Share

Bab 8 Pijatan untuk Mas Bram

Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya.

Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya.

Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya.

Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu.

"Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran.

Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat.

Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar dari mulut Aliyah. Orang yang melihatnya pasti akan berpikir bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik.

Satu persatu ia memasang gaun tidur itu, dan terakhir ia memasangkan outer panjang masih dalam satu set yang sama.

Melihat pada cermin besar, Aliyah tak bisa meragukan keputusannya. "Kalau aku kelihatan terlalu cantik gini, apa Mas Bram mungkin bisa tergoda?"

Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, "Gak mungkin!"

Terakhir, Aliyah menyemprotkan sedikit parfum ke lehernya, lalu melihat jam dinding mewah di kamar itu, dan menebak saat ini sudah waktunya jam seorang pria tua harusnya tidur. Tepat saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, ia melihat pak Rusdi yang berjalan didepan kamarnya.

"Pak, tunggu sebentar!"

Kepala pelayan itu menghentikan langkah kakinya, dan menundukkan kepala dengan sopan.

"Baik, Nyonya?" jawab Rusdi segera.

Tangan Aliyah bergerak membungkus outer dengan lebih erat.

"Itu, eng ... anu Pak," ucap Aliyah gugup dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Melihat Pak Rusdi yang masih menunggu dengan sabar. Aliyah memejamkan matanya dan menanyakan pertanyaan itu pada akhirnya.

"Dimana kamar Mas Bram?" Aliyah menggigit bibir bawahnya dengan malu, sungguh harga dirinya sebagai seorang istri, benar-benar jatuh. Ia menghela napas perlahan untuk menahan rasa kesal dan malunya.

Rusdi menundukkan kepalanya, lelaki tua itu dengan hormat menunjuk ke arah pintu kamar yang ada di sebelah kamar Aliyah. "Di seb-"

"Aliyah!" Panggilan serak dan berat tiba-tiba terdengar keras dan sedikit membentak, kedua orang tersebut mengalihkan perhatian pada Bram yang berjalan mendekat dengan jas yang terlampir pada lengan kirinya.

"Mas ... Mas Bram," Aliyah terbata, sedikit takut dan tak mengerti dengan wajah dingin suaminya yang terlihat menakutkan itu.

Sementara itu, Bram melihat Aliyah berdiri dibawah cahaya, gaun tidur sutra bewarna putih yang membalut tubuhnya memantulkan cahaya lampu dengan baik.

Lelaki itu mengerutkan keningnya, menarik dasi hingga terlepas, entah apa yang dipikirkan wanita itu. Meski pakaiannya tertutup, apa ia tidak tau bahwa kurva tubuhnya yang panas terlihat jelas.

Rusdi dengan susah payah mengelap dahinya yang berkeringat dingin, "Nyonya, kamar Tuan ada disebelah kamar Anda. Saya permisi dulu, Tuan dan Nyonya."

Dengan cepat, lelaki tua itu melarikan diri segera. Ia menggelengkan kepalanya dengan heran, siapa bilang Tuan Bram tidak mencintai istrinya. Lihat saja, bahkan Bram cemburu dengan lelaki tua seperti dirinya.

Suasana antara Bram dan Aliyah hening untuk sesaat, Bram melangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya.

Aliyah dengan jujur mengekor dari belakang.

"Ada apa?" tanya Bram setelah membuka pintu kamarnya.

Aliyah mencoba senyum genit nya, dengan antusias ia mengambil jas ditangan pria itu, "Mas, lupa ya? Aliyah kan udah janji buat pijitin Mas malam ini."

Bram sedikit melambat dan tanpa sadar mengusap pada dadanya yang terasa gatal setelah mendengar kata-kata gadis itu.

Pria itu membuka pintu kamarnya dan berjalan masuk tanpa menghentikan Aliyah yang mulai lingkung dibelakangnya.

Dalam hatinya, Aliyah menjerit, "Ini? Kenapa Mas Bram gak marah dan usir aku?"

Aliyah berusaha bersikap tenang meski kakinya terasa sedikit bergetar.

Bram tak mengacuhkanya dan mulai membuka kancing kemejanya. "Saya mandi dulu."

Setelah pria itu menghilang dibalik pintu kamar mandi, Aliyah shock dan terduduk dengan pucat diatas ranjang.

"Ma-mandi?" ucapnya terbata.

Pikiran gadis itu kacau, suaminya itu terlihat semakin ambigu.

"Apa sebenarnya Mas Bram punya dua orientasi?"

Aliyah bergidik jijik seketika. Membayangkan ia harus menjadi pelampiasan nafsu pria itu saat kekasih gay nya tidak ada disini membuatnya merasa mual.

Bram keluar dari kamar mandinya, perut delapan pack yang kuat terlihat berkilau dengan air. Gulungan handuknya yang rendah dibagian bawah terlihat sangat panas. Gerakannya yang tengah mengusap rambut basah dengan handuk ditangannya terhenti saat melihat sesosok tubuh yang terlihat tertidur di ujung ranjang.

Pupil pria itu sedikit gemetar, ia merasakan darah mengalir pada suatu tempat ditubuhnya.

"Aliyah?" panggilnya pada wanita yang terbaring itu.

Bram berjalan mendekat dan melihat pada wanita yang terlihat damai dalam tidurnya. Awalnya ia menyetujui tingkah genit Aliyah siang ini hanya karena ia ingin mencari waktu untuk membicarakan masalah pernikahan mereka selanjutnya.

Bram merenung sedikit lama, lalu berbisik kecil, "Tampaknya ... kamu sangat mencintai saya, Aliyah."

Bram menggelengkan kepalanya, lalu berjalan mendekat dan mulai menggendong Aliyah di lengannya yang kuat.

Merasakan bobot tubuhnya menjadi ringan, wanita itu terganggu dan terbangun karena terkejut. Wajah tampan pria itu yang terlihat tegas dan tajam ada dihadapannya saat ini.

"AH ... turunin!" teriak Aliyah keras, sambil menepuk-nepuk dada pria itu.

Bram segera menurunkan tubuh yang meronta-ronta di lengannya.

Aliyah memeluk dadanya, dan melihat dengan waspada pada Bram. Sementara pria itu berbalik dengan wajah dinginnya, dan mulai berjalan menuju lemari lalu mengambil baju tidur yang telah tersusun rapi.

Ketukan terdengar tak lama kemudian, melihat Bram yang masih mengenakan bajunya, Aliyah berbaik hati untuk membuka pintu kamar pria itu.

Di depan pintu, Rusdi berdiri dengan nampan ditanganya, "Nyonya ... ini minyak essensial yang suka digunakan oleh Tuan."

"Mi-minyak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status