Aliyah berhenti saat mendengar perkataan Dion, dan kembali melihat kepada pria itu.
"Dion Mahendra," ucap pria itu singkat.Aliyah sontak membelalak terkejut."Dion ....!"Pria itu tertawa gembira, "Ingat?""Maaf, aku kurang fokus dan gak lihat wajah kamu dengan jelas." ucap Aliyah memelas.Baru kini ia bisa melihat dengan jelas bahwa pria didepannya adalah sahabatnya sewaktu ia SMA dulu.Betapa sedihnya Aliyah dulu saat Dion tiba-tiba mengabarkan akan pindah sekolah. Padahal mereka telah berteman sejak kecil.Aliyah duduk kembali, dan tersenyum dengan cerah. "Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini."Meski tersenyum cerah, mata wanita itu merah dan berair. Jika itu dulu, saat mereka masih kecil, ia akan langsung memeluk bahu sahabatnya itu. Tapi Aliyah sekarang sadar bahwa itu tidak bisa ia lakukan. Ada banyak sekali mata yang memperhatikannya."Saat melihat kamu pertama kali di salah satu majalah fashion, aku terkejut banget, Aliyah."Aliyah bingung dengan situasinya saat ini, entah mengapa ia merasa telah melakukan hal yang tidak baik.Apalagi wajah pria itu kini terlihat sangat menakutkan. Dengan susah payah Aliyah memanggil Bram, "Ma-Mas Bram, kenapa bisa ada disini?"Bram berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan Aliyah dan Dion. "Ayo pulang!"Aliyah mengangguk segera, dan berbalik berkata kepada Dion, "Dion, aku pulang dulu. Makasih udah nemenin aku hari ini."Dion yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Bram, kini menoleh kepada Aliyah, "Hati-hati, aku juga senang ketemu kamu lagi."Pria itu tahu, bahwa lelaki yang baru saja datang adalah suami nominal Aliyah. Dion telah menyelidiki Bram dua minggu yang lalu, tepat setelah ia mendapatkan kabar bahwa Aliyah sampai di Singapura. Melihat dengan tajam pada Bram, Dion merasakan amarah berkecamuk di dadanya. Bram juga merasakan hal yang sama, dibalik wajah dinginnya yang tanpa ekspresi sekarang ini, saat ini ia tangan kiri di saku cel
Aliyah tersadar segera. "Eh, Aliyah sudah kenyang, Mas."Wanita itu berbalik lalu berlari kembali ke kamarnya, meninggalkan Bram sendirian di dapur. Sesampainya di kamar, Aliyah menarik napas dalam-dalam, lalu segera menelepon Dewi.Setelah beberapa detik, panggilan itu tersambung."DEWI!" Aliyah memanggil asistennya dengan panik.Ia merasakan dadanya berdebar-debar. Pikirannya kalut, teringat perkataan Bram di mobil siang ini. Bram, yang selama ini dikenal sebagai sosok dingin dan sulit ditebak, telah mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan mendengarnya.Dengan tangan yang gemetar, Aliyah kembali mendial nomor Dewi di ponselnya, lalu menunggu dengan cemas sambil menggigit bibir bawahnya. Kuku-kuku halus yang terlihat kemerahan di jemarinya pun tak terhindar dari gigitannya.Saat nada sambung terdengar, Aliyah merasa seolah-olah waktu berjalan lebih lambat.“Halo, Mbak Aliyah?” Suara Dewi terdengar dari ujung sana, tenang seperti biasanya.
Aliyah segera memalingkan muka, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, sentuhan di bibirnya membuat bulu kuduknya meremang. Jemari Bram, yang keras dan kapalan, menyentuh bibirnya dengan lembut namun penuh obsesi. Aliyah terdiam, tubuhnya tegang oleh kontak fisik yang begitu dekat dan intens. Setiap sentuhan terasa mengaktifkan sel-sel di bibirnya, menyalakan perasaan yang selama ini berusaha ia tekan.Tersadar dari lamunannya, Aliyah terbatuk canggung, berusaha mengendalikan emosi yang tak terduga muncul. Ia menundukkan kepalanya, berharap bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.“Aw!” pekik Aliyah ketika tangan kirinya tak sengaja mengenai mata pisau yang ada di tangan kanannya.Bram dengan cepat menarik tangannya, wajahnya yang biasanya tenang kini berubah serius, dengan kilatan kekhawatiran yang jarang terlihat di matanya. "Biar saya lihat!" ucapnya dengan suara tegas namun lembut, sambil meraih tangan Aliyah. Jemari Bram yang kuat nam
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Bram," sapa seorang pria berjas hitam dengan antusias saat menyambut kedatangan mereka. Bram mengangguk singkat sebagai balasan, sementara pria tersebut dengan sopan membimbing mereka masuk ke dalam ruangan.Mengikuti isyarat tangannya, Bram berjalan sambil memeluk pinggang ramping Aliyah. Mereka memasuki ruang kantor yang telah dihias dengan indah, menampilkan nuansa elegan dan mewah yang sesuai dengan acara tersebut."Selamat datang di pesta peresmian cabang Alex Company," ujar pria berambut ikal itu ketika mereka tiba di dalam ruangan. Dia kemudian mengarahkan pandangannya ke sudut lain dan menunjuk ke arah Alex Demian, CEO Alex Company sekaligus tuan rumah acara tersebut, yang tampak sedang berbincang dengan beberapa tamu.Aliyah mengikuti arah yang ditunjuk dan melihat sosok pria berperawakan tinggi dengan rambut pirang mencolok. Wajahnya tampan dan senyumnya ramah saat ia berbicara dengan kolega-koleganya.Malam ini, Aliyah tida
Setelah percakapan ringan dengan Alex, Bram dan Aliyah memutuskan untuk menikmati malam mereka dengan sedikit lebih santai. Mereka bergerak ke arah meja yang telah disiapkan untuk tamu VIP di sisi ruangan, duduk bersama beberapa tamu penting lainnya. Suasana pesta semakin meriah, dengan musik yang mengalun lembut di latar belakang dan tamu-tamu yang tertawa serta bercengkerama.Setelah perbincangan selesai, Aliyah beranjak dari sisi Bram dan memutuskan untuk mengambil sedikit waktu sendiri, berbaur dengan tamu lainnya. Saat ia berjalan menuju meja minuman, Diana, salah satu kolega Bram, mendekat dengan senyum hangat namun sorot matanya penuh dengan rasa ingin tahu."Aliyah, senang sekali bisa bertemu denganmu," sapa wanita itu dengan nada ramah. "Kamu istri Bram, kan?" tanyanya kemudian.Aliyah tersenyum lembut, meskipun ada perasaan canggung di dalam dirinya. "Iya, terima kasih, senang juga bisa bertemu dengan Anda..."“Diana!” ucap wanita itu memperkenalkan diri.
Bram merasa jantungnya seolah berhenti saat mendengar teriakan Aliyah dari arah toilet. Suara para tamu yang kebingungan dan ruangan yang kini gelap total menambah suasana mencekam. Nalurinya yang selama ini tajam dalam menghadapi bahaya langsung mengambil alih. Ia bergegas menuju toilet wanita tempat Aliyah terakhir kali terlihat, mengabaikan segala gangguan di sekelilingnya."Aliyah!" teriaknya, suaranya penuh kepanikan. Ia menerobos kerumunan tamu yang semakin panik karena suara tembakan yang terdengar tiba-tiba, beberapa bahkan mulai berdesakan mencari jalan keluar. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Tidak ada yang lebih penting sekarang selain menemukan istrinya.Ketika Bram tiba di depan pintu toilet wanita, ia membuka pintu dengan cepat, tetapi sayangnya Aliyah tidak ada di sana. Toilet itu kosong, hanya ada suara gemericik air dari keran yang belum tertutup dengan benar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Aliyah. Jantung Bram berdegup semakin cepat, perasaan takut yang tak pernah
Aliyah merasakan napasnya tersengal, dadanya bergetar karena ketakutan dan rasa sakit. Dion, yang awalnya terlihat tenang, kini berubah menjadi sosok yang tak terduga, emosinya berkecamuk antara rasa bersalah dan kemarahan yang tidak terkendali.Dion mengusap rambutnya dengan gelisah, seolah-olah berusaha mengendalikan dirinya sendiri. "Aku tidak bermaksud menyakitimu, Aliyah. Kamu harus mengerti...," suaranya mulai parau, tapi pria itu belum selesai. "Kita harus bersama. Sejak dulu aku mencintaimu, tapi kamu malah bersama dia." Matanya menunjukkan frustrasi yang mendalam, bahkan sedikit kebingungan.Aliyah berusaha menenangkan dirinya. Meski tubuhnya lemah, ia tetap berjuang menjaga kesadarannya agar tidak menyerah pada rasa takutnya. "Dion... aku gak pernah tahu tentang perasaan kamu. Kamu gak pernah …," suaranya pelan, tapi tegas. "Dan Bram ... dia adalah suamiku."Kata-kata itu membuat Dion tersentak. Wajahnya berubah seolah-olah di antara kemarahan dan kesedihan. "Bram tidak pant
Aliyah berbaring dengan patuh, di sisi kanannya seorang dokter wanita sedang sibuk dengan peralatan medis. Sementara itu, Bram dengan kaku berdiri di sisi kiri Aliyah, tak sedikitpun melepaskan pandangan dari istrinya. Ada sedikit robekan di kulit kepala Aliyah, tergores karena perlawanannya saat disergap di kamar mandi sebelumnya. Seorang perawat telah siap akan menggundulkan rambut di bagian luka itu. “Jangan!” Aliyah berteriak dengan takut. Bertanya dengan bahasa Inggris ke perawat itu, “Apa kamu akan memotong rambutku?” Bram segera menahan tubuh Aliyah yang tersentak terkejut, dan menggenggam tangan wanita itu untuk menenangkannya. “Tidak apa-apa?” Aliyah melotot dengan marah, “Gak apa-apa gimana, Mas?” dengan cemberut ia berkata kesal, “Aku gak mau sampai dibotakin! Titik.” Perawat tersebut dengan hormat menjelaskan, “Nyonya ini hanya sekedar di area luka saja.” “Tidak! Tidak perlu dijahit!” ucap Aliyah keras kepala. Bram menatap dengan