Sesampainya di sebuah restoran terkenal, pak Tomo segera membukakan pintu belakang dengan hormat.
“Aliyah bisa sendiri kok, Pak.” Ucap Aliyah lembut pada Pak Tomo. “Gak papa, Non. Ini kan tugas bapak.” Masuk ke restoran itu, seorang pelayan telah menunggu disana. “Selamat datang nyonya Atmaja, meja reservasi anda ada di lantai 27, kami telah menyiapkan makan malam mewah untuk anda.” Aliyah menganggukkan kepala tanpa ekspresi. Kali ini ia dengan sengaja memesan makan malam khusus di Bianca Restorant. Restoran kelas atas itu hanya menerima lima reservasi setiap harinya. Jika ada anggota VVIP yang membooking khusus, mereka hanya menerima satu pada hari itu. “Silahkan dinikmati Nyonya,” ucap seorang pelayan dengan sopan. Sebagai seorang nyonya Atmaja, sudah menjadi kewajiban Aliyah untuk menghabiskan uang seperti air mengalir. Dewi yang sudah lama di hantam dengan berbagai kemewahan, sejak bekerja sebagai asisten artis dari Aliyah, kini dapat dengan lancar memasang wajah datar. Mengikuti teladan Aliyah, ia bisa menyesuaikan diri, melihat dengan datar terhadap semua pelayanan kelas atas. Musik mulai mengalun dengan lembut, instrumen biola klasik yang sangat disukai Aliyah terdengar menenangkan malam itu. Di ketinggian lantai 27, restoran mewah itu adalah oase kemewahan yang menyentuh langit. Langit-langit kaca mengundang cahaya bulan dan lampu-lampu kota yang memancarkan pesona dalam gemerlap malam. Meja-meja elegan dilapisi dengan linen putih yang menggambarkan kemewahan. “Nyonya, apakah anda butuh yang lainnya?” Seorang pelayan dengan sigap menyerahkan sapu tangan sutra, saat dilihatnya pelanggan besar itu telah selesai menikmati hidangan. “Tidak, terimakasih.” Hanya dua jam reservasi tapi menghabiskan hampir satu bulan pendapatan yang dihasilkan Aliyah sebagai seorang model. Untung saja semua ini dibayarkan oleh suaminya itu. --- Limusin edisi terbatas itu berkelok menuju barat kota. Semakin menjauh dari hiruk pikuk keramaian ibu kota. Kaca jendela mentransmisikan jalanan yang semakin terlihat sepi. Tak lama kemudian, gerbang hitam besar terlihat, dan mobil melewatinya segera. Gerbang besar itu bukan hanya sekedar pembatas, melainkan karya seni yang menonjol dengan ornamen emas dan ukiran halus yang memperlihatkan kemewahan. Butuh waktu satu menit untuk melaju menuju pintu utama. Turun dari mobilnya Aliyah menguap panjang. Dewi sudah diantarkan ke rumahnya sebelumnya. Jadi Aliyah bisa menenangkan pikirannya sekarang dari nyinyiran gadis itu. Dan menikmati waktu istirahatnya. “Nyonya, anda sudah pulang?” pertanyaan retoris itu datang dari kepala pelayan mansion- pak Rusdi. Sejak limusin itu melewati gerbang utama, pesan otomatis muncul di layar ponsel pak Rusdi. Pintu utama mansion telah terbuka. Beberapa orang pelayan menanti bersama kepala pelayan itu. “Pak besok-besok gak perlu sambut Aliyah begini.” Dengan langkah yang sedikit sempoyongan karena mengantuk, Aliyah berjalan masuk ke mansion itu. Jarang ia menginap di mansion, kebanyakan ia menginap di hotel-hotel yang ada di berbagai belahan dunia. Menjadi seorang model besar membuat Aliyah sibuk, minggu ini ia akan ada pemotretan di negara A, minggu besok di negara B, minggu satunya lagi di negara C. Ia sendiri lelah dengan semua kesibukan ini. Tapi apa daya tujuannya belum juga tercapai. “Nyonya Pak Bram akan—“ “Pak, Aliyah ngantuk banget sekarang, besok aja ya.” Pak Rusdi hanya bisa menghentikan perkataannya, besok pagi-pagi sekali ia akan menyampaikan berita ini pada nyonya. Berjalan selangkah demi selangkah melewati tangga bundaran yang terlihat besar dan megah, Aliyah benar-benar tak bisa menahan kantuknya. Berkali-kali ia menguap panjang. Untungnya kamar utama ada di lantai 2, tak jauh dari ujung tangga. Aliyah membuka pintu kamarnya, lampu hidup secara otomatis memperlihatkan lantai marmer dengan perapian geometris yang rumit, melintasi seluruh kamar. Dengan indah mencerminkan cahaya dari lampu gantung kristal yang menjuntai rendah. Furnitur modern dengan desain minimalis dan aksen emas menciptakan harmoni yang indah dalam ruangan yang lapang. Dinding kaca meluas dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan yang menakjubkan dari kota yang berkelap-kelip di malam hari. Ini semua adalah pemandangan yang sudah biasa dilihat Aliyah semenjak menjadi istri dari seorang Bramie Atmaja. Aliyah merogoh ponsel di tasnya. Bahkan dalam kantuk yang mendesaknya ia tak pernah lupa mengabsenkan dirinya pada suaminya itu. “Mas Bram ... Selamat malam.” ucapnya lembut lalu tertidur masih dalam balutan gaun kuning mudanya. Hingga tengah malam ia terbangun karena getaran ponsel yang tak henti-hentinya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Aliyah menarik tombol hijau menjadi terima. “Dasar anak tidak tau diuntung! Kamu bikin malu saya saja!” Cercaan ayahnya datang segera. Mengisi keheningan malam itu dengan makian yang tak berujung. “Hn ...” Aliyah berdehem singkat. Ayahnya-Ramli, kembali memarahinya, berteriak keras di telepon itu, “Baru bulan kemaren kamu makan di Queens Hotel, dan sekarang kamu reservasi disana lagi, Aliyah! Kalau sampai Bram muak dengan tingkah kamu dan menceraikan kamu, lihat saja!” Napas ayahnya itu bahkan terdengar sesak dari speaker ponsel, terlihat sekali pria paruh baya itu sangat marah. Dan Aliyah sudah biasa dengan semua ini. “Adiwijaya gak bisa tanpa pendanaan dari dia! Saya sudah bilang kan, kamu harus bisa bujuk dia pulang, kalau bisa ikut di ke Amerika. Kamu harus punya anak secepatnya dengan Bram!” Wanita itu mengusap dahinya yang berdenyut. Berdiri dari tidurnya dan tak menghiraukan ayahnya yang sibuk memberikan wejangan. Mengambil gaun tidur sutra putih yang nyaman, ia mengganti gaunnya. Rasa kantuknya sudah hilang, dan Aliyah menoleh pada jam digital di atas nakas. Pukul 02.00 malam. Berjalan ke kamar mandi, dengan cepat ia membersihkan riasan di wajahnya, dan menjalankan kewajiban kepada Tuhan. Ponsel itu sudah mati, entah kapan panggilan dengan ayahnya terputus. Diraihnya ponsel bewarna pink muda itu, keluaran terbaru dari merek terkenal incaran anak muda. Lalu duduk bersantai di balkon kamar. Setiap kali pulang Aliyah akan menyempatkan untuk menikmati keindahan malam dari balkon ini. Gemerlap ibu kota yang menggambarkan keindahan zaman modern terlihat memanjakan mata. Biasanya ia akan ditemani secangkir susu low sugar untuk menjaga kesehatannya dan membangun kualitas tidur yang baik. Tidak mudah untuk mendapatkan tubuhnya saat ini, menjaga lingkaran pinggang yang kecil saja butuh banyak usaha dan pengorbanan, sejak dulu ayahnya sudah membentuknya menjadi sebuah boneka yang akan dipersembahkan pada seorang pria. Hidup di keluarga broken home membuat Aliyah tak pernah mempercayai cinta. Ayah dan ibunya adalah salah satu contoh perwujudan pernikahan bisnis yang gagal. Dan Aliyah tak ingin hal itu terjadi pada dirinya. Aliyah menggulir ponselnya, pada akun media sosial yang meledak dengan banyak notifikasi, untung saja ia selalu membisukan notifikasi dari aplikasi merah itu. Isinya sudah jelas nyinyiran para netizen yang iri dengan kehidupan mewahnya, padahal sebenarnya Aliyah tak pernah memposting apapun yang bersangkutan dengan harta. Hanya saja paparazi terlalu lihai mengulik hidupnya. Ting ... Pesan baru masuk pada aplikasi hijau bersimbol telepon, dan Aliyah menarik bar notifikasi ke bawah. [Om-om Tua Penculik Akoh – mengirim pesan] Ting ... [Om-om Tua Penculik Akoh – sedang mengetik ...]“AH …” pekik Aliyah keras, tubuhnya terpaku karena kejutan yang tiba-tiba ini.Kontak gaib itu tiba-tiba mengirimkan pesan. Dugaannya yang selama ini mengira bahwa kontaknya telah diblokir ternyata salah.Bola mata bewarna hazelnya yang indah melebar, mulutnya ternganga cantik, dan dengan syok tanpa sengaja ponsel barunya itu terlepas dari genggamannya.Dengan kalang kabut Aliyah menjulurkan tangan, tapi sayangnya ia gagal menjangkau, wanita itu sontak menarik napas tertahan saat akhirnya mendengar suara renyah dari pantulan ponsel yang mencium lantai.Untuk sesaat dunia hening sejenak. Dan ia pun tersadar dari lamunanya, “Astaga …” seru Aliyah panik, berlutut di depan ponsel itu dan segera mengambilnya. Napasnya memburu karena syok. Bagaimana tidak!Ini pertama kalinya setelah 3 tahun mereka menikah, Bram mengirimkan pesan secara pribadi. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, jangankan pesan! Aliyah sendiri bisa menghitung dengan jarinya berapa banyak kata yang pernah ia
Bram mengangkat wajahnya dari ipad di pangkuannya. Melihat pada wanita yang sudah tiga tahun tak dilihatnya. Wanita itu sepertinya telah banyak berubah.Gadis pendiam berumur 20 tahun yang dinikahinya dulu, kini terlihat semakin menarik dan cantik. Wajah lembutnya bak malaikat yang membawa penenangan, bibir tipis bewarna pink merah itu terlihat basah dan lembut, bagai embun di pagi hari yang membawa kelembapan.Mata yang membulat karena terkejut itu, terlihat jernih mencerminkan dunia yang indah.Tanpa ekspresi berarti di wajahnya, Bram mengalihkan pandangan.Aliyah masih terpaku melihat pada sosok pria yang terlihat sangat, sangat, sangat jauh dari perkiraannya.Dimana kepala putih yang penuh dengan uban itu? Apakah ini masih Bramie Atmaja, suaminya yang menghilang selama tiga tahun dengan alasan membangun pasar di Amerika?Kenapa ia masih terlihat sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu? “Mas Bram … Aliyah gak nyangka! Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, mas Bram pula
Tubuh Aliyah kaku dan matanya membelalak terkejut.Ini bukan reaksi yang seharusnya!Tanpa Aliyah sadari, sudut bibir Bram naik ke atas saat merasakan tubuh lembut yang bersandar disampingnya, kini terasa kaku dan tegang.Hampir 15 menit lamanya perjalanan, dan Aliyah bisa merasakan bahwa Bram tertidur disampingnya. "Mas Bram?!" "Mas?"Aliyah memanggil berulang kali, tapi tak juga mendapatkan jawaban. Melihat itu, dengan lembut ia menarik tangannya keluar dari cengkeraman jemari pria itu.Aliyah mengusap pada posisi jantung yang berdetak tak karuan."Jantung ... plis calm down!" lirihnya kecil."Ekhm ..." deheman Bram terdengar tak lama setelah itu.Aliyah terkejut dan dengan spontan berkata, "Mas Bram kayaknya kelelahan deh, kalau Mas mau kita pulang aja, nanti Aliyah bantu pijitin Mas. Gimana?"Suasana hening seketika. Aliyah terpaku dan dalam sepersekian detik ia memejamkan matanya dengan kesal, merasa menyesal setelah mengatakan itu.Bagaimana mungkin mulutnya dengan spontan me
Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu. Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumah
Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk