Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh.
Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebeDewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap
Dokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Dua pengawal yang menjaga ruang CEO dengan cepat mengambil tindakan dan menyeretnya pergi. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk memutuskan tindakan yang harus diambil. Di dalam kantor CEO, Bram duduk di kursinya, memandang pada keriuhan kota di siang hari dan mencoba menenangkan pikirannya. Entah mengapa hari ini ia akan sangat terganggu dengan hal kecil apapun. Pikirannya seakan terpecah, bayangan wanita itu yang terbaring lemah dan sakit kini tengah sendirian di mansion membuatnya tak bisa tenang. Pertanyaan-pertanyaan berkelabat di pikirannya. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia sudah makan dan minum obatnya? Bunyi keras memenuhi setiap sudut ruangan saat Bram melemparkan dokumen ditangannya, menghela napas berat ia mengusap wajahnya dan memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja kerja. Dengan tegas ia mengirimkan pesan pada kepala pelayan mansion. Ketika siang menjelang, Bra
Aliyah merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega bahwa kebenaran tentang insiden itu akhirnya terungkap. Namun, di sisi lain, ia juga merasa prihatin dengan apa yang terjadi pada Rasya, meskipun tindakan Rasya tidak bisa dibenarkan. Aliyah tahu betapa kerasnya dunia hiburan, dan konsekuensi dari tindakannya pasti sangat berat.Bram masuk tanpa suara, dan mendapati Aliyah masih terjaga dengan laptop di pangkuannya. Ia mendekat dan melihat ekspresi wajah wanita itu yang penuh keheranan dan kecemasan."Ada apa?" suara Bram terdengar tiba-tiba, mengejutkan Aliyah.“AKH!” jerit Aliyah keras. “Mas Bram masuk kok tanpa suara, jantung Liyah hampir aja copot.” seru Aliyah terkejut sambil mengelus dadanya.Bram menghidupkan lampu dan melangkah mendekat kembali, “Maaf.” Aliyah menoleh dan menatap Bram. "Rasya... dia-, hm … pemeran utama film Aliyah sekarang tiba-tiba aja dipecat dan kontrak-kontrak iklannya dibatalkan setelah insiden di lokasi syuting,"
Suasana meja makan sangat canggung, Aliyah tak tahu harus bagaimana bersikap, apakah ia harus berakting menyapa Bram dengan penuh cinta seperti biasanya atau melakukan gencatan senjata terlebih dahulu. Salad buah didepannya hampir hancur, dan Aliyah masih termenung dalam pikirannya. Bagaimana cara memulai untuk memberitahukan pria itu bahwa yang sebenarnya ia ingin bercerai. “Siang ini nenek akan datang, dan akan tinggal selama beberapa hari.” ucap Bram tiba-tiba memecahkan lamunan Aliyah. “Nenek?” tanya Aliyah terkejut, pikirannya melayang seketika, mengapa wanita tua itu tiba-tiba ingin datang berkunjung? “Benar.” “Pasti karena nenek udah tahu kalau Mas Bram udah pulang,” tebak Aliyah. Mereka kembali terdiam, masinh-masing tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya Bram pergi berangkat kerja. Aliyah menatap kepergian pria itu dengan heran, jelas-jelas dia adalah seorang bos dan tak perlu tepat waktu untuk beke
Pesan itu benar-benar membuat Aliyah hancur seketika. Ini ancaman yang sama saat ia menolak menikah dengan Bram pada saat usianya masih 19 tahun.Sampai kapan ia akan selalu terjerat dalam genggaman ayahnya yang biadab. Ancaman itu benar-benar membuat Aliyah tak berkutik sedikitpun. Pasalnya, lukisan di galeri adalah kumpulan lukisan peninggalan ibunya, Yulia Ays.Yulia Ays adalah pelukis paling terkenal dari Indonesia beberapa dekade lalu. Semua lukisannya bernilai tinggi dan Aliyah telah susah payah mengumpulkan semua lukisan ibunya yang tersebar diantara para kolektor.Tapi jumlah yang telah ia kumpulkan tak sebanding dengan galeri yang didirikan oleh ibunya. "Semuanya keluar!" Perintah Aliyah pada semua pelayan yang ada di ruang spa itu.Tepat saat pintu ditutup, Aliyah menangis dengan pilu. Bibirnya bergetar hebat. Kenangan kematian ibunya berputar di otaknya. Bagaikan kaset rusak yang tak bisa berhenti.Lama ia menangis, hingga akhirnya teralihkan