Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya.
Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar dari mulut Aliyah. Orang yang melihatnya pasti akan berpikir bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik. Satu persatu ia memasang gaun tidur itu, dan terakhir ia memasangkan outer panjang masih dalam satu set yang sama. Melihat pada cermin besar, Aliyah tak bisa meragukan keputusannya. "Kalau aku kelihatan terlalu cantik gini, apa Mas Bram mungkin bisa tergoda?" Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, "Gak mungkin!" Terakhir, Aliyah menyemprotkan sedikit parfum ke lehernya, lalu melihat jam dinding mewah di kamar itu, dan menebak saat ini sudah waktunya jam seorang pria tua harusnya tidur. Tepat saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, ia melihat pak Rusdi yang berjalan didepan kamarnya. "Pak, tunggu sebentar!" Kepala pelayan itu menghentikan langkah kakinya, dan menundukkan kepala dengan sopan. "Baik, Nyonya?" jawab Rusdi segera. Tangan Aliyah bergerak membungkus outer dengan lebih erat. "Itu, eng ... anu Pak," ucap Aliyah gugup dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Melihat Pak Rusdi yang masih menunggu dengan sabar. Aliyah memejamkan matanya dan menanyakan pertanyaan itu pada akhirnya. "Dimana kamar Mas Bram?" Aliyah menggigit bibir bawahnya dengan malu, sungguh harga dirinya sebagai seorang istri, benar-benar jatuh. Ia menghela napas perlahan untuk menahan rasa kesal dan malunya. Rusdi menundukkan kepalanya, lelaki tua itu dengan hormat menunjuk ke arah pintu kamar yang ada di sebelah kamar Aliyah. "Di seb-" "Aliyah!" Panggilan serak dan berat tiba-tiba terdengar keras dan sedikit membentak, kedua orang tersebut mengalihkan perhatian pada Bram yang berjalan mendekat dengan jas yang terlampir pada lengan kirinya. "Mas ... Mas Bram," Aliyah terbata, sedikit takut dan tak mengerti dengan wajah dingin suaminya yang terlihat menakutkan itu. Sementara itu, Bram melihat Aliyah berdiri dibawah cahaya, gaun tidur sutra bewarna putih yang membalut tubuhnya memantulkan cahaya lampu dengan baik. Lelaki itu mengerutkan keningnya, menarik dasi hingga terlepas, entah apa yang dipikirkan wanita itu. Meski pakaiannya tertutup, apa ia tidak tau bahwa kurva tubuhnya yang panas terlihat jelas. Rusdi dengan susah payah mengelap dahinya yang berkeringat dingin, "Nyonya, kamar Tuan ada disebelah kamar Anda. Saya permisi dulu, Tuan dan Nyonya." Dengan cepat, lelaki tua itu melarikan diri segera. Ia menggelengkan kepalanya dengan heran, siapa bilang Tuan Bram tidak mencintai istrinya. Lihat saja, bahkan Bram cemburu dengan lelaki tua seperti dirinya. Suasana antara Bram dan Aliyah hening untuk sesaat, Bram melangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya. Aliyah dengan jujur mengekor dari belakang. "Ada apa?" tanya Bram setelah membuka pintu kamarnya. Aliyah mencoba senyum genit nya, dengan antusias ia mengambil jas ditangan pria itu, "Mas, lupa ya? Aliyah kan udah janji buat pijitin Mas malam ini." Bram sedikit melambat dan tanpa sadar mengusap pada dadanya yang terasa gatal setelah mendengar kata-kata gadis itu. Pria itu membuka pintu kamarnya dan berjalan masuk tanpa menghentikan Aliyah yang mulai lingkung dibelakangnya. Dalam hatinya, Aliyah menjerit, "Ini? Kenapa Mas Bram gak marah dan usir aku?" Aliyah berusaha bersikap tenang meski kakinya terasa sedikit bergetar. Bram tak mengacuhkanya dan mulai membuka kancing kemejanya. "Saya mandi dulu." Setelah pria itu menghilang dibalik pintu kamar mandi, Aliyah shock dan terduduk dengan pucat diatas ranjang. "Ma-mandi?" ucapnya terbata. Pikiran gadis itu kacau, suaminya itu terlihat semakin ambigu. "Apa sebenarnya Mas Bram punya dua orientasi?" Aliyah bergidik jijik seketika. Membayangkan ia harus menjadi pelampiasan nafsu pria itu saat kekasih gay nya tidak ada disini membuatnya merasa mual. Bram keluar dari kamar mandinya, perut delapan pack yang kuat terlihat berkilau dengan air. Gulungan handuknya yang rendah dibagian bawah terlihat sangat panas. Gerakannya yang tengah mengusap rambut basah dengan handuk ditangannya terhenti saat melihat sesosok tubuh yang terlihat tertidur di ujung ranjang. Pupil pria itu sedikit gemetar, ia merasakan darah mengalir pada suatu tempat ditubuhnya. "Aliyah?" panggilnya pada wanita yang terbaring itu. Bram berjalan mendekat dan melihat pada wanita yang terlihat damai dalam tidurnya. Awalnya ia menyetujui tingkah genit Aliyah siang ini hanya karena ia ingin mencari waktu untuk membicarakan masalah pernikahan mereka selanjutnya. Bram merenung sedikit lama, lalu berbisik kecil, "Tampaknya ... kamu sangat mencintai saya, Aliyah." Bram menggelengkan kepalanya, lalu berjalan mendekat dan mulai menggendong Aliyah di lengannya yang kuat. Merasakan bobot tubuhnya menjadi ringan, wanita itu terganggu dan terbangun karena terkejut. Wajah tampan pria itu yang terlihat tegas dan tajam ada dihadapannya saat ini. "AH ... turunin!" teriak Aliyah keras, sambil menepuk-nepuk dada pria itu. Bram segera menurunkan tubuh yang meronta-ronta di lengannya. Aliyah memeluk dadanya, dan melihat dengan waspada pada Bram. Sementara pria itu berbalik dengan wajah dinginnya, dan mulai berjalan menuju lemari lalu mengambil baju tidur yang telah tersusun rapi. Ketukan terdengar tak lama kemudian, melihat Bram yang masih mengenakan bajunya, Aliyah berbaik hati untuk membuka pintu kamar pria itu. Di depan pintu, Rusdi berdiri dengan nampan ditanganya, "Nyonya ... ini minyak essensial yang suka digunakan oleh Tuan." "Mi-minyak?""Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap
Dokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Dua pengawal yang menjaga ruang CEO dengan cepat mengambil tindakan dan menyeretnya pergi. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk memutuskan tindakan yang harus diambil. Di dalam kantor CEO, Bram duduk di kursinya, memandang pada keriuhan kota di siang hari dan mencoba menenangkan pikirannya. Entah mengapa hari ini ia akan sangat terganggu dengan hal kecil apapun. Pikirannya seakan terpecah, bayangan wanita itu yang terbaring lemah dan sakit kini tengah sendirian di mansion membuatnya tak bisa tenang. Pertanyaan-pertanyaan berkelabat di pikirannya. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia sudah makan dan minum obatnya? Bunyi keras memenuhi setiap sudut ruangan saat Bram melemparkan dokumen ditangannya, menghela napas berat ia mengusap wajahnya dan memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja kerja. Dengan tegas ia mengirimkan pesan pada kepala pelayan mansion. Ketika siang menjelang, Bra
Aliyah merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega bahwa kebenaran tentang insiden itu akhirnya terungkap. Namun, di sisi lain, ia juga merasa prihatin dengan apa yang terjadi pada Rasya, meskipun tindakan Rasya tidak bisa dibenarkan. Aliyah tahu betapa kerasnya dunia hiburan, dan konsekuensi dari tindakannya pasti sangat berat.Bram masuk tanpa suara, dan mendapati Aliyah masih terjaga dengan laptop di pangkuannya. Ia mendekat dan melihat ekspresi wajah wanita itu yang penuh keheranan dan kecemasan."Ada apa?" suara Bram terdengar tiba-tiba, mengejutkan Aliyah.“AKH!” jerit Aliyah keras. “Mas Bram masuk kok tanpa suara, jantung Liyah hampir aja copot.” seru Aliyah terkejut sambil mengelus dadanya.Bram menghidupkan lampu dan melangkah mendekat kembali, “Maaf.” Aliyah menoleh dan menatap Bram. "Rasya... dia-, hm … pemeran utama film Aliyah sekarang tiba-tiba aja dipecat dan kontrak-kontrak iklannya dibatalkan setelah insiden di lokasi syuting,"