Suasana meja makan sangat canggung, Aliyah tak tahu harus bagaimana bersikap, apakah ia harus berakting menyapa Bram dengan penuh cinta seperti biasanya atau melakukan gencatan senjata terlebih dahulu.
Salad buah didepannya hampir hancur, dan Aliyah masih termenung dalam pikirannya. Bagaimana cara memulai untuk memberitahukan pria itu bahwa yang sebenarnya ia ingin bercerai. “Siang ini nenek akan datang, dan akan tinggal selama beberapa hari.” ucap Bram tiba-tiba memecahkan lamunan Aliyah. “Nenek?” tanya Aliyah terkejut, pikirannya melayang seketika, mengapa wanita tua itu tiba-tiba ingin datang berkunjung? “Benar.” “Pasti karena nenek udah tahu kalau Mas Bram udah pulang,” tebak Aliyah. Mereka kembali terdiam, masinh-masing tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya Bram pergi berangkat kerja. Aliyah menatap kepergian pria itu dengan heran, jelas-jelas dia adalah seorang bos dan tak perlu tepat waktu untuk bekePesan itu benar-benar membuat Aliyah hancur seketika. Ini ancaman yang sama saat ia menolak menikah dengan Bram pada saat usianya masih 19 tahun.Sampai kapan ia akan selalu terjerat dalam genggaman ayahnya yang biadab. Ancaman itu benar-benar membuat Aliyah tak berkutik sedikitpun. Pasalnya, lukisan di galeri adalah kumpulan lukisan peninggalan ibunya, Yulia Ays.Yulia Ays adalah pelukis paling terkenal dari Indonesia beberapa dekade lalu. Semua lukisannya bernilai tinggi dan Aliyah telah susah payah mengumpulkan semua lukisan ibunya yang tersebar diantara para kolektor.Tapi jumlah yang telah ia kumpulkan tak sebanding dengan galeri yang didirikan oleh ibunya. "Semuanya keluar!" Perintah Aliyah pada semua pelayan yang ada di ruang spa itu.Tepat saat pintu ditutup, Aliyah menangis dengan pilu. Bibirnya bergetar hebat. Kenangan kematian ibunya berputar di otaknya. Bagaikan kaset rusak yang tak bisa berhenti.Lama ia menangis, hingga akhirnya teralihkan
Membaca berita yang tertera, wajah Bram berubah pucat, tubuhnya kaku, dan pupil matanya menyusut tajam. Keadaan ruang rapat yang semula tegang kini dipenuhi kebingungan.“Rapat kita tunda,” ucap Bram pada audiens, suaranya tetap dingin namun kini dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Para eksekutif saling bertukar pandang, menyadari bahwa ada sesuatu yang serius terjadi. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bram berusaha menenangkan pikirannya, namun kekhawatiran tentang Aliyah membuat emosinya berkecamuk. Ia bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Pagi ini Bram melihat wanita itu masih tersenyum dengan riang. Kebahagian yang terpancar saat dirinya menarik napas di depan jendela ruang gym pagi ini melayang di pikirannya kembali.Apa yang terjadi? Mengapa dalam sekejap mata tiba-tiba saja ia mendapatkan berita bahwa Aliyah bunuh diri?"Lebih cepat!" titah Bram pada pengemudinya, Dika.Dika mengganggukkan kepala dan segera menambah kece
Mendengar kata “kritis,” kemarahan Ratna segera berubah menjadi kekhawatiran mendalam. “Apa yang terjadi pada Aliyah?” tanyanya, suaranya melembut namun tetap penuh otoritas.“Kami tidak tahu detailnya, Nyonya. Hanya itu yang kami dengar,” jawab pelayan itu dengan nada hormat.Ratna segera berbalik, mengambil ponselnya dan menelepon Bram. Saat telepon tersambung, ia langsung mengungkapkan kekesalannya, “Bram! Di mana kamu? Nenek tiba di bandara sore ini, dan tidak ada yang menjemputku! Lalu, tidak ada seorang pun di mansion! Apa yang terjadi?”Bram, yang sudah merasa terbebani dengan situasi Aliyah, mencoba menenangkan neneknya. “Nenek, maafkan aku. Ada keadaan darurat di rumah sakit, Aliyah ...,” jelasnya terputus, ia bingung apakah harus mengatakan bahwa Aliyah melakukan percobaan bunuh diri."Aliyah pingsan, Nek." jelas Bram berbohong, berharap bisa meredakan kemarahan neneknya.“Pingsan? Apa yang terjadi?” tanya Ratna, suaranya berubah dari marah menjadi khaw
Pertanyaan Aliyah membuat Bram mengerutkan keningnya dengan bingung. Mengapa Aliyah tak mengingat apa yang telah ia lakukan. Melihat wajah lemah wanita itu, dan tak terlihat ada kebohongan di sana, hal ini membuat Bram menjadi semakin bingung.“Kamu pingsan.” jawab Bram berbohong.Aliyah mengangguk pelan, matanya menatap Bram dengan penuh rasa syukur. “Maaf … Aliyah udah ngeropotin, Mas.”Bram duduk di samping tempat tidur Aliyah. Mereka berdua dikelilingi oleh keheningan malam yang hanya dipecahkan oleh suara perangkat medis dan desiran napas mereka.“Pagi ini, apa yang terjadi?” tanya Bram dengan hati-hati. Pandangannya menatap Aliyah dengan seksama, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan wanita itu.Aliyah menggeleng lemah, wajahnya sedikit terangkat. Berpikir beberapa saat, "Aku, pagi ini ….”Tiba-tiba saja erangan keras keluar dari mulut Aliyah. Ia menggigit bibirnya dengan kuat.“Akh … sakit!” ucap Aliyah kesakitan, kedua tangannya memegang kepa
Pelayan itu, seorang wanita paruh baya dengan senyum tenang, merespons dengan suara lembut. "Nyonya Aliyah, Anda tidak perlu khawatir. Anda berada di Mansion Atmaj, Singapura. Suami Anda, Tuan Bram, yang membawa Anda ke sini untuk beristirahat." Aliyah mengerutkan kening, masih merasa bingung dan cemas. "Mas Bram? Kenapa dia bawa aku ke sini?" pikirnya bingung, matanya menyipit penuh kecurigaan. Segala sesuatu tampak begitu tiba-tiba dan tidak terduga. Pelayan itu tetap tenang, seolah-olah sudah terbiasa menghadapi reaksi seperti ini. "Tuan Bram akan segera datang untuk menjelaskan semuanya kepada Anda. Untuk sementara, silakan menikmati pemandangan dan beristirahat. Saya akan menyiapkan sarapan untuk Anda," ucapnya sebelum berlalu dengan sopan, meninggalkan Aliyah yang masih tercenung di balkon. Aliyah kembali memandang pemandangan Marina Bay Sands di depannya, mencoba mencerna informasi yang baru saja didapatnya. Perla
Aliyah terkekeh, "Cemburu? Jangan bercanda, Mas. Itu hal yang gak mungkin!"Bram semakin dekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. "Kenapa gak mungkin?" bisikan Bram terasa dingin di telinga Aliyah, membuat bulu kuduknya berdiri.Aliyah terkesiap, jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan hawa dingin dari tubuh Bram, aroma parfumnya yang maskulin membuatnya sedikit pusing. "Kita ... bukannya dalam hubungan yang sedekat itu," desis Aliyah, matanya tak berani menatap Bram."Kita sudah menikah, Aliyah!" Rahang Bram mengeras, melihat dengan tak berdaya pada kepala yang tertunduk di depannya.Aliyah berkedip polos, berusaha menajamkan telinga, apa benar yang mengatakan bahwa mereka telah menikah itu adalah Bram, suaminya yang hilang selama tiga tahun penuh. "Hubungan kita legal, dan saya akan menuruti semua keinginanmu sebagai Nyonya Atmaja. Saya akan menghormati ikatan pernikahan kita," ucap Bram tak bisa ditolak.Tangan Bram terangkat, menarik sejumput rambut Aliyah
Aliyah berhenti saat mendengar perkataan Dion, dan kembali melihat kepada pria itu."Dion Mahendra," ucap pria itu singkat.Aliyah sontak membelalak terkejut."Dion ....!"Pria itu tertawa gembira, "Ingat?""Maaf, aku kurang fokus dan gak lihat wajah kamu dengan jelas." ucap Aliyah memelas. Baru kini ia bisa melihat dengan jelas bahwa pria didepannya adalah sahabatnya sewaktu ia SMA dulu. Betapa sedihnya Aliyah dulu saat Dion tiba-tiba mengabarkan akan pindah sekolah. Padahal mereka telah berteman sejak kecil.Aliyah duduk kembali, dan tersenyum dengan cerah. "Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini."Meski tersenyum cerah, mata wanita itu merah dan berair. Jika itu dulu, saat mereka masih kecil, ia akan langsung memeluk bahu sahabatnya itu. Tapi Aliyah sekarang sadar bahwa itu tidak bisa ia lakukan. Ada banyak sekali mata yang memperhatikannya. "Saat melihat kamu pertama kali di salah satu majalah fashion, aku terkejut banget, Aliyah."
Aliyah bingung dengan situasinya saat ini, entah mengapa ia merasa telah melakukan hal yang tidak baik.Apalagi wajah pria itu kini terlihat sangat menakutkan. Dengan susah payah Aliyah memanggil Bram, "Ma-Mas Bram, kenapa bisa ada disini?"Bram berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan Aliyah dan Dion. "Ayo pulang!"Aliyah mengangguk segera, dan berbalik berkata kepada Dion, "Dion, aku pulang dulu. Makasih udah nemenin aku hari ini."Dion yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Bram, kini menoleh kepada Aliyah, "Hati-hati, aku juga senang ketemu kamu lagi."Pria itu tahu, bahwa lelaki yang baru saja datang adalah suami nominal Aliyah. Dion telah menyelidiki Bram dua minggu yang lalu, tepat setelah ia mendapatkan kabar bahwa Aliyah sampai di Singapura. Melihat dengan tajam pada Bram, Dion merasakan amarah berkecamuk di dadanya. Bram juga merasakan hal yang sama, dibalik wajah dinginnya yang tanpa ekspresi sekarang ini, saat ini ia tangan kiri di saku cel