Aliyah bingung dengan situasinya saat ini, entah mengapa ia merasa telah melakukan hal yang tidak baik.
Apalagi wajah pria itu kini terlihat sangat menakutkan. Dengan susah payah Aliyah memanggil Bram, "Ma-Mas Bram, kenapa bisa ada disini?"Bram berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan Aliyah dan Dion. "Ayo pulang!"Aliyah mengangguk segera, dan berbalik berkata kepada Dion, "Dion, aku pulang dulu. Makasih udah nemenin aku hari ini."Dion yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Bram, kini menoleh kepada Aliyah, "Hati-hati, aku juga senang ketemu kamu lagi."Pria itu tahu, bahwa lelaki yang baru saja datang adalah suami nominal Aliyah. Dion telah menyelidiki Bram dua minggu yang lalu, tepat setelah ia mendapatkan kabar bahwa Aliyah sampai di Singapura. Melihat dengan tajam pada Bram, Dion merasakan amarah berkecamuk di dadanya.Bram juga merasakan hal yang sama, dibalik wajah dinginnya yang tanpa ekspresi sekarang ini, saat ini ia tangan kiri di saku celAliyah tersadar segera. "Eh, Aliyah sudah kenyang, Mas."Wanita itu berbalik lalu berlari kembali ke kamarnya, meninggalkan Bram sendirian di dapur. Sesampainya di kamar, Aliyah menarik napas dalam-dalam, lalu segera menelepon Dewi.Setelah beberapa detik, panggilan itu tersambung."DEWI!" Aliyah memanggil asistennya dengan panik.Ia merasakan dadanya berdebar-debar. Pikirannya kalut, teringat perkataan Bram di mobil siang ini. Bram, yang selama ini dikenal sebagai sosok dingin dan sulit ditebak, telah mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan mendengarnya.Dengan tangan yang gemetar, Aliyah kembali mendial nomor Dewi di ponselnya, lalu menunggu dengan cemas sambil menggigit bibir bawahnya. Kuku-kuku halus yang terlihat kemerahan di jemarinya pun tak terhindar dari gigitannya.Saat nada sambung terdengar, Aliyah merasa seolah-olah waktu berjalan lebih lambat.“Halo, Mbak Aliyah?” Suara Dewi terdengar dari ujung sana, tenang seperti biasanya.
Aliyah segera memalingkan muka, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, sentuhan di bibirnya membuat bulu kuduknya meremang. Jemari Bram, yang keras dan kapalan, menyentuh bibirnya dengan lembut namun penuh obsesi. Aliyah terdiam, tubuhnya tegang oleh kontak fisik yang begitu dekat dan intens. Setiap sentuhan terasa mengaktifkan sel-sel di bibirnya, menyalakan perasaan yang selama ini berusaha ia tekan.Tersadar dari lamunannya, Aliyah terbatuk canggung, berusaha mengendalikan emosi yang tak terduga muncul. Ia menundukkan kepalanya, berharap bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.“Aw!” pekik Aliyah ketika tangan kirinya tak sengaja mengenai mata pisau yang ada di tangan kanannya.Bram dengan cepat menarik tangannya, wajahnya yang biasanya tenang kini berubah serius, dengan kilatan kekhawatiran yang jarang terlihat di matanya. "Biar saya lihat!" ucapnya dengan suara tegas namun lembut, sambil meraih tangan Aliyah. Jemari Bram yang kuat nam
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Bram," sapa seorang pria berjas hitam dengan antusias saat menyambut kedatangan mereka. Bram mengangguk singkat sebagai balasan, sementara pria tersebut dengan sopan membimbing mereka masuk ke dalam ruangan.Mengikuti isyarat tangannya, Bram berjalan sambil memeluk pinggang ramping Aliyah. Mereka memasuki ruang kantor yang telah dihias dengan indah, menampilkan nuansa elegan dan mewah yang sesuai dengan acara tersebut."Selamat datang di pesta peresmian cabang Alex Company," ujar pria berambut ikal itu ketika mereka tiba di dalam ruangan. Dia kemudian mengarahkan pandangannya ke sudut lain dan menunjuk ke arah Alex Demian, CEO Alex Company sekaligus tuan rumah acara tersebut, yang tampak sedang berbincang dengan beberapa tamu.Aliyah mengikuti arah yang ditunjuk dan melihat sosok pria berperawakan tinggi dengan rambut pirang mencolok. Wajahnya tampan dan senyumnya ramah saat ia berbicara dengan kolega-koleganya.Malam ini, Aliyah tida
Setelah percakapan ringan dengan Alex, Bram dan Aliyah memutuskan untuk menikmati malam mereka dengan sedikit lebih santai. Mereka bergerak ke arah meja yang telah disiapkan untuk tamu VIP di sisi ruangan, duduk bersama beberapa tamu penting lainnya. Suasana pesta semakin meriah, dengan musik yang mengalun lembut di latar belakang dan tamu-tamu yang tertawa serta bercengkerama.Setelah perbincangan selesai, Aliyah beranjak dari sisi Bram dan memutuskan untuk mengambil sedikit waktu sendiri, berbaur dengan tamu lainnya. Saat ia berjalan menuju meja minuman, Diana, salah satu kolega Bram, mendekat dengan senyum hangat namun sorot matanya penuh dengan rasa ingin tahu."Aliyah, senang sekali bisa bertemu denganmu," sapa wanita itu dengan nada ramah. "Kamu istri Bram, kan?" tanyanya kemudian.Aliyah tersenyum lembut, meskipun ada perasaan canggung di dalam dirinya. "Iya, terima kasih, senang juga bisa bertemu dengan Anda..."“Diana!” ucap wanita itu memperkenalkan diri.
Bram merasa jantungnya seolah berhenti saat mendengar teriakan Aliyah dari arah toilet. Suara para tamu yang kebingungan dan ruangan yang kini gelap total menambah suasana mencekam. Nalurinya yang selama ini tajam dalam menghadapi bahaya langsung mengambil alih. Ia bergegas menuju toilet wanita tempat Aliyah terakhir kali terlihat, mengabaikan segala gangguan di sekelilingnya."Aliyah!" teriaknya, suaranya penuh kepanikan. Ia menerobos kerumunan tamu yang semakin panik karena suara tembakan yang terdengar tiba-tiba, beberapa bahkan mulai berdesakan mencari jalan keluar. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Tidak ada yang lebih penting sekarang selain menemukan istrinya.Ketika Bram tiba di depan pintu toilet wanita, ia membuka pintu dengan cepat, tetapi sayangnya Aliyah tidak ada di sana. Toilet itu kosong, hanya ada suara gemericik air dari keran yang belum tertutup dengan benar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Aliyah. Jantung Bram berdegup semakin cepat, perasaan takut yang tak pernah
"Mas Bram, Liyah kangen banget sama Mas. Malam ini Mas Bram manjain Liyah lagi dengan brutal. Mas pasti rinduin Liyah kan? Kok ganggu Liyah terus sih dalam mimpi?" Ucap seorang wanita pada ponsel ditangannya. Wanita itu terkikik geli, ia memutar ulang pesan suara yang telah dikirimkan pada suaminya itu. Lalu bergidik ngeri dan jijik mendengar suara manjanya sendiri. Akan tetapi, wajahnya tersenyum dengan puas. Setiap hari, pagi, siang, dan malam ia tak pernah absen menyapa suaminya itu. Jika seseorang pernah melihat room chatnya dengan orang yang berlabelkan 'Om-om Tua Penculik Akoh', mereka akan dibuat kagum dengan kegigihannya dalam menggapai suami yang setinggi dan sedingin gunung everest itu. Pasalnya dari oktober 2021 hingga Januari 2024, sejak kontak saling tersambung, tak ada satu pun pesan yang mendapatkan balasan kembali! "Mbak Liyah cepat! Sutradara udah manggil dari tadi!" panggil seorang perempuan dengan panik. "Ah, tunggu-tunggu." Dengan cepat Aliyah menyimpan po
Dewi mengguncang bahu Aliyah kuat. “Mbak ... sadar mbak!”Saking kuatnya, membuat Aliyah menjadi pusing dan memegang kepalanya.“Dewi stop!”“Maaf Mbak, tapi ini harus Dewi lakuin supaya Mbak sadar.”Dengan serius mengarahkan Aliyah untuk menatap matanya, “Mbak Aliyah, dengar ya ... Suami mbak itu incaran banyak wanita!”Dewi mengucapkannya dengan tegas dan penuh penekanan. Melihat dengan sangat prihatin pada Aliyah.“Mbak harus pegang erat-erat, kalau sampai lepas dikit aja ...” Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya.Aliyah tertawa lucu, balas menatap Dewi dengan serius, memberikan pengertian kepada asistennya itu.“Dewi, kamu gak tau dibalik kehebatan pria itu, dia punya banyak banget banget banget ...! Kekurangan!”Melihat kembali pada cermin besar didepannya, Aliyah merentangkan jari tangan kanannya.Jari-Jari lentik wanita itu terlihat indah dengan warna merah muda yang lembut. Kukunya terpotong dengan rapi, dihiasi dengan nail art yang cantik.“Dewi ... kamu dengerin
Sesampainya di sebuah restoran terkenal, pak Tomo segera membukakan pintu belakang dengan hormat.“Aliyah bisa sendiri kok, Pak.” Ucap Aliyah lembut pada Pak Tomo.“Gak papa, Non. Ini kan tugas bapak.”Masuk ke restoran itu, seorang pelayan telah menunggu disana.“Selamat datang nyonya Atmaja, meja reservasi anda ada di lantai 27, kami telah menyiapkan makan malam mewah untuk anda.”Aliyah menganggukkan kepala tanpa ekspresi. Kali ini ia dengan sengaja memesan makan malam khusus di Bianca Restorant. Restoran kelas atas itu hanya menerima lima reservasi setiap harinya. Jika ada anggota VVIP yang membooking khusus, mereka hanya menerima satu pada hari itu.“Silahkan dinikmati Nyonya,” ucap seorang pelayan dengan sopan.Sebagai seorang nyonya Atmaja, sudah menjadi kewajiban Aliyah untuk menghabiskan uang seperti air mengalir.Dewi yang sudah lama di hantam dengan berbagai kemewahan, sejak bekerja sebagai asisten artis dari Aliyah, kini dapat dengan lancar memasang wajah datar.