Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu.
"Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas.Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikapDokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Dua pengawal yang menjaga ruang CEO dengan cepat mengambil tindakan dan menyeretnya pergi. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk memutuskan tindakan yang harus diambil. Di dalam kantor CEO, Bram duduk di kursinya, memandang pada keriuhan kota di siang hari dan mencoba menenangkan pikirannya. Entah mengapa hari ini ia akan sangat terganggu dengan hal kecil apapun. Pikirannya seakan terpecah, bayangan wanita itu yang terbaring lemah dan sakit kini tengah sendirian di mansion membuatnya tak bisa tenang. Pertanyaan-pertanyaan berkelabat di pikirannya. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia sudah makan dan minum obatnya? Bunyi keras memenuhi setiap sudut ruangan saat Bram melemparkan dokumen ditangannya, menghela napas berat ia mengusap wajahnya dan memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja kerja. Dengan tegas ia mengirimkan pesan pada kepala pelayan mansion. Ketika siang menjelang, Bra
Aliyah merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega bahwa kebenaran tentang insiden itu akhirnya terungkap. Namun, di sisi lain, ia juga merasa prihatin dengan apa yang terjadi pada Rasya, meskipun tindakan Rasya tidak bisa dibenarkan. Aliyah tahu betapa kerasnya dunia hiburan, dan konsekuensi dari tindakannya pasti sangat berat.Bram masuk tanpa suara, dan mendapati Aliyah masih terjaga dengan laptop di pangkuannya. Ia mendekat dan melihat ekspresi wajah wanita itu yang penuh keheranan dan kecemasan."Ada apa?" suara Bram terdengar tiba-tiba, mengejutkan Aliyah.“AKH!” jerit Aliyah keras. “Mas Bram masuk kok tanpa suara, jantung Liyah hampir aja copot.” seru Aliyah terkejut sambil mengelus dadanya.Bram menghidupkan lampu dan melangkah mendekat kembali, “Maaf.” Aliyah menoleh dan menatap Bram. "Rasya... dia-, hm … pemeran utama film Aliyah sekarang tiba-tiba aja dipecat dan kontrak-kontrak iklannya dibatalkan setelah insiden di lokasi syuting,"
Suasana meja makan sangat canggung, Aliyah tak tahu harus bagaimana bersikap, apakah ia harus berakting menyapa Bram dengan penuh cinta seperti biasanya atau melakukan gencatan senjata terlebih dahulu. Salad buah didepannya hampir hancur, dan Aliyah masih termenung dalam pikirannya. Bagaimana cara memulai untuk memberitahukan pria itu bahwa yang sebenarnya ia ingin bercerai. “Siang ini nenek akan datang, dan akan tinggal selama beberapa hari.” ucap Bram tiba-tiba memecahkan lamunan Aliyah. “Nenek?” tanya Aliyah terkejut, pikirannya melayang seketika, mengapa wanita tua itu tiba-tiba ingin datang berkunjung? “Benar.” “Pasti karena nenek udah tahu kalau Mas Bram udah pulang,” tebak Aliyah. Mereka kembali terdiam, masinh-masing tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya Bram pergi berangkat kerja. Aliyah menatap kepergian pria itu dengan heran, jelas-jelas dia adalah seorang bos dan tak perlu tepat waktu untuk beke
Pesan itu benar-benar membuat Aliyah hancur seketika. Ini ancaman yang sama saat ia menolak menikah dengan Bram pada saat usianya masih 19 tahun.Sampai kapan ia akan selalu terjerat dalam genggaman ayahnya yang biadab. Ancaman itu benar-benar membuat Aliyah tak berkutik sedikitpun. Pasalnya, lukisan di galeri adalah kumpulan lukisan peninggalan ibunya, Yulia Ays.Yulia Ays adalah pelukis paling terkenal dari Indonesia beberapa dekade lalu. Semua lukisannya bernilai tinggi dan Aliyah telah susah payah mengumpulkan semua lukisan ibunya yang tersebar diantara para kolektor.Tapi jumlah yang telah ia kumpulkan tak sebanding dengan galeri yang didirikan oleh ibunya. "Semuanya keluar!" Perintah Aliyah pada semua pelayan yang ada di ruang spa itu.Tepat saat pintu ditutup, Aliyah menangis dengan pilu. Bibirnya bergetar hebat. Kenangan kematian ibunya berputar di otaknya. Bagaikan kaset rusak yang tak bisa berhenti.Lama ia menangis, hingga akhirnya teralihkan
Membaca berita yang tertera, wajah Bram berubah pucat, tubuhnya kaku, dan pupil matanya menyusut tajam. Keadaan ruang rapat yang semula tegang kini dipenuhi kebingungan.“Rapat kita tunda,” ucap Bram pada audiens, suaranya tetap dingin namun kini dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Para eksekutif saling bertukar pandang, menyadari bahwa ada sesuatu yang serius terjadi. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bram berusaha menenangkan pikirannya, namun kekhawatiran tentang Aliyah membuat emosinya berkecamuk. Ia bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Pagi ini Bram melihat wanita itu masih tersenyum dengan riang. Kebahagian yang terpancar saat dirinya menarik napas di depan jendela ruang gym pagi ini melayang di pikirannya kembali.Apa yang terjadi? Mengapa dalam sekejap mata tiba-tiba saja ia mendapatkan berita bahwa Aliyah bunuh diri?"Lebih cepat!" titah Bram pada pengemudinya, Dika.Dika mengganggukkan kepala dan segera menambah kece
Mendengar kata “kritis,” kemarahan Ratna segera berubah menjadi kekhawatiran mendalam. “Apa yang terjadi pada Aliyah?” tanyanya, suaranya melembut namun tetap penuh otoritas.“Kami tidak tahu detailnya, Nyonya. Hanya itu yang kami dengar,” jawab pelayan itu dengan nada hormat.Ratna segera berbalik, mengambil ponselnya dan menelepon Bram. Saat telepon tersambung, ia langsung mengungkapkan kekesalannya, “Bram! Di mana kamu? Nenek tiba di bandara sore ini, dan tidak ada yang menjemputku! Lalu, tidak ada seorang pun di mansion! Apa yang terjadi?”Bram, yang sudah merasa terbebani dengan situasi Aliyah, mencoba menenangkan neneknya. “Nenek, maafkan aku. Ada keadaan darurat di rumah sakit, Aliyah ...,” jelasnya terputus, ia bingung apakah harus mengatakan bahwa Aliyah melakukan percobaan bunuh diri."Aliyah pingsan, Nek." jelas Bram berbohong, berharap bisa meredakan kemarahan neneknya.“Pingsan? Apa yang terjadi?” tanya Ratna, suaranya berubah dari marah menjadi khaw
Pertanyaan Aliyah membuat Bram mengerutkan keningnya dengan bingung. Mengapa Aliyah tak mengingat apa yang telah ia lakukan. Melihat wajah lemah wanita itu, dan tak terlihat ada kebohongan di sana, hal ini membuat Bram menjadi semakin bingung.“Kamu pingsan.” jawab Bram berbohong.Aliyah mengangguk pelan, matanya menatap Bram dengan penuh rasa syukur. “Maaf … Aliyah udah ngeropotin, Mas.”Bram duduk di samping tempat tidur Aliyah. Mereka berdua dikelilingi oleh keheningan malam yang hanya dipecahkan oleh suara perangkat medis dan desiran napas mereka.“Pagi ini, apa yang terjadi?” tanya Bram dengan hati-hati. Pandangannya menatap Aliyah dengan seksama, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan wanita itu.Aliyah menggeleng lemah, wajahnya sedikit terangkat. Berpikir beberapa saat, "Aku, pagi ini ….”Tiba-tiba saja erangan keras keluar dari mulut Aliyah. Ia menggigit bibirnya dengan kuat.“Akh … sakit!” ucap Aliyah kesakitan, kedua tangannya memegang kepa