Mengambil gaun tidur sutra putih yang nyaman, ia mengganti gaunnya.

Rasa kantuknya sudah hilang, dan Aliyah menoleh pada jam digital di atas nakas.

Pukul 02.00 malam.

Berjalan ke kamar mandi, dengan cepat ia membersihkan riasan di wajahnya, dan menjalankan kewajiban kepada Tuhan.

Ponsel itu sudah mati, entah kapan panggilan dengan ayahnya terputus. Diraihnya ponsel bewarna pink muda itu, keluaran terbaru dari merek terkenal incaran anak muda.

Lalu duduk bersantai di balkon kamar. Setiap kali pulang Aliyah akan menyempatkan untuk menikmati keindahan malam dari balkon ini.

Gemerlap ibu kota yang menggambarkan keindahan zaman modern terlihat memanjakan mata. Biasanya ia akan ditemani secangkir susu low sugar untuk menjaga kesehatannya dan membangun kualitas tidur yang baik.

Tidak mudah untuk mendapatkan tubuhnya saat ini, menjaga lingkaran pinggang yang kecil saja butuh banyak usaha dan pengorbanan, sejak dulu ayahnya sudah membentuknya menjadi sebuah boneka yang akan dipersembahkan pada seorang pria.

Hidup di keluarga broken home membuat Aliyah tak pernah mempercayai cinta. Ayah dan ibunya adalah salah satu contoh perwujudan pernikahan bisnis yang gagal.

Dan Aliyah tak ingin hal itu terjadi pada dirinya.

Aliyah menggulir ponselnya, pada akun media sosial yang meledak dengan banyak notifikasi, untung saja ia selalu membisukan notifikasi dari aplikasi merah itu.

Isinya sudah jelas nyinyiran para netizen yang iri dengan kehidupan mewahnya, padahal sebenarnya Aliyah tak pernah memposting apapun yang bersangkutan dengan harta.

Hanya saja paparazi terlalu lihai mengulik hidupnya.

Ting ...

Pesan baru masuk pada aplikasi hijau bersimbol telepon, dan Aliyah menarik bar notifikasi ke bawah.

[Om-om Tua Penculik Akoh – mengirim pesan]

Ting ...

[Om-om Tua Penculik Akoh – sedang mengetik ...]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status