"Minyak essential?"
Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan dengan ceria menuju Bram. "Mas Bram, sesuai janji aku siang ini, aku bakalan beri Mas pelayanan yang memuaskan malam ini." Jakun Bram bergerak naik turun tanpa sadar saat mendengar kata-kata genit itu. Melihat gerak gerik Aliyah yang terlihat bersemangat membuatnya kini cukup menantikan pijatan yang dijanjikan wanita itu. Tapi sebelum itu, ia harus memastikan hubungan mereka terlebih dahulu. "Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu sekarang," ucap Bram menenangkan suasana. Aliyah yang tengah membentangkan handuk coklat di atas ranjang menghentikan gerakannya segera. Mata besarnya berkedip pelan beberapa kali, dan segera berkata, "Kita bisa bicarakan nanti sekalian Mas." Suara wanita itu terdengar lembut dan merdu, tiba-tiba membangkitkan kembali keinginan Bram yang sebelumnya telah ia tekan. Bram yang selalu tegas dalam mengambil keputusan entah mengapa merasakan apa itu bimbang untuk pertama kalinya. Ia ragu-ragu! Disatu sisi ia mengharapkan, tapi disisi lainnya ia merasa hubungan meraka harus diperjelas terlebih dahulu. "Mas Bram ... Ayo!" Aliyah kembali mendesak dengan centil. Wajah cantik itu mengernyit, bibirnya mengerucut kesal saat melihat pria itu masih berdiri dengan tatapan tanpa ekspresi melihat kepadanya. Hei! Aliyah ingin sekali berteriak ke wajah tampan itu. Apa pria itu pikir dia adalah monyet bodoh yang sedang menghiburnya? Dari sudut yang tak terlihat oleh Bram, gadis itu menggertakkan giginya. "Saya ..." "Mas Bram gak perlu malu ... Liyah kan istrinya Mas ..." seru Aliyah cepat dengan ekspresi manjanya kembali. Bram yang telah setuju pada akhirnya semakin tak bisa menolak saat mendengar seruan Aliyah. Dengan tegas Bram melepaskan kaus yang baru saja dikenakan. Saat pandangannya kembali terbuka, ia dibuat kaku dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Aliyah mengejutkan Bram dengan tindakannya. Berpikir bahwa pria itu tak kunjung jatuh pada jebakannya, wanita itu memulai aksi selanjutnya. Walau malu ia menahan sekuat tenaga, perlahan membuka outer yang membungkus tubuhnya. Bahu putih bulat terlihat memancarkan aura merah muda, tulang selangka gadis itu benar-benar mematikan. Postur tubuhnya tegak dan sempurna, gelar kecantikan pertama saja tidak cukup mendeskripsikan keindahannya. Bahkan sebelum tangan lembut itu menyentuh kulitnya, Bram sudah merasakan sesuatu ditubuhnya yang memberontak. "Saya lupa ada pertemuan malam ini," ucap pria itu serak, berbalik sambil mengenakan pakaiannya kembali, lalu terburu-buru keluar menuju ruang kerja pribadinya. Saat pintu itu tertutup dengan keras, Aliyah bersorak gembira. Saking senangnya ia bahkan menari beberapa saat. Dugaannya selama ini benar! Pria itu gay! "Tampaknya aku selangkah lagi menuju kebebasan," bisiknya senang. Setelah merapikan kembali peralatan pijat yang telah diatur sebelumnya, dengan langkah ringan ia kembali ke kamarnya. Sementara itu, seorang pria tengah mendinginkan panas ditubuhnya. --- Keesokan harinya tepat pukul 05.30 pagi, ponsel Aliyah berdering keras. Sebenarnya ia tak membutuhkam alarm untuk bangun, tapi dikarenakan hatinya terlalu senang tadi malam, ia berjaga-jaga pagi ini. Jangan sampai tidurnya terlalu lelap. Setelah sedikit berdandan ia turun dengan wajah yang masih mengantuk, ia melangkahkan kaki dengan malas, sesekali menguap dan terhuyung menuju ke ruang makan untuk sarapan. Namun, begitu ia tiba di ruang makan, Aliyah terkejut melihat suaminya yang sedang duduk di meja makan. Bram, yang biasanya percaya diri dan tenang, kali ini tampak sedikit gugup. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan wajah dingin terlihat sedikit kaku. Aliyah melihat ekspresi canggung di wajah pria itu dan merasa sedikit lucu melihat perubahan sikapnya yang tidak biasa. "Hoamm ... selamat pagi Suamiku ..." Aliyah menyapa dengan ceria. "Tapi bentar lagi jadi mantan suami!" kekeh Aliyah di dalam hati, membuatnya tersenyum semakin keras. Wajah Bram semakin menggelap saat melihat raut ceria itu, tampaknya wanita itu sudah mempermainkannya malam tadi. Tepat saat ia keluar dari ruang kerjanya ia tak melihat wanita itu di kamarnya. Seperti kelinci yang melarikan diri setelah menggoda seekor serigala. "Mas Bram! Selamat pagi Aliyah bilang!" ucap Aliyah dengan keras setelah duduk di meja makan. "Hmm ..." Bram mengalihkan pandangannya, dan mulai makan dengan tenang. Aliyah menghela napas dan mengikuti untuk makan. "Mas coba ini! Udang nya enak." "Ini Mas, salad buah hari ini segar banget." "Mas Bram harus coba makanan penutup ini." Aliyah berkicau tanpa henti, gerakannya yang membungkuk memperlihatkan sepotong kulit di dadanya. Bram yang telah begadang melawan keinginannya tadi malam, kini tersulut kembali. "Saya kenyang! Kamu makan perlahan." Aliyah bersorak dalam hati saat melihat pria itu pergi dari meja makan. Dengan semangat menyantap habis sarapannya. Tak lama kemudian, Bram yang telah mengenakan kemeja hitamnya turun kembali. Membawa setumpuk dokumen, lalu duduk di sofa ruang tamu. Aliyah yang baru saja selesai bersiap-siap syuting terkesiap melihat pemandangan itu. Apakah ini saatnya mereka akan membicarakan perceraian? Tak tak tak ... Tanpa sadar langkah kakinya semakin cepat menuruni tangga. "Aliyah," panggil Bram dengan suara bass bariton khas miliknya. "Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu." Aliyah berlari kecil dan segera duduk di sofa tak jauh dari pria itu. Melihat pada jam di ponselnya, saat ini masih ada setengah jam sebelum syuting dimulai, ia segera menghubungi Dewi untuk meminta izin datang terlambat. Meskipun hatinya melonjak kegembiraan, Aliyah berusaha menampilkan ekspresi tenang di wajahnya. Ia menundukkan kepala seolah-olah sedang berduka atas keputusan yang akan diambil. Namun, dalam benaknya, ia sudah merencanakan langkah-langkah yang akan diambil ke depan setelah perceraian ini. Bram berkata perlahan, "Pernikahan kita ..." Aliyah mulai memainkan aktingnya, dengan terkejut ia bertanya dengan mata yang berkaca-kaca, "Mas Bram mau akhiri pernikahan kita?" Ia tak sabar untuk langsung ke inti pembicaraan. Aliyah duduk di kursi dengan postur tubuh yang anggun, wajahnya yang cantik dipenuhi dengan ekspresi sedih yang mempesona. Matanya yang indah terlihat berkaca-kaca, mencerminkan kegalauan yang mendalam di dalam hatinya. Dengan suara lembut namun penuh getaran emosi, ia bertanya, "Apakah kita akan bercerai, Mas?"Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap
Dokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Dua pengawal yang menjaga ruang CEO dengan cepat mengambil tindakan dan menyeretnya pergi. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk memutuskan tindakan yang harus diambil. Di dalam kantor CEO, Bram duduk di kursinya, memandang pada keriuhan kota di siang hari dan mencoba menenangkan pikirannya. Entah mengapa hari ini ia akan sangat terganggu dengan hal kecil apapun. Pikirannya seakan terpecah, bayangan wanita itu yang terbaring lemah dan sakit kini tengah sendirian di mansion membuatnya tak bisa tenang. Pertanyaan-pertanyaan berkelabat di pikirannya. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia sudah makan dan minum obatnya? Bunyi keras memenuhi setiap sudut ruangan saat Bram melemparkan dokumen ditangannya, menghela napas berat ia mengusap wajahnya dan memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja kerja. Dengan tegas ia mengirimkan pesan pada kepala pelayan mansion. Ketika siang menjelang, Bra
Aliyah merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega bahwa kebenaran tentang insiden itu akhirnya terungkap. Namun, di sisi lain, ia juga merasa prihatin dengan apa yang terjadi pada Rasya, meskipun tindakan Rasya tidak bisa dibenarkan. Aliyah tahu betapa kerasnya dunia hiburan, dan konsekuensi dari tindakannya pasti sangat berat.Bram masuk tanpa suara, dan mendapati Aliyah masih terjaga dengan laptop di pangkuannya. Ia mendekat dan melihat ekspresi wajah wanita itu yang penuh keheranan dan kecemasan."Ada apa?" suara Bram terdengar tiba-tiba, mengejutkan Aliyah.“AKH!” jerit Aliyah keras. “Mas Bram masuk kok tanpa suara, jantung Liyah hampir aja copot.” seru Aliyah terkejut sambil mengelus dadanya.Bram menghidupkan lampu dan melangkah mendekat kembali, “Maaf.” Aliyah menoleh dan menatap Bram. "Rasya... dia-, hm … pemeran utama film Aliyah sekarang tiba-tiba aja dipecat dan kontrak-kontrak iklannya dibatalkan setelah insiden di lokasi syuting,"
Suasana meja makan sangat canggung, Aliyah tak tahu harus bagaimana bersikap, apakah ia harus berakting menyapa Bram dengan penuh cinta seperti biasanya atau melakukan gencatan senjata terlebih dahulu. Salad buah didepannya hampir hancur, dan Aliyah masih termenung dalam pikirannya. Bagaimana cara memulai untuk memberitahukan pria itu bahwa yang sebenarnya ia ingin bercerai. “Siang ini nenek akan datang, dan akan tinggal selama beberapa hari.” ucap Bram tiba-tiba memecahkan lamunan Aliyah. “Nenek?” tanya Aliyah terkejut, pikirannya melayang seketika, mengapa wanita tua itu tiba-tiba ingin datang berkunjung? “Benar.” “Pasti karena nenek udah tahu kalau Mas Bram udah pulang,” tebak Aliyah. Mereka kembali terdiam, masinh-masing tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya Bram pergi berangkat kerja. Aliyah menatap kepergian pria itu dengan heran, jelas-jelas dia adalah seorang bos dan tak perlu tepat waktu untuk beke