Share

Bab 9 Mas Bram ... Ayo!

"Minyak essential?"

Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya."

Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi.

Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya.

"Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati.

Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis.

Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya.

Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan dengan ceria menuju Bram.

"Mas Bram, sesuai janji aku siang ini, aku bakalan beri Mas pelayanan yang memuaskan malam ini."

Jakun Bram bergerak naik turun tanpa sadar saat mendengar kata-kata genit itu. Melihat gerak gerik Aliyah yang terlihat bersemangat membuatnya kini cukup menantikan pijatan yang dijanjikan wanita itu. Tapi sebelum itu, ia harus memastikan hubungan mereka terlebih dahulu.

"Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu sekarang," ucap Bram menenangkan suasana.

Aliyah yang tengah membentangkan handuk coklat di atas ranjang menghentikan gerakannya segera. Mata besarnya berkedip pelan beberapa kali, dan segera berkata, "Kita bisa bicarakan nanti sekalian Mas."

Suara wanita itu terdengar lembut dan merdu, tiba-tiba membangkitkan kembali keinginan Bram yang sebelumnya telah ia tekan.

Bram yang selalu tegas dalam mengambil keputusan entah mengapa merasakan apa itu bimbang untuk pertama kalinya. Ia ragu-ragu! Disatu sisi ia mengharapkan, tapi disisi lainnya ia merasa hubungan meraka harus diperjelas terlebih dahulu.

"Mas Bram ... Ayo!" Aliyah kembali mendesak dengan centil.

Wajah cantik itu mengernyit, bibirnya mengerucut kesal saat melihat pria itu masih berdiri dengan tatapan tanpa ekspresi melihat kepadanya.

Hei! Aliyah ingin sekali berteriak ke wajah tampan itu. Apa pria itu pikir dia adalah monyet bodoh yang sedang menghiburnya?

Dari sudut yang tak terlihat oleh Bram, gadis itu menggertakkan giginya.

"Saya ..."

"Mas Bram gak perlu malu ... Liyah kan istrinya Mas ..." seru Aliyah cepat dengan ekspresi manjanya kembali.

Bram yang telah setuju pada akhirnya semakin tak bisa menolak saat mendengar seruan Aliyah. Dengan tegas Bram melepaskan kaus yang baru saja dikenakan. Saat pandangannya kembali terbuka, ia dibuat kaku dengan pemandangan yang ada dihadapannya.

Aliyah mengejutkan Bram dengan tindakannya. Berpikir bahwa pria itu tak kunjung jatuh pada jebakannya, wanita itu memulai aksi selanjutnya. Walau malu ia menahan sekuat tenaga, perlahan membuka outer yang membungkus tubuhnya.

Bahu putih bulat terlihat memancarkan aura merah muda, tulang selangka gadis itu benar-benar mematikan. Postur tubuhnya tegak dan sempurna, gelar kecantikan pertama saja tidak cukup mendeskripsikan keindahannya.

Bahkan sebelum tangan lembut itu menyentuh kulitnya, Bram sudah merasakan sesuatu ditubuhnya yang memberontak.

"Saya lupa ada pertemuan malam ini," ucap pria itu serak, berbalik sambil mengenakan pakaiannya kembali, lalu terburu-buru keluar menuju ruang kerja pribadinya.

Saat pintu itu tertutup dengan keras, Aliyah bersorak gembira.

Saking senangnya ia bahkan menari beberapa saat. Dugaannya selama ini benar!

Pria itu gay!

"Tampaknya aku selangkah lagi menuju kebebasan," bisiknya senang.

Setelah merapikan kembali peralatan pijat yang telah diatur sebelumnya, dengan langkah ringan ia kembali ke kamarnya.

Sementara itu, seorang pria tengah mendinginkan panas ditubuhnya.

---

Keesokan harinya tepat pukul 05.30 pagi, ponsel Aliyah berdering keras. Sebenarnya ia tak membutuhkam alarm untuk bangun, tapi dikarenakan hatinya terlalu senang tadi malam, ia berjaga-jaga pagi ini. Jangan sampai tidurnya terlalu lelap.

Setelah sedikit berdandan ia turun dengan wajah yang masih mengantuk, ia melangkahkan kaki dengan malas, sesekali menguap dan terhuyung menuju ke ruang makan untuk sarapan. Namun, begitu ia tiba di ruang makan, Aliyah terkejut melihat suaminya yang sedang duduk di meja makan.

Bram, yang biasanya percaya diri dan tenang, kali ini tampak sedikit gugup. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan wajah dingin terlihat sedikit kaku. Aliyah melihat ekspresi canggung di wajah pria itu dan merasa sedikit lucu melihat perubahan sikapnya yang tidak biasa.

"Hoamm ... selamat pagi Suamiku ..." Aliyah menyapa dengan ceria.

"Tapi bentar lagi jadi mantan suami!" kekeh Aliyah di dalam hati, membuatnya tersenyum semakin keras.

Wajah Bram semakin menggelap saat melihat raut ceria itu, tampaknya wanita itu sudah mempermainkannya malam tadi.

Tepat saat ia keluar dari ruang kerjanya ia tak melihat wanita itu di kamarnya. Seperti kelinci yang melarikan diri setelah menggoda seekor serigala.

"Mas Bram! Selamat pagi Aliyah bilang!" ucap Aliyah dengan keras setelah duduk di meja makan.

"Hmm ..." Bram mengalihkan pandangannya, dan mulai makan dengan tenang.

Aliyah menghela napas dan mengikuti untuk makan.

"Mas coba ini! Udang nya enak."

"Ini Mas, salad buah hari ini segar banget."

"Mas Bram harus coba makanan penutup ini."

Aliyah berkicau tanpa henti, gerakannya yang membungkuk memperlihatkan sepotong kulit di dadanya.

Bram yang telah begadang melawan keinginannya tadi malam, kini tersulut kembali.

"Saya kenyang! Kamu makan perlahan."

Aliyah bersorak dalam hati saat melihat pria itu pergi dari meja makan. Dengan semangat menyantap habis sarapannya.

Tak lama kemudian, Bram yang telah mengenakan kemeja hitamnya turun kembali. Membawa setumpuk dokumen, lalu duduk di sofa ruang tamu.

Aliyah yang baru saja selesai bersiap-siap syuting terkesiap melihat pemandangan itu.

Apakah ini saatnya mereka akan membicarakan perceraian?

Tak tak tak ...

Tanpa sadar langkah kakinya semakin cepat menuruni tangga.

"Aliyah," panggil Bram dengan suara bass bariton khas miliknya.

"Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu."

Aliyah berlari kecil dan segera duduk di sofa tak jauh dari pria itu. Melihat pada jam di ponselnya, saat ini masih ada setengah jam sebelum syuting dimulai, ia segera menghubungi Dewi untuk meminta izin datang terlambat.

Meskipun hatinya melonjak kegembiraan, Aliyah berusaha menampilkan ekspresi tenang di wajahnya. Ia menundukkan kepala seolah-olah sedang berduka atas keputusan yang akan diambil. Namun, dalam benaknya, ia sudah merencanakan langkah-langkah yang akan diambil ke depan setelah perceraian ini.

Bram berkata perlahan, "Pernikahan kita ..."

Aliyah mulai memainkan aktingnya, dengan terkejut ia bertanya dengan mata yang berkaca-kaca, "Mas Bram mau akhiri pernikahan kita?"

Ia tak sabar untuk langsung ke inti pembicaraan.

Aliyah duduk di kursi dengan postur tubuh yang anggun, wajahnya yang cantik dipenuhi dengan ekspresi sedih yang mempesona. Matanya yang indah terlihat berkaca-kaca, mencerminkan kegalauan yang mendalam di dalam hatinya. Dengan suara lembut namun penuh getaran emosi, ia bertanya, "Apakah kita akan bercerai, Mas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status